Status Berkelas Part 9
Penasaran II, Scene 2
POV Nada
“Hai.. “, sebuah pesan singkat aplikasi whatsapp muncul dilayar hpku. Menunggu agak lama akhirnya kukirim balasan pesan.
“Hai pagi.. “, jawabku tanpa panjang lebar.
Ganggu ga nih?”, orang diseberang sana melanjutkan pesan chat sebelumnya.
Aku tertegun sejenak sebelum membalas chat terakhir yang terkirim. Timbul pertentangan dalam dada. Jika ini kulanjutkan maka hal yang kukhawatirkan selama ini akan benar-benar terjadi. Namun jika aku tak melanjutkannya, maka satu kesempatan terbaik untuk mendapatkan kasih tambatan hati dari pemuda yang baru-baru ini kukagumi akan sirna. Aku bimbang menghadapi kenyataan yang membelenggu. Aku bingung pada pola pikir orang tua ku yang merasa berderajat tinggi serta masih terbawa mengakomodir cara berpikir kompeni.
“Ehmm..hanya sedikit kesibukan di kantor”, akhirnya aku memilih untuk membalas pesan tersebut. Toh hanya sekedar teman tak akan membawa masalah serius. Lagipula belum tentu juga dia berjodoh denganku.
“Nada, aku pingin ngobrol sithik karo awakmu. Ada waktu ga?”, (Nada, aku ingin ngobrol dikit sama kamu. Ada waktu?) aku berpikir keras untuk menjawab pertanyaan ini, pertanyaan dari seorang bernama Dana yang beberapa waktu ini mengusik kesendirianku. Kebimbangan kembali hadir menggerogoti mekar jiwaku yg mulai tumbuh bersemi melakukan gerak nasti ikuti lirih nurani.
“Engkok awan pas jam istirahat kantor yopo mas?”, (Nanti siang pas jam istirahat kantor gimana mas?) nekad kuterjang ganjalan hati. Aku tak mampu berpikir lebih jauh lagi. Ohh apa yang terjadi terjadilah. Yang kutahu hanyalah mengikuti kata hati.
“Yo wes, nyuwun alamat kantor e engkok tak susul, golek maksi nang njobo ae yo”, (Ok, minta alamat kantornya nanti kujemput, cari makan siang diluar aja ya) dag dig duk balasan Dana kubaca. Sebuah kesan pertama, dan aku belum tahu nanti akan berlanjut seperti apa.
Kulanjutkan pekerjaanku membuat bahan meeting yang sedianya akan kami gunakan esok hari. Kebetulan kami mendapat order besar untuk mendesign serta mengisi seluruh keperluan interior sebuah kantor cabang yang baru dibuka. Kantor tersebut berpusat di ibukota Jakarta yang kemudian memerlukan kantor cabang untuk mencover cakupan pasar di wilayah Indonesia timur. Tepatlah kiranya jika memilih kota Surabaya sebagai lokasi cabang selain karena Surabaya adalah ibukota propinsi juga merupakan barometer bagi industri maupun distribusi wilayah timur Indonesia. Perusahaan tersebut cukup terkenal di Jakarta sebagai salah satu perusahaan yang berkembang pesat pada kwartal ketiga tahun ini. Perusahaan bernama PT. Tiga Mandiri Perkasa yang dinahkodai tiga anak bangsa bertalenta dan jenius yaitu Mr. Al, Mr. L, dan Mr. Nos mampu menanjak naik dikancah persaingan nasional. Keberhasilan Rapi Design memperoleh kepercayaan besar untuk menggarap seluruh interior PT. 3MP tidak terlepas dari rekomendasi Pak Hasan. Beliau merupakan paman dari Hajar yang bekerja di kantor pusatnya Mr. Al.
Setelah melakukan percakapan singkat dengan Dana via chatting, aku menjadi berubah lebih diam dan kurang konsentrasi. Beberapa kali Hajar mengajak berdiskusi tentang persiapan design hanya kutanggapi dengan jawaban ngelantur yang alhasil menumbuhkan tanda tanya dalam benak Hajar.
“Koen lapo Nad kok aneh ngunu?, ga biasane koyok ngene”, (kamu kenapa Nad kok aneh gitu?, ga kayak biasanya deh) kening Hajar berkerut menyaksikan perubahan aneh pada diriku.
“Ah biasa ae. Perasaanmu paling sing ga biasaa..”, (Ah biasa aja tuh. Perasaanmu mungkin yang tak biasaa..) aku menampik kecurigaan Hajar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya kupikirkan.
“Aku wes taunan dadi koncomu Non, aku apal bendinanmu”, (Aku sudah bertahun-tahun jadi temanmu Neng, aku sangat hafal tabiatmu) Hajar masih juga tak mau meluruhkan penasaran yang ia rasakan.
“Mbelgedes!, guayamu sok dekat sok kenal.. Kemeruh.”, (Omong kosong!, gayamu sok dekat sok kenal.. Sotoy) satu jitakanku pelan mendarat di tempurung kepala Hajar.
——-
Tak ada awan bergulung di atas sana. Hamparan permadani biru langit terpampang bersih tanpa coretan remang mega. Dominasi terik matahari laksana singa mengaum gagah berwibawa bertengger di kanvas Maha luas.
Jarum jam baru saja meninggalkan posisi tegak berhimpitan. Aku menutup laptop putih diatas meja kerja dan beranjak membuka notifikasi whatsapp yang muncul.
“Aku nang ngarep rodok ngulon sithik, goncengan ae yo. Aku nggowo helm loro”, (Aku sudah didepan agak ke barat sedikit, boncengan aja ya. Sudah kubawakan helm) Dana mengirim pesan dan langsung kujawab singkat mengiyakan.
“Hai.. Naik sini!”, Dana menyapa ramah mempersilahkan aku naik di boncengan motor prima nya. Aku tak mampu menjawab sepatah katapun saking gugupnya. Hanya gerakanku yang muncul terlihat salting. Sedikit senyumanku semoga bisa menggantikan kalimat yang seharusnya kuucapkan.
“Maem nang ndi iki?, (Makan dimana ini?) Dana sedikit berteriak melawan gemuruh angin yang menerpa wajah kami saat motor mulai melaju di perjalanan meninggalkan jalan Veteran tempat dimana aku menyewa ruko untuk bekerja.
“Sakkarep..”, (terserah) kujawab singkat karena aku tak tahu harus menjawab apalagi.
Dana berinisiatif membelokkan motornya menikung ke arah kiri saat bertemu dengan perempatan Siola. Sepanjang perjalanan aku hanya diam membisu. Lidahku begitu kelu, otakku berasa buntu, tak ada ide obrolan apapun yang muncul di benak.
Dana mengurangi kecepatan motornya saat melintasi kantor Ibu Risma, Walikota Surabaya kemudian berbelok ke arah kiri. Beberapa saat kemudian motor berhenti tepat di tikungan samping kantor Satpol PP. Oh rupanya Dana mengajakku untuk makan di Mie Pangsit Kotamadya yang terkenal itu. Saking terkenalnya sampai-sampai Brian ‘Bray’nya Clothink, Mr. Nos-nya 3MP, hingga penulis legendaris Gadies pernah mampir dan makan ditempat ini.
Nasib beruntung sedang berpihak pada kami. Lapak pangsit yang biasanya penuh sesak oleh para pegawai pemkot yang istirahat, terlihat agak lengang. Kemungkinan ada rapat atau sejenisnya yang membuat mereka tak bisa menikmati jam istirahat sebagaimana biasanya.
Dana memilih kursi terjauh dan terpojok untuk lebih mendapatkan privasi. Mie pangsit dengan extra baso plus es jeruk menjadi pilihan siang itu.
“Sehat Nada?”, Dana membuka pembicaraan untuk mencairkan suasana yang masih terlihat kaku.
“Lumayan hemm”, aku memilih jawaban yang paling sesuai sembari kuiringi dengan sebuah senyuman semanis mungkin. Maksud hatiku juga ingin mengakrabkan diri, namun tak tahu apa yang harus kulakukan.
“Ehmm.. Nada. Sepurane kapan hari lek nggae awakmu nesu”, (Ehmm.. Nada. Maaf kejadian waktu itu jika membuatmu tersinggung) aku sedikit terkejut dengan kalimat dari Dana tersebut. Namun cepat kututupi. Karena jujur, aku tak pernah merasa marah sedikitpun terkait kejadian yang dibahas oleh Dana.
“Iyo mas, aku ngerti lek sampean mesti ga enak kabeh karo aku. Tapi aku ga nesu kok. Cuman yo mungkin rodok kaget ae. Isin rek ditontok wong akeh!”, (Iya mas, aku memahami jika kamu merasa serba salah. Tapi aku ga marah kok. Hanya kaget saja. Malu dilihat orang banyak!) aku berusaha menjelaskan sebisa mungkin agar Dana tidak terlalu merasa bersalah.
“Tapi aku isih oleh dadi koncomu kan?, Isih oleh pedekate dan ngejer awakmu kan?”, (Tapi aku masih boleh jadi temanmu kan?, masih diperbolehkan untuk PDKT dan mengejar kamu kan?) Dana mengernyitkan kening menandakan ia sedang serius berbicara.
“Lek konco yo jelas oleh mas. Khusus ngejer aku, ehmm.. Cobaen ae. Berusahalah lebih keras. Ancen saiki aku durung isok, tapi aku isok berubah tergantung yopo usahae pean ngrebut atiku”, (Kalau pertemanan ya tentu saja boleh. Khusus ngejar aku., ehmm.. Coba aja. Berusahalah lebih keras. Memang saat ini aku belum bisa, tapi aku bisa berubah tergantung gimana usahamu merebut hatiku) Cara tanggap yang lugas dan tanpa basa-basi sudah menjadi Kebiasaanku saat bekerja maupun beraktifitas lainnya, tak terkecuali saat menyikapi pertanyaan Dana.
Kami melanjutkan dengan obrolan ringan seputar pekerjaan Dana, keluarga dan sahabat sembari menikmati mie yang baru saja dihidangkan. Jauh dalam lubuk hatiku semakin tumbuh rasa simpatik setelah tahu aktifitas keseharian seorang Chef tak terkenal bernama Dana. Dan juga perjuangannya untuk kesejahteraan keluarga.
“Ehmm.. Dadi ide, promosi, kreasi, dekorasi, sampek eksekusi sampean garap dewe kabeh?. Gendeng koen. Opo ga njlimet mas?. Uakeh berarti ilmune pean”, (Ehmm.. Jadi ide, promosi, kreasi, dekorasi, sampai pada eksekusi kamu kerjakan sendiri semua?. Luas biasaa. Apa ga rumit mas?. Banyak ya berarti pengalamanmu) aku terbelalak heran pada cerita Dana yang baru kudengar. Talenta yang memukau. Creator, Marketing, Salesmanship, Negosiator, Decition Maker, Designer, Chef, wooow segudang talenta yang terkumpul dalam satu kepala. Dan itu dimiliki oleh seorang yang hanya tamat SMA, mengagumkan.
“Yo sering ngewangi dolor & konco dadi nular ilmune hehe”, (Ya sering bantu saudara & teman jadi nular ilmunya) jawaban Dana yang diluar perkiraanku. Aku berpikir mungkin ia sering ikut seminar dan pelatihan, tapi ternyata tidak.
“Tak pikir sampean melok seminar-seminar ngunu mas. Wah berarti daya serap pean dhuwur lho mas”, (aku kira kamu ikut seminar-seminar gitu mas. Wah berarti kemampuan pemahaman kamu tinggi mas) aku terbengong menatap sosok pria brilian di depanku. Aku beranggapan bahwa muatan kuliah yang selama ini kudapat adalah jalan terbaik untuk mampu terjun dikancah persaingan pekerjaan. Namun sekarang aku paham, kemauan positif yang keras dan ketelatenan memahami praktek lapangan merupakan jalan lain untuk mematangkan diri.
“Wahh lek melok seminar yo isok jebol bandar e non. Duwik sak ipet ga ngatasi gae melok-melok koyok ngunu iku”, (Wahh kalau ikut seminar ya bisa bangkrut neng. Uang sedikit ga akan cukup buat ikut yang begituan) aku langsung tersenyum mendengar jawaban konyol Dana. Tanpa sadar mie santapan telah ludes kami hajar sembari mengobrol. Rasa sejuk dalam dada ini mendapati keakraban kami yang mulai terjalin.
“Na, aku oleh request ga?”, (Na, aku boleh request ga?) kudengar Dana berucap saat kami sedang menuju parkiran motor.
“Apa mas?”, tanyaku penasaran.
“Perjuangan babak 1, aku request awakmu ga mbalik kantor awan iki yo. Pliss.. Tak ajak kluyuran hehe”, (Perjuangan babak 1, aku request kamu tidak balik kantor siang ini ya. Pliss.. Kuajak nglayap hehe) melihat wajah Dana yang memelas dengan kedua tangan memohon tertelangkup di depan wajah seperti orang semedi membuat aku tak mampu untuk menolak permintaan Perjuangan pertamanya. Aku jawab dengan anggukan berikut senyuman khas yang konon dikatakan manis oleh teman-teman hehe.
“Halo say, mintol.. Aku ono keperluan ndadak, dadi ga isok balik kantor awan iki. Tulung ringkesno laptopku sekalian gowoen mulih mobilku yo. Kontake nang laci mejoku..”, (Halo say, minta tolong.. Aku ada keperluan mendadak, jadi ga bisa balik kantor siang ini. Tolong kemasi laptop sekalian bawa pulang juga mobilku ya. Kunci mobil ada si laci mejaku..) segera kuhubungi Hajar di kantor untuk mengabarkan.
“Ehmm…lek aku ga gelem yopo hayoo??!”, (Ehmm…kalo aku ga mau gimana hayoo??!) bukannya mengiyakan, Hajar malah balik ngerjain aku dengan sok jual mahal. Ihh rese’ ni barbie bawel. Pingin njitak aja tuh kepala barbie rasanya.
“Tak potong gaji koen nduk!”, (Kupotong gaji kau bocah!) akhirnya dengan dongkol kumanfaatkan tangan absolut untuk menekan Hajar si bawel.
“Haha.. Nesu.. Nesuuu.. Koyok asuu haha.. Sabar dong. Iya iya, tentu akan kulaksanakan semua titah permaisuri!”, (Haha.. Marah niye, kayak guk guk haha. Sabar dong. Iya iya, tentu akan kulaksanakan semua titah permaisuri!) banyolan Hajar bikin aku sewot. Kurang ajar tuh anak, hihhh!.
“Ga lucuu. Yo wis suwun!”, (Ga lucu tau. Ya udah makasih!) masih dengan nada sewot hendak kuputus sambungan telepon, namun Hajar menghentikan niatku.
“Ehh sik sik ojok ditutup. Titip pesen aja, ati-ati lek goncengan. Nyabuk yo cek ga lugur haha”, (Ehh bentar jangan ditutup dulu. Nitip pesan aja, hati-hati kalau boncengan. Pegangan yang erat biar ga jatuh haha) Hajar tertawa ngakak, sontak pipiku menyemu merah. Kok dia bisa tahu ya?
“Aku nontok rek teko jendelo lantai loro. Weeh pantesan ae dijak ngobrol malah nglamun..ternyataa dienteni arjuno ne hahaha”, (Aku lihat lho dari jendela lantai dua. Weeh pantas aja diajsk ngobrol kok ga fokus..ternyataa lagi ditunggu arjuna nya hahaha) Hajar melanjutkan kalimatnya, akupun jadi kaget karena tak tahu kalau ada orang yang ngintipin. Uhh.. Untung saja Hajar yang lihat. Nah kalau keluarga yang lihat? Bisa habis riwayatku.
“Ngguyuo terus!. Tak balsem lambemu kapok koen. Awas yo sampek bocor, tak kebuli koen engkuk!. Yo wis ngunu sik.”, (Ketawa aja terus!. Aku kasih balsem mulut baru tahu rasa kamu. Awas ya sampai ketahuan orang lain, aku bikin nasi kebuli kau nanti!. Ya udah gitu aja dulu.) aku semprot si Hajar tukang usil. Segera kututup sambungan telepon saat kulihat Dana sudah nangkring diatas motornya.
“Sido nang ndi iki non?”, (Jadi kemana nih kita neng?) Dana memasangkan helm ke kepalaku. So sweet deh hehe. Dasar sok perhatian! Hehe.
“Lho.. Yo terserah pejuang dong. Tapi kalau boleh usul, jangan di keramaian seperti mall dan semacamnya yahh”, Jawabanku langsung dibalas anggukan oleh Dana. Semenit kemudian motor Dana sudah melaju lincah diantara padat nya kendaraan yg mengalir kearah grand city dan sekitarnya.
Siang hingga sore kami habiskan dengan berjalan-jalan santai di kebun bibit Surabaya. Ya memang tempat tersebut adalah tempat yang tergolong kurang menarik dan ga keren. Tapi aku lebih setuju saat Dana mengajakku kesana. Ditempat yang jarang disukai maka disitulah pandangan orang akan tersamarkan. Ini lebih pada alasan pribadiku yang masih berasa ngeri jika kepergok keluarga saat jalan bersama Dana.
Ditempat itu kami saling bercanda, bercerita, saling mengenal satu sama lain. Sejenak terlepaslah semua beban pikiran, penat pekerjaan. Ditepian kolam ikan koki kami duduk bersama. Menatap kedamaian kehidupan air. Ikan-ikan berenang kesana kemari dengan bebasnya. Hidup yang tanpa beban, tak pun jua mereka pedulikan dengan siapa akan berpasangan, begitu pula rizki makanan selalu saja datang saat lapar menjelang.
Kuakui, perjuangan pertama Dana dengan memilih kebun bibit sebagai lokasi pendekatan persuasif sangatlah tepat. Hatiku terasa tenang dan tentram saat menyatu bersama alam. Perhatian Dana sepanjang siang hingga sore juga begitu besar. Tak ada ucapan cinta, tak ada paksaan cumbu, ia biarkan semua mengalir tulus mengisi jiwaku. Teduh hati Dana tergambar bagai pualam.
——-
Bulir imaji masa depan,
Bagai terlukis jelas,
Mengalir di pelupuk mata,
Meresap hingga ke jiwa.
Namun gundah tak jua sirna,
Rasa takut melekat memaksa,
Hanya demi kasta,
Koyak moyak hati merana.
Duh Pengeran kang Moho Wicaksono,
Paring pitutuh dumateng kawulo,
Paring pitulung awratipun lelakon,
Kocap kacarito sageto dados bungahing sukmo.
Kupasrahkan jalanku,
Upayaku mengiringi-Mu,
Bait kisah yang baru terukir,
Semoga menjadi awal yang berseri,
Menuju hari-hari indah esok hari,
Imaji menjadi realiti.
Bersambung
Pembaca setia Kisah Malam, Terima Kasih sudah membaca cerita kita dan sabar menunggu updatenya setiap hari. Maafkan admin yang kadang telat Update (Admin juga manusia :D)
BTW yang mau jadi member VIP kisah malam dan dapat cerita full langsung sampai Tamat.
Info Lebih Lanjut Hubungin di Kontak
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂