Skala Kehidupan Part 13
ANTARA SENANG DAN SEDIH
Aku mengawali hari minggu dengan senyuman, bagaimana tidak kesulitanku sudah bisa di atasi. Ternyata Tuhan masih sayang aku, sekarang aku sudah mempunya motor bekas yaitu matic milik salah satu pabrikan Jepang. Hpku juga sudah ganti android. Sekarang fokusku adalah menabung untuk bisa berkuliah. Aku sudah tidak ada rencana berwirausaha seperti dulu, aku kepengen karier di perkantoran. Setelah lulus kuliah nanti, aku berencana melamar pekerjaan yang bisa membuat aku sukses.
Hari ini aku berencana untuk bersilaturrahmi kepada Pak Karim. Sudah hampir 4 tahun aku tidak ke sana, sebagai mantan anak asuh dulu aku masih ingin menyambung silaturrahmi dengan Pak Karim, urusan dengan Bu Juleha aku bertekad sebisa mungkin aku hindari. Aku tidak ingin merusak hubungan keluarga orang lain. Aku takut karma seperti kemarin. Aku bertekad menjauhi segala hal yang merugikanku.
Akupun membuat kopi terlebih dahulu untuk mengembalikan semangatku, sambil melamun masa lalu dimana sewaktu aku ikut pak karim, affairku dengan Bu Juleha, cinta monyetku dengan Ine, terakhir affairku dengan Yunita membuat toleku menggeliat dari dalam celana. Sudah sekian lama toleku tidak di asah. Apakah masih bisa perkasa apa tidak ya? Dulu waktu masih sama lekha, mantan pacar yang membuat aku jatuh ke jurang toleku beberapa kali membuat pingsan Lekha. Tapi entah sekarang, semoga masih perkasa.
Pikiran-pikiran mesum aku alihkan, aku gak mau ketika bertemu Bu Juleha nanti toleku masih menggeliat, bisa malu aku, dan pertahananku bisa runtuh nantinya. Setelah bermain game di hp dan menghabiskan kopi sambil merokok aku berniat mandi dan segera ke rumah Pak Karim, biar sampai rumah lagi tidak sore.
Dengan mengenakan kemeja dan celana jeans, tak lupa jaket dan sepatu. Aku mulai memanasi mesin motorku. Dengan berdoa terlebih dahulu aku mulai menjalankan motor yang akan memakan waktu kurang lebih 2 jam ke rumahnya Pak Karim.
**
Setelah dua jam berlalu, aku sudah mulai memasuki kota. Akupun bernostalgia dengan melewati STMku dulu. Tepat di depan STM terdapat warung yang dulu aku sering nongkrong sama temen-temen bajindul dan SSL, aku pun mampir sekedar menghilangkan dahaga sambil sedikit bernostalgia.
“Mas, es capuccino satu ya?”ucapku kepada penjaga warung.
“Siap mas”
“Mas Anton kemana mas?”
“Di rumah mas, kalau hari minggu beliau di rumah, aku yang menjaga warungnya. Btw kok kenal mas Anton mas? Kok gak pernah lihat masnya sebelumnya” ucapnya.
“Iya mas, lama gak kesini, dulu waktu masih siswa STM nongkrongku di sini mas, tapi semenjak lukus sudah jarang ke sini”Jawabku
“Oh gitu makanya kok asing wajahnya”
“Lha masnya sendiri apanya mas Anton? ohya kabar mas anton gimana Mas? Sehat aja kan?” tanyaku
“Mas Antonnya sehat mas, aku karyawannya mas, mas anton sekarang nengokin mbok Nomnya (istri muda) mas, makanya kalau hari minggu aku yang jaga full seharian” ucapnya menjelaskan.
“Wow.. mas Anton makin tua makin menjadi donk mas. Wkwkwk”
“Makanya itu, tua-tua gak malah tobat, eh malah nikah lagi”
“Hahaha. Keren itu mas”
“Hahaha.. ini mas es capuccinonya.”
“Siap makasih mas, tak duduk di situ sambil nostalgia jaman STM” ujarku
“Siap mas di sekecaaken (dinikmati)”
Akupun duduk di deket trotoar jalan sambil memandang sekolah tercintaku dulu, banyak kenangan disini, sambil mengeluarkan rokok dan mengenang masa mudaku dulu. Sekarang se udah agak bangkotan ( tua). Hehe.
Setelah es capuccinoku habis, akupun segera undur diri untuk menuju rumahnya Pak Karim.
“Sudah mas, berapa mas esnya?”
“5ribu mas, kok cepet mas? Mau kemana?” tanyanya.
“Mau ke rumah mantan majikanku dulu mas, maklum aku orang desa, sekolah disini aku dku sambil jadi pembantu mas. Oh iya salam ya ke mas Anton. Bilang aja dari Untung”
“Siap mas, hati-hati”
Setelah berpamitan kepada karyawannya Mas Anton, aku pun mengendarai motor menuju rumahnya Pak Karim. Hanya waktu 5 menit aku sudah sampai rumahnya.
“Kok sepi ya rumahnya?”gumamku
Akupun mengetok pagar rumahnya.
Ting.. ting.. ting.!!
Bunyi pagar besi berkumandang nyaring, tapi tidak ada orang yang keluar. Aku mengetok pagar selama 5 menit lagi. Masih tetap gak ad orang yang keluar. Aku berpikir sejenak, kemudian aku menstater motor ke arah gudang. Aku berpikiran mungkin Pak Karim ke gudang meubelnya.
Sesampainya disana, gudangnya juga sepi. Aku baru ingat kalau sekarang hari minggu, jadi pekerjanya Pak Karim libur. Huft. Masak sia-sia aku ke sini. Aku pun balik kanan menuju rumahnya Pak Karim. Kalau nanti gak ada orang lagi ya terpaksa aku kembali ke rumah.
Ting. Ting.. ting
Masih gak ada orang meskipun aku beberapa kali mengetok pagarnya. Masih juga gak ada orang, karena sudah putus asa aku balik kanan menuju motorku dan menstaternya. Ketika hampir saja aku mulai jalan, tiba-tiba ada orang keluar dari pintu depan rumahnya Pak Karim. Aku juga gak tahu itu siapa karena wajahnya belum pernah aku temui.
“Cari siapa mas?” ucap wanita itu
“Pak Karimnya ada mbak?”
“Masnya siapa?”
“Saya Untung mbak, dulu pernah kerja di Pak Karim jadi pembantu disini”
“Oh. Mas untung. Masuk-masuk mas. Saya pembantu baru mas, saya juga udah denger nama mas Untung dari Ibu juragan. Cuma kan saya gak tahu wajahnya mas Untung. Hehe”
“Iya mbak, semenjak balik ke kampung saya gak permah kesini. Makanya mbaknya gak mengenal saya. Hehe. Btw Pak Karim ada kan mbak?”
“Ehhmmm. Masuk dulu mas nanti saya ceritain”
“Oke mbak” jawabku tanpa pikir panjang.
Akupun memasukkan motorku ke halaman rumah pak Karim. Kemudian mulai masuk ruang tamu dan duduk di situ. Sedangkan mbak pembantu itu masuk ke dalam rumah entah ngapain, akupun menunggunya.
Kemudian mbak pembantu keluar membawa nampan berisi teh dan cemilan. Setelah menghidangkan, baru pembantu menjelaskan kalau Pak Karim opname di rumah sakit, sudah 3 hari lalu pak karim di rawat di rumah sakit.
“Sakit apa mbak Pak Karim?”tanyaku sambil kaget mendengar ceritanya mbak pembantu.
“Sakit stroke mas, gak tahu kenapa tiba-tiba saja pagi itu Bu Juleha berteriak dan menangis karena badan Pak Karim gak bisa di gerakkan. Padahal sebelum itu beliau sehat-sehat aja lho mas” ucap pembantu menjelaskan.
“Sekarang di rumah sakit mana mbak Pak Karim? Saya mau menjenguknya”
“Rumah sakit husada mas, untuk nomer kamarnya saya gak tahu mas”
“Yaudah mbak nanti tak tanya perawatnya saja. Kalau gitu saya tak langsung kesana mbak”
“Iya mas, di minum dulu tehnya mas”
Setelah meminum teh, aku langsung mengambil sepeda motor dan langsung meluncur ke rumah sakit. Sesampainya di sana, aku segera parkir dan berlari ke arah meja resepsionis.
“Mbak permisi mau tanya, pasien atas nama Ahmad Karim ada di ruangan apa ya?dan kamar nomer berapa?”
“Sebentar saya check dulu mas”ujar petugas rumah sakit.
“Oh ini kamar vvip nomer 6 mas”
“Makasih banyak mbak”
“Iya sama-sama mas”
Akupun segera berlari di koridor rumah sakit untuk mencari kamar Pak Karim di rawat, setelah menemukan terlihat ada dua pasang sepatu. Sepertinya itu milik Bu Juleha dan Ine, kemudian aku segera mengetok pintu.
Tok.. tok.. tok !!
Kriet !!
“Assalamualaikum Bu, Mbak”
“Waalaikum salam, Untung !!” jawab Bu juleha sambil kaget, tidak percaya tiba-tiba aku datang ke sini karena setelah lama aku menghilang bagai ditelan bumi.
Aku menatap Pak Karim yang dimana tangannya terpasang infus, matanya terbuka tapi memandang ke langit dan pandangannya kosong. Beliau terlihat pucat dan lemah. Secara tidak sadar aku sedikit mengeluarkan air mata sebagai rasa haru terhadap kondisi Pak Karim. Orang yang sudah sangat berjasa kepadaku, orang yang sudah aku anggap sebagai orang tua keduaku setelah Bapak dan Ibu. Aku teringat pengkhianatanku selama ini, karena telah bermain serong dengan istrinya. Sungguh aki sangat berdosa kepada Pak Karim.
Aku sampai lupa dengan keberadaan Ine dan Bu juleha. Sampai-sampai aku tidak sadar ada badan yang mendekapku sambil menangis.
“Hiks.hiks..hiks.. Bapak Ntung, Bapak. Hiks..hiks..hiks”
“Ke..kena..pa dengan Bapak Bu?” tanyaku terbata-bata sambil perlahan aiu sedikit mengeluarkan air mata.
“Ba..pak sss..trokee Ntung, hiks.. hiks..hikss”
Akupun tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya terdiam bahkan membalas pelukan Bu Juleha aja tidak, padahal payudara Bu Juleha menempel erat di dadaku. Bagi orang normal pasti ssenjata pamungkasnya akan berdiri, tapi tidak berlaku bagiku. Nafsu masih kalah dengan perasaan haru melihat badan Pak Karim tergeletak lemah tak berdaya di atas kasur rumah sakit.
Selang beberapa detik, tangisan Bu Juleha berhenti dan beliau melepaskan pelukannya. Kemudian aku menjulirkan tangan dan salim kepada Bu Juleha, tak lupa mencium tangannya. Pandanganku aku arahkan ke mbak Ine yang sedang duduk dengan wajah yang pucat juga dan sayu, pandangannya juga sayu. Mungkin sedih melihat bapaknya yang sedang terbaring lemah itu. Tapi aku melihat perubahan didiri Mbak Ine ini. Terlihat badannya sedikit menggendut, padahal dulu badannya kurus tapi agak sedikit sintal.
Akupun tersenyum dan menyalaminya, terlihat mbak Ine tersenyum sedikit sambil menyalamiku. Setelah dari mbak Ine, aku menuju Pak Karim dan langsung memegang tangan beliau. Tak lupa aku mencium tangannya tanda hormatku kepadanya. Tidak ada pergerakan sama sekali dari anggota tubuhnya, wajahnya pun masih tetap sama menegadah ke atas.
“Pak Karim, saya Untung” sapaku kepadanya. Terlihat dia diam sambil tstapannya kosong.
“Saya mohon maaf sebesar-sebesarnya pak, tidak pernah menjenguk Bapak. Sa..saya gagal membangun usaha di Desa Pak, sa..ya terlena pak kemudian sa..ya terpuruk, dan hp sa..ya juga hilang. Ja..di saya tidak bisa berkomunikasi dengan Bapak. Sa..ya tidak mau merepotkan Bapak lagi. Tapi Alhamdulillah saya bisa bangkit Pak, sekarang saya kerja di pabrik yang dekat dengan Desa. Jadi saya mohon maaf sebesar-besarnya Pak” ucapku sambil terbata-bata. Tak terasa air mataku keluar semakin deras. Setelah berkata itu tak kupa aku kembali mencium tangannya Pak Karim.
Terlihat Pak Karim meskipun pandangannya kosong, tapi di pelupuk matanya terdapat air mata yang menandakan beliau masih bisa mendengar perkataanku. Karena sakitnya, mungkin beliau tidak bisa berbicara jadinya tidak menanggapi ucapanku.
Setelah situasi agak tenang, tiba-tiba datang perawat dan dokter untuk mengecek kesehatan Pak Karim. Terlihat Bu Juleha berbincang-bincang dengan dokter dan perawat menanyakan perkembang kondisi Pak Karim, sedangkan aku duduk di sebelah Mbak ine. Terlihat Mbak Ine tetap saja diam tanpa suara dengan memasang wajah sedihnya.
Setelah dokter dan perawat berpamitan dan pergi, Bu Juleha mengambil kursi dan duduk di sebelahku.
“Kamu kemana aja selama ini Ntung? bener apa yang kamu katakan tadi?” tanya Bu Juleha
“Bener Bu, hp saya hilang, dan kondisi saya terpuruk tapi saya juga gak mau merepotkan Ibu dan keluarga, makanya saya mencoba bangkit dengan melamar pekerjaan dan Alhamdulillah saya keterima di pabrik sebelah desa sampai sekarang” ucapku sambil menunduk
“Yaudah yang penting kamu sehat dan bisa bangkit kembali”
“Kenapa Pak Karim tiba-tiba kena stroke Bu?”
“….”
Beliau tampak terdiam sambil melihat Ine dengan tatapan sedih. Akupun binfunf kenapa dia melihat mbak Ine dengan sebegitunya.
“Gak tahu Ntung, H-1 sebelum itu Bapak tampak sehat-sehat aja”
“Apa Bapak punya masalah sehingga mikir terus akhirnya seperti ini Bu” tanyaku. Entah kenapa aku lancang bertanya seperti itu. Aku berpikir saat itu orang sakit pasti ada sebabnya. Dan feelingku mengatakan kalau stroke itu asal muasalnya dari beban mikir yang berat.
“…”
Bu Juleha tampak terdiam sambil mikir.
“Iiyaa.. Bapak ada masalah yang berat Ntung, makanya langsung terserang penyakit stroke ini” sahut Mbak Ine.
“Kalau boleh tahu masalah apa mbak?Bu?”tanyaku sekali lagi.
“Belum saatnya, kapan-kapan aku beritahu, kasian Bapak kalau mendengar”jawab Bu Juleha dengan suara yang pelan. Intinya aku tidak boleh bertanya aneh-aneh dulu. Karena meskipun Pak Karim tidak bisa menggerakkan badannya tapi telinganya masih bisa mendengar.
Aku yang awal penasaran, pada akhirnya hanya mengangguk pelan dan menghormati jawaban Bu Juleha.
“Sayang, kamu dari tadi belum sarapan lho. Ayo makan dulu” tiba Bu Juleha berbicara kepada Ine.
“Belum lapar ma” jawab Mbak Ine.
“Jangan gitu, nanti kamu sakit sayang dan juga kasian si….” Bu Juleha berhenti berucap. “Udah ayo makan dulu, jangan buat papa sedih lagi. Nanti semakin parah lho kondisinya” ujar Bu Juleha
“Ntung, bisa minta tolong gak?anterin dan temenin Ine mencari makan” ujarnya lagi kepadaku
“Iya bisa Bu. Kalau Ibu sudah makan belum?”
“Ibu gampang, nanti bungkusin aja. Ibu disini nungguin Bapak. Nih kunci mobil buat antar Ine”
“Baik Bu” ucapku. “Ayo mbak aku temenin makan” ujarku kepada mbak Ine sambil mengambil kunci mobil dari tangan Bu Juleha.
Kemudian Ine berdiri dan mengambil tasnya. Dan terlihat Bu Juleha mengambil dompet dan menyerahkan sejumlah uang kepadaku. Aku yang paham itu uang untuk mbak Ine makan segera aku mengambilnya. Kemudian aku berjalan mengikuti mbak Ine keluar kamar dan menuju parkiran mobil.
Setelah memasuki mobil, aku mulai melajukan mobil Bu Juleha keluar halaman rumah sakit. Tampak mbak ine masih saja diam tanpa bersuara.
“Mbak, mau cari makan dimana mbak?”
“Di rumah makan Nikmat jalan XXX aja” jawabnya dengan cuek
“Oh disitu. Oke mbak”
Akupun melajukan mobil menuju warung nikmat, aku sudah tahu lokasinya karena aku sudah lama tinggal di kota. Suasana di dalam mobil cukup hening, aku mau bertanya aneh-aneh takut kejadian sewaktu aku pertama kali menginjakkan kaki di rumah Pak Karim. Ngeri-ngeri sedap kalau mengingat itu, takut di musuhi lagi, di bentak, di jutekin.
Sesampainya di rumah makan, mbak Ine langsung memesan seporsi makanan, aku pun juga ikut-ikutan makan karena perut juga lapar, dan tak lupa kami membungkus makanan untuk Bu Juleha. Sambil menunggu hidangan aku dan mbak Ine saling diam. Terlihat mbak Ine main hp sendiri. Karena terjadi kecanggungan, akupun berinisiatif untuk mencairkan suasana.
“Sudah lulus kuliah kedokteran mbak?” Tanyaku. Tampak mbak Ine masih diam tapi tak berapa lama dia menutup hpnya.
“Kalau lulus s1 sudah, tapi sekarang aku masih koas” jawabnya. Aku hanya bisa manggut-manggutkan kepala saja.
“Kurang berapa bulan lagi koasnya selesai mbak?”
“Gak tahu, tergantung pembimbing dokter senior, apalgi aku cuti ijin sekarang kayaknya bakal lama”
“Ooh gitu, iya mbak, gimana lagi kondisinya yang gak memungkinkan. Mungkin kalau Pak Karim sudah sembuh bisa masuk lagi koasnya”
“Iya. Kamu apa kabar? maaf ya gak bisa datang sewaktu kakekmu meninggal. Aku sibuk persiapan kelulusan dan koas itu”
“Iya mbak gak apa-apa. Aku mengerti kok. Sehat mbak seperti sekarang. Mbak gimana? Agak gendutan sekarang kakau aku lihat mbak?”
“ehh.. ehhmmm.. emhhmm” jawabnya yang seperrinya kebingungan.
“Hahaha. Berarti hidup mbak aman, nyaman, makmur dan tentram. Makaanya kelihatan gendut. Hehe”
“Hehehe. Iya”
“Masih sama cowok yang dulu mbak?” tanyaku agak kepo
“Yang mana?”
“Yang namanya kalau gak salah Gilang”
“Udah putus lama itu”
“Lah.. aku kira masih sama itu mbak. Terus siapa donk pacarnya sekarang?”
“Ada deh. Mau tahu aja”jawabnya sambil memeletkan lidah.
Berhasil, tadinya wajah mbak Ine sendu yang cenderung sedih akhirnya sekarang sudah mulai tersenyum dan suasananya jadi cair. Akhirnya kita bercanda gurau sambil makan makanan masing-masing.
Setelah makanan habis, kita segera kembali ke rumah sakit sambil masih bercanda. Tapi sampai saat ini, aku rasa sepertinya ada sesuatu yang di sembunyikan mbak Ine dan Bu juleha. Ahh aku juga gak mau kepo, kalau mereka berdua cerita aku akan membantu mencari solusi atau membantu menyelesaikan masalah itu.
Setelah sampai rumah sakit, kita segera menuju kamarnya Pak Karim dan kita menjaga beliau di rumah sakit. Dan Bu Juleha sempet ijin pulang ke rumah untuk membawa baju tambahan.
Saat malam tiba, sebenernya Bu Juleha memintaku untuk menginap di rumah Pak Karim menemani Ine, tapi karena aku besok kerja di Pabrik maka aku menolaknya dan berjanji Minggu depan akan kesini lagi. Tak lupa, Bu Juleha meminta nomer hpku agar bisa berkomunikasi lagi. Bukan berkomunikasi mengulang hubungan yang sempat renggang tapi hubungan selayaknya Ibu dan anak.
Sejak tadi Bu Juleha tidak pernah menyinggung soal hubungan kami, Bu Juleha mungkin sudah tidak mau mengulang hubungan kami terdahulu, aku pun memaklumi karena kondisi Pak Karim seperti itu, mungkin juga Bu Juleha juga sadar karena sempat mengkhianati Pak Karim dan ingin tobat. Jadi aku juga tidak mau membahasnya dan seakan-akan kita tidak terjadi apa-apa lagi.
Setelah pamit akupun mulai mengendarai motor untuk pulang ke desaku, karena besok pagi aku bekerja di Pabrik. Tepat jam 11 malam aku baru tiba di rumah. Setelah bersih-bersih dan butuh istirahat. Tak lama kemudian aku terlelap.
(Bersambung)