Nirwana Part 77
Seorang Anak di Jalan Pulang
Yang terlihat hanyalah Sawah yang mulai bersemi dan membentang sepanjang mata memandang, membentuk undak-undakan yang berkilau keemasan.
Sepeda kumbang itu bergerak terburu di antaranya, terhuyung di jalan tanah yang basah setelah hujan sepanjang hari. Gerimis masih berderai turun, menyisakan beberapa helai rintik tipis dari balik langit senja yang berwarna jingga, dan lengkungan raksasa yang membentang berwarna-warni.
Semua seperti deja vu. Pemandangan saat Ava sampai di Ubud, pemandangan saat Ava dan Indira bersepeda.
Ava dan Indira terduduk di situ, memandangi langit dan pelangi senja.
Kapan kamu pulang? Indira bertanya, menggenggam tangan Ava.
Besok, diantar Kadek.
Indira terdiam lama, memandangi pantulan wajahnya di atas riak air sungai yang berkilau jingga.
Ava, sebenarnya aku ingin ikut sama kamu, aku ingin punya anak kembar yang lucu, mengajari mereka melukis, ngajak mereka ke Pura.
Ngaji, cepat Ava meralat.
Indira tersenyum, getir. Menyadari mereka berdua begitu berbeda.
Tapi apa artinya kita bahagia, kalau semua orang sedih? Indira kembali berkata, getir.
Iya juga, ya… Ava berucap, tak kalah getir.
Ava tersenyum pahit, menggandeng tangan Indira erat-erat.
Aku… sekarang ngerti… Indira menunduk, mulai memahami alasan Dewa, kekasihnya dulu mengambil keputusan. Ava, kadang-kadang aku berpikir. kok bisa ya, aku sama kamu… padahal kita jelas beda… dan hubungan ini jelas-jelas nggak ada ujungnya. Indira menelan ludahnya yang terasa sangat pahit.
Mungkin memang begini jalannya. Ava mengusap kepala Indira yang perlahan terisak.
“Ava, aku sayang kamu…”
“Saya… juga….”
Tangis itu memecah di sela angin sore, di bawah rintik hujan dan lengkung pelangi.
“Indira, kamu harus kuat, ya… rajin belajar…”
Iya… Ava, jangan lupain aku, ya…
Iya…
Kalau kamu punya galeri, aku boleh mampir ya..
Iya…
Indira tak berkata, tangis itu kembali memecah, semakin keras, semakin memilukan. Namun Indira bejanji pada Ava, pada dirinya sendiri, inilah tangisan terakhirnya untuk Ava.
Ava tersentak dari tidurnya. Bus Antarkota yang membawanya pulang ke Kroya berhenti mendadak, masalah mesin.
Tidak ada Indira di sampingnya, tidak ada Sheena di sisinya, hanya udara panas dan aroma keringat yang memenuhi udara. Di sinilah dirinya, di antara hamparan kenyataan.
Semuanya terjadi seperti mimpi. Sebuah mimpi indah, namun harus terjaga di suatu pagi.
Indira seperti pelangi, lengkungan spektrum warna yang menghiasi langit tanpa diminta. Mewarnai langit yang murung setelah hujan dengan sekian gradasi warna, sebelum menghilang tanpa sempat berucap pamit kepada langit.
Justru karena kita tahu pelangi akan hilang, semua jadi lebih indah, kan? Karena kita tahu semua cuma sementara, maka setiap detiknya lebih berharga.
Ava tidak bisa melupakan kalimat itu, kalimat terakhir yang diucapkan Indira, sesaat sebelum mereka berpisah, menempuh jalan masing-masing, mencari Surga masing-masing. Mengapa selalu ada saat, ketika kita harus saling berucap selamat tinggal?
Ava menyadari kita semua mencari akhir yang bahagia, mencari sebuah Paradiso. Namun, dirinya juga menyadari Paradiso-nya dan Indira begitu berbeda.
Termangu, pemuda itu menghisap rokok di pinggiran warung, menunggu Bus selesai diperbaiki. Sampai ketika sayup-sayup telinganya menangkap sesuatu. Suara yang dulu demikian merdu dan mengalun bertalu-talu di kampungnya, namun makin lama meredup dan menjadi sebuah ganggu yang mengusik tidurnya tiap pagi.
Suara itu seperti pisau bedah yang mengoyak kenangan yang seharusnya sudah Ava lupakan. Dan ingatan itu kini meruah seperti air bah yang memenuhi otaknya: bagaimana waktu kecil ayahnya membelikannya sarung dan peci, bagaimana ia berlarian bersama teman-temannya menuju surau, dan mengeja ayat-demi ayat dengan terbata.
Suara itu semakin keras. Hatinya semakin berguruh, semakin riuh.
Mesin Bus kembali menyala, tanda hidup harus tetap berjalan. Namun, kali ini Ava memilih menepikan hidupnya di sebuah Surau di sudut jalan itu.
Ava melepas alas kakinya, melangkah masuk. Pemuda itu menziarahi rumah yang telah lama ia tinggalkan. Namun Sang Pemilik Rumah itu selalu membuka pintu, untuk kembalinya seorang musafir yang tersesat di jalan panjang menuju Paradiso.
Aku pulang , bisik Ava.
kusetubuhi berbagai warna capung. kali ini waktunya
kudiamkan mataku dari kelebat cahaya paha: mengapa
tetap kau inginkan warna dosaku?
.
Rasanya aku harus diam di rumah sendiri. sujud dan
zikir hingga habis Ramadhan ini. aku telah
khatam, tapi mana jalan menuju pangkuan-Mu?
.
Dalam pengasingan ini, kueja nafas sungai. Kurasakan
sakit hati lumpur dan ranting. juga lumut yang
belum mau hijrah dari nuraniku
.
Tuhan, bagaimana caraku mengubur lumpur,
ranting, dan lumut di Lahan Kosong-Mu?
To Be Continued