Nirwana Part 76

Langit Terbuka Luas, Mengapa Tidak Pikiranku, Pikiranmu?

Muncul jeda 3 detik yang aneh, 3 detik cangggung ala FTV murahan, saat ketiganya berpandangan.

“Indira, tunggu!” secepat kilat, Sheena meraih tangan Indira.

“Kak Na, lepas!” isaknya pelan.

“Dengerin dulu!” Sheena menekankan, “Aku jelasin.” setengah berteriak, ia menahan Indira yang memberontak.

Banyak hal yang harus dijelaskan, entah harus dimulai dari mana. Semuanya menjuntai rumit seperti rangkaian benang kusut yang saking membelit.

Sheena hanya mendekap Indira erat-erat, membiarkan dadanya dipukuli; sebelum akhirnya Bidadari kecil itu kehabisan tenaga. Indira sudah terlalu letih, dirinya sudah terlalu lelah mencari tempat bepijak. Kini yang tersisa hanyalah isak tangis yang memecah dalam pelukan Sheena. Lirih dan memilukan.

Indira mengerjap terjaga, mendapati tubuh mungilnya diselimuti jaket army milik Ava. Sepasang matanya yang baru membuka segera disapa oleh dinding-dinding kamar sempit milik Bob dan hiasan rasta yang memenuhi.

Terdengar suara ombak di antara keheningan saat Indira melangkah ragu dalam Bar yang temaram. Sayup-sayup indira bisa melihat langit malam perlahan beranjak pagi, menampakkan sekelumit putih di antara gelap pekat yang membekap.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =​

Ada sepasang siluet di tepi pantai, terduduk di depan unggunan api yang menyala malas, menikmati secangkir kopi panas dan petikan gitar yang mengalun malu-malu. Semalaman mereka berbincang, tentang Awan, Langit, dan Hujan, tentang perasaan yang tak tersampaikan, tentang kisah yang belum terselesaikan.

Ava dan Sheena saling pandang, mencoba menemukan sebuah akhir bagi kisah mereka, mencoba menemukan sebuah konklusi yang tersembunyi di dalam relung-relung korteks serebri. Homunculus-homunculus mereka berbicara, tanpa perlu satu potongpun aksara.

Sheena menatap mata Ava sejenak, hanya untuk menyadari bahwa sosok yang dicintainya selama ini telah mati bersama Awan. Sheena tersenyum getir. Pandangannya tak lagi yakin, melainkan perlahan meragu, sebelum akhirnya meredup.

“Bukan saya yang kamu cari,” Ava berkata lembut.

Sheena tersenyum tipis bercampur getir. “Bahkan aku nggak tahu lagi apa yang aku cari.”

Keduanya terdiam, membiarkan desau angin mengambil porsi dalam percakapan itu.

Indira beranjak mendekat, perlahan menangkap pembicaraan dua orang itu.

“Bagaimana kita bisa menemukan sesuatu kalau bahkan kamu sendiri nggak tahu apa yang dicari?”

“Entah… deh.”

“Atau mungkin… sebenarnya malah tidak ada yang kamu cari?”

“Maksud… mu?”

“Saya pikir semua itu bermula penyesalan. Sedangkan penyesalan itu nggak akan membawa kita kemana-mana. Semua berputar di tempat yang sama, nggak bakalan ada ujungnya. Karena kamu, kita sebenarnya nggak mencari apa-apa.”

Muncul tawa kecil, “kenapa kamu mendadak jadi filsuf begini.”

Ava membalas tawa itu, menghirup kopi hangatnya sambil memandangi langit subuh yang perlahan membuka. “Yang kita bisa cuma satu… menerima.”

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =​

Sedikit ragu Indira mendekat. Apa yang dilihatnya semalam sempat menimbulkan beberapa prasangka, namun Indira kini mengerti, meski cerita yang dituturkan Sheena benar-benar sulit untuk dipercaya.

Dirinya tak bisa membantah, ada sesuatu yang berbeda di diri Ava, gestur tubuhnya, caranya berbicara, semua tak lagi sama dengan Ava yang dulu dikenalnya. Indira menarik nafas berat, kali ini ia seperti berhadapan dengan seorang pemuda yang sama sekali berbeda.

“Tapi kamu yakin dengan keputusanmu?” Sheena kembali bertanya.

“Yakin.” Ava menjawab mantap.

“Ehem,” Indira berdehem kecil, membuat dua orang itu sontak menoleh.

“Eh, Indira? udah bangun?” Ava menoleh ketika melihat Indira berjalan mendekat. “Kalau sudah terang baru kita balik ke Ubud, ya…”

Indira tersenyum kecil, merapatkan jaketnya, duduk di sebelah Ava dan Sheena.

Suara ombak mendayu, mengiringi ketiga orang yang masih mendiamkan. Malam masih menyisakan semburat rembulan yang menyisip dibalik awan, bintang-bintang masih nampak, berkedip redup dan malu-malu.

“Ava, kamu benaran mau pergi?”

Ava tak menjawab, mengangguk pelan. Indira menggamit lengan Ava, membenamkan wajahnya di sana.

Hening, lama. Kesunyian saling mengisi dengan semilir angin dan sayup ombak. Indira meremas tangan Ava, mencari penguatan.

“Ava, aku ikut kamu,” akhirnya Indira berkata. “Kamu ke Kroya, ke ujung dunia, aku ikut. Kita hidup di bawah langit yang sama, dan kita menuju Surga yang sama,” ucap Indira mantap.

“Nggak. Itu nggak benar.”

“Lebih nggak benar dari ‘yang kita lakukan selama ini’?” Indira menekankan. ”Kamu munafik. Aku nggak perlu persetujuan kamu. Aku cuma ingin kamu ada buat aku. Aku ingin kamu ikut berjuang, demi aku, demi kita!”

“Saya nggak bakal mau bawa kamu kawin lari. Itu sama saja mengkhianati Ajik.”

“Pengecut.”

“Saya yang bakal minta kamu ke Ajik,” tandas Ava pasti. “Saya yang ngelamar kamu ke Ajik. Pagi ini.”

Indira terngangga dengan ucapan Ava. Indira tahu, perkataan Ava itu seperti mengambar di atas pasir. Sama muskilnya dengan memaksa bumi untuk tidak mengorbit matahari.

Namun sepasang mata itu, sepasang lengan yang memeluknya, seperti memberi kekuatan. Bersama Ava, Indira merasa bisa menjadi siapapun. Bersama Ava, Indira merasa sanggup melangkah kemanapun.

Ke Timur ataupun ke Barat, ke Mekah atau ke Sungai Yamuna, kita melangkah di bawah langit yang sama.

“Kita hadapi sama-sama,” ucap Ava, mantap.

Indira tak menjawab, karena matanya dipenuhi air yang siap merapuh, dan dadanya dipenuhi gejolak yang siap bergemuruh. Bertahun-tahun Indira terkungkung dalam hukum adat yang membatasinya, namun belum pernah dirinya merasa sebebas ini.

Di atas mereka langit pagi membuka luas, bagaikan menelan mereka dalam harapan yang tak berbatas.

Apapun akhir kisah ini, Indira tahu sesuatu: dirinya sudah tak akan kehilangan apa-apa lagi.

Que Sera, Sera…

Whatever will be, will be.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =​

Sheena tersenyum kecil, melihat dua orang itu saling peluk. Apa yang lebih membahagiakan selain melihat orang yang kau sayang bahagia? Selama bertahun-tahun Sheena ingin menemukan langit, tempat dirinya bisa melepaskan segala duka-nya, tempat bernaung dari masa lalu yang menghantuinya.

Sheena sudah mencari ke sembilan penjuru mata angin, namun yang dicari itu ternyata tak berada di mana-mana. Sheena kini menemukan langitnya, bukan Ava, tidak juga Sora.

Langit itu adalah dirinya sendiri.

Pengampunan itu ada di dalam dirinya sendiri.

Sheena tersenyum bahagia, untuk pertama kalinya, Sheena merasa lega. Dadanya terasa lebih lapang dari segala langit dijadikan satu, bebannya bebas seperti angkasa yang tak berbatas.


Aku telah menemukan langitku.

Aku adalah langit itu sendiri.

Dan kini aku bebas…


= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

Fragmen 73
Langit Terbuka Luas, Mengapa Tidak Pikiranku, Pikiranmu?

 

Langkah kaki begerak
Berbungalah, walaupun nanti
Bernyanyilah, suatu saat kita akan berjumpa
.
Satu dari semua
Yang mungkin dapat berjalan kembali
Saatnya… saatnya…
Terbang, tanpa arah
Teruskan kembali langkah kita…
.

Tak akan mungkin angin ramah memanggil
Mungkin kita akan berlari
Terbang…
Terbang, tanpa arah…
Teruskan kembali langkah kita

Hanyalah pemadangan sawah bertingkat-tingkat yang indah. Matahari bersinar redup di langit pagi tanpa awan, menyisakan silau di balik kacamata hitam Ava yang bundar besar.

Skuter matic yang ditumpangi Ava dan Indira berjalan perlahan melewati jalan kecil berkelok di tengah persawahan, mereka sedikit melambat saat melewati sekumpulan petani yang berangkat ke sawah.

Sheena mengikuti dengan motor Honda 7-C Block milik Bob dari belakang, dan di ujung sana sudah nampak Villa Pak De, dan sebuah akhir dari sebuah kisah.

Sebuah perjalanan panjang menuju: Paradiso.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =​

Indira melirik Ava, dan segera pemuda itu meraih tangan Indira. Mantap, keduanya menaiki undakan, memasuki ruang tamu di mana Pak De sudah menunggu. Suara nafas terdengar sayup-sayup. Udara terasa dingin dan berat, saat ayah dan anak itu saling pandang.

“Dari mana kamu semalam?”

“Ajik nggak perlu ta-“

Kalimat itu tak selesai, tahu-tahu saja Indira mendapati tubuhnya terbenam dalam pelukan ayahnya. Aroma minyak gosok itu, aroma peluh itu, masih sama seperti dulu.

Udara pagi memenuhi ruangan. Dingin, sekaligus hangat di saat yang sama.

“J-jik… I-indira mau bicara.” Suara Indira tercekat, terbenam di dalam pelukan yang membungkus tubuhnya.

“Ajik sudah tahu,” bisik Pak De. Suara itu mengalun lembut, seperti angin yang memenuhi relung hati. “Gus, mai malu[SUP](1)[/SUP].” Pak De terbatuk pelan, suaranya bergetar memberi isyarat kepada Ava untuk mendekat.

(1)Ke sini dulu.

“Jik.” Dengan takzim, Ava mencium tangan Pak De.

Pak De duduk di kursi panjang, diapit Ava dan Indira. Lama dipandanginya pemuda itu, sepasang mata yang menatap mantap, dan tanpa keraguan.

“Gus,” Pak De berucap, menepuk pundak Ava, “dari pertama kamu kemari, saya tahu semuanya bukan kebetulan.”

Mau tak mau, Pak De mengakui, kehadiran Ava di rumah itu membuat perubahan besar bagi sebuah keluarga yang murung karena kehilangan mataharinya.

“Gus, saya sayang kamu. Saya selalu membayangkan bisa punya anak seperti kamu. Saya ingin punya pewaris seperti kamu.” Pak De menekankan.

“Ajik… lebih dari guru saya. Ajik… sudah saya anggap sebagai ayah.” Ava membalas memeluk tubuh Pak De.

Sang Maestro terenyuh, mengusap kepala Ava, lembut.

“Saya cinta Indira, Jik. Saya akan membahagiakannya.” Ava berucap mantap. “Tapi nggak di sini.”

Hati Pak De seperti hancur mendengar perkataan Ava terakhir. Dengan mata berkaca, lelaki tua itu menoleh ke arah Indira. Lembut, diusapnya rambut Indira perlahan.

Dada Indira terasa sesak, “maafin Indira, Jik… tapi Indira cinta… Indira benar-benar sayang sama Ava.”

“Gek… Ajik tahu kamu cinta sama Ava…” Pak De mengusap rambut Indira.

“Maafin Indira, Jik… maafin Indira…” Indira berlutut, menciumi lutut Ayahnya.

Pak De mengusapi punggung Indira, dengan mata yang berkaca-kaca. “Maafin Ajik, nggak bisa jadi bapak yang baik… 10 tahun… 10 tahun Ajik nggak pernah peduli sama kamu…. mungkin sudah Karma-nya Ajik juga… nggak bisa jadi bapak yang baik… ”

Tak terdengar jawaban, hanya suara sesengukan yang saling bersahutan.

“Jangan nangis… Gek…”

Suara tangisan semakin menjadi, “maaf.. Jik… maaf…”

Pak De menarik nafas panjang, sebelum tangisnya memecah pelan mengiringi tangis Indira, tangis Ava. “apa pun pilihanmu… kamu tetap Bidadari-nya Ajik…”

Tangis itu meledak. Indira merasa bebas, namun detik itu juga dirinya merasa jatuh ke dalam dekapan hangat itu, dekapan yang lama ia rindukan.

Aroma minyak urut yang khas itu, aroma keringat ayahnya yang dulu waktu kecil menemaninya. Tangan kasar yang membelai pipinya, semua tidak pernah berubah.

“Lho ada apa ini, kok pada nangis-nangisan?” Lucille melangkah mendekat, membawa senampan kue bolu yang mengepul hangat.

Lucille mendekat, duduk di samping Pak De.

“Kak Gede sudah cerita, Gek… nggak apa… nanti biar saya yang merawat Ajik mu…” Lembut, Lucille ikut membelai rambut Indira, memeluk anak yang tak hentinya menangis itu. “Gus, tolong kamu jaga, Indira,” ucap Lucille, menepuk pundak Ava.

10 Tahun berlalu, baru kali ini Indira merasakan kehangatan, pelukan sepasang orang tua yang selama ini ia rindukan.

Tanpa bisa ditahan lagi, tangis Indira memecah, lebih keras dari sebelumnya.

Dan Pak De tahu, itu bukan tangisan orang yang hendak berpamit pergi. Itu adalah tangisan seorang anak yang kembali pulang.

Mama…

Lihatlah aku…


Akhirnya aku pulang…

Bersambung

Daftar Part

By Kisah Malam

Kisah Malam adalah sebuah Website yang berisikan Novel Dewasa, Novel Sex, Cerita Sex, Cerita First Time, Cerita Bersambung, Cerina Menarik Lainnya. Dukung Terus KisahMalam.Com Dengan Cara Bookmarks, Dan Nanti Kan Konten Terupdate dari KisahMalam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *