Nirwana Part 74
End of The Endless Dream
Sejak malam itu, dunia terbagi menjadi sepasang dunia yang saling balik membalik.:
Sora, Sang Penidur yang tertidur di alam bawah sadar, terus hidup berusaha menunaikan janjinya kepada Awan. Sora yang berjanji akan menembus Neraka demi menyelamatkan Awan. Sora yang hidup bersama Awan di dalam sebuah dunia yang dibangun dari penyesalan dan rasa bersalah, sebuah kota tua yang tak henti dirudung hujan.
Ava, Sang Pelukis Mimpi yang terlupa, dan mengambil kepribadian Awan untuk bertahan dari trauma yang merenggut sahabatnya. Melupakan Awan, melupakan 4 tahunnya di Nusa Dewata, melupakan imannya.
Ava berdiri di situ, di antara kerumunan peziarah, dan alunan tetabuhan yang asing…
Ava membeku di situ, memandangi patung lembu yang perlahan dilalap api hingga menimbulkan suara bergemeretak yang bersahutan. Asap hitam membumbung ke udara, bersama api yang berkobar-kobar, melahap patung lembu, serta jasad yang terbaring di bawahnya.
Api penyucian, penebusan dosa. Purgatorio.
Kamu sudah ingat semua?
Ava mengangguk. Maaf… maaf… dan ia tak bisa berhenti menangis
Itu bukan salahmu… kamu nggak bisa gini terus….
Ava tak menjawab, terus menangis sesenggukan, sementara asap hitam membumbung ke udara bersama serpihan debu yang berpusar-pusar.
Nggak apa-apa… sekarang sudah nggak apa-apa…
Pendeta memanjatkan doa, Juru Kidung menembangkan sloka, mengiringi seseorang yang akan menempuh perlawatan panjang.
Aku sudah bilang, kan? Selama kamu nggak berani melihat kenyataan, selama itu pula aku akan hidup, sekaligus mati dalam waktu bersamaan…
Alunan musik pemakaman mengalun lamat-lamat, iramanya kian sedih dan memilukan.
Maaf… huk… maaf… ucap Ava berkali-kali.
Its okay… Let me go….
Maaf… maaf… tangis Ava perlahan memecah, pelan… lirih… Aku… nggak bisa menyelamatkan kamu… aku… nggak bisa… aku….
Terdengar letupan dari dalam kobaran api, dan patung Lembu runtuh ke dalam lautan api yang bergelora, seolah hendak ikut menelan Ava ke dalamnya.
Nggak apa… bisiknya, pelan. … ikhlasin aku… let me go… ucapnya berkali-kali, mengusapi rambut Ava yang tak henti menangis, lama, hingga patung lembu kini hanya bersisa rangka, dan Pendeta mulai mengeluarkan abu dan serpihan tulang yang berserakan di bawahnya.
Banyak hal yang ingin aku lakukan sama kamu…Aku ingin memotret Hujan, aku ingin melihat lukisanmu dan Hujan…
Masih terdengar tangis, dan orang-orang mulai meninggalkan pekuburan, meninggalkan asap yang mengepul dari sisa pembakaran.
Langit, jaga Hujan buat aku, ucap Awan sebelum memendar bersama asap yang berputar ke langit kelam.
Sudah cukup lama aku tertidur,
bermimpi demi
menghabiskan waktu denganmu..
Namun mimpi pasti
berakhir pada suatu terjaga
Pada pagi yang pasti tiba…
Kini waktunya membuka mata
Sheena ada saat Ava membuka mata, menatap dengan mata berkaca.
Kamu orang itu, kan? Orang yang mengangkatku dari puing-puing kematian.
Ava tak menjawab, sebelum tangisnya pecah. Awan… kini hanya nama itu terdengar, menghampar di antara isak tangis yang tak habis-habis.
Langit dan Hujan, kini saling memeluk di bawah langit malam, di antara deru ombak.
Di genggaman keduanya, terselip sebuah foto.
Sepasang pemuda yang berangkulan.
Sepasang siluet yang tak bisa dipisahkan.
Langit dan Awan…