Merindukan Kesederhanaan Part 7

Impian Ku, Impian Kita

Dini hari tadi aku di kagetkan dengan suara gedoran pintu kamar ku. Aku sempat bertanya tanya. Siapa ya? Mba endang? Mas rizal? Ga biasanya mereka membangunkan ku dengan kasar seperti itu. Dengan malas aku bangun dan membuka pintu. Masih ngantuk rasanya. Ku tengok jam dinding ternyata masih jam 2 pagi.

“Siap siap! kita pulang sekarang. Barusan Yoga ngabarin ibu sakit, katanya kondisinya terus melemah”

Belum hilang rasa kaget akibat gedoran pintu tadi, sekarang aku mendapat kabar yang lebih mengejutkan. Ibuk sakit?

“Hah? Melemah? Ibuk…”, balas ku pelan.

“Kamu jangan panik dulu. Sekarang udah di rumah sakit. Kamu siap siap ya. Mba mu juga lagi siap siap, aku mau siapin mobil dulu”

“I-iya mas”

Aku lalu bergegas kekamar mandi dulu untuk sekedar mencuci muka. Setelah itu aku langsung balik ke kamar nyiapin baju secukupnya.

Sudah beberapa hari ini ibuk memang lagi tidak enak badan. Aku mengetahuinya saat menelponnya dua hari yang lalu. Waktu itu dia ngeluh badannya sakit semua. Tapi aku tidak mengira akan semakin menurun kondisinya.

***

Setelah menempuh perjalanan sekitar dua belas jam, kami berempat sampai di salah satu rumah sakit di kota jogja. Mba Endang jalan paling depan diikuti mas Rizal dibelakangnya. Sedangkan Aku paling belakang menggendong tiara yang tertidur kecapean. Kasihan mba Endang, dia yang paling kuatir diantara kami berempat.

“Gimana ibu ga?” tanya mba Endang ke mas Yoga saat kami tiba di depan kamar.

“Alhamdulillah sudah mendingan mba, bapak sama binar ada di dalam.”

Mas Yoga lalu mencium tangan mba endang. Kemudian mas Rizal.

“Sehat mas?”

“Alhamdulillah, ibu gimana?”

“Udah mendingan, masuk aja mas.”

“Iya.”

Mba Endang dan mas Rizal kemudian masuk.

“Sehat ian?” mas Yoga menjabat tangan ku. Aku mencium tangannya sambil menggendong Tiara.

“Alhamdulillah, mas sendiri?”

“Ya seperti yang kamu lihat ini, hehe. Ya sudah kamu masuk juga, sini Tiara biar sama aku saja,” pinta mas Yoga. Aku lalu menyerahkan Tiara padanya dan ikut masuk ke dalam.

Mba Endang sudah duduk di tepian tempat tidur sebelah kanan. Ibu ternyata sedang tidur. Aku bisa melihat mata mba Endang sudah berkaca-kaca. Di sampingnya berdiri mas Rizal. Sedangkan di sisi tempat tidur yang lain berdiri Bapak dan Binar. Aku lalu menghampiri mereka.

“Pripun kabare pak?” tanya ku setelah sungkem padanya.

“Sehat le, ibuk mu kui lho mambengi sewengi malah panase ra mudo-mudon,” jelas bapak sedih. Aku lalu menyalami Binar.

“Sehat de?”

“Alhamdulillah mas”

Aku kemudian duduk di tepian tempat tidur. Sama seperti mba Endang, aku mengelus lengan dan bahu ibu. Seolah mau mengatakan “Buk, ini lho anak mu udah pada pulang, ibuk cepet sembuh ya.” Sedih rasanya kalau melihat keluarga lagi sakit seperti ini. Apalagi kalau yang sakit adalah orang tua kita. Kalau bisa ditukar, lebih baik aku saja yang sakit.

“Trus diagnosanya apa pak,” tanya mas Rizal.

“Kata dokter sih kemungkinan gejala typus mas, atau bisa juga DB, tadi siang baru di ambil sampel darahnya,” jelas de Binar.

“Kalau panasnya udah turun dari kapan?”

“Dari pagi tadi mas, mudah-mudahan ga naik lagi ya.”

“Iya mudah-mudahan, kita semua berdoa ya untuk kesembuhan ibuk”.

“Iya mas, eh tiara mana ya?”

“Iya zal, cucu ku mana ya? Ikutkan?”

“Kaleh mas Yoga pak, tiange tilem wau.” jelas ku.

“Binar sama bapak keluar aja dulu gapapa kalau mau nemui tiara, biar kami yang nunggu di dalam,” saran mas Rizal.

Bapak sama Binar lalu keluar menemui Tiara. Kasian juga anak itu, kecapean sampai tidurnya pulas banget.

“Udah mba, jangan nangis lagi, ibuk pasti ndak apa-apa, yang penting sekarang kita berdoa untuk kesembuhan ibuk”

“Tuh mah, dengerin ian, jangan bikin yang lain ikut sedih juga. Kita semua sedih melihat kondisi ibuk, tapi kita juga harus tetap kuat dan yakin kalau ibu pasti segera sembuh lagi”

“Hiks…iyaa…ta-tapi aku ga tega liatnya…hiks…”

“Ya sama, aku juga ga tega, Ian pasti juga ga tega, kita semua ga tega. Tapi kalau kamunya kaya gitu bisa-bisa kamu juga ikut ngedrop nanti.”

“Iya mba, mas Rizal bener. Mba Endang ga boleh banyak pikiran. Ibuk udah ditangangi, pasti sembuh.”

“Iya, makasih ya.”

Aku dan mas Rizal lalu keluar. Membiarkan mba Endang di dalam bersama ibuk yang masih tertidur.

“Eh, anak papa udah bangun ya, digendong ama siapa itu enak banget.”

“Ama mbah Kuuuuuung,” teriak Tiara lalu kembali memeluk leher mbah nya lagi. Kelihatan bahagia banget. Bapak pun juga begitu, terlihat bahagia banget bisa gendong cucunya lagi.

“Bapak makasih ya zal, kamu udah anterin Endang sama Ian pulang,”

“Sama sama pak, kaya sama siapa aja pakai makasih segala.”

“Gimana perjalanan tadi, macet ga?”

“Alhamdulillah lancar, tapi ya macet dikit wajar.”

“Oh ya syukur kalau gitu, kalian pasti capek, nanti kalian pulang saja.”

“Justru kita datang tu mau jagain ibu pak, bapak, Binar sama Yoga yang pulang, nanti biar Yoga bawa mobil ku.”

“Lha apa ndak capek?”

“Capek, tapi sama aja kan di rumah atau di sini? Udah, malam ini gantian kita yang jagain ibuk.”

“Lha terus Tiara?”

Mas Rizal lalu mendekat ke Tiara.

“Tiara malam ini mau ikut papa di sini atau Mbah Kung?”

“Ikut Mbah Kung ajah!”

“Tapi ga boleh nakal sama rewel ya!”

“He’eh”

“Tuh kan pak, dia mah nempel kalau sama bapak, hehe. Bin, aku nitip Tiara ya.”

“Siap mas. Tiara nanti bobo bareng tante ya,” ucap Binar ke Tiara.

“Yeeeey…bobo sama tante antikkk.”

Lahhh…ni bocah. Aku dibilang jelek, giliran Binar dibilang cantik.

Setelah membereskan baju kotor masing-masing, mereka berempat pulang ke rumah menggunakan mobil mas Rizal. Mas Yoga yang nyetir. Untungnya Tiara anaknya ga rewel jadi bisa ikut pulang. Dan lebih baik baginya untuk tidur di rumah saja.

Sore menjelang magrib itu aku dan mas Rizal sudah berada di depan Mushola untuk Ibadah berjamaah. Kadang aku malu dengan yang maha Kuasa. Ibadah ku masih bolong-bolong. Hanya ingat padanya disaat seperti ini. Ya Tuhan, ampuni hambamu ini.

Selesai beribadah berjamaah, mas Rizal langsung balik ke kamar. Gantian dengan mba Endang. Sedangkan aku ke depan untuk beli makan buat bertiga. Sekitar jam tujuh kami bertiga makan bersama. Ibuk sudah bangun tadi dan seneng banget bisa ketemu kami bertiga. Tapi agak kecewa juga karena Tiara sudah keburu pulang.

Jam tujuh lewat, waktunya ibuk buat makan. Mba Endang dengan telaten menyuapi ibuk. Aku terharu. Mungkin seperti itu lah dulu ibuk menyuapi kami. Merawat kami. Membesarkan kami. Dan sekarang giliran kami yang akan merawat mu buk. Ibu ndak usah kuatir. Kami akan selalu ada untuk mu.

Selesai makan dan minum obat, ibuk langsung mengantuk. Demamnya sebenarnya sedikit naik. Tapi kata dokter wajar karena memang begitu siklusnya. Jam-jam sekarang ini biasanya panas tubuhnya akan naik lagi.

Setelah ibuk tertidur, sekitar pukul sembilan, mas Rizal dan mba Endang pergi ke kantin. Pacaran lagi nih pikir ku mereka berdua. Biarin dah. Aku sekarang di kamar sendirian menemani ibuk yang tertidur pulas.

Sekitar tiga puluh menit kemudian mereka berdua balik.

“Loh kok udah balik pacarannya, masih sore ini,” canda ku.

“Haha, kan memang cuma mau ngopi doang, lagian mba mu ini udah ga betah katanya”

“Lagian, kantin udah kaya kebakaran gitu, asep rokok dimana-mana, ini kan rumah sakit, kamu juga ga bisa apa nahan ga ngerokok semalem aja,” omel mba Endang.

Mulai dah berdebatnya sepasang suami istri ini. Haha. Kadang suka lucu kalau melihat mereka berdebat. Sama-sama keras tapi untungnya salah satu masih mau mengalah. Dan itu tentu saja mas Rizal.

Merasa bosan, sekitar jam sepuluh malam aku minta izin untuk kedepan sebentar sekedar mencari angin. Mereka mengiyakan. Entah kenapa, walaupun baru tiga bulan lebih aku meninggalkan kota ini, rasanya sudah kangen banget. Sebesar kangen ku pada Diah. Ah iya, dia kan kerja di Jogja, aku hubungan aja ah.

“Halo, Waalaikumsalam,” suara lembutnya benar benar menyejukkan hati ku.

“Diah apa kabar? Sehat?”

“Alhamdulillah aku juga sehat iah.”

“Oh iya, kamu belum dapet kabar ya?”

“Ibuk iah, dirawat, sakit typus dari semalem.”

Aku merasakan kepanikan dari suaranya. Tapi aku segera menenangkannya.

“Tapi sekarang udah mendingan kondisinya. Udah tidur sekarang, tadi setelah makan malem.”

“Iya aku di Jogja,” ucap ku sambil tersenyum, padahal Diah tidak mungkin bisa melihat senyum ku saat ini.

“Oh, Diah besok lusa pulang? Ya udah lihat nanti ya, mudah-mudahan bisa ketemu Diah, hehe.”

“Ya udah kalau gitu, met malem ya, met bobo ya,” balas ku lagi lagi dengan tersenyum.

Tadi Diah sepertinya seneng banget tau aku sekarang ada di Jogja. Dan dia mengatakan kalau lusa pulang ke Wonosari. Mudah-mudahan ibuk sudah bisa dibawa pulang. Ketemu Diah deh.

Keluar dari gerbang Rumah Sakit, kulangkahkan kaki ku ke arah kanan. Kalau dari sini, kearah kanan itu menuju salah satu Universitas Negeri terbaik di Indonsia, tiga terbaik. Indahnya suasana malam di kota ini. Selalu membuat ku rindu. Aku memang asli dan tinggal di wonosari. Tapi untuk beberapa tempat di sudut kota Jogja ini aku sudah cukup familiar.

Aku terus melangkahkan kaki ku. Padahal tidak ada tujuan pasti. Hanya melangkah. Menyusuri trotoar yang terdapat beberapa penjual makanan disana. Gorengan, Angkringan, Susu Jahe, Roti Bakar. Mereka semua melempar senyum pada ku saat aku melewati lapaknya.

Aku terus berjalan. Hingga aku berhenti disebuah bundaran depan gerbang kampus. Masih rame ternyata. Sama seperti saat terakhir aku, Diah, dan beberapa teman ku waktu dulu main ke tempat ini. Aku langsung berjalan menuju tukang jahe susu. Pasti enak untuk menghangatkan badan.

“Jahe susu ne setunggal pak dhe,” pesan ku yang langsung di iyakan si bapak bapak tukang jahe.

Aku lalu duduk di bangku plastik yang disediakan. Aku mengecek hp dan ada beberapa sms dari Doni dan Kiki. Keduanya menanyakan kondisi ibuk. Langsung aku balas kalau ibuk sudah membaik.

Kuputar pandangan ku ke sekeliling area ini. Terdapat beberapa anak muda yang nongkrong di sini. Bersenda gurau dengan rekan-rekannya. Jadi kangen dengan teman teman SMA ku dulu. Ntar kalau ada waktu ajak ketemuan ah.

“Ian?” sapa seseorang yang menepuk bahu kanan ku.

“Eh, Endra, ngapain di sini?,” ternyata orang itu adalah Endra, salah satu teman SMA ku.

“Kamu yang ngapain di sini? Bukannya di Jakarta?”

“Iya ya, hehe. ini ibuk ku sakit di rawat, jadi aku pulang.”

“Ya ampun, sakit apa? Ngomong-ngomong apa kabar nih? Makin keren aja, hehe.”

“Typus ndra, tapi udah baikan kok. Semalem panasnya tinggi banget terus akhirnya dirawat, makanya aku sama mbak ku pulang. Kabar ku baik ndra, kamu sendiri?”

“Aku juga baik kok. Gimana? Jadi kuliah?”

“Alhamdulillah jadi ndra, tapi ya cuma di kampus swasta. Kalau kamu kuliah di sini kan?”

“Iya alhamdulillah. sama aja ian mau kuliah dimana juga, yang penting kitanya serius apa nggak. Oiya aku kos di belakang kampus. Ayuk mampir!”

“Udah malem ndra, kapan kapan aja. Gimana kabar temen temen yang lain?”

“Temen-temen yang lain sehat, tapi ya gitu sebagian besar pada langsung kerja, pada males. Trus kamu selain kuliah ada kegiatan lain ga?”

“Iya sayang ya, padahal kalau mau mah bisa aja kan kuliah, pada males sih ya. Aku kerja ndra, bantu-bantu usaha mas ku. Kamu sendiri?”

“Iya pada males, kita punya kesempatan untuk memperbaiki nasib kudu memanfaatkannya ian. Kuliah yang bener. Biar sukses, dan khusus kamu, jangan ga balik! Kalau udah sukses kamu harus balik untuk membangun daerah kita biar makin maju. Oiya aku dagang ian, jualan gorengan, hehe. Tuh gerobak ku. Cobain ya! Bentar tak ambilin, jangan kemana-mana!”

“Eh ndak usah ndra,” larang ku tapi percuma. Endra sudah berlari kecil menuju lapaknya.

Lima menit kemudian Endra balik lagi.

“Nih cobain, enak lho, hehe.”

“Banyak amat?”

“Penghabisan itu, bawa aja nanti buat di rumah sakit.”

“Kalau udah rezeki emang ga kemana, makasih ya.”

“Sama-sama Ian.”

“Oiya ndra, aku setuju dengan kalimat mu tadi. Kita tuntut ilmu setinggi-tingginya dan kembali untuk membangun daerah kita.”

“Sepuluh tahun lagi!”

“Sepuluh tahun lagi?”

“Iya, kita kembali sepuluh tahun lagi dan kita lihat apa yang bisa kita berikan untuk daerah kita. Setuju?”

“Setuju.”

Tak disangka aku malah ketemu temen ku Endra. Dia salah satu sahabat ku dan salah satu siswa terpintar di sekolah. Tak salah dia bisa dapat beasiswa di kampus ini. Aku kalau sedikit lebih rajin mungkin juga bisa sepertinya. Sayangnya aku dulu malas. Baru-baru ini aja sedikit berkurang malasnya karena terus di gembleng sama mba Endang dan mas Rizal. Setelah ngobrol beberapa saat, Endra pamit untuk balik ke kos nya. Aku pun juga sudah akan kembali ke rumah sakit.

Diperjalanan menuju rumah sakit aku jadi terfikir ucapan endra. Dia benar. Suatu saat nanti aku pasti akan kembali dan membangun daerah ku supaya lebih maju. Mensejahterakan kehidupan masyarakat di sana. Semoga bisa. Aamiin.

***

Aku terbangun oleh suara adzan subuh dari mushola rumah sakit. Ternyata sudah pagi. Aku lalu bergegas bangun untuk beribadah berjamaah. Selesai ibadah aku lalu kedepan beli sarapan untuk bertiga.

Pagi ini kondisi ibuk sudah semakin membaik. Mungkin karena sugesti juga udah ditengokin anak-anaknya dari jauh membuat semangatnya untuk sembuh kembali lagi. Kata dokter kalau tidak panas lagi nanti sore atau malam sudah boleh pulang. Berarti besok bisa ketemu Diah nih, pikir ku dengan semangat.

“Semalem kamu kemana ian?” tanya mba Endang. Kami berempat sedang sarapan bareng di kamar tempat ibuk dirawat.

“Jalan ke kampus itu mba, iseng aja cuci mata hehe. Eh ketemu Endra. Masih inget ga sama Endra?”

“Temen kamu yang pinter itu kan?”

“Aku juga pinter kali mba.”

“Iya kamu pinter kok, tapi juga males. Kuliah dia?”

“Iya kuliah, sambil usaha juga, tuh gorengan dagangan dia.”

“Hebat dong, kamu juga harus bisa seperti dia.”

“Iya mas, hehe.”

Kami habiskan pagi ini dengan ngobrol dan bercanda. Sehabis sarapan kami mengajak ibuk untuk jalan-jalan ke taman depan kamar agar mendapat udara segar.

***

Setelah mendapat kepastian ibuk bisa pulang sore ini, kami mengabari mas Yoga agar ke rumah sakit lagi menggunakan mobil mas Rizal, untuk menjemput kami semua. Dan setelah melewati perjalanan sekitar tiga jam, kami sampai juga di rumah.

Setelah beristirahat sebentar dan membersihkan diri masing-masing, kami semua berkumpul di ruang tengah untuk makan malam bersama. Makanan sudah tersaji dengan rapi. Hasil karya adek ku yang paling cantik. Binar Ayuningtyas.

“Ayo zal makan, ndak usah malu-malu,” ajak bapak ke menantunya.

“Haha, siap pak, ga malu kok, masakannya Binar ya? Pasti enak.”

“Masih kalah lah mas sama masakannya mba Endang, kan pake cinta masaknya, hihihi,” balas Binar.

“Apaan sih? Masih kecil udah cinta-cinta segala!”, mba Endang menimpali.

“Owh, jadi ga pake cinta nih mah?” canda mas Rizal.

“Aaauuu, weeek,” balas mba Endang yang sepertinya malu mengakuinya.

Senang rasanya melihat mereka berkumpul. Makan bersama. Malam ini menunya bebek goreng dan sambel goreng dengan lalapan. Tentu saja ini bebek piaraan mas Yoga. Haha.

Khusus untuk ibuk menunya lain. Dia dibuatkan bubur oleh mba Endang. Dari kemarin mba Endang memang telaten banget ngerawat ibuk. Aku benar benar terharu dan bangga padanya. Sekaligus membuat rasa hormat ku padanya semakin kuat. Hampir seperti hormat ku pada kedua orang tua ku.

***

Selesai makan, aku, bapak, mas Rizal dan mas Yoga duduk di teras depan. Mereka bertiga asik ngerokok bareng. Biasalah, ga afdol rasanya bagi para lelaki ini kalau abis makan ga ngerokok. Aku? Nikmatin bekas asepnya saja. Piring kotor? Ada mba Endang sama Binar ini. Mungkin begitu pikir mereka. Kalau Ibuk tadi katanya mau langsung istirahat.

“Le, awak mu arep balek kapan?” tanya bapak.

“Dereng ngertos pak, mas Rizal kapan mas?”

“Lah emang ga bareng? Aku sih terserah mbak mu.”

“Kalau lewat hari minggu aku kayanya duluan ya, senin ada seleksi masuk BEM soalnya,” jelas ku. Sekarang hari jumat malam sabtu. Jadi aku masih ada waktu dua malam di rumah. Lumayan. Dan yang pasti besok ketemu Diah. Senangnya. Jadi ga sabar rasanya.

“BEM ki opo to le?” tanya bapak lagi.

“Enggghhh…Badan Eksekutif Mahasiswa, niku organisasi pak enten kampus.”

“Oooo…yo ra popo nek arep balek disek, berarti kemungkinane dino minggu?”

“Enjeh pak,” jawab ku. Bapak hanya manggut-manggut mengiyakan.

“Mas, aku sesok njileh motor mu yo,” ucap ku ke mas Yoga.

“Arep ndolani Diah mesti,” tembaknya. Sialan. Bisa tau gitu dia. Aku hanya nyengir.

“Diah siapa?” tanya mas Rizal.

“Gebetannya dari jaman SMP mas, tapi ga tau udah jadian apa belum, hahaha.” Sialan. Kena lagi aku.

“Loh terus Gita mau dikemanain Ian?” tanya mas Rizal sambil senyum senyum. Kok mas Rizal tiba-tiba nanya Gita ya?

“Apaan sih mas?” balas ku agak kesal.

“Gita siapa zal?” tanya bapak.

“Gebetannya juga pak, hahaha.”

“Wedyaaan telung sasi nang kuto dadi playboy koe ndes?” celetuk mas Yoga.

“Ora yo mas, udu sopo-sopo Gita ki.”

“Gapapa ian, mumpung masih muda, haha.”

“Apanya yang mumpung masih muda?” tanya mba Endang yang tiba-tiba ikutan nimbrung.

“Enggaaak, urusan laki-laki ini hahaha,” mas Rizal mengelak.

“Kamu tu ngajarinnya yang enggak-enggak,” omel mba Endang.

“Ada apaan sih rame-rame?” tanya binar yang ikutan gabung juga.

“Mas mu galau milih Diah atau Gita, haha.”

“Gita siapa mas? Hayooo, bilangin mba Diah nih, hihihi.” ancamnya.

“Eh, jangan dooong, mas Rizal ngaco itu” pinta ku memelas dan panik.

“Hahaha,” semua tertawa. Menertawakan ku. Ah rese nih mas Rizal.

***

From: Diah said:
Kamu jadi jemput? Apa ndak kejauhan? Aku pulang sendiri aja deh, nanti kamu maen ke rumah aja.

Sms yang aku terima dari Diah pagi ini. Setelah dapat pinjeman motor dari mas Yoga, aku berniat menjemputnya ke Jogja sore nanti. Aku mengabarinya semalem. Semalem dia iya aja tapi ga tau kenapa pagi ini malah jadi ragu gitu.

To: Diah said:
Kenapa jadi ragu gitu? Pokoknya aku jemput. Aku berangkat jam tiga.
From: Diah said:
Ya aku ndak tega aja kalau kamu mesti jemput, kamu kan pasti capek.

Diah pengertian banget orangnya. Istri idaman banget nih pikir ku sambil senyum-senyum.

To: Diah said:
Kalau buat ketemu kamu sih samudera juga tak seberangi. Haha
From: Diah said:
Gombal!!! Yo udah kalau gitu, aku mau berangkat kerja dulu.
To: Diah said:
Haha, iya hati-hati ya, sampai ketemu nanti sore :*
From: Diah said:
:*

Aku baru inget kalau Diah masih kerja hari ini. Shift pagi, keluar sore. Besok libur jadi dia bisa pulang. Masih pagi. Enaknya ngapain ya? Tidur lagi ajalah.

***

Aku hentikan motor ku di pinggir jalan Laksda Adisucipto. Di seberang sebuah Mall. Aku langsung menghubungi Diah untuk memberi tau kalau aku sudah sampai. Diah ternyata sudah siap dan tinggal keluar dari Mall. Aku menunggu sekitar lima menit dan yang aku tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Dari seberang jalan aku bisa melihat wajah cerianya berjalan kearah ku. Pandangan kami sempat beradu. Aku melambaikan tangan dan dia membalasnya dengan sebuah senyuman.

CLESSS!

Adem rasanya. Sejuk banget di hati. Rasanya seperti melayang-layang di awan. Nge-fly dong. Oke sudah cukup sesi lebay nya. Yang aku tunggu sudah ada di samping ku.

“Apa kabar?” suara lembutnya merayap ke gendang telinga ku.

“Baik, kamu?”

“Baik juga, cieee yang jadi anak jakarta, oleh-olehnya mana?”

“Eh, oleh-oleh nyaaa.”

“Aku bercanda kok, ga usah bingung gitu.”

“Hehehe.”

“Ibu ning gimana kondisinya?”

“Udah sehat kok, dah seger lagi.”

“Alhamdulillah kalau gitu, aku ikut seneng.”

“Makasih.”

Entah kenapa suasana yang timbul sore ini menjadi sedikit canggung. Karena saking senengnya mungkin malah membuat kami sama-sama grogi.

“Sama-sama. Jadi kita?”

“Mau langsung pulang atau???,” tanya ku dengan bodohnya.

“Pulang?”

“Trus mau kemana?” aku makin bingung.

“Aku manut sampeyan mas, kemana aja boleh yang penting enak buat ngobrol. Dah yuk jalan kang, kang ojek, hihihi,” candanya yang langsung naik ke jok belakang sambil menepuk bahu ku.

Akhirnya setelah bermodalkan ingatan seadanya dengan jalanan di kota Jogja, ku jalankan lagi motor ku. Aku belum punya tujuan mau kemana. Diah aku tanya lagi pengen kemana jawabannya masih sama. Kemana aja dia mau. Sempat aku bercandain kalau ke losmen aja gimana eh kepala ku langsung digetoknya. Hingga akhirnya pas kebetulan berhenti di lampu merah samping stadion Kridosono, aku melihat baliho yang ada tulisan Alun-Alun Kidul nya.

“Ke Alkid aja yuk, gimana?” ajak ku.

“Ayuk-ayuk,” jawabnya dengan riang dan langsung memeluk ku erat. Erat sekali tangannya melingkar di perut ku. Meskipun terasa sedikit engap di perut ku, tapi tetap nyaman rasanya. Apalagi ada sesuatu yang empuk dan kenyal nempel kenceng banget di punggung ku.

***

Setelah memarkirkan motor, aku dan Diah berjalan menyusuri jalanan pinggiran Alkid. Beberapa penjual makanan sudah mulai membuka lapaknya. Sedangkan di bagian dalam alun-alunnya beberapa penjual makanan dan minuman ringan juga sudah mulai berjualan.

“Langsung makan atau…?” tanya ku lagi canggung.

“Kamu kenapa sih? Kok jadi kaya grogi gitu? Kaya jalan sama siapa aja. Langsung juga boleh, belum makan kan kamu?”

“Hahaha, jalan ama cewek tercantik seantero Jogja gimana ga grogi,” canda ku.

“GOMBAAAL!!!” balasnya sambil mencubit pinggang ku. Keras sekali.

“Aduh aduh aduh…sakit iaaah…,” keluh ku.

“Abisnya gombal sih.”

“Aku ga gombal tau.”

“Yakin enggak? Berarti aku paling cantiknya coma se Jogja aja? Ga seluruh Dunia Akhirat gitu?”

“Eh, engghh…ya sedunia akhirat juga sih.”

“Kok pakai sih?”

“Engghh…itu…”

“Haha, sudah-sudah. langsung cari makan aja yuk. Kamu masih sama seperti yang dulu, hihihi,” ucap Diah sambil tersenyum dan meninggalkan ku. Berjalan duluan menuju deretan penjual makanan. Bagus lah kalau kamu menilai ku masih sama seperti yang dulu. Kamu juga kok Diah. Masih sama seperti yang dulu. Hehehe. Aku lalu berlari kecil untuk menyusulnya.

***

“Eh eh, cerita dong, jakarta gimana? Suasananya? Anak mudanya? Huhuhu…Aku kan belum pernah kesana,” tanya nya semangat, tapi kemudian sedih.

“Ehmm…yang pasti macet. Panas. Jogja juga panas sih ya. Terus kalau anak-anaknya ya hampir sama sih. Aku juga kurang tau, aku ga terlalu membaur sama mereka semuanya.”

“Loh kok ga membaur?”

“Ga dengan semuanya.”

“Kenapa?”

“Takut kebawa arus.”

“Sini aku pegangin kalau takut, hihihi,” canda Diah yang langsung memeluk lengan kiri ku. Aku merasakan lagi buah dadanya yang kenyal menempel erat di lengan ku.

“Hahaha, eh abis makan nanti mau kemana?”

“Cobain itu yuk!” ucapnya manja sambil menunjuk orang-orang yang lagi jalan dengan mata ditutup jalan menuju dua beringin kembar yang berdiri di tengah alun-alun. Mitos yang ada katanya kalau berhasil lewat di antara kedua pohon itu maka keinginan kita akan terwujud. Aku sebenarnya tidak terlalu percaya. Tapi gapapa lah buat nyenengin Diah.

“Ok, sekarang makan dulu yuk,” ucap ku saat pesanan kami tiba.

Kami pun makan dengan lahapnya.

“Eh iya, Binar apa kabar?” tanya nya.

“Alhamdulillah sehat, waktu itu kamu sempat ketemu dia ya?”

“Iya hehe, makin cantik ya anaknya.”

“Masih kalah ama kamu.”

“Sekarang pinter banget ya kamu nge GOMBAL nya,” balas Diah sambil menggelitiki pinggang ku lagi.

“Hahaha, aduh…aduh…geliii…ampun…” aku kegelian merasakannya.

Setelah selesai makan kami berdua menuju tempat yang menyewakan semacam penutup mata untuk mencoba tantangan melewati dua pohon beringin itu.

“Setunggal pinten mas?” tanya ku.

“Lima ribu mas.”

Aku lalu mengambil uang sepuluh ribu dan memberikannya. Aku mendapatkan dua penutup mata. Satu untuk Diah, satu lagi untuk ku.

Aku dan Diah lalu mencobanya. Pertama-tama Diah dulu. Aku mengiringinya dari samping untuk memastikan dia tidak menabrak orang yang juga berada di alun-alun itu. Suasana malam ini memang cukup ramai. Wajar, malam minggu. Sekali, dua kali, dia gagal. Ternyata dia masih penasaran. Hingga percobaan ke tiga masih gagal juga dan akhirnya menyerah. Sekarang giliran ku.

Percobaan pertama dan ke dua ku juga gagal. Lalu di percobaan ke tiga, aku berhasil. Diah sampai teriak-teriak histeris saat aku berhasil lewat di antara dua pohon beringin itu. Tidak hanya Diah yang takjub. Beberapa pengunjung yang lain pun ikut kagum sekaligus heran. Bagaimana aku bisa melewatinya? Entahlah. Aku pikir cuma kebetulan.

“Buat permintaan dulu dong!” perintahnya.

“Permintaan?”

“Wish…harapan, impian, atau apalah terserah kamu.”

“Ehmm…” aku lalu memejamkan mata. Jujur aku tidak percaya dengan ini. Tapi ya sudahlah. Siapa tau terwujud.

Hal pertama yang muncul dibayangan ku adalah, Diah. Tentu saja. Aku mengharapkan dia yang akan menjadi pendamping hidup ku nanti. Aamiin. Lalu bapak dan ibuk. Semoga mereka berdua selalu diberi kesehatan. Dan terakhir keluarga besar ku. Kakak-kakak ku dan juga adikku. Semoga semuanya selalu sehat tidak kurang apapun. Aamiin.

Setelah puas bermain-main, aku dan Diah memutuskan untuk pulang. Belum malam banget sebenarnya tapi perjalan butuh waktu kurang lebih dua jam. Ga enak juga kalau mulangin dia terlalu malam.

“Kamu tadi minta apa ian? Pasti aku ya, hihihi,” ucapnya saat diperjalanan. Pelukannya dari belakang terasa semakin erat.

“Wooo pede kamu.”

“Jadi bukan aku ya?”

“Hahaha, masa di kasih tau sih? ga seru ah,” elak ku. Padahal tebakannya benar.

“Iya deh. Eh tapi nanti jadi mampir kan?”

“Iya jadi kok.”

***

Setelah menempuh perjalanan sekitar satu setengah jam, aku dan Diah sampai di rumahnya. Sesuai janji ku, aku akan mampir.

“Eh ono tamu to nduk?”

“Enjeh pak, niki rencang kulo pak, Ian,” ucap diah. Sebenarnya aku sudah pernah main kesini. Tapi dulu. mungkin bapaknya Diah sudah lupa. Dan lagi dulu aku main nya rame-rame dengan teman yang lain. Rumah ku dan rumah Diah sebenarnya tidak terlalu jauh. Hanya beda dusun dan aku yakin bapaknya tau orang tua ku.

“Kulo putrane kusuma pak.”

“Owalah, anake si kusuma to, seng omahe cerak lapangan voli kae to?”

“Leres pak.”

“Yo ngene iki le wong wes tuo, akeh lali ne.”

“Hehe, sepuh nopo to pak? lha wong sampeyan tasih sehat, seger ngoten kok, mboten kalah kaleh kulo.”

“Hahaha, opo iyo to? yo wes nek ngunu dikepenak ke wae, bapak tak mlebu sek.”

“Nggeh pak, monggo,” ucap ku mempersilahkannya. Bapaknya Diah masuk juga akhirnya. Itu yang aku harepin dari tadi. Haha.

“Bisa aja kamu, tadi aku, sekarang bapak yang kamu gombalin.”

“Ya namanya juga usaha, cari muka dikit gapapa kali.”

“Dasar,” ucap Diah gemas sambil mencubit ku lagi.

“Auuww…aauuwww…sakiiit,” ucap ku sambil berusaha mencubitnya balik.

Saat ini sudah jam 8 lewat. Berarti aku hanya ada waktu kurang dari sejam untuk bersama Diah. sebelum pulang dan meninggalkannya lagi. Balik ke jakarta besok siang.

“Oiya aku besok balik, sekalian pamit ya.”

“Buru-buru banget?”

“Iya, ada kegiatan di kampus.”

“Ga ada yang lagi nungguin kamu kan di sana?”

“Eh, ehmm…ada sih.”

“Ada? Siapa?”

“Ada deh…”

“Aaaaa…kasih tauuuu,” ucapnya cemberut.

“Hahaha, pelanggan ku, eh maksut ku pelanggan hardcase ku.”

“Oohhh…kirain.”

“Udah jangan cemberut lagi ya, hehehe.”

“Iya, tapi aku kuatir.”

“Dengan?”

“Kamu.”

“Aku?”

“Iya, kuatir kamu ketemu dengan yang lebih baik dari aku”

“Udah kok.”

“Tuh kaaaaannnn, au ah. Ngambek,” ucapnya sambil membuang muka.

“Tapi aku tetep akan memilih kamu Diah…Diah Nawang Wulan…hanya kamu pilihan ku”

Dia langsung menoleh ke arah ku.

“Janji!” pintanya.

“Janji. ga peduli sebaik apappun, secantik apapun, aku tetap akan memilih kamu. Kamu mau nunggu aku kan?”

“Mauuu,” jawabnya dengan senyum sumringah.

“Nduk, mbok yo salen sek to! trus koncone gaweke ombe,” teriak bapaknya diah dari dalam. Sontak membuat ku kaget karena posisi ku saat ini duduk memeluk Diah dari samping. Dia bersandar ke dada ku.

“Nggeh pak, sekedap,” teriak Diah.

“Kaget ya kamu? Hihihi. Oiya ampe lupa nih belum dibuatin minum, hehe, mau minum apa?”

“Hehehe,” aku garuk-garuk kepala.

“Apa aja yang kamu buat pasti aku minum,” lanjutku sambil tersenyum.

“Baiklah, tunggu yah” balasnya. Dia lalu bangkit dan masuk meninggalkan ku.

***

“Cepet banget ya rasanya?” ucapnya lesu.

“Iya ga berasa, udah jam sembilan aja” balas ku,” Sama lesunya.

“Tapi aku seneng, walaupun bentar tapi berkesan banget kok. Makasih ya.”

“Iya, makasih juga.”

“Ya udah pulang sono, dah malem.”

“Ga dilarang nih? Sepuluh menit lagi gitu!”

“Yeee maunya, digrebek warga sekampung mau?”

“Haha, canda kali.”

“Iya tau. ya udah pulang, hati-hati! kalau ada mba-mba yang berhentiin jangan berhenti lho ya.”

“Haha, iya. Eh ga pamit dulu?”

“Dah pada tidur kayanya, besok aja aku salamin,” ucap Diah sambil menengok kebelakang. Aku dan dia sekarang sudah berada di halaman rumahnya.

“Oh ya udah kalau gitu.”

“Ya udah ya udah mulu, tapi ga pulang-pulang,” omelnya.

“Hehehe,” senyum ku sambil menunjuk pipi ku.

“Harus ya?” tanya nya.

“Kalau kamu ga terpaksa,” senyum ku semakin mengembang. Berharap mendapatkan sebuah kecupan perpisahan di pipi ku. Diah nampak ragu. Kembali dia menengok kebelakang. Lalu tiba-tiba dia memegang kedua pipi ku dengan kedua tangannya. Mendekatkan bibirnya ke bibir ku. Lalu…

“CUP”

Diah mencium bibir ku. Lembut sekali rasanya. Nyaman. Tidak ada nafsu dari ciumannya. Begitupun juga dengan ku. Mengalir begitu saja.

“Dah sana pulang, jangan kangen ya, hihihi.”

“Iya,” balas ku tersenyum kikuk. Kaget campur seneng, campur aduk jadi satu rasanya.

“Besok hati-hati ya.”

“Iyaaa, kapan pulangnya kalau dipesenin terus?” canda ku gantian.

“Hahaha, iya ya hihihi.”

Aku mulai menyalakan motor ku. Diah berjalan menuju teras rumahnya. Lalu berbalik menghadap ke arah ku. Memberikan ku sebuah lambaian kecil. Aku mebalasnya. Kami lalu saling melempar senyum. Berat. Berat sekali rasanya. Tapi aku harus tetap meninggalkannya. Untuk menggapai mimpi ku. Mimpi kita, Diah.

[Bersambung]

Daftar Part

By Kisah Malam

Kisah Malam adalah sebuah Website yang berisikan Novel Dewasa, Novel Sex, Cerita Sex, Cerita First Time, Cerita Bersambung, Cerina Menarik Lainnya. Dukung Terus KisahMalam.Com Dengan Cara Bookmarks, Dan Nanti Kan Konten Terupdate dari KisahMalam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *