Merindukan Kesederhanaan Part 50

Begitu Indah

Lagi, lagi, dan lagi. Binar sekali lagi mencampuri hubungan asmara ku. Meskipun tidak secara langsung, namun isi pesan wasap nya malam itu benar-benar menunjukkan ketidak sukaannya terhadap hubungan ku dengan Kiki. Tapi kali ini aku tidak terlalu meresponnya. Karena bila diperpanjang arah pembicaraannya pasti akan mengerucut ke satu nama, Gita. Sedangkan di sisi lain Tiara sangat senang dan bahagia dengan keberadaan Kiki.

Tentu saja aku akan mendahulukan Tiara dan Kiki. Pertama, Binar tidak tau masalah terkait dengan penyakit Kiki. Kedua, Tiara lebih membutuhkan Kiki dari pada Binar pada Gita. Pada intinya aku tetap akan melamar Kiki dalam waktu dekat ini. Hanya tinggal mencari waktu yang tepat saja. Aku akan bertemu dengan bapaknya terlebih dahulu sebelum mengajak ke dua orang tua ku untuk membicarakan niat ku ini terlebih dahulu. Tentu saja. Kapan tanggalnya, nanti akan aku pikirkan lagi.

Setelah acara liburan bersama tempo hari itu hubungan ku dengan Kiki semakin dekat. Aku tidak pandai menggambarkan sebuah perasaan. Tapi apa yang aku rasakan sekarang dengan Kiki berbeda dengan apa aku rasakan dulu. Dan juga berbeda dengan yang aku rasakan dengan Diah maupun Ayu. Entahlah. Sangat berbeda.

Tiba-tiba aku di kagetkan oleh segerombolan anak gadis yang masih berpakaian seragam SMA lengkap yang berjalan ke arah ku. Canda tawa menghiasi perjalanan mereka. Khas banget, ketika beberapa orang wanita berkumpul dan membicarakan sesuatu, pasti akan diselingi dengan tawa, padahal apa yang di bicarakan sama sekali tidak lah lucu. Entah karena apa mereka tertawa.

Dari beberapa gadis muda itu, yang jumlahnya setelah aku hitung ada lima orang dan ku taksir berusia sekitar lima belas atau enam belas tahunan itu ada satu yang aku kenal. Dan yang sedang aku tunggu. Tiara. Hari ini dia ada kegiatan hingga malam dan sepulang kerja tadi aku langsung menjemputnya ke sekolahannya.

“Udah lama om?” tanya Tiara begitu masuk ke dalam mobil. Dia duduk di depan, di samping ku. Belum aku menjawab pertanyaannya tiba-tiba ke empat temannya yang lain membuka pintu belakang dan masuk begitu saja ke dalam mobil.

“Maaf ya om, jadi merepotkan,” ucap salah seorang dari mereka berbasa-basi. Aku sempat memandang sesaat ke arah dada nya yang membusung dengan indah itu sebelum memalingkan pandangan ku. Bukan karena terpesona dengan ukuran buah dadanya yang menurut ku di atas rata-rata untuk anak kelas satu SMA, tapi karena di kain seragam yang nampak melengkung itu tertulis namanya. Vera.

Apa-apaan ini? Aku tidak bisa menyembunyikan kebingungan ku. Aku lalu menatap ke arah Tiara.

“Nanti anterin temen-temen Tiara dulu ya om, hehehe. Kasihan udah malam pada ga ada yang bisa jemput keluarga mereka. Ga apa-apa kan? Rumah mereka searah kok sama rumah kita…hehehe,” ucap Tiara memberikan penjelasan dengan santainya. Jadi begitu? Aku harus mengantarkan mereka semua. Empat orang. Hadeeeh.

“Yaaa… tentu saja… ga apa-apa… tenang aja…” balas ku degan kaku nya. Tentu saja kaku karena aku berpura-pura. Berpura-pura karena sebenarnya aku malas. Tapi tidak mungkin juga kalau aku meninggalkan anak-anak gadis ini pulang sendirian. Meskipun tidak mendesak banget karena baru jam tujuh, dan jalanan masih ramai, mereka seharusnya bisa pulang sendiri. Tapi, apa kata mereka nanti bila nantinya aku tinggalkan? Om nya Tiara tidak gentle. Tidak mau mengantar temen-temen nya pulang. Dan pasti akan ada banyak lagi nyinyiran dari mulut-mulut para gadis belia itu. Teman Tiara yang berjumlah empat orang itu.

“Om nya Tiara namanya siapah? Kenalin dong, aku Gadis om, temennya Tiara di kelas…” tiba-tiba seorang gadis lainnya bertanya pada ku dengan pede nya yang membuat ku salah tingkah karena sikapnya yang berinisiatif mengajak ku kenalan.

“Eh, ehm… saya Alfian, panggil aja Om Ian… hehehe,” balas ku dengan kaku sambil memiringkan badan kebelakang dan menjabat satu persatu tangan mungil mereka.

“Vera Om…”

“Alfian…”

“Citra…”

“Alfian…”

“Serly…”

“Alfian…”

“Tiara om…” ucap Tiara tiba-tiba sambil mengulurkan tangannya.

“Udah tauuu!!” balas ku dengan berpura-pura jutek pada nya. Tiara langsung tertawa geli, begitu juga teman-temannya yang di belakang juga ikut tertawa melihat tingkah laku kami.

Gila. Biasanya dengan Tiara saja mobil ini akan terasa bising dengan ocehannya, sekarang ditambah dengan empat temannya lagi yang dari tampang dan penampilannya sebelas dua belas dengan Tiara. Semoga jalanan tidak macet malam ini.

Kami sudah meninggalkan sekolah. Mobil ku bergerak pelan merayap menyusuri padatnya jalanan kota Jakarta. Secara administrasi sekolah Tiara memang masuk wilayah Jakarta. Sedangkan tempat tinggal kami ada di wilayah Sawangan Depok. Salah satu sekolah favourit di daerah jakarta selatan.

“Oke, jadi sekarang rumah siapa dulu nih yang paling deket?” tanya ku kepada yang duduk di belakang sambil melirik ke mereka melalui spion. Entah aku yang salah lihat atau bagaimana, mereka terlihat seperti senyum-senyum kepada ku. Pede nya diri ku.

“Rumah Rara om, abis itu Cicit, baru Syasya, terakhir Cerry, tapi nanti rumah nya Cerry agak muter dulu om, ga apa-apa kan ya om ya…” balas salah seorang dari belakang. Entah aku lupa siapa itu, belum hafal banget dengan suara dan wajahnya. Belum lagi jawabannya yang panjang lebar. Dan, nama-nama yang di sebutkan tadi itu sepertinya tdiak aku dengar saat kenalan tadi.

“Sasa? Rara? Cicit? Cerry?”

“Eh iya, itu kan nama panggilan kita, hihihi,” balas salah seorang dari belakang.

“Itu nama-nama akrab kita om, hihihi. Kalau aku kan Vera, mereka biasa panggil aku Rara, Citra dipanggil Cicit, kalau Serly panggilannya Cerry, nah kalau Gadis, nama panjangnya Gadis Anastasya, panggilan kesyayangannya Syasya om, tapi harus pake Y ya om ditengah S dan A nya…”

“Karena kalau ga pake Y jadinya micin, kan?” potong ku sambil melirik ke arah Vera atau Rara melalui kaca spion.

“Hahaha, iiiih… om bisa aja deeehh…” balas Gadis, atau Syasya, ah aku malah bingung harus memanggilnya apa, sambil dengan gemas mencubit lengan kiri ku.

“Iiihh… Syasya genit deh cubit-cubit om Ian…” terdengar suara protes dari belakang. “Mau ikutan nyubit dong… hehehe…” lanjut suara-suaraitu lagi.

“Wooo dasaar…”

“Genit teriak genit… ikutan juga ah… hihihi…”

Dan kemudian tangan-tangan mungil yang tadi aku jabat itu satu persatu mencubit dan mencolek lengan kiri ku. Mendadak bulu kuduk ku berdiri. Badan ku bergidik membayangkan diri ku dikerubuti anak-anak gadis abg labil ini. Ini ketiga kali nya aku merasakan takut yang luar biasa setelah yang pertama dan ke dua adalah saat beurusan dengan Gita dulu. Beda nya dulu aku berhadapan dengan preman, sekarang aku berhadapan dengan makhluk Tuhan yang paling Indah, meskipun aku tau mereka sama berbahayanya dengan preman. Jauh lebih berbahaya malah.

“Eh udah dooong, om aku jangan diusilin… nanti aku bilangin ke calon istri nya lho…” tiba-tiba Tiara membuka suara. Mungkin dia mulai jengah dengan sikap teman-temannya yang meskipun aku tau mereka hanya bercanda tapi cukup membuat ku risih. Dan Tiara sangat hafal dengan ekpresi wajah ku.

“Eh, udah punya calon ya? Yaaah… patah hati berjamaah deh kita-kita, hihihi,” ucap salah seorang dari belakang.

“Iya nih, hancur deh hati ini…”

“Pupus sudah harapan ini…hihihi.”

“Patah hati kok malah ketawa-ketawa gitu sih? Kalau pada berisik nanti om Ian nya ga mau nganterin lho…” ancam Tiara membela ku. Iya, dia membela ku. Baru kali ini dia membela ku seperti ini. Rasanya kok aneh ya? Ya sudahlah.

“Hahaha, kalau mau ngobrol juga ga apa-apa kok, dari pada diem-dieman, ya kan? Oiya, kalau Tiara sendiri, panggilannya apa? Titik? Atau Zulzul? Hehehe.”

“Hahaha…” semua yang di belakang pun tertawa.

“Kok pada ketawa?” tanya ku lagi.

“Zulzul, cocok juga tuh buat ni anak satu, hihihi,” balas salah seorang dari belakang.

“Jadi beneran Zulzul?” tanya ku.

“BUKAANNN!!!” teriak Tiara.

“Ops…”

“Hihihi…”

~•~•~•~

“Itu tadi temen sekelas mu semua?” tanya ku pada Tiara, kami sudah menuju arah rumah setelah terakhir tadi mengantar Serly terlebih dahulu yang ternyata rumahnya lebih jauh dari rumah kami, jadi harus memutar.

“He’em, kenapa deh?”

“Enggak, tapi penampilannya pada melampaui umur semua ya? Lebih pantes jadi anak kuliahan atau minimal kelas tiga gitu…”

“Anak jaman now, perkembangan fisik nya jauh lebih cepet melampaui umur nya.”

“Kamu enggak, segitu-segitu aja dari dulu, padahal udah di umpanin terus tiap hari, hahaha.”

“Aku masuk ke dalam lima persen marjin eror, jadinya pengecualian.”

“Hahaha…”

“Kenapa?”

“Bahasa mu statistika banget…”

“Hahaha. Eh om, kira-kira, peluang tante Kiki sembuh berapa persen ya?” tanya Tiara tiba-tiba.

“Kok tiba-tiba nanya itu? Hanya Tuhan yabg tahu, kita hanya wajib berusaha saja.”

“Iya siiih…”

“Oiya, mumpung inget, om boleh nanya ga? Tapi kalau ga mau jawab juga ga apa-apa…”

“Apaan tuh?”

“Waktu itu, yang pas kamu sama tante Kiki masuk ke kamar, itu ngapain?”

“Eh, ituuu… waktu itu…”

“Urusan perempuan ya?” potong ku.

“Enggak sih om…”

“Terus? Ya ga apa-apa sih kalau rahasia, om mengerti…”

“Enggak juga…”

“Terus?”

“Waktu itu… tante Kiki… ngasih lihat… ehm… tante Kiki ngasih lihat… rambutnya yang…tinggal…” Tiara tidak melanjutkan ucapannya. Dia justru membuang muka ke arah jalan dan dengan cepat mengusap pipi halusnya.

“Oke-oke… om paham… om juga sedih Ti…”

“Om Ian jadinya kapan mau ngelamar tante Kiki?”

“InsyaAllah bulan depan, kenapa?”

“Ti-Tiara takut tante ga sampe bulan depan hiks…”

“Huus. Ga boleh bilang begitu… kita harus yakin tante bakalan sembuh…”

“Om ga tau sih.”

“Ga tau apa?”

“Sebenarnya tante sering cerita ke Tiara…”

“Oh ya? Cerita apa?”

“Kalau dulu sih ya… curhat biasalah antar sesama wanita… tapi akhir-akhir ini lebih sering rasa sakit yang dia rasain. Kasihan om. Beneran deh ga tega.”

“Serius? Kenapa kamu diem aja? Kenapa ga cerita ke om?” tanya ku dengan tegas.

“Ga mau om nya kepikiran, lagi juga kita bisa apa? Tante nya juga keras kepala gitu…”

“Kalian berdua sama saja.”

“Kok gitu? Maaf…”

“Besok kita paksa tante mu itu ke dokter. Konsultasi lagi lalu kita lakukan apapun yang di anjurkan dokter. Kalau perlu operasi kita operasi.”

“I-iya om. Oiya om, satu lagi…”

“Apa?”

“Tante Binar bagaimana?”

“Baik, kenapa?”

“Udah bisa nerima tante Kiki?”

Aku menggeleng.

“Yah…”

“Masih seperti biasa.”

“Apa kita bilang saja kalau tante Kiki itu…”

“Jangan, biarin aja seperti ini.”

“Hufftt… Tiara sedih, masa punya om ama tante tapi berantem gara-gara aku?”

“Ya mau gimana? Kalian berdua kalau punya mau sama-sama maksa,” balas ku dengan agak kesal sebenarnya. Tapi aku menahannya karena tidak punya pilihan lain.

“Kalau… amit-amit… misal tante Kiki ga ketolong, om boleh deh sama siapa aja. Maaf banget om kalau Tiara maksa. Tapi Tiara tau persis yang bisa bikin tante Kiki bahagia itu hanya om, meskipun…”

“Om mengerti, makanya om lebih berat ke tante Kiki. Tapi kalau yang kamu ucapin tadi sampai kejadian, enggak deh. Makasih. Om sendiri sudah capek sebenarnya…”

“Meskipun tante Binar…”

“Kalau apa yang di mau tante Binar itu ndak ada urgensi nya, biarkan saja. Om hanya akan melakukan apapun sesuai dengan kata hati om.”

“Iya…”

“Kamu yang sabar ya…” ucap ku sambil mengelus-elus rambut panjang Tiara yang sudah tidak sekriwil waktu kecil dulu.

“Pasti…”

~•~•~•~

Karena kami paksa, akhirnya Kiki mau juga untuk kembali memeriksakan dirinya ke dokter. Pokoknya kali ini harus mau. Tidak ada kata tidak. Aku sempat melihat Kiki yang nampak cemberut kepada Tiara, tapi apa daya, dia memang paling tidak bisa menolak bila Tiara yang meminta.

Dan apa yang ditakutkan Tiara ternyata memang benar adanya. Aku tidak mengerti istilahnya, tetapi apa yang ada di tubuh Kiki ternyata memang semakin parah. Aku tidak pernah membanyangkan sebelumnya kalau akan secepat dan separah ini. Berarti hampir dua bulan ini kami hanya jalan di tempat. Tidak ada perkembangan yang kami dapatkan. Justru semakin buruk.

Menurut hasil diagnosa, hanya ada satu cara, yaitu operasi. Tapi itu pun peluangnya sangat kecil. Tapi bila tidak dioperasipun juga hanya tinggal menunggu waktu. Meskipun umur dan maut itu urusan Tuhan, tapi setidaknya itulah yang terlihat secara medis. Dari sisi ilmu pengetahuan. Dan aku tidak tau harus menyikapinya bagaimana. Aku bukan keluarga intinya, dan aku tidak punya kuasa penuh untuk mengambil keputusan.

Aku lalu menjelaskan perihal operasi ini kepada Kiki. Kiki menyanggupinya. Dia nampak biasa saja. Sepertinya dia cuek-cuek saja dengan apa yang dokter jelaskan. Atau mungkin dia sudah bisa menebak hasilnya tanpa aku menjelaskan semuanya. Entahlah. Paling tidak dia tidak menolak. Itu yang terbaik untuk saat ini.

Tapi, dia punya satu permintaan. Sebelum dilakukannya operasi, dia ingin pulang kampung terlebih dahulu untuk menemui bapaknya. Katanya kangen, juga kangen dengan kampung halamannya sendiri. Yang menjadi masalah adalah dia minta pulang kampungnya sendiri. Tidak mau di temani. Yang benar saja? Bagaimana bisa aku melepasnya sendiri?

Aku pun tidak habis akal. Aku lalu berkata padanya bahwa aku ada urusan di kampung, dan aku akan pulang juga. Dia tidak mempermasalahkannya. Akhirnya kami sepakat pulang bersama. Kami akan naik pesawat dan turun di Jogja. Yang penting aku tidak mengikutinya sampai Purworejo. Tapi aku juga menyampaikan bahwa nanti aku akan menyusul nya ke sana untuk berbicara pada bapaknya perlihal niat baik ku pada nya. Dan dia mengiyakan.

Baru setelah itu, setelah kami balik ke Jakarta, kami akan ke dokter lagi untuk berkonsultasi lagi bagaimana baiknya kedepan. Kalaupun benar-benar harus operasi, itu akan kami lakukan. Hanya doa yang bisa aku lakukan saat ini. Semoga Tuhan memberikan kesembuhan melalui dokter atas ikhtiar yang kami lakukan. Aamiin.

~•~•~•~

Aku duduk di deretan bangku ruang tunggu bandara. Menunggu dalam kebosanan. Di depan ku para pengguna jasa angkutan udara ini juga nampak bosan menunggu jadwal keberangkatan yang masih sekitar satu jam lagi. Di samping kiri ku, seorang gadis remaja yang baru beranjak dewasa sibuk dengan smartphone nya. Di samping kanan ku, seorang wanita dewasa yang seumuran dengan ku duduk dengan anggunnya, juga asik dengan smartphone nya. Sesekali dari bibir tipis nya terutas senyum manis yang mampu meluluhkan hati siapapun yang melihatnya. Aku mencoba melirik ke arah pandangannya, rupanya dia sedang memperhatikan album foto di galery HP nya. Foto-foto wisuda.

“Waktu itu… Tiara belum ada sedada kamu ya tingginya,” komentar ku saat Kiki sedang memperhatikan foto berdua nya dengan Tiara.

Ya, enam tahun yang lalu atau tepatnya setelah kelulusan, Tiara memang masih berumur sembilan tahun, dan dia baru kelas tiga SD. Inget banget waktu itu Tiara lari-lari dengan lucunya menghampiri Kiki dan langsung memeluknya dengan erat.

“Hihihi, iya, nih lucu ya, rambutnya kriwil, hihihi,” balas Kiki sambil dengan senyum geli nya.

“Iya dulu kriwil, sekarang mah udah lempeng keseringan nyalon, hadeeh.”

“Lagi pada ngomongin aku yah?” tiba-tiba Tiara mencondongkan badannya ke kanan dan ikut melihat ke arah layar HP Kiki.

“Iiih, itu aku yaah? Lucunyaaa…” ucap Tiara histeris melihat foto masa kecilnya sendiri.

“Ada gitu muji diri sendiri?” komentar ku padanya.

“Biarin aja siiih, emang lucu beneran kan? Ya kan tan?”

“Hihihi…” Kiki tertawa geli. “Iyah… lucu, gemesin, imut-imut…” lanjutnya.

“Ge’er deeeh…” aku menanggapi.

“Hahaha… kalau sekarang gimana tan?” tanya Tiara.

“Kalau sekarang, masih lucu, masih imut-imut, dan tambah cantiiikk…” jawab Kiki.

“Oooww… maaaciiii….” balas Tiara sambil cengar-cengir.

“Stoop Ki, please jangan dilanjut…” ucup ku dengan mendramatisir.

“Biarin aja sih, iiih… rese banget sih… ga bisa liat orang seneng aja…” potong Tiara.

“Hahaha. Ssstth… jangan pada berisik.”

“Om tuh yang lebay.”

“Kamu yang ke ge’er an.”

“Udah-udah…”

“Weeek…”

“Weeek…”

“Hehehe. Ini dulu Tiara kelas berapa ya?” tanya Kiki sambil jari lentiknya menggeser lagi layar HP nya ke kiri dan ke kanan lalu menunjukkan foto-foto lama itu.

“Kalau tidak salah sih kelas tiga SD, bener ga?” balas ku.

“Kayaknya sih bener om,” balas Tiara sambil manggut-manggut.

“Tuh, kamu waktu itu cuma seperut tante lebih dikit lho Ra,” ucap Kiki lagi pada Tiara.

“Sekarang kalian tingginya hampir sama ya?”

“Iyah, hehehe. Ga nyampe lulus SMA paling juga udah tinggian Tiara Ian,” bales Kiki.

“Hahaha, kayanya,” Tiara mengamini. “Makanya tante tetep semangat yah. Lawan terus tuh penyakitnya. Supaya kita bisa sama-sama terus dan nanti pas lulusan kita lihat bakalan lebih tinggi siapa diantara kita, hihihi.”

“Hehehe. Iya, pasti. Selama ada kalian, tante pasti akan berusaha.”

“Janji yaah!” pinta Tiara lagi.

“Iyahhh sayaaang…”

“Siiip. Itu baru namanya tante Kiki.”

Ya, semoga saja. Semoga saja Kiki masih bisa bertahan minimal hingga tiga tahun lagi, atau lebih lama lagi. Semoga. Hari ini kami bertiga akan berangkat pulang kampung. Sebenarnya niat utamanya adalah untuk menemani Kiki. Tapi aku dan Tiara sekalian akan berziarah ke makam keluarga kami. Anak dan istri ku, dan kedua orang tuanya.

“Tiara, mau liat foto-foto konyol nya om Ian ga? Hihihi,” ucap Kiki tiba-tiba.

“Heeeh? Foto yang mana ya?” balas ku dengan kaget.

“Mau dong tan, mayan buat bahan cengan, hahaha.”

“Heeeh! Jangan seenaknya ya kalian…!!!”

“Waduh, ga boleh Ra, gimana dong?” tanya Kiki lagi pura-pura bingung.

“Hahaha. Cuek aja tan, udah japri langsung, hahaha.”

“Hihihi. Iya yaaah. Ya udah nih, tangkap yaa…” ucap Kiki dengan santainya yang di barengi dengan mengirim beberapa file foto melalui wasap.

“Aaah parah banget sih…” aku mencoba meraih HP Kiki namun anak itu lebih dulu kabur. Begitu juga Tiara yang juga beranjak menjauh dari ku.

“Ah paraaah. Foto yang mana sih?” tanya ku.

Tidak ada balasan dari mereka. Yang ada adalah tiba-tiba Tiara menunjukkan ekspresi kaget nya saat melihat layar HP nya. Ahh, pasti foto itu sudah di kirim. Aku tidak tau foto yang mana yang dimaksud karena aku sendiri jug sudah lupa pernah difoto atau di candid dengan gaya konyol.

“Oh my god… oh mya god… ini om Ian?” ucap Tiara lagi semakin menjadi.

“Lebay ah!!” ucap ku pada mereka.

“Ahahaha, sumpah kocak banget, hahaha…” ucap Tiara lagi.

“Bodoooo!!!” jawab ku ngasal.

“Hihihi…” Kiki juga tertawa lalu tersenyum kepada ku.

Senyuman itu begitu indah. Begitu tulus. Begitu ikhlas. Dan menentramkan. Tapi entah hanya perasaan ku saja atau bagaimana, aku merasa senyumannya kali nampak sangat berbeda dari biasanya. Ada sesuatu dibalik senyumannya. Iya, aku yakin ada sesuatu yang berbeda. Tapi aku tidak tau apa itu.

[Bersambung]
Hallo Bosku, Disini Admin KisahMalah
Agar Admin Semakin Semangat Update Cerita Cerita Seru Seterusnya, Bantu Klik Iklan yang Ngambang ya.
Atau Gambar Dibawah INI

Atau Bagi Kamu yang suka bermain game Poker Online atau Gambling Online lainnya, bisa di coba daftarkan ya. Banyak Bonus dan Hadiahnya Loh.
Untuk yang Kesulitan Daftar bisa Hub Admin di WA untuk di bantu Daftar.
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂

Daftar Part

By Kisah Malam

Kisah Malam adalah sebuah Website yang berisikan Novel Dewasa, Novel Sex, Cerita Sex, Cerita First Time, Cerita Bersambung, Cerina Menarik Lainnya. Dukung Terus KisahMalam.Com Dengan Cara Bookmarks, Dan Nanti Kan Konten Terupdate dari KisahMalam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *