Merindukan Kesederhanaan Part 49
Analisa
“Jadi sekarang deket lagi sama mba Kiki nih cerita nya?” tanya Farah pada ku sore ini. Kami berdua masih berada di kantor, di dalam ruangan yang tersekat dengan kubikel ini. Sudah mendekati jam pulang kantor dan kami sudah tidak ada pekerjaan lagi. Awal bulan, tidak terlalu banyak pekerjaan hingga tidak ada yang menumpuk.
Aku mengangkat alis ku menanggapi pertanyaannya. Aku, dan juga Tiara, memang semakin hari semakin dekat dengan Kiki. Khusus nya aku dengan Kiki, ada kedekatan tersendiri dengannya. Aku yang awal nya berniat tidak akan, atau belum akan membuka hati dalam waktu dekat, kini mulai termakan dengan omongan ku sendiri. Kelembutan dan kehangatan hubungan yang tercipta di antara kami berdua membuat dinding kokoh bernama komitmen di dalam diri ku perlahan mulai rapuh dan goyah seiring dengan berjalannya waktu.
Kiki pun juga nampaknya sedikit demi sedikit juga mulai bisa menirima kehadiran ku. Ditambah lagi dengan keberadaan Tiara yang juga membuat hubungan kami semakin ceria. Dan yang paling membahagiakan tentu saja adalah Kiki bersedia untuk aku ajak berobat kembali. Beberapa kali kami pergi ke dokter untuk mengkonsultasikan penyakitnya. Meskipun hasilnya tetap sama, tapi paling tidak semangatnya sudah kembali. Paling tidak ada kemauan untuk melawan penyakit itu. Dan tentu saja sambil mengharapkan keajaiban datang dan menolong kami.
“Mba Kiki makin cantik yah mas? Anggun, lembut, terus keibuan. Seneng dong mas Ian sekarang? Hehehe. Iiih, jadi gemes sendiri liat foto nya…” ucap Farah panjang lebar. Selebar badannya yang semakin membengkak setelah kelahiran anak ke dua nya.
“Orientasi seksual kamu sudah berubah ya?” tanya ku sambil memicingkan mata.
“Enak aja. Aku masih suka sama batangan. Hahaha. Tapi aku suka kagum aja sama ciwik-ciwik yang cantik gitu. Kaya misal nya Binar, mba Kiki, mba Gita. Gemesin tau ga? Lah kalau aku?” keluh Farah sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Mungkin meratapi nasib memiliki bada yang bongsor seperti dirinya. Farah ini sebenarnya tidak gemuk-gemuk amad, hanya saja karena perawakannya yang berisi, membuat dirinya merasa gemuk. Sayangnya dia sendiri kadang tidak pede dengan tubuhnya.
“Setiap wanita punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ya disyukuri saja apa yang kita punya.”
“Arah pembicarannya pasti akan bilang Kamu juga punya kelebihan kok Far, kelebihan berat badan, gitu kan?”
“Hahaha, tau aja.”
“Tau lah. Oh iya mas, berarti fix nih sama mba Kiki?”
“Apanya yang fix?” tanya ku balik.
“Ya itu, mas sama mba Kiki…” balasnya sambil membuat gerakan dengan kedua jemari tangannya yang saling beradu.
“Kejauhan kamu mikirnya,” aku menyangkalnya. Padahal sebenarnya aku juga berharap ke sana. Tapi kadang aku masih belum percaya. Kiki yang dulu menjadi sahabat terdekat ku, bahkan lebih dekat dari Doni itu kini punya hubungan khusus dengan ku.
“Salah ya?”
“Enggak juga sih, hahaha.”
“Lah gimana?”
“Ga tau juga. Jalanin aja deh pokoknya. Yang penting sekarang mah aku dia dan Tiara sama-sama bahagia.”
“Sama-sama seneng ya. Macem hubungan kumpul kebo gitu. Hahaha.”
“Sialan. Jangan samain Kiki dengan wanita lainnya ya. Dia itu istimewa.”
“Becanda mas… hahaha, ngomong-ngomong besok kalian jadi jalan?”
“Insyaallah jadi. Kamu ikut aja berempat. Vila nya gede kok. Kamar nya ada dua. Buat kamu sekeluarga satu, buat Kiki dan Tiara satu.”
“Mas Ian?”
“Aku mah tidur dimana aja bisa.”
“Ooowww… so sweet… tapi enggak deh. Ntar malah ganggu mas Ian sama mba Kiki lagi. Mau bulan madu kan? Hihihi.”
“Ijab qabul aja belum, udah bulan madu aja…”
“Ya siapa tau mau nge DP dulu gitu, hahaha…”
“Emang nya kamu, bisa di DP?”
“Aku mah ga bisa, mas Ajie yang aku DP in, hahaha.”
“Hahaha, BG. Beneran ga mau ikut?”
“Enggak mas ku tersayaaang. Kirimin video nya aja ya! Hihihi.”
“Saraaaaap!”
Farah meringis menahan tawa. Kami pun lalu bersiap-siap untuk pulang karena saking asyiknya ngobrol sampai tidak terasa sudah jam nya pulang kerja. Dan dia akan pulang bereng dengan ku karena rumah kami memang searah. Biasanya aku akan menurunkan dia di depan kompleknya, lalu kemudian akan naik ojek. Atau jalan kaki, tergantung mood dia. Kecuali kalau malem banget, aku akan mengantar nya sampai depan rumah nya.
~•~•~•~
Karena ingin menghindari macet, tadi pagi jam enam aku sudah tiba di kost Kiki. Dan setelah menempuh perjalanan selama dua jam, kami tiba di vila yang akan kami tempati malam ini. Dan akhirnya malah kepagian. Tapi untungnya penjaga vila nya baik, karena tidak ada yang menyawa, kami diperbolehkan cek in dari pagi. Sungguh baik hati bapak itu.
Setelah menaruh barang-barang, kami bertiga jalan-jalan pagi ke sekitaran vila yang masih sangat hijau. Masih banyak pepohonan membuat udara terasa segar dan sejuk. Apalagi vila ini berada di daerah perbukitan yang membuat udaranya cukup dingin saat pagi hari. Kebetulan di dekat vila ini ada objek wisata air terjun, atau orang setempat biasa menyebutnya curug. Kami bermain bersama, menikmati alam yang indah. Memori ku kembali ke masa beberapa tahun yang lalu saat aku dan Kiki jalan-jalan ke curug Silangit. Aku sempat membahas nya tapi justru membuatnya malu karena aku juga membahas insiden terpleset yang membuat ku dapat merasakan kenyal nya bagian tubuh nya yang itu. Kalau diingat kembali bikin senyum-senyum sendiri. Iya aku senyum-senyum, lalu kepala ku di tempeleng sama Kiki.
Siangnya, kami balik ke vila. Tentunya untuk makan siang. Sebenarnya aku sudah mengatakn kepada Kiki bahwa tidak usah membawa makanan. Kita bisa membeli makan di sini. Tentu saja aku berkata seperti itu agar tidak merepotkan dia. Namun tetap saja dia memaksa untuk membawa makanan. Alasannya? Lebih terasa seni nya dari pada sekedar membeli. Ya memang asuk akal. Untuk makan siangnya, kami akan makan makanan yang sudah jadi atau sudah matang, tinggal dihangatkan saja. Sedangkan untuk makan malam, dia membawa bahan makanan untuk di bakar. Bakar-bakaran di malam hari yang dingin.
Setelah makan siang kami memutuskan untuk istirahat saja. Di luar sana cuaca cukup terik. Meski tidak sepanas di jakarta, tapi cukup panas juga. Toh juga kami sudah jalan-jalan di sekitaran vila pagi tadi. Istirahat adalah pilihan yang paling tepat sebelum sore hingga malam nanti kita senang-senang bersama.
~•~•~•~
“Kita harus sering-sering begini nih, biar bahagia. Jadi ga kurang piknik,” celetuk Tiara saat kami sedang mempersiapkan semuanya. Sekarang pukul setengah delapan, dan kami baru saja menyelesaikan ibadah wajib berjamaah.
“Iya, biar kamu tambah ndutan dikit, ga cungkring kaya gitu,” balas ku dengan tersenyum. Tiara langsung memperhatikan tubuhnya sendiri. Lalu melirik ke arah Ki yang sedang mengatur makanan yang akan kami bakar. Sedangkan aku sendiri sedang menghidupkan bara api. Tiara? Entahlah apa yang dia kerjakan. Kadang membantu ku, kadang membantu Kiki. Tapi lebih banyak bercandanya.
“Kaya gini cungkring ya tan?”
“Ehmm… enggak kok, masih ideal, tapi kalau agak berisi dikiiit lagi kayanya lebih oke.”
“Tuh, tante bilang masih ideal kok,” ucap Tiara kepada ku.
“Ada tapi nya kaaan…” balas ku.
“Eh? Jadi gimana tan? Pas ga sih sebenarnya?” tanya Tiara lagi dengan raut muka kebingungan.
“Hihihi. Udah pas kok. Yang penting sehat, bahagia. Dan yang paling penting tetep cantik, hehehe.”
“Tante juga makin hari makin cantik aja. Hihihi. Tuh om, kata tante udah pas kok, weeek.”
“Ah, kalian para wanita memang suka nya saling memuji,” balas ku dengan cuek.
“Dari pada om, protes mulu.”
“Karena kamu nya rese, cerewet, banyak mau nya lagi, makanya om protes…”
“Biarin. Yang penting Tiara seneng, weeek,” balas Tiara. Namun tiba-tiba Kiki tertawa sendiri.
“Kenapa?” tanya ku dan Tiara hampir berbarengan.
“Ga apa-apa. Cumaaan… kalau lagi berdua di rumah gitu apa kalian selalu berdebat seperti ini? Hihihi.”
“Enggak…” jawab ku.
“Pastinya… tapi om Ian yang selalu mulai dulu tan…” balas Tiara berbarengan tapi berbeda suara.
“Hahaha. Bisa beda gitu jawabanya? Yang bener yang mana nih?”
“Aku lah…” jawab ku lagi.
“Tiara…” lagi-lagi jawaban kami berbeda.
“Hahaha. Sudah-sudah. Ga selesai-selesai nanti kalau berantem mulu. Mending kita mulai aja ya…”
“Ini bukan berantem tan, tapi ini tuh bentuk kasih sayang di antara kami,” balas Tiara dengan pede nya yang membuat Kiki samakin tergelak dengan tawa nya. Aku sebenarnya juga mau ikut tertawa tapi aku tahan karena kalau aku lanjut pasti tidak akan ada ujung nya.
“Mana yang mau dibakar? Api nya udah siap nih,” tanya ku. Kiki lalu membawa bahan makanan yang akan kami masak. Dan kami pun memulai acara barbeque malam ini. Sedangkan Tiara? Kalau tidak bisa dibilang merecoki, maka yang dilakukannya hanyalah mengganggu ku dengan pertanyaan-pertanyaan konyol nya.
~•~•~•~
Pukul sembilan lewat kami sudah selesai. Tidak ada acara makan malam bersama, karena apa yang kami bakar, begitu matang langsung kami makan. Jadi kita menyebutnya ngemil bersama. Paling hanya dengan tambahan sedikit nasi, sudah membuat kami kekenyangan.
“Tiara bobo duluan yah, om, tante, ngantuk soalnya capek,” ucap Tiara pada kami setelah kami selesai membereskan semuanya.
“Lah? Tumbeeen. Biasanya insomnia kamu kalau libur?” tanya ku dengan penuh curiga. Kiki pun nampaknya juga kaget. Dia pasti memikirkan sesuatu. Mungkin sama dengan pikiran ku.
“Kok udah mau bobo sih? Nanti tante sama siapa…?”
“Kan ada si om…” balas Tiara sambil menunjuk ke arah ku dengan jahilnya.
“Masa berdua aja?”
“Makanya nanti kalau mau ngobrol, di ruang tengah aja, jangan mau ya tan kalau di ajak ke kamar sama om, hihihi,” canda Tiara.
“Eeee… masih kecil ya, ga boleh ngomong kaya gitu,” balas ku kurang suka karena candaannya yang agak menjurus.
“Hehehe, canda om…” balas Tiara sambil nyengir.
“Ya sudah, kalau mau bobo ya bobo sana. Kayanya malam ini bakalan lebih tenang kalau kamu tidur nya cepet,” ucap ku dengan kesal.
“Iaaan…” tegur Kiki kepada ku.
“Hahaha, iya deh iyaaa… hahaha…” balas Tiara sambil tertawa dan kemudian beranjak pergi meninggalkan kami berdua. Rambut keriwil nya terlihat semakin hari semakin panjang saja.
Sekarang tinggal aku dan Kiki yang berada di dalam ruang tengah vila ini. Aku sebenarnya masih ingin di luar, duduk-duduk di teras sambil minum kopi dan makan cemilan sepertinya menarik. Tapi sepertinya bukan ide yang bagus bila harus mengajak Kiki. Dia pasti akan kedinginan sedangkan dia sendiri belum ada tanda-tanda akan tidur. Jadi ya akhirnya kami berdua duduk-duduk saja di ruang tengah.
“Ian…” panggilnya tiba-tiba. Aku hanya menoleh kepadanya.
“Mau ngopi? Aku buatin yah,” tawarnya. Ah kebetulan sekali batin ku.
“Ehmm… jujur aku tadi mikitin kopi, kamu emang the best Ki, sekalian cemilannya ya, hehehe.”
“Huuu, dasar. Masih saja seperti dulu manjanya. Ya udah, bentar yah,” balas Kiki sambil tersenyum dan berjalan menuju dapur. Sekarang gantian aku yang nyengir kuda kepada nya.
Tidak sampai sepuluh menit Kiki sudah kembali, dengan nampan yang berisi secangkir kopi dan cemilan.
“Cuma satu?”
“Pertanyaan yang sama, hehehe.”
“Pertanyaan yang sama?” ulang ku.
“Iya, sama persis dengan pertanyaan mu waktu kamu terakhir kali main ke kost ku waktu itu…”
“Hah? Iya ya? Kamu masih ingat?”
“Kebetulan aja inget. Momen nya mirip.”
“Terus kamu waktu itu jawab apa?”
“Mana bisa aku ngopi.”
“Ah iya, yang kamu ngasih aku makan itu kan ya? Jawaban yang sama persis dengan almarhum…” ucap ku pelan. Ya, jawaban itu sama persis dengan jawaban mba Endang kalau di tawarin kopi, dia memang tidak bisa ngopi.
“Eh, maaf ya kalau jadi ngingetin kamu sama mba Endang…”
“Ga apa-apa, santai aja kali.
“Tapi bener kan tadi? Inget?”
“Iya inget aku sekarang. Udah lama banget ya?”
“Enem tahunan kayanya…”
“Iya…”
Kiki masih ingat momen-momen itu. Sedangkan aku sendiri kalau tidak di bahas pasti sudah lupa. Berarti waktu itu mungkin saat-saat di mana kami sudah kehilangan Doni dan Gita. Hanya ada Kiki waktu itu.
“Ian…” ucap Kiki pelan. Aku menoleh kembali kepadanya. Kami saling memandang untuk sesaat.
“Yes?”
“Kamu yakin dengan tawaran kamu itu?”
“Tawaran apa?”
“Itu… kita…”
“Owh itu. Tentu saja. Kenapa?”
“Kalau aku berubah pikiran bagaimana?”
“Kamu mau menjadi bagian dari aku dan Tiara?”
“Jawab dulu, kalau aku sekarang mau bagaimana?”
“Ya tentu saja aku seneng lah. Bahagia. Tiara pasti juga begitu.”
“Kalian yakin? Kalau aku tiba-tiba colaps?”
“Lain masalah kalau itu.”
“Tapi aku ragu, aku takut kamu menginginkan ku hanya karena…”
“Aku mau ini itu sepenuh hati. Lebih dari apapun untuk saat ini.”
“Kenapa?”
“Karena sekarang aku merasakan sesuatu yang berbeda dari kamu yang itu bukan hanya sekedar sahabat.”
“Gita cantik ya Ian?”
“Kenapa tiba-tiba nanya Gita gitu? Random banget, hahaha.”
“Hahaha, jawab aja sih pertanyaan ku…”
“Iya cantik… tapi kenapa?”
“Kenapa kamu dulu begitu cuek dengan Gita? Padahal aku yakin kamu tau isi hatinya. Dan aku juga tau kamu sempat bimbang dengan perasaan mu pada nya, kan?”
“Ehmm… itu…”
“Karena waktu itu masih ada alm Diah kan?” tanya Kiki lagi.
“Mungkin…”
“Aku anggap jawaban kamu iya. Kesimpulannya adalah cinta kmu ke Diah itu begitu besar hingga kamu tidak bisa berpaling ke Gita, meskipun pada akhirnya kamu menikah dengan alm mba Ayu.”
“Kamu sedang menganalisa ku ya?”
“Enggak. Tapi aku cuma mau mastiin satu hal aja, apa perasaan mu ke Diah sekarang ini masih sama besarnya seperti dulu, itu saja.”
Sebuah keingintahuan yang realistis dan masuk akal. Dan aku tidak bisa menjawabnya. Aku bingung. Aku ragu jika harus menjawab pertanyaan soal Diah. Diah memang tidak secantik Gita, Diah memang tidak sesabar Kiki, Diah memang tidak sedewasa Ayu, dan Diah memang sudah tiada, tapi Diah tetaplah Diah. Cinta pertama ku. Dan akan tetap menjadi yang pertama.
“Kalau kamu hanya diam, aku anggep jawaban kamu iya.”
Ya, aku memang tidak bisa memberikan jawaban untuk pertanyaannya itu. Tapi aku tetap harus memberikannya penjelasan.
“Jujur iya. Tapi apakah pertanyaan seperti itu pantes ditanyain ke orang yang sudah…”
“Intinya iya kan?”
“Ta-tapi Ki…”
“Ndak apa-apa kok, aku ngerti. Kamu memang menikah dengan alm mba Ayu, dan punya niat menikahi ku juga. Tapi aku semakin yakin bahwa orang yang paling kamu cintai adalah alm Diah.”
“Lalu inti dari pembicaraan ini?”
“Aku cuma pengen tau aja sih. Tapi… kalau memang kamu serius mau nikahin aku, ya coba saja kamu bilang langsung ke bapak ku. Kalau beliau merestui, aku akan menerima nya.”
“Kamu serius?”
“Ya. Toh menikah atau tidak, ending nya akan tetap sama,” balasnya dengan senyuman tipis yang miris.
“Jangan bilang begitu napa? Aku ga suka.”
“Kenapa? Memang begitu kan kenyataannya?”
“Ya Allah, lalu apa guna nya kita ke dokter kalau kamu nya masih punya pikiran seperti itu?”
“Aku mencoba untuk realistis aja.”
“Kamu bukan Kiki yang aku kenal dulu.”
“Aku juga merasa diri ku yang sekarang bukan diri ku yang dulu. Yang pasti aku tidak bercanda dengan ucapan ku tadi. Sekarang tinggal kamu nya aja.”
“Iya, akau bakal ngomong sama bapak mu.”
“Ya sudah kalau begitu. Aku duluan yaah, dah ngantuk juga aku nya, hehehe.”
“Kita belum selesai…”
“Besok dilanjut lagi. Kasian Tiara bobo sendirian. Udah ah. Jangan tidur malem-malem kamu nya.”
“I-iya.”
Kiki pun lalu meninggalkan ku karena tidak mungkin juga aku memaksa nya melanjutkan pembicaraan. Sebaiknya juga dia tidur cepat, dan banyak istirahat. Aku lalu merutuki diri ku sendiri yang selalu lemah bila ditanya soal Diah. Apa aku salah? Aku ingin menjawab sebaliknya tapi masalahnya memang seperti itu kenyataannya. Aku memang paling tidak bisa kalau harus berbohong soal perasaan.
Sebentar lagi mungkin aku juga akan tidur saja. Dan kopi buatan Kiki pun masih utuh belum aku sentuh. Iseng aku melihat HP ku dulu. Kebiasaan yang selalu aku lakukan sebelum tidur. Siapa tau ada pesan atau telepon penting. Begitu aku buka, ternyata benar ada beberapa pesan masuk, dan salah satu nya dari…adik ku, Binar.
Enak yaaa…jalan-jalan bertiga…
[Bersambung]
Hallo Bosku, Disini Admin KisahMalah
Agar Admin Semakin Semangat Update Cerita Cerita Seru Seterusnya, Bantu Klik Iklan yang Ngambang ya.
Atau Gambar Dibawah INI
Atau Bagi Kamu yang suka bermain game Poker Online atau Gambling Online lainnya, bisa di coba daftarkan ya. Banyak Bonus dan Hadiahnya Loh.
Untuk yang Kesulitan Daftar bisa Hub Admin di WA untuk di bantu Daftar.
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂