Merindukan Kesederhanaan Part 47
Jogjakarta
Seminggu ini aku tidak fokus dalam bekerja. Pikiran ku terpecah menjadi beberapa cabang. Pertama, beberapa waktu lalu Gita mengirimkan video ucapan selamatnya kepada Binar. Kedua, seminggu yang lalu gantian kiki yang mengirimkan ucapan bela sungkawa ke pada Tiara. Kenapa bisa kebetulan banget ya? Apa meraka berdua sengaja? Tidak mungkin. Aku tidak yakin mereka berdua masih saling berkomunikasi sekarang ini. Aku hanya berharap Doni tidak ikut-ikutan muncul kembali di kehidupan ku.
Apalagi Tiara selama seminggu ini selalu bercerita tentang Kiki. Inilah. Itulah. Semuanya. Berbeda dengan Gita yang hanya sekali menjalin komunikasi dengan Binar, Kiki ternyata masih terus mengirimkan pesan kepada Tiara. Dan Tiara aktif membalasnya. Mereka saling berkirim pesan. Ya meskipun hanya sebatas pesan. Anehnya, tidak sedikitpun mereka berdua membahas tentang ku. Tiara tidak pernah memulai. Dan Kiki juga tidak pernah menanyakan kabar ku.
Tapi kenapa? Kiki yang aku kenal dulu sangat perhatian kepada ku, kenapa sekarang jadi cuek? Apa karena kecewa? Dendam? Atau karena sudah menemukan laki-laki lain yang pas untuknya? Aku harap begitu. Tapi aku tidak berharap dia kecewa terhadap ku dan ujung-ujungnya akan menimbulkan konflik dengan ku. Farah pun saat aku bercerita tentang masalah ini malah tertawa. Katanya aku ini pria yang sangat beruntung. Beruntung apanya? Pusing iya.
Sabtu pagi ini aku sudah berada di bandara. Berdua dengan Tiara. Kami akan terbang ke Jogja lagi karena hari ini adalah empat puluh hari meninggalnya keluarga kami. Dan tentu saja akan ada tahlilan. Kami hanya akan semalam. Besok kami sudah harus balik lagi ke jakarta karena senin kami harus masuk kerja dan sekolah.
“Kok bengong om?” Tiara mengagetkan ku saat tiba-tiba sudah duduk kembali di samping ku di ruang tunggu ini. Kami sudah selesai check in. Tinggal menunggu keberangkatan. Sedangkan barusan Tiara baru balik dari kamar kecil.
“Ah, enggak…”
“Takut baper ya om? Pulang lagi, kenangan bareng tante Diah pasti akan terbayang-bayang lagi,” ledeknya. Dan memang tepat. Aku takut ga kuat.
“Hahaha. Sok tau!” balas ku sambil mengacak-acak rambutnya.
“Om ada rencana nikah lagi?” tanya nya tiba-tiba.
“Tidak,” balas ku dengan cepat.
“Tidak tau maksudnya?” tegasnya.
“Bukan. Tapi emang ga ada rencana,” balas ku.
“Kenapa?”
“Ga tau…”
“Takut kehilangan lagi ya om?”
“Mungkin, kamu kenapa nanya itu?”
“Enggak kenapa-kenapa sih. Aku cuma mikir aja, om kan masih muda. Masih butuh pendamping. Mudah-mudahan om cepet bisa bangkit juga. Kalau gini ceritanya Tiara jadi ga tega. Tiara sedih. Om rela memberikan kehidupan om demi Tiara tapi Tiara ga bisa berbuat apa-apa buat om.”
Aku memandangnya sejenak, dan sedikit memicingkan mata dengan tatapan penuh keheranan. Yang aku pandangi wajahnya ikutan bingung.
“Kenapa om? Rambut Tiara berantakan ya? Gara-gara om siii…” tanya Tiara memprotes ku karena tadi mengacak-acak rambutnya.
“Hehehe. Ga apa-apa. Heran aja kalimat sepanjang dan seberat itu keluar dari mulut kamu. Hahaha.”
“Iiihhsshh. Ngeledek kan. Tapi yang tadi Tiara ucapin itu serius lho om. Tiara juga mau om bahagia.”
“Caranya?”
“Ya nikah lagi.”
“Tidak sesimpel itu neng. Hahaha.”
“Paling tidak kan itu salah satu usahanya. Hasilnya liat nanti.”
“Terus dengan siapa nikahnya? Kamu punya guru cewek yang masih single? Hehehe,” tanya ku sambil bercanda.
“Eh, enggak. Ga ada. Ga ada niat punya guru sekaligus istrinya om aku juga.”
“Lalu?”
“Ehm…” Tiara nampak berfikir. Aku sepertinya mulai tau kemana arah ceritanya.
“Kamu tidak sedang mengarahkan om untuk berfikir ke arah tante Kiki kan?” aku mencoba menebak kemana arah jalan pembicaraan Tiara.
“Heheheee…” Tiara tersenyum dengan garingnya. Benar kan,
“Sudah om duga. Sini-sini,” aku memberi isyarat agar Tiara duduk lebih mendekat. Aku lalu meraih bahu nya. Memeluknya dari samping.
“Tiara ga perlu kok ikut memikirkan masa depan om. Insyaallah om bahagia untuk kehidupan om yang sekarang. Selama Tiara bisa menjadi Tiara yang dulu lagi, om udah seneng banget.”
“Tapi Tiara akan lebih bahagia kalau…”
“Biarin mengalir saja apa adanya. Percaya deh sama om. Om tau apa yang terbaik buat om. Bukannya om ga mau Tiara ikut campur, tapi untuk sekarang ini Tiara fokus aja dulu ke sekolah. Oke?”
“Iya om, maaf.”
“Ga apa-apa sayang. Om ngerti kok. Tiara kalau mau terus berkomunikasi dengan tante Kiki ga apa-apa. Tapi om tidak ada pikiran menuju ke sana. Om masih belum bisa menjalin hubungan lagi. Jadi dari pada setengah hati, lebih baik om sendiri dulu untuk sementara. Maaf yaaa…”
“Iya om…”
Sebenarnya berat bagi ku untuk menolak kemauan dan harapan Tiara. Tapi aku juga tidak bisa kalau harus mengabulkan kemauannya yang satu ini. Aku belum bisa. Jujur aku masih lelah. Aku capek. Aku takut. Aku tidak bisa kalau nanti misal aku menjalin hubungan dengan wanita lagi, lalu ujung-ujungnya akan seperti ini lagi. Aku tidak mau kehilangan lagi. Dan aku tidak mau buru-buru lagi dalam mengambil keputusan. Dan yang paling utama sebenarnya aku belum bisa melupakan Diah. Dan belum ada yang bisa menggantikan posisinya sekarang.
~•~•~•~
Lagi-lagi suasana haru itu muncul kembali. Ibuk masih belum bisa menahan tangisnya sesaat setelah acara tahlilan semalam selesai. Untungnya masih ada mba Laras dan Binar yang terus memberikan semangat kepada ibuk. Untungnya juga momen itu tidak berlangsung lama. Mungkin karena ibuk tau ada Tiara dan tidak mau cucu nya itu ikut larut dalam kesedihan bila melihat mba uti nya menangis.
Pagi ini aku akan ke makam bersama Tiara. Melepas kangen dan rindu. Rindu yang teramat dalam. Rindu karena kami sekarang dipisahkan oleh sesuatu yang bukan hanya jarak dan waktu lagi, tapi juga dunia.
“Iaaan… woooiii…” aku mendengar sebuat teriakan yang sangat lantang memanggil nama ku dari kejauhan saat aku menyusuri jalan menuju makam ini. Aku dan Tiara memang hanya berjalan kaki pergi ke makam nya karena sekalian untuk olahraga pagi. Aku lalu menoleh, ah ternyata dia. Seorang teman dari masa kecil ku.
“Ipin?” ucap ku pelan.
“Siapa om?” tanya Tiara.
“Temen masa kecil om.”
Tiara lalu menatap ku heran. Mungkin Tiara bingung bagaimana mungkin aku bisa memiliki teman seperti Ipin. Dandanannya memang nyentrik, dan terkesan acak-acakan.
Nama asli dari temen ku ini sebenarnya Arifin. Namun karena orang tua jaman dulu suka susah menyebut huruf F, maka kami teman-temannya lebih sering memanggilnya Aripin, lalu lambat laun panggilannya itu berubah menjadi Ipin. Yang masih aku bingung, kalau orang tua nya susuah nyebut huruf F, kenapa menamai anaknya dengan ada huruf F nya? Entahlah.
“Itu temen om? Beda banget sama om?” ulang Tiara lagi.
“Huush! Ga boleh bilang gitu. Dia orangnya baik kok,” jelas ku.
“Tetep aja om, nyentrik gitu, hehehe,” tawa geli Tiara.
Dari kejauhan aku bisa melihat Ipin berlalu menuju arah kami. Atau mungkin dia memang punya tujuan yang searah dengan ku.
“Bener Ian to? Tak pikir siapa…” tegas nya lagi. Sialan. Ternyata dia tadi asal manggil nama ku saja. Untuk betul.
“Iyooo. Iki aku Alfian.”
“Woalaah. Tenanan. Jaaan… Tambah ganteng wae koe ndes. Sukses saiki,” balasnya dengan intonasi yang tinggi dan suara yang keras. Dan logat jawa yang kental. Persis seperti dulu.
“Alhamdulillah. Piye kabar mu? Anak mu wes piro?” tanya ku dengan bahasa jawa karena dia juga menanyai ku dengan bahasa jawa. Dan tidak etis bila aku membalasnya menggunakan bahasa Indonesia.
“Anak ku loro. Seng siji wes mlebu SD. Lha iki opo anak mu? Wes gede. Ayu meneh, hehehe,” tanya Ipin sambil menatap ke arah Tiara. Tiara hanya tersenyum garing. Entah antara malu atau takut. Atau tidak nyaman. Mungkin semuanya.
“Udu, iki ponakan ku. Anake mba Endang… almarhum. Iki aku meh ziarah sek. Mengko bengi aku wes balik nang Jakarta maneh, sesok kudu nguli soale.”
“Owalah anake mba Endang. Oiyo aku nderek belosungkowo yo. Sori banget sasi wingi ki aku juga lagi nguli di Surabaya. Tau kalau kamu dapet musibah itu juga dikabari sama simbok. Diri mu ki sok merendah. Kuli kantoran to?”
“Hahaha, kantoran opo udu kan judule podo-podo kuli. matur suwun yo, hehehe. Koe ki jan iseh podo wae. Hahaha.” aku tertawa. Tapi bukan karena isi kalimatnya. Melainkan bahasanya.
“Lha ngopo kok malah ngguyu?”
“Bahasamu lek ra nggenah. Campur aduk. Nek jowo yo jowo wae ora sah sok-sok di Indonesiakan.”
“Yo aku kan menghormati diri mu. Sopo ngerti wes lali boso jowo…”
“Insyaallah ora. Oiya ki kenal ke ponakan ku. Jenenge Tiara. Tiara, ini om Ipin. Temen om Ian main di kali dulu waktu seumuran kamu. Hehehe.”
Tiara nampak ragu namun kemudian mengulurkan tangannya.
“Tiara, om…”
“Ipin. Saya temannya om Ian,” balas Ipin dengan bahasa Indonesia yang teranat sangat baku.
“Lha awak mu arep ngandi Pin?”
“Aku juga mau ke makam, di suruh simbok bersih-bersih makam nya mbah buyut.”
“Owh… kebetulan. Yo udah yok bareng.”
“Ayook.”
Kami bertiga lalu berjalan menuju makam. Aku minta agar Tiara berjalan di depan sedang aku dan Ipin mengikutinya di belakang.
“Jadi kamu itu sudah nikah dua kali ya?” tanya Ipin basa-basi. Jawabannya sudah jelas.
“Iya. Dan sekarang aku mau ziarah ke makam dua istri ku itu.”
“Kok yo tragis ya? Aku kalau jadi diri mu mungkin sudah stress. Hahaha. Seng sabar yo bro…”
“Belum ngejalanin kok udah bilang stres. Tergantung menyikapinya aja kok. Buktinya aku biasanya aja.”
“Kamu mungkin kuat kali. Kalau aku kan belum tentu.”
“Ga kuat karena belum ngejalanin. Kalau udah ngejalanin pasti juga kuat.”
“Ga tau lah kalau itu. Oiya diri mu udah sukses ya sekarang. Kemana-mana naik pesawat terus. Aku yang namanya masuk bandara saja belum pernah. Hahaha.”
“Ya… beginilah Pin, seperti yang kamu lihat sendiri. Sukses atau enggaknya itu tergantung dari sudut pandang yang melihat.”
“Omongan mu, selalu berat seperti dulu, hahaha.”
“Serius. Kalau dari sisi materi, mungkin aku sedikit lebih beruntung. Tapi dari sisi keluarga. Aku sudah menikah dua kali dan kamu sendiri tau nasib ku sekarang kaya gimana. Masih enakan kamu Pin punya anak dan Istri. Hidup tenang di desa dan bahagia.”
“Kalau kamu bicara soal meninggal nya dua istri mu, itu takdir. Bukan nasib.”
“Bedanya?”
“Kalau takdir Tuhan yang mengatur. Sudah ada garis nya sendiri-sendiri. Kalau nasib, masih bisa dirubah. Makanya ada ungkapan, mengubah nasib. Ndak ada ungkapan mengubah takdir kan?”
“Hahaha, lha sekarang ungkapan mu juga berat Pin?” aku meledeknya.
“Hahaha, ketularan diri mu.”
Kami tertawa bersama. Tidak menyangka aku akan bertemu dengan kawan masa SD ku ini.
Kami berjalan bersama. Jalan ini, yang masih bebatuan dan belum di aspal, jalan yang sering kami lalui dulu. Suasananya masih terasa sama. Pohon jati kiri kanan jalan dan semak-semak di pinggir jalan menjadi pemandangan yang tidak henti-hentinya memanjakan mata ku yang sudah mulai terbiasa melihat gedung bertingkat.
Sebenarnya jalan ini arahnya menuju ke hutan. Dan di ujung jalan sana ada sebuah mata air alami yang digunakan sebagai sumber mata air penduduk desa jaman dulu sebelum mereka memiliki sumur sendiru di masing-masing rumah seperti sekarang. Dulu aku dan teman-teman ku, salah satunya si Ipin ini sering mandi di sana. Mencari ikan. Atau apapun. Kami sering main di sana. Namun yang paling menyenang kan tentunya, curi-curi pandang untuk melihat para gadis atau ibu-ibu muda yang sedang mandi. Hahaha. Sering aku tersenyum sendiri bila mengingat kemesuman masa kecil ku dulu.
Tak terasa kami bertiga sudah masuk ke area pemakaman. Tadi kami sempat berpapasan dengan beberapa warga. Hangat. Itu yang aku rasakan. Sapaan mereka. Senyuman mereka. Masih seperti dahulu. Ramah. Bersaha at. Beberapa aku lupa namanya, tapi aku masih ingat wajahnya.
Tempat ini. Kampung ini. Memang istimewa. Dan yang akan aku kunjungi pagi ini adalah yang paling istimewa yang pernah aku miliki.
Retno Atu Dewanti. Diah Nawang Wulan. Adipati Ageng Restu Kusuma. Kayla Sekar Wulandari. Kalian lah alasan ku untuk selalu pulang ke tempat ini. Tempat dimana mungkin aku nanti juga akan beristirahat. Jogjakarta.
Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama
Suasana Jogja
Walau kini kau t’lah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Ijinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi
Bila hati mulai sepi tanpa terobati
~*~*~*~*~
Waktu berlalu dengan begitu cepat. Tidak terasa sudah hampir satu tahun aku tinggal berdua dengan Tiara. Keponakan ku yang sekarang sudah aku anggap seperti anak ku sendiri. Semenjak kejadian tragis yang menimpa keluarga kami tahun lalu.
Alhamdulillah. Semua berjalan dengan lancar. Tidak seprti yang aku takutkan sebelumnya. Aku takut tidak akan bisa mengontrol Tiara. Atau membahagiakannya. Atau mengembalikan semangatnya. Atau mendidiknya dengan baik. Semuanya tidak tepat. Yang ada adalah Tiara bisa mengatur dirinya sendiri tanpa harus aku awasi. Entah, tapi aku merasa setelah musibah waktu itu justru malah mengubah pola pikir nya jauh lebih dewasa dari pada sebelumnya.
Dia tidak lagi jahil. Tidak lagi mengganggu ku. Pembawaannya lebih dewasa. Urusan rumah tanggapun sebagian dia yang mengatur. Makanan. Kebersihan. Dia selalu berusaha menjadi pribadi yang bisa di andalkan. Padahal dia baru lima belas tahun. Baru akan lulus Sekolah Menengah Pertama. Dan aku sangat bangga kepadanya.
Dan hari ini adalah hari kelulusannya. Satu langkah telah ku lalui. Memastikan pendidikannya berjalan dengan lancar. Dan aku berhasil. Nilai kelusan Tiara masuk ke dalam sepuluh besar juara umum di sekolahnya.
Satu langkah ini telah berhasil kami lalui bersama. Tapi masih ada banyak langkah lagi. SMA. Kuliah. Dan mungkin menikahkannya nanti. Sampai dia mendapatkan pria yang baik yang benar-benar bisa menjaganya, menanggungnya, dan membahagiakannya, sampai saat itu lah baru amanah dari mba Endang selesai aku jalan kan. Jalan yang masih sangat panjang. Tapi aku akan berusaha untuk yang terbaik.
Pukul setengah tujuh pagi Tiara sudah mengabari ku kalau dia sudah selesai di make up di salon langganannya yang kebetulan searah dengan arah sekolahnya. Anak SMP jaman sekarang, wisuda saja katanya harus ke salon dulu. Katanya wajib. Sekali seumur hidup. Harus tampil maksimal. Seperti orang mau nikah saja. Kalau jaman ku dulu mana ada anak ceweknya yang ke salon segala. Atau karena aku sekolah di kampung? Entahlah.
Aku langsung bergegas berangkat dengan mobil ku. Ah iya. Aku dan Tiara sekarang sudah punya mobil. Tapi ini mobil ku sendiri. Aku membeli ya tanpa mengutak-atik tabungan Tiara. Nyicil yang pasti. Terkadang aku masih belum percaya bisa memiliki mobil sendiri.
Setelah menempuh perjalan sekitar tiga puluh menit, kami berdua tiba di sekolah Tiara. Suasana sudah cukup ramai oleh para lulusan maupun keluarga yang hadir. Hampir semua orang tua siswa yang datang selalu berpasangan. Hanya satu dua saja yang datang sendiri. Atau mungkin diwakilkan oleh anggota keluarganya yang lain. Contohnya seperti aku dan Tiara ini.
Saat ini sebenarnya aku sangat khawatir Tiara akan merasa minder atau terbawa suasana lagi karena dia datang tidak dengan orang tua kandung nya. Hanya di temani oleh aku, om nya. Tapi ke khawatiran ku ternyata tidak terjadi. Tiara nampak bahagia meskipun hanya datang berdua saja dengan ku.
Setelah memakirkan mobil, aku dan Tiara berjalan bersama menuju gedung tempat dimana akan dilangsungkannya acara. Mendadak aku jadi teringat masa kelulusan ku dulu. Yang paling membuat ku senang tentu saja perasaan bangga dan bahagia yang di rasakan juga oleh ke dua orang tua ku. Membuat mereka bahagia tentu saja akan menjadi kebahagiaan tersendiri bagi seorang anak. Seandainya mba Endang dan mas Rizal masih ada. Pasti mereka juga akan sangat bangga dengan prestasi yang dicapai oleh Tiara. Yah, seandainya. Sayangnya mereka sudah tidak ada di dunia ini lagi.
Tiara saling menyapa dengan beberapa temannya. Pelukan bahagia, ucapan saling selamat menjadi pemandangan yang hangat pagi ini. Tawa dan keceriaan mereka setelah berjuang bersama selama tiga tahun. Dan semakin lama halaman sekolah menjadi semakin ramai dengan kedatangan para siswa dan keluarganya. Aku pun mengajak Tiara untuk langsung ke gedung namun Tiara menolak. Masih menunggu seseorang. Temannya kah? Mungkin.
“Temen ya?” tanya ku.
“He’em,” balas nya singkat. Pandangannya tidak beranjak dari arah jalanan atau gerbang sekolah.
“Siapa?” tanya ku lagi.
“Ada deh.”
“Langsung ketemuan di dalem aja…” pinta ku. Ku pikir dari pada menunggu sambil berdiri seperti ini akan lebih enakan kalau menunggu di dalam. Bisa duduk.
“Ga mau, orangnya minta ditungguin. Kita harus masuk bareng”
“Soulmate banget ya? Sampe begitunya… entar ga kebagian duduk lho…”
“Ya namanya cewek om. Hahaha. Ada-ada aja om ini. Pasti kebagian lah. Orang ada nomer bangku nya.”
“Ya itu kan kamu… kalau om?”
“Itu sih derita om. Hihihi.”
“Gitu yaaa… tega beneeerrr…” balas ku dengan memelas.
“Om tenang aja, om ga akan sendirian kok nanti.”
“Maksudnya?” tanya ku dengan bingung.
“Ya yang kita tungguin ini nanti bakalan bareng om Ian,” balas nya dengan santai. Aku benar-benar tidak mengerti. Bareng dengan ku kan artinya yang ditunggui ini berarti keluarga juga.
“Ngomong apaan sih? Tunggu dalem aja yuk…”
“Nah… tuh dia orang nya udah nyampe,” ucap Tiara lega.
Dia lalu melambaikan tangan kepada seorang wanita yang baru saja turun dari sebuah taksi. Wanita dengan kurudung panjang yang berwarna cerah senada dengan baju panjangnya yang juga lebar. Wanita itu menatap ke arah Tiara dengan senyum indahnya. Senyum yang sudah cukup lama tidak pernah ku lihat lagi. Senyuman yang mampu menentramkan setiap orang yang melihatnya. Senyuman dari seseorang yang pernah aku kenal dulu. Sekarang pun aku juga masih mengenalnya.
~•~•~•~
Apa yang dikatakan Tiara bahwa kami pasti kebagian tempat duduk ternyata memang benar. Aku sekarang sedang duduk di bangku yang disediakan untuk para keluarga. Sedangkan para lulusan berada di bangku yang di susun terpisah. Masalahnya aku tidak sendiri. Tidak sendiri sebagai wali murid dari Tiara maksud ku.
Ya, yang kami tunggu berdua tadi ternyata bukan teman seangkatannya. Melainkan… aku bingung harus menyebutnya sebagai apa. Bukan keluarga tapi Tiara memintanya sebagai wali murid juga, pendamping ku. Dan orang itu adalah, Kiki. Nur Rizki Handayani. Nama yang sudah sangat lama sekali tidak aku sebut secara lengkap. Sahabat semasa kuliah ku dulu. Bersama dengan Gita dan Doni. Orang-orang yang ingin aku lupakan sebenarnya. Tapi sekarang, tidak ada hujan dan tapi ada angin, tiba-tiba dia datang begitu saja. Maksudnya apa aku juga tidak tau. Aku tidak menanyainya. Aku bahkan hanya berbicara dengannya seperlunya saja. Itupun juga tadi saat masih ada Tiara. Sekarang? Kami saling diam dan membisu.
Dua jam kami lalui hanya dengan saling diam. Aku tidak mengajaknya berbicara. Dia pun begitu. Padangannya selalu fokus ke depan. Menoleh kepada ku pun tidak sama sekali. Hanya aku yang sesekali menengok ke arahnya namun dia sama sekali tidak menengok kearah ku. Hanya HP di jemari tangannya yang lentik yang sesekali mengalihkan fokusnya.
Dua jam yang penuh kesunyian ini akhirnya berakhir sudah. Acara kelulusan sudah selesai. Diakhiri dengan majunya Tiara dan kesembilan temannya yang akan mendapatkan piagam dan penghargaan sebagai sepuluh besar lulusan terbaik. Kami pun bertepuk tangan dengan riuhnya seiring dengan rasa bangga dan bahagia terhadap anak-anak berprestasi itu.
Acara terakhir, acara tidak resmi namun wajib dilakukan oleh semua orang. Foto-foto. Mengabadikan momen bahagia untuk dikenang dikemudian hari. Dan Tiara yang paling semangat tentunya. Dia melambaikan tangan ke arah ku, dan juga Kiki agar menghampirinya. Dan kami berdua menuruti kemauannya. Masih dengan saling diam.
“Om, tante, ayuk foto-foto…” ajak Tiara dengan penuh semangat.
“Yuk, sini tante fotoin,” tawar Kiki. Namun Tiara menolak. Wajahnya menggeleng.
“Kita bertiga foto bareng, kaya temen-temen temen Tiara yang lain…” balas Tiara lemah sambil menunjuk beberapa teman nya yang sedang asyik foto bersama dengan keluarga mereka. Tentu saja dengan background latar yang menunjukkan acara lulusan ini. Sedih rasanya melihat Tiara ingin foto keluarga saja harus memohon kepada kami.
Aku dan Kiki sempat saling pandang. Tatapannya aneh. Setidaknya bagi ku. Mungkin tatapan ku juga aneh, bagi nya. Ada jeda beberapa detik hingga akhirnya Tiara memecahkan keheningan di antara kami.
“Sudah, nanti Tiara jelasin semuanya. Sekarang foto-foto dulu yuk. Biar ada kenangannya. Kalian, ga mau Tiara sedih kan?” tanya Tiara. Pertanyaan setengah ancaman yang membuat ku agak panik.
“Yuk…” aku dan Kiki mengiyakan permintaan Tiara kali ini dengan serempak.
Kami pun mengambil posisi. Tentunya setelah Tiara meminta tolong pada salah seorang temannya untuk mengambil foto kami. Aku di paling kanan. Tiara di tengah. Dan Kiki di kiri. Sempurna pikir ku. Yang tidak kenal mungkin kami akan di kira sebagai sebuah keluarga bahagia.
CEERRRSSSSS…
Sesi foto-foto pun selesai. Dan suasana antara aku dan Kiki masih kaku. Jujur aku tidak suka dengn situasi dingin seperti ini. Ini terlalu mengejutkan. Seharusnya Tiara, atau mereka berdua memberi tahu ku sebelumnya. Setelah pulang nanti aku pasti akan mengiterogasinya. Lihat saja.
“Tiara laper…” keluh Tiara saat kami bertiga berjalan keluar dari gedung. Sekarang memang sudah jam nya makan siamg. Sedangkan aku dengan Kiki masih saling diam. Entah akan sampai kapan.
“Ya udah nanti makan dulu aja,” balas ku. Aku sih tidak masalah nanti makan siang dulu di luar karena aku hari ini memang ijin cuti. Tapi aku tidak menyangka kalau ucapan Tiara tadi itu hanya sebuah pancingan. Dan aku terkena perangkapnya.
“Asiiik makan di luar. Tante Kiki mau makan apa tan?” tanya Tiara dengan manjanya.
“Eh? Makan? Tante ikut? Ndak ah Ti, tante masih kenyang. Tiara sama om nya aja. Tante langsung pulang aja yah?”
“Ah tante mah gitu. Janjinya mau nemenin Tiara seharian ini. Ga asik ah,” protes Tiara.
“Tiara. Ga boleh begitu, Kalau tante nya ga mau ikut ya ga boleh maksa gitu,” aku menegurnya. Aku memang tidak mengharapkan akan makan bertiga dengan Kiki juga. Tapi aku juga tidak suka dengan ucapannya.
“Tante nya udah janji kemarin.”
“Tiaraaa!” aku semakin keras menegurnya.
Tiara langsung diam. Kiki yang melihatnya juga kaget dengan sikap ku. Mungkin karena dia tidak mau membuat Tiara sedih, atau tidak enak bila malah menjadi masalah, Kiki akhirnya mengiyakan.
“Ya udah ya udaah, tante ikut deh. Iiih masa gitu aja ngambek siii? Senyum dooong, Hehehe,” canda Kiki sambil mendekat ke arah Tiara dengan tangan meraih ke dua pinggang Tiara dan berusaha memeluknya dari samping.
“Beneran tante?” tanya Tiara lagi seolah tidak percaya. Wajahnya langsung berbinar. Aku seperti habis melihat sebuah pentas drama di depan ku.
“He’em. Ya udah yuk. Mau makan apa kita?” tanya Kiki sambil menggandeng tangan anak itu dan mengajaknya berjalan menuju parkiran mobil. Kiki sempat menatap ke arah ku sebentar dan memberikan sebuah isyarat. Aku tidak tau pasti maksudnya, tapi sepertinya isyarat agar aku jangan terlalu keras dengan Tiara. Mungkin. Entahlah.
~•~•~•~
Kami duduk lesehan, di sebuah saung, dengan sebuah meja kotak pendek berada di tengah-tengah kami. Aku berhadapan dengan Kiki, sedangkan Tiara berada di arah kiri ku. Akhirnya kami bertiga memang makan siang bersama di sebuah rumah makan dengan nuansa alam. Di daerah sawangan memang masih ada beberapa tempat makan seperti ini. Suasananya sangat nyaman. Saung yang kami tempati ini berbentuk seperti panggung di atas kolam ikan. Dari atas sini aku bisa melihat ikan yang berenang di bawah sana. Menenangkan.
“Tante, sholat dulu yuk. Biar om Ian yang nunggu di sini jagain tas nya, nanti gantian,” ajak Tiara pada Kiki setelah kami selesai memesan makanan. Saat ini tiba-tiba aku merasa menjadi petugas penitipan barang.
“Tante lagi libur Ti, hehehe. Kamu sama om kamu saja dulu,” balas Kiki. Bahkan dia menyebut nama ku saja tidak mau.
“Ya udah. Yuk om…” ajak Tiara. Hampir aku mengiyakannya, tapi sepertinya ini waktu yang pas untuk menanyai Kiki yang tiba-tiba muncul tanpa harus membicarakan di depan Tiara.
“Om masih pegel Ti, capek bawa mobilnya. Kamu duluan aja sana. Nanti gantian aja,” balas ku berkilah. Tiara lalu menatap kami berdua dengan tatapan curiga. Apalagi?
“Hmm…kalian mau ngobrol berdua ya? Baiklah, ngerti kok, hihihi,” ledek Tiara disertai dengan sebuah tawa geli yang keluar dari mulut mungil nya.
“Tiara apaan sih?” Kiki langsung salah tingkah dan tersipu malu. Hahaha. Aku tertawa dalam hati. Dia masih sama seperti dulu. Hampir saja aku menertawakannya sebelum berhasil aku tahan. Aku harus menjaga gengsi ku lah.
“Om memang beneran capek Ti, sudah sana sholat dulu,” perintah ku.
“Iya-iyaaa. Bawel ih,” protes nya. Perasaan Dia yang bawel dari tadi.
Tiara pun pergi. Tinggal kami berdua. Aku dan Kiki. Kami sempat saling menatap untuk sesaat lalu sama-sama memalingkan wajah. Detik-demi pun detik berlalu tanpa ada kata. Lalu tiba-tiba Kiki membuka suara.
“Aku minta maaf,” ucapnya tiba-tiba.
“Apaan?” tanya ku bingung.
“Aku, minta maaf…”
“Minta maaf untuk apa?” aku pura-pura tidak mengerti.
“Semuanya. Tiba-tiba menghilang, dan tiba-tiba datang. Maaf banget aku dulu ninggalin kamu saat kamu baru saja ditinggal Gita dan Doni. Dan sekarang aku tiba-tiba datang itu Tiara yang memaksa ku.”
“Aku udah enggak ngemasalahin itu lagi kok.”
“Bener?”
“Iya… eh berarti kalau Tiara ga minta kamu datang, kamu ga akan pernah datang lagi?”
“Tapi kenapa dari pagi kamu diem aja? Eh, enggak gitu, aku pasti balik lah…”
“Ehm… ga tau. Aku cuma bingung aja mau bicara apa. Setelah sekian lama. Hehehe. Pasti balik ya? Aku pikir ga pernah kembali lagi. Itu sih terserah kamu ya, jalan hidup mu sendiri,” aku tersenyum padanya mencoba mencairkan suasana. Senyum sindiran.
“Tuh kaan… aku minta maaf. A-aku…dulu itu…”
“Yang penting kamu sekarang sudah kembali kan, walau aku tidak tau kamu kembali untuk apa. Untuk Tiara kah? Untuk persahabatan kita dulu kah? Atau untuk diri mu sendiri,” balas ku dengan tenang. Entah kenapa aku jadi ingin menyindirnya terus-terusan. Bibir ini seolah tidak mau berhenti membicarakan dirinya. Mungkin karena sudah terpendam hampir lima tahun lamanya. Apa yang ada dikepala ku keluar begitu saja. Tanpa terbendung.
“Dengerin aku dulu. Aku dulu tiba-tiba pergi itu…karena…aku…”
“Aku ga mau merusak momen kita sekarang dengan Tiara. Kamu tidak mau kita larut dalam memori masa lalu di depan Tiara kan?”
Aku bukan tidak mau mendengar alasan dari Kiki. Tapi aku sudah tau semuanya. Semuanya sudah di ceritakan oleh almarhum Ayu. Aku sudah tau isi hati mu Ki. Tapi aku tidak mau kamu tau aku mengetahuinya.
“Tapi… aku…”
“Percaya kan sama aku?” tanya ku padanya. Mengulang pertanyaan yang sering aku tanyakan pada nya bila kami berselisih paham seperti ini. Dan dia akan langsung menjawab iya.
“I-iya. Ya udah kalau gitu. Sekali lagi aku minta maaf.”
“Iya. Tenang aja. Yang udah lalu biarin aja. Kita sekarang sudah sama-sama dewasa. Sama-sama tau mana yang benar dan salah. Cukup dijadikan pembelajaran saja. Bahwa, komunikasi itu penting.”
“Iya, maaf.”
“Sama-sama. Aku juga minta maaf kalau aku ada salah sampai membuat kamu ngilang gitu aja. Hehehe. Oiya, denger-denger kamu sudah lulus S dua ya? Kereeen.”
“Kamu ga salah, aku yang salah. Alhamdulillah sudah, kamu ga jadi lanjut kuliah lagi?”
“Mantab lah. Lulusan universitas ternama luar negeri lagi. Aku? Enggak kayanya. Ini saja sudah cukup buat aku.”
“Alhamdulillah. Rejeki aku dulu dapet beasiswa.”
“Iya. Aku ikut senang. Terus rencana kedepannya gimana? Balik ke mesir lagi?”
“Enggak. Di Indonesia seterusnya.”
“Owh… mau nikah ya? Hehehe. Sama calonnya yang dulu itu, siapa namanya, aku lupa.”
“Apaan sih? Enggak. Aku memang ada rencana balik aja. Mungkin aku akan mengajar di sini.”
“Owh…” balas ku santai.
“Ian?”
“Ya?”
“Tapi ga apa-apa kan kalau aku terus berkomunikasi dengan Tiara? Kamu ga marah kan?”
“Marah kenapa? Ya ga apa-apa. Selama Tiara senang, aku sih tidak masalah.”
“Makasih. Aku takut kamu marah lalu…”
“Serius amat sih ngobrolnya?” tiara tiba-tiba muncul lagi dan memotong pembicaraan kami.
“Loh, udah selesai?” tanya ku bingung karena Tiara baliknya cepat sekali.
“Belum, ngantri banyak. Nanti aja bis makan bareng om Ian.”
“Owh… ya sudah.”
Kami bertiga lalu larut dalam perbincangan yang seru. Apalagi kalau bukan karena kehadiran Tiara. Kiki sendiri juga jadi lebih banyak tersenyum kepada ku. Tidak seperti tadi selama di sekolah yang hanya diam saja.
Tidak lama kemudian makanan pesanan kami datang. Kami pun makan bersama. Masih sambil bercerita tentunya. Tiara bercerita kalau memang dia yang memaksa Kiki untuk hadir ke acara lulusannya ini. Berarti Kiki memang tidak berbohong.
Semakin lama perbincangan kami semakin cair. Entah mengapa kekesalan ku pada Kiki tadi semakin ke sini semakin pudar dan hilang. Mungkin karena ikatan persahabatan yang kental di antara kami dulu yang membuat kami kembali bisa cepat akrab. Meskipun dia sudah meninggalkan ku tanpa kejelasam selama hampir lima tahun. Dan tanpa kabar. Walaupun pada akhirnya aku tau juga mengapa dia melakukan itu semua.
~•~•~•~
“Tante Kiki makin cantik ya om? Hehehe,” tanya Tiara saat aku dan dia sudah dalam perjalanan pulang. Sebelum nya aku dan Tiara mengantar Kiki terlebih dahulu. Ternyata dia balik ke kost nya yang lama. Di daerah Pondok Cina, depok.
“Hah? Ehmm… iya,” jawab ku jujur. Aku tidak berbohong. Kiki yang sekarang memang nampak lebih cantik. Dan keibuan. Seiring dengan berjalannya waktu ternyata banyak yang berubah dari dirinya. Pembawaannya sekarang juga semakin lembut. Bila dulu saja sudah lembut, sekarang lebih lembut lagi. Lembut banget pokoknya. Wanita paling lembut yang pernah aku kenal.
“Yakin om ga tertarik?”
“Enggak.”
“Kenapa?”
“Om tertariknya sama kamu, hahaha,” canda ku menggoda nya.
“Diiih, serem banget…”
“Hahaha.”
“Jadi gimana om?” tanya Tiara lagi.
Aku rasa Tiara sudah melanggar janjinya tentang urusan pribadi ku. Aku lalu menepikan mobil ku karena sepertinya ini perlu dibahas lagi.
“Kenapa juga kamu ngotot banget om Ian jadian sama tante Kiki?”
“Ga kenapa-kenapa. Seneng aja sama tante Kiki yang baik.”
“Itu aja?”
“Ehm…”
“Katakan aja Ti, ndak usah ragu.”
“Bener om…Tiara cuma pengen om juga bahagia.”
“Tapi bukan begitu caranya. Ayo jujur saja sama om. Apa yang kamu mau sebenarnya?”
“Ehm… itu…” balas Tiara ragu-ragu.
Aku menarik lengan Tiara agar dia menghadap ke arah ku. Dia menurut tapi kepalanya menunduk.
“Sudah janji kan sama om kalau Tiara ada apa-apa, bilang nya ke om. Inget kan janji nya?”
“Iya… inget…”
“Ya udah. Sekarang kamu jujur sama om. Sebenarnya apa yang kamu rasain sekarang ini. Apa yang kamu mau?
“Ehm… itu… Tiara… masih pengen punya sosok orang tua lagi.”
“Ada om kan?” balas ku. Tapi kemudian Tiara menggeleng.
“Kenapa?” tanya ku.
“Om itu hanya bisa menjadi sosok ayah yang baik buat Tiara. Tapi tidak bisa mengisi figur Ibu buat Tiara. Tiara butuh tempat bercerita om… hiks… Tiara butuh tempat berkeluh kesah… hiks… Tiara… hiks… temen-temen Tiara suka cerita kalau mereka sering curhat ke mama nya. Hiks… Tiara juga masih pengen seperti itu. Tiara masih butuh mama…”
Aku menghela nafas. Ternyata keceriaan Tiara selama setahun belakangan ini hanya semu. Dia menutupi kegelisahan hatinya supaya aku tidak khawatir. Dan parahnya, lagi-lagi aku tidak peka. Aku terlalu percaya diri semuanya baik-baik saja. Nyatanya? Tidak.
“Sudah-sudah sayang. I-iya maaf… om mengerti apa yang kamu rasakan.”
“Tiara yang minta maaf om. Hiks… Tiara masih manja. Tiara masih rewel. Tiara… hiks…”
“Enggak. Kamu gak salah. Wajar kalau sebenarnya kamu masih butuh perhatian lebih. Menangislah sayang. Menangislah supaya kamu lega.
Om yang salah. Om akan melakukan apapun yang terbaik buat kamu. Om janji,” ucap ku menenangkannya sambil merengkuh tubuh mungilnya dan memeluknya dengan hangat.
“Hiks… hiks… hiks…”
Dan tangis Tiara pun pecah kembali setelah sekian lama. Tapi aku memakluminya. Sangat wajar bila dia merasakan itu. Dan mungkin, aku memang harus mulai mengubah pendirian ku. Mungkin aku akan melanggarnya sendiri. Tapi semua itu aku lakukan semata-mata hanya demi Tiara. Demi Tiara, aku akan mencoba untuk kembali membuka hati ku. Semoga saja bisa.
[Bersambung]
Hallo Bosku, Disini Admin KisahMalah
Agar Admin Semakin Semangat Update Cerita Cerita Seru Seterusnya, Bantu Klik Iklan yang Ngambang ya.
Atau Gambar Dibawah INI
Atau Bagi Kamu yang suka bermain game Poker Online atau Gambling Online lainnya, bisa di coba daftarkan ya. Banyak Bonus dan Hadiahnya Loh.
Untuk yang Kesulitan Daftar bisa Hub Admin di WA untuk di bantu Daftar.
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂