Merindukan Kesederhanaan Part 46

Yang Akan Selalu Menyayangi Mu

Setelah melalui pertimbangan yang panjang, diputuskan aku yang akan pindah dan tinggal bersama Tiara di rumahnya. Sekarang aku yang akan menjadi orang tua asuh bagi nya. Dan untuk sementara aku juga yang akan mengatur keuangannya hingga Tiara bisa mengatur keuangannya sendiri. Tabungan yang ditinggalkan oleh mas Rizal ternyata cukup banyak. Lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan sehari-hari Tiara dan sekolahnya hingga kuliah nanti. Belum lagi ditambah dengan klaim dari asuransi yang kami dapat. Intinya untuk urusan keuangan aku tidak akan kesulitan untuk merawat dan membesarkan anak ini. Bahkan tanpa semua yang aku sebutkan tadi, dengan penghasilan ku sendiri sekarang pun aku merasa sangat mampu untuk memberikan kebahagiaan untuk nya.

Pengembangan kasus kecelakaan maut yang menimpa keluarga ku pun juga masih berlanjut. Meski aku sendiri merasa terlalu berlarut-larut. Disatu sisi, polisi selalu mengatakan ada kemungkinan status kecelakan ini bisa meningkat menjadi pembunuhan berencana. Tapi ini terlalu lama. Sudah ada tersangkanya, tapi ya begitu-begitu saja. Apa ini strategi mengulur waktu? Entahlah.

Jujur aku terlalu lelah untuk memikirkan itu. Energi ku sudah terbuang terlalu banyak untuk mengikhlaskan kepergian semua anggota keluarga kecil ku termasuk mba Endang dan mas Rizal. Kadang aku merasa masih belum percaya mereka berlima berpulang secepat ini. Meninggalkan ku dan Tiara berdua saja.

Kembali ke kasus kecelakaan tadi, intinya keluarga besar ku menyerahkan sepenuhnya proses penyidikan kepada pihak yang berwajib sesuai dengan proses hukum yang berlaku. Apapun hasilnya, kami akan ikhlas. Yang kami takutkan adalah jika kami melawan, salah-salah malah keluarga kami yang lain yang kena. Terutama bapak dan ibuk. Aku tidak mau mereka kenapa-kenapa. Aku baru tau kalau ternyata keluarga dari mantan suami Diah itu memang mafia semua. Bos nya para preman di kampung sana.

Aku sekarang sudah di Jakarta. Acara pindahan ku juga baru selesai kemarin. Tidak banyak yang aku bawa. Yang pasti baju, dan beberapa barang penting lain yang kecil-kecil. Lemari, tempat tidur, aku tinggal semua. Biarlah jadi bonus buat yang akan menyewanya nanti. Ya, rumah yang aku beli bersama Diah itu akan aku sewakan saja daripada kosong.

Dan sekarang aku kembali menempati kamar yang sembilan tahun yang lalu aku tempati untuk pertama kali nya saat aku pindah ke Jakarta. Ada sedikit renovasi di rumah ini, namun masih terasa sama. Aku masih bisa merasakan masa-masa itu. Perjuangan selama empat tahun mengejar mimpi. Hingga sekarang aku bisa berada di posisi ini.

Tiara sendiri tetap berada di kamar lamanya. Sedangkan kamar mba Endang dan mas Rizal, aku belum tahu akan di apakan kamar itu. Akan aku pikirkan nanti.

Dengan lemas aku bangun dari tempat tidur ku dan berjalan menuju ruang tengah. Sudah jam delapan ternyata. Tadi, setelah subuhan berjamaah dengan Tiara, kami berdua memang sama-sama tidur lagi karena masih mengantuk. Sekarang hari minggu, besok senin dan kami berdua akan memulai aktifitas seperti biasa untuk pertama kalinya setelah musibah itu besok.

Aku tidak terlalu khawatir dengan diri ku. Pekerjaan tidak ada masalah. Yang aku khawatirkan adalah Tiara. Dia baru saja naik ke kelas tiga dan sudah harus tidak masuk sekolah sebulan lebih. Tentu ada dispensasi dari sekolah terkait absensinya, tapi untuk materi? Bagaimana dia bisa mengejar ketertinggalannya. Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuknya. Kalau di suruh membantu nya belajar, aku tidak yakin bisa. Selain karena aku nya yang sudah lupa, kurikulum jaman ku dulu tentu sangat jauh berbeda dengan kurikulum yang sekarang. Apa aku les kan saja ya dia? Ide bagus. Tapi aku juga harus melihat kondisi fisiknya juga nanti, kuat atau tidak.

Ku rebahkan badan ku di sofa panjang yang menyamping ke tv, membuat posisi tidur ku mengarah ke tv. Lalu ku nyalakan tv itu. Persis seperti kebiasaan ku dulu. Aku lalu menonton acara tv minggu pagi. Kartun kesukaan ku yang masih terus diputar sehak aku kecil dulu. Ya meskipun hanya diulang-ulang terus, tapi masih tetap menarik dan menghibur. Tidak lama berselang Tiara keluar dari kamarnya. Mungkin mendengar suara tv yang aku nyalakan membuatnya tahu kalau aku sudah bangun.

“Pagi Ti…”

“Paagiii omm…” balasnya dengan lemas tak bertenaga mirip dengan zombie. Dia kemudian duduk di sofa pendek yang berada di dekat meja makan yang menghadap ke tv. Rambut kriwilnya sangat acak-acakan. Tapi anak itu masih tetap terlihat manis.

“Cuci muka sana…” perintah ku. “Gosok gigi, trus sarapan,” lanjut ku.

“Emang om udah sarapan?”

“Belum sih…”

“Sarapan apa ya om enaknya?”

“Eh, iya ya. Sarapan apa ya? Tukang sarapan jam segini udah pada habis kali ya?”

“Makanyaa… cuma ada mie sama telor. Hahaha. Sian banget ya kita?”

“Hahaha. Iya. Ya udah nanti siang kita belanja yuk. Belanja bulanan sekalian makan di luar aja. Pagi ini bikin mie telor aja dulu yak? Ga apa-apa kan?”

“Tiara sih apa aja om. Oiya om, Tiara mau nanya sesuatu tapi lupa-lupa terus.”

“Apaan tuh?”

“Ehm… itu… anu…” ucap Tiara ragu.

“Kenapa?” tanya ku lagi agar dia yakin.

“Itu om… untuk kedepannya gimana? Kita, kebutuhan Tiara, sekolah Tiara, kan ga murah om. Tiara ga mau ngerepotin om. Apa Tiara pindah ke sekolah negeri yang biasa aja? Biar ga terlalu membebani om Ian?”

“Hahaha,” aku tertawa mendengar kepolosan nya. Tapi terharu juga dengan niatannya yang ingin pindah sekolah guna tidak ingin membebani ku. Anak ini memang anak yang baik.

“Kok malah ketawa sih? Aneh!” balasnya ketus.

“Enggaaak. Masalah itu, kamu ndak usah khatir. Almarhum papa dan mama itu tahungan nya banyak, dan itu sekarang semuanya jadi milik kamu. Belum lagi ditambah dengan klaim dari asuransi, itu lebih dari cukup buat kuliahin kamu sampe S dua sekalipun, plus kalau setelah lulus mau langsung nikah, bisa kok kalau mau pesta tujuh hari tujuh malam, hahaha.”

“Dih… lebay banget deh.”

“Hahaha. Tapi apa yang om bilang tadi itu serius.”

“Gitu ya om? Aku ga pernah tau tuh soal tabungan itu.”

“Papa dan mama mau kamu taunya keluarga kita ini keluarga yang sederhana, jadi kamu tidak boros dan sombong.”

“Gitu ya?”

“Iya, nanti om kasih liat angkanya.”

“Hmm… oke.”

“Oiya om mau cerita, kenapa sekarang om yang megang harta peninggalan orang tua kamu itu sudah melalui pembicaraan keluarga besar kita setelah meminta nasehat mbah akung. Kamu tau kan almarhum papa juga sebatang kara, jadi dari sisi papa tidak ada keluarga yang bisa di beri amanah. Dari sisi keluarga om, seharusnya sih om Yoga sebagai anak laki-laki tertua. Tapi menurut om Yoga, lebih tepat lagi om Ian karena om Ian yang paling dekat sama kamu dan sekarang om yang akan tinggal bareng kamu. Om baru cerita ini sekarang karena kemarin-kamarin kan kamu juga masih sedih. Kita semua ga mau beban pikiran kamu semakin berat.”

“Owh gitu.”

“Iya. Jadi mulai sekarang kalau kamu butuh apa-apa, bilangnya sama om Ian, jangan malu-malu. Jangan sungkan.”

“Baiklaaah. Rasanya beda ya om. Kadang masih suka belum percaya. Hehehe. Tapi tenang om. Tiara udah bener-bener ikhlas kok. Karena itu satu-satunya cara agar papa dan mama tenang di alam sana. Dan selama masih ada om Ian yang nemenin Tiara, Tiara pasti kuat, hehehe.”

“Iya. Om akan selalu ada disamping kamu. Sampai nanti datang waktunya ada seseorang yang akan meminang kamu, hehehe.”

“Iiihh… apaan siiih… masih jauh yaa…” balas Tiara sambil tersipu.

“Ya kan om bilang nya sampai suatu saat nanti. Entah itu kapan. Oiya satu lagi, sampai nanti kamu bisa mengatur keuangan kamu sendiri, om minta ijin om yang akan mengatur keuangan mu, setelah itu baru semua peninggalan almarhum papa dan mama akan om serahkan sepenuhnya kepada kamu.”

“Atur aja deh om. Tiara ga mau pusing mikirin itu,” balasnya dengan cuek.

“Ya om cuma pengen kamu tau aja…”

“Hehehe, iya om Ian ku tersayang, terganteng, sekarang Tiara ikut apa kata om aja. Kan sekarang Tiara jadi anaknya om Ian. Hihihi.”

“Berarti udah ga boleh jahil lagi yah kalau jadi anaknya om. Masa papa nya di jahilin terus? Hahaha,” canda ku lalu kami tertawa bersama. Tiara tertawa lepas. Aku senang melihatnya.

“Ya udah, Tiara cuci muka dulu deh abis itu Tiara masak mie buat berdua.”

“Eh, kamu bisa sendiri?”

“Masak mie?”

“Iya…”

“Hahaha, aku kan udah kelas tiga SMP. Masa masak mie sendiri ga bisa. Aku bukan Tiara yang dulu lagi yang waktu om pertama kali tinggal di sini,” ucapnya dengan sombong. Dan memory di kepala ku langsung memutar kenangan yang sudah berlalu hampir sepuluh tahun yang lalu saat anak ini masih berusia lima tahun. Ya Tuhan, secepat ini kah?

“Hahaha, iya ya. Ga berasa yah. Kamu udah beranjak dewasa sekarang. Tapi kriwil nya masih sama sih, hehehe.”

“Wooo. Kalau itu kan bawaan dari sananya. Dasaaar om Ian jelek. Kemana aja baru nyadar? Itu udah sembilan tahun yang lalu ya. Tiara udah empat belas tahun sekarang. Udah cantik. Hehehe. Ya udah ah, kalau ngobrol terus sama om ga ada selesainya.”

Tiara lalu beranjak pergi ke kamar mandi. Aku hanya tersenyum menanggapi ocehan terakhirnya. Anak itu sedikit demi sedikit sudah mulai menemukan keceriaannya lagi. Jati diri nya. Ya Tuhan, semoga Engkau selalu memberi kekuatan untuk nya, menghadapi sisa hidupnya tanpa sosok orang tua. Dan untuk hamba juga. Aamiin.

~•~•~•~

“Om…? Om…? Bangun, Tiara udah selesai, hihihi,” Tiara membangunkan ku sambil tersenyum geli mendapati ku yang ketiduran saat menungguinya yang sedang nyalon. Iya, si kriwil Tiara habis nyalon. Ganyanya sudah kayan wanita-wanita sosialita. Luar biasa. Anak ini ternyata memang sudah banyak berbeda dengan Tiara yang aku kenal dulu. Ya meskipun dia hanya creambath dan entah apalah yang dia lakukan terhadap rambutnya aku tidak mengerti, tetap saja aktifitasnya ini sudah menunjukkan perkembangan hormon kewanitaannya sudah pada taraf puber. Saat-saat dimana seorang anak perempuan mulai peduli dengan penampilannya. Naluri yang dimiliki seorang wanita untuk selalu berusaha menarik perhatian lawan jenisnya.

“Owh sudah ya? Jam berapa ini?” tanya ku dengan lemas sambil berusaha mengumpulkan kembali nyawa ku.

“Iya udah. Baru jam dua. Kenapa?”

“Abis ini mau kemana?”

“Tiara mau lihat-lihat baju boleh ga? Sebelum belanja bulanan nya.”

“Baju?”

“Iya, kan baju-baju Tiara sekarang tinggal dikit semenjak waktu itu. Om juga belanja aja sekalian. Hehehe.”

“Ehmm… ayuk deh.”

Kami pun meninggalkan salon ini. Tiara nampak senang dengan jawaban ku. Ku pikir membeli satu atau dua stel baju tidak ada salahnya. Dan benar juga kata Tiara. Jangan kan baju, mobil pun ringsek tak berbentuk lagi setelah kecelakaan sebulan yang lalu itu. Dan aku juga sudah lama tidak membeli baju baru.

Kami pun mengunjungi beberapa store pakaian. Melihat-lihat koleksi baju yang di jajakan. Memanjakan mata dengan barang-barang dagangan itu. Tiara nampak sangat antusias. Dia lalu tenggelam dalam sebuah aktifitas yang paling digemari oleh seorang wanita. Belanja pakaian. Kesedihan di wajahnya pun juga hampir tidak terlihat lagi. Tentu saja aku sangat gembira melihat perkembangan itu.

Tapi yang namanya Tiara, pasti ada saja jahilnya. Ada satu momen dimana aku sendiri belum pernah mengalaminya selama ini. Bahkan dengan Diah atau Ayu sekalipun. Tiara memaksa ku untuk ikut masuk ke dalam store pakaian dalam wanita. Dan dia bertanya ini itu dengan ceriwis nya kepada ku. Bagus ga? Cocok ga? Maksudnya apa coba? Saat itu juga sebenarnya aku pengen teriak Mana gua tau? Hahaha. Tapi kan tidak mungkin. Yang lebih bikin mati gaya lagi adalah ketika tatapan dari para pengunjung lain terhadap ku yang mungkin dikepalanya sudah penuh dengan prasangka-prasangka buruk bahwa aku, om-om hidung belang yang sedang belanjain simpenannya. Parahnya lagi, simpenannya dibawah umur. Cakep.

Setelah mendapatkan baju yang di suka, kami lalu membayarnya dan pergi menuju supermarket kebutuhan pokok. Aku membeli dua potong polo shirt, satu celana pendek dan satu celana panjang. Sedangkan Tiara, beberapa potong baju, dan beberapa set pakaian dalam. Yang sempat diperlihatkannya kepada ku tadi. Hahaha.

Di supermarket kebutuhan pokok, kami langsung mengambil apa-apa saja yang kami butuhkan. Kebutuhan dapur dan kebutuhan kamar mandi. Sembako lah intinya. Hingga satu troli penuh dengan barang belanjaan kami. Selesai membayar kami pun membawa troli itu ke lobi mall dan langsung memesan taksi online.

Kami sekarang memang tidak ada mobil. Aku jelas belum punya. Mobil mas Rizal, setelah di klaim ke asuransi kami jual murah. Rasanya pasti tidak akan nyaman bila menggunakan mobil bekas kecelakaan dasyat seperti itu. Aku juga tidak akan mau menggunakannya. Tapi mungkin bila nanti Tiara menginginkan, aku akan membeli mobil baru untuk kebutuhan transportasinya.

Tidak sampai lima menit taksi online pun tiba. Kami langsung naik setelah selesai menaikkan barang belanjaan.

“Seru yah, belanja bareng om Ian, hehehe,” ucap nya.

“Serunya?”

“Ya kalau sama papa mama dulu banyak di larangnya,” jawabnya enteng.

Aku tersenyum kecut. Sebenarnya aku juga ingin membatasinya. Agar tidak terlalu berlebihan. Menanamkan kembali nilai-nilai kesederhanaan yang ada pada dirinya. Tapi aku tidak tega kalau harus melakukan itu sekarang. Untuk sekarang ini, asal dia bahagia, apapun pasti akan aku berikan. Apapun yang dia mau pasti akan aku berikan.

“Hahaha, ya asal tidak berlebihan sih oke-oke aja buat om.”

“Berarti yang sekarang ini masih wajar ya?”

“Ehm… ya wajar kok…”

“Ternyata om memang baik, hihihi.”

“Lah, kamu pikir selama ini om jahat? Kamu kan yang selalu jahatin om, usilin om. Kaya tadi, pakai narik-narik om segala. Ngapain coba? Kan jadinya om diliatin banyak orang. Dikiranya om ini…”

“Om-om hidung belang? Coba sini Tiara liat hidungnya belang apa ga? Hihihi,” balas Tiara sambil dengan iseng memperhatikan hidung ku dengan jarak yang dekat. Sambil tangannya menunjuk-nunjuk ke arah hidung ku. Membuat ku risih. Bahkan sopir taksi pun sampai ikut melirik ke arah kami. Entah apa yang di pikirkannya.

“Kan kan, mulai isengnya…”

“Hehehe. Canda om. Eh aku ga sabar nih pengen cepet-cepet besok, bisa masuk sekolah lagi, ketemu temen-temen lagi, hehehe.”

“Eh iya. Om seneng kamu masih semangat buat sekolah. Mantab,” ucap ku dangan bangga sambil memberinya jempol. “Tapi, kamu kan udah ketinggalan banyak tuh, gimana tuh?”

“Ya jalanin aja. Temen-temen Tiara baik-baik kok. Mereka udah pada janji mau bantuin Tiara kalau Tiara ada kesulitan.”

“Bagus lah kalau begitu. Om Ian tenang sekarang.”

“Tenang aja om. Tiara udah baik-baik aja kok sekarang. Insyaallah. Selama om Ian selalu ada di samping Tiara,” ucap Tiara sambil menyandarkan kepalanya di pundak kanan ku. Aku tersenyum dan mengusap rambut panjangnya. Si sopir taksi kembali tersenyum penuh arti, tapi aku tidak mengerti maksudnya apa. Bodo amat. Yang terpenting sekarang Tiara yang dulu sudah kembali lagi.

~•~•~•~

Jam sembilan malam aku sudah tidak ada aktifitas lagi. Semua sudah beres. Tinggal santai-santai saja sambil nonton tv sebelum tidur guna mempersiapkan tenaga untuk memulai aktifitas besok di kantor. Makan bareng berdua dengan Tiara pun juga sudah. Anak itu sedang mempersiapkan buku-bukunya untuk sekolahnya besok setelah tadi sempat belajar sebentar. Aku tidak mau dia langsung memforsir pikirannya. Satu yang aku suka, dia nampak bersemangat guna menyongsong hari esok meski sekarang tanpa belaian dan kasih sayang orang tua. Ah salah. Sekarang kan aku orang tua nya. Aku yang akan memberikannya kasih sayang.

Aku sendiri sebenarnya juga sudah tidak sabar lagi untuk segera masuk kerja lagi. Kehidupan ku akhir-akhir ini memang sangat membosankan. Apalagi dulu saat fisik ku ini masih belum pulih. Mau apa-apa susah. Apa-apa minta bantuan. Tapi sekarang semuanya sudah berjalan normal kembali. Fisik ku sudah benar-benar pulih.

“Belum tidur Om?” tanya Tiara yang tiba-tiba keluar dari kamarnya.

“Belum. Kamu sendiri?”

“Belum ngantuk.”

“Tapi om Ian bentar lagi bobo sih. Kamu juga bobo ya. Besok kan udah masuk sekolah lagi.”

“Iya om, tapi…” kalimatnya terhenti.

“Kenapa?”

“Ehm…”

“Ada apa Ti? Cerita sama om. Inget kan janjinya kemarin kalau ada apa-apa kudu cerita sama om Ian.”

“I-iya. Ini…Tiara dapet ini dari…” lagi-lagi ucapannya terhenti dan berjalan mendekat kepada ku. Dia menyerahkan hp nya kepada ku. Meminta ku melihat apa yang ada di dalam nya yang sepertinya membuatnya jadi kepikiran. Aku pun langsung melihatnya. Sebuah pesan panjang melalui DM di account instagram miliknya.

[Bersambung]
Hallo Bosku, Disini Admin KisahMalah
Agar Admin Semakin Semangat Update Cerita Cerita Seru Seterusnya, Bantu Klik Iklan yang Ngambang ya.
Atau Gambar Dibawah INI

Atau Bagi Kamu yang suka bermain game Poker Online atau Gambling Online lainnya, bisa di coba daftarkan ya. Banyak Bonus dan Hadiahnya Loh.
Untuk yang Kesulitan Daftar bisa Hub Admin di WA untuk di bantu Daftar.
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂

Daftar Part

By Kisah Malam

Kisah Malam adalah sebuah Website yang berisikan Novel Dewasa, Novel Sex, Cerita Sex, Cerita First Time, Cerita Bersambung, Cerina Menarik Lainnya. Dukung Terus KisahMalam.Com Dengan Cara Bookmarks, Dan Nanti Kan Konten Terupdate dari KisahMalam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *