Merindukan Kesederhanaan Part 41
Sahabat Menjadi Cinta
“Jadi, mba Gita sekarang di Ausy?” tanyanya, aku hanya mengangguk.
“Terus mba Kiki ada di Khairo?” lanjutnya.
“Iyaaa…” jawab ku dengan malas.
“Dan mba Diah ada di Jogja?”
“Injeh mba yu…” jawab ku lagi dengan semakin malas.
“Hihihi.”
“Malah ketawa.”
“Abisnya lucu.”
“Apanya yang lucu?”
“Itu tiga tempat kalau di tarik garis lurus bisa jadi segitiga bermuda tuh, ahahaha…” tawanya nyaring. Entah karena lucu atau sengaja meledek ku.
“Ndak lucu!”
“Dan mas Ian berada tepat di tengah-tengah nya, terjebak dalam pusaran tornado tengah laut super besar, yang sewaktu-waktu bisa menelan tubuh mas Ian lalu hilang tak berbekas, tenggelam ke dasar samudera hindia yang super dalam, ahahaha…” tawa Farah yang semakin menjadi meledek ku.
Aku memang baru saja menceritakan semua perjalanan hidup ku selama ini kepada Farah. Mulai dari awal mula aku menginjakkan kaki di Jakarta, awal masuk kuliah, persahabatan dengan Doni, Kiki, dan Gita, menikah dengan Ayu, kecuali kejadian di Singapur tentunya, hingga terakhir niatan ku yang akan segera melamar Diah. Farah nampak antusias mendengarkan curhatan ku selama hampir satu jam ini. Meskipun pada akhirnya dia malah meledek ku sejadi-jadi nya. Aku dan Farah ngopi memang lagi bareng di salah satu cafe di bilangan kemang setelah pagi tadi harus ngantor setengah hari.
Jujur saja, selama hampir satu tahun aku bekerja ditempat ini, aku belum punya teman yang benar-benar teman. Atau teman dalam arti sahabat. Kalau teman biasa sih ada. Banyak. Tapi belum ada yang bisa sedekat antara aku dengan Doni, Kiki, dan Gita dulu. Justru dengan Farah inilah aku bisa jauh lebih dekat dan akrab seperti sekarang ini. Mungkin itu juga karena kami sebelumnya pernah sama-sama kerja di tempat yang sama. Meskipun sebentar, tapi masuk akal sih. Entahlah.
Ngomong-ngomong soal anak-anak di kantor ini tu…apa ya istilahnya? Tersekat-sekat mungkin. Tersekat oleh sebuah dinding tak kasat mata bernama gaya hidup. Lifestyle. Dan semqcam nya. Pada dasarnya kebanyakan dari mereka sudah kaya dari orang tuanya. Jauh berbeda dengan ku yang hanya anak orang biasa. Apalah artinya aku ini di mata mereka? Hahaha.
Kembali ke Farah, hari ini adalah dua minggu setelah insiden penembakan oleh nya saat makan siang waktu itu. Ya, tembakan yang mengenai jantung ku yang sempat membuat ku susah bernafas. Eh salah, sempat membuat ku tidak bisa bernafas walau cuma beberapa saat. Tapi untungnya tembakan itu hanyalah sebuah candaan yang aku tidak perlu menanggapinya dengan serius.
Seminggu setelah kejadian itu, Farah mulai bekerja. Dan seminggu kemudian, dia langsung diberdayakan sebagai tenaga tambahan membantu bagian back office untuk filing ulang dokumen-dokumen dari beberapa tahun kebelakang. Dan itu atas rekomendasi ku. Kasian sih. Tapi untung nya aku jadi ada teman yang lebih akrab dari yang lainnya. Dan beruntungnya lagi, sore ini aku di traktir nya ngopi, sesuai dengan candaan ku dulu saat meminta ditraktir seandainya dia diterima bekerja. Padahal aku cuma bercanda. Dan dia menyanggupinya. Dan bahkan dia belum gajian.
Padahal aku juga sudah menolaknya dengan beralasan ingin langsung pulang karena sudah kangen dengan Adipati. Tapi dia nya memaksa. Aku bisa apa coba kalau ada seorang cewek cantik yang memohon sesuatu seperti ini. Cowok memang akan selalu menjadi makhluk yang paling lemah kalau sudah ada cewek yang memohon-mohon di depan nya. Tapi itung-itung sebagai ganti juga sih karena secara tidak langsung aku lah yang membuatnya ikut lembur di hari sabtu ini.
“Ahahaha…” Farah kembali tertawa dengan keras nya. Orangnya cuek juga ternyata. Kalau orang betawi bilang nyablak. Tapi justru orang yang begini biasanya apa adanya. Tidak naif. Tidak munafik. Dan tidak ada pencitraan.
“Udah sih. Masih aja diterusin…” keluh ku pada nya.
“Abisan lucu mas kalau dibayangin. Ngebayangin mas Ian nya terpontang-panting gitu di tangah pusaran ombak di tengah samudera dengan muka yang konyol gitu, sambil teriak-teriak Gita, Kiki, Diah, tolongin aku… ahahaha,” ledek nya lagi makin menjadi.
“Aaah udah udah udah,” balas ku dengan jutek. Aku sih sebenarnya sadar betul dengan candaannya. Cuma ya aku bikin seolah-olah aku ter-bully aja biar seru dan Farah nya senang. Dan tampaknya sih orang nya juga keliahatan puas banget bisa membuat ku cemberut. Wanita.
“Cie cemberut cieee, ngambeeek…masa gitu aja ngambeeek sih? Hihihi.”
“Lagiaaan. Bukannya ngasih solusi, apa gitu, malah ngeledekin.”
“Solusi?” tanyanya balik dengan raut muka bingung.
“Iya lah. Kenapa?” aku yang melihatnya kebingungan malah jadi ikutan bingung.
“Emang masalahnya apa kok minta dikasih solusi?” tanya nya lagi.
“Masalah?” iya ya. Kalau dipikir-pikir minta solusi untuk apa? Mengembalikan Gita dan Kiki? Buat apa? Bukan kah aku sudah mengutarakan niat untuk meminang Diah? Kok pertanyaan ku jadi aneh ya? Apa aku kurang minum air putih? Ah enggak juga, kurang minum susu mungkin.
“Apanya yang mau di kasih solusi, mas?” tanya nya lagi dengan tegas dan serius. Hilang sudah tawa meledeknya yang sedari tadi memenuhi ruangan cafe yang tidak terlalu besar ini.
“Eh, ehmm…apa ya?”
“Emangnya mas Ian sekarang ini ada dalam posisi memilih? Yakin mba Kiki dan mba Gita mau balik dan menerima mas setelah semua yang terjadi? Dan bukannya mas sendiri yang tadi cerita kalau sudah bilang ke mba Diah bahwa akan segera melamar nya?” tanya nya lagi dengan penuh ketegasan. Aku menelan ludah dan tersenyum kecut mendengarnya.
“Iya sih…”
“Lalu solusi untuk apa, mas Alfian yang ganteeeng?”
“Ehmm…”
“Udah ga usah bingung. Aku tau kok,” jawabnya sendiri.
“Maksudnya?”
“Sebenarnya tidak ada solusi untuk apapun.”
“Lalu?”
“Di alam bawah sadar mas Ian sebenarnya masih atau mungkin sebenarnya sangat mengharapkan kembali nya mba Gita dan mba Kiki.”
“Aku memang mengharapkan mereka berdua balik, tapi sebagai teman, sebagai sahabat. Mereka berdua sahabat terdekat ku.”
“Salah. Mas bohong. Mas mengharapkannya bukan sebagai seorang teman atau sahabat lagi, tapi sebagai seseorang yang lebih dari itu. Sayangnya mas Ian udah telat.”
“Telat?”
“Iya mas telat menyadari semuanya. Telat menyadari betapa tulus dan sayangnya mereka berdua. Eh salah deng, bukan telat. Mas Ian bahkan tidak menyadarinya hingga detik ini kalau saja aku tidak mengatakannya,” jelasnya dengan penuh percaya diri. Seperti seorang peramal yang tau tentang isi hati ku ini. Padahal aku baru sekali menceritakannya.
“Enggak,” jawab ku berusaha mengelak.
“Jangan bohong! Jangan bohongi diri sendiri mas. Jangan terlalu naif kalau jadi orang.”
“Naif?”
“Iya.”
Aku lalu menunduk. Merenungkan ucapan Farah barusan. Mungkin memang benar ucapannya. Dan masuk akal. Masuk akal kalau aku sebenarnya memang mengharapkan Gita dan Kiki setelah apa yang terjadi selama ini. Hingga mereka berdua pergi. Bahkan aku terlalu naif untuk sekedar menyadari semuanya.
“Terus menurut mu aku harus bagaimana?”
“Tepati janji mas ke mba Diah!” jawabnya dengan cepat dan mantab.
“Kenapa?”
“Mas tidak ingin tidak menepati janji untuk yang ke dua kalinya terhadap satu wanita yang sama kan? Yang udah terjadi ya biarlah. Mau gimana lagi? Ya kalau memang mba Gita dan mba Kiki suatu hari nanti tiba-tiba balik ya itu namanya takdir. Tapi kalau sekarang ini menurut ku sih bahagiakan lah orang yang benar-benar ada di depan mas Ian dulu. Eh maksudnya bukan aku lho mas, tapi mba Diah. Hehehe,” jelasnya sambil tersenyum geli. Sedangkan aku hanya tersenyum getir mendengarnya. Sambil menelan ludah dan menyesali betapa polos, bego, cuek, dan tidak peka nya aku dulu. Tapi aku dulu kan belum bisa melupakan Diah. Tapi masalahnya dulu Diah sudah menjadi istri orang lain.
“Tapi kalau mas Ian mau ngebahagiain aku, aku sih ga nolak jugaaa, hihihi.”
Aku langsung melotot kearahnya, yang di balasnya dengan senyum menggemaskan.
“Canda lho maaas…jangan baper yak. Hihihi. Aku udah ada yang punya kok, hihihi.”
“Eh, maksudnya?”
“Iya, aku itu sebenernya udah tunangan. Eh, apa ya istilahnya? Bukan tunangan juga sih. Lamaran. Iya udah di lamar…hehehe,” jawabnya sambil cengengesan tanpa rasa berdosa. Dosa karena telah jalan dengan pria lain selain tunangannya.
“Lah kok masih ganjenin cowok lain?”
“Idih pede banget. Itu becandaan maaas kuuu…” jawabnya sambil mencubit pipi ku. Kencang. Kencang banget. Sakit. Mungkin pembalasan dari cubitan ku beberapa hari yang lalu. Tapi karena masih kaget aku tidak bereaksi apapun. Hanya diam saja.
Oh sudah di lamar toh. Aku membatin. Dasar ini anak. Tapi ya bagus lah. Setidaknya kedekatan ku dengannya akan murni menjadi kedekatan antara teman atau sahabat. Setidaknya akan ada sesuatu yang membentengi kami untuk tidak terjebak dalam sebuah perangkap asmara yang pelik. Aku tidak mau setatus “sahabat menjadi cinta” seperti diri ku dulu dengan Gita maupun Kiki terulang lagi.
“Mas mukanya kaku amat? Hahaha. Udah dicubit gitu ga ada ekspresi sama sekali. Hahaha.”
“Bukan ndak ada ekspresi. Kaget aja dengernya…”
“Kenapa kaget? Patah hati ya? Hehehe.”
“Endak…cuma khawatir aja kalau-kalau calon mu nanti liat kita berdua nongkrong bareng gini. Kan ga enak kalau hubungan kalian nanti jadi berantakan dan aku yang jadi penyebabnya.”
“Tenang, aku udah ijin kok tadi. Lagi pula kalau cuma nongkrong bareng di cafe mah dia fine-fine aja. Yang ga fine itu kalau kita nongkrong bareng di WC. Ahahaha.”
“Uhuuk…” aku tersedak dan hampir menyembur saat mendengar kalimat terakhirnya karena bertepatan dengan aku yang sedang menyeruput kopi ku. Bocor. Bener-bener bocor ni cewek.
“Ahahaha, pelan-pelan mas minum nya, hihihi.”
“Jorok ihhh,” komentar ku sambil geleng-geleng kepala. Sedangkan Farah masih terus tertawa sambil menutup mulutnya.
“Hahaha.”
“Udah ketawanya.”
“Yeeey biarin siiih, hahaha.”
“Terus kapan hari H nya?” tanya ku dengan serius. Mengalihkan pembicaraan agar imajinasi ku tidak membayangkan bagaimana jadinya kalau aku dan Farah ada di dalam satu kamar mandi yang sama. Jangan dibayangkan.
“Akhir tahun ini mas, kalau ga ada halangan.”
“Aku doain mudah-mudahan lancar semua persiapannya.”
“Aamiin. Makasih mas. Nanti dateng ya…”
“Insyaallah pasti dateng kalau ndak ada halangan.”
“Kalau bisa sih sudah sama mba Diah sebagai nyonya Alfian. Hehehe.”
“Doain balik juga kalau itu.”
“Berarti udah manteb dong?”
“Iya deh.”
“Kok pake deh?”
“Iya…Secepetnya aku akan pulang dan memboyong orang tua ku buat ngelamar Diah. Tuh udah bener kan?”
“Hehehe. Asek dah…bahasanyaaaa. Jadi inget momen-momen dilamar kemarin. Jadi pengen di lamar lagi, ops…”
“Hussh!! Ngomongnya…”
“Hihihi, canda kali mas…”
“Ucapan itu doa.”
“Dih, tua amat dah ngomongnya.”
“Biarin,” jawab ku singkat. Dianya hanya tersenyum dan lalu menyeruput minumannya yang udah hampir habis.
“Hehehe. Eh, udah mau pulang belum mas?”
“Kenapa?”
“Kalau udah mau pulang ya ayok. Kasian kan mas nya aku paksa jalan, hehehe. Abisnya calon ku lagi dines keluar mas. Males banget kan kalau tadi langsung pulang. Nah kalo sekarang kali aja mas Ian udah kangen banget sama dede Adipati.”
“Banget kalau itu mah.”
“Dih, kesannya jadi salah aku banget. Ya udah yuk pulang, tapi mas anterin aku yah…”
Bertepatan dengan pertanyaan dari Farah tadi sekilas aku melihat seseorang hendak masuk ke dalam cafe. Seorang yang aku kenal. Kenal banget. Aku tidak menyangkanya akan bertemu di sini. Tapi baru saja aku hendak berdiri untuk menghampirinya, sebuah tatapan penuh amarah terpancar dari matanya. Tatapan penuh kebencian yang seolah berusaha menusuk tubuh ku. Dan membunuh ku. Sambil geleng-geleng kepala, orang itu justru melangkah mundur lagi dan berbalik meninggalkan cafe ini.
“Doni…” tanpa sadar aku berujar sendiri. Ya, orang yang aku lihat tadi adalah Doni. Padahal aku ingin menghampirinya tadi. Ya kali aja dia sudah memaafkan ku gitu. Tapi sepertinya belum.
“Heiii, mas? Doni? Siapa?”
“Ah endaaak, bukan siapa-siapa. Ya udah yuk pulang. Aku anterin.”
“Diiih, aneh. Ya udah. Yuk.”
~•~•~•~
Malam ini kami bertiga nonton tv bersama di ruang tengah rumah ini. Aku, mas Rizal dan mba Endang. Tiara sudah tidur. Adipati juga sudah tidur. Aku dan mas Rizal menonton siaran bola Liga Inggris. Kalau mba Endang sih ya cuma ikut nimbrung aja. Beberapa cemilan dan kopi menemani malam kami ini.
“Mba, Adipati sudah bisa di ajakin mudik belum ya?” tanya ku ditengah obrolan ringan di antara kami.
“Kenapa?”
“Iya mau mudik, tapi ada tujuan lain juga sih. Aku…udah yakin dengan Diah. Dan mungkin akan segera melamarnya. Nah, kalau bisa sih aku mau ajak Adipati pulang juga. Mba sama mas juga ikut lah.”
“Owh, ya bisa-bisa aja. Masalah Diah, kamu udah ngomong sebelumnya sama dia?”
“Maksudnya?”
“Ya rencana lamaran kamu itu.”
“Oh, udah kok mba.”
“Trus orang nya?”
Aku hampir saja kelepasan akan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi antara Diah dan Gita dulu. Tapi aku urungkan karena…sepertinya tidak akan enak.
“Di menerima kalau aku juga yakin.”
“Tapi dia nya sendiri yakin enggak?”
“Dia yakin kalau aku yakin.”
“Kamu udah yakin?”
“Udah. Yakin banget, insyaallah.”
Ya, aku memang sudah sangat yakin. Setidaknya lebih yakin dari sebelumnya. Dan itu adalah karena perbincangan ku dengan Farah tadi siang. Farah lah membuka mata ku. Membuka pandangan ku yang ternyata masih terlalu naif.
“Ya udah kalau kamu juga udah yakin. Yang penting sama-sama suka. Sama-sama seneng. Kita mah orang tua yang penting kalian bahagia. Yang penting tanggung jawab dan konsekuen dengan keputusan yang kalian ambil.”
“Iya mba, makasih banyak.”
“Gimana pah?” mba Endang tersenyum lalu bertanya kepada suaminya.
“Gimana apa nya? Aku sih setuju-setuju saja,” jawab mas Rizal bingung.
“Maksud ku papah bisa ikut pulang ga? Bawa mobil, kasian Adipati kalau naik angkutan…”
“Eh, ndak harus dengan mas Rizal lho mba. Bisa naik pesawat kita.”
“Iya ini aku nanya dulu makanya. Kalau naik pesawat sayang duitnya, kebutuhan kamu masih banyak,” jawab mba Endang.
“Iya sih,” balas ku pelan. Ya, kebutuhan ku memang sedang banyak-banyak nya. Kebutuhan Adipati maksudnya. Susu nya. Dan kebutuhan lainjya juga. Belum lagi untuk lamaran dan nikahan tentu juga butuh biaya meskipun prosesi nya akan dirancang sesederhana mungkin.
“Rencananya kapan?” tanya mas Rizal.
“Awal bulan depan,” jawab ku.
“Ehm…bisaaa, lagi ga ada rencana kemana-mana bulan depan.”
“Ya udah, nanti kita pulang bareng. Kamu udah ngabarin bapak sama ibuk?”
“Belum mba. Besok pagi aku baru telpon.”
“Owh, ya udah kalau gitu. Semoga lancar semuanya.”
“Aamiin. Makasih mba.”
Ya, semoga saja. Semoga semuanya berjalan dengan lancar dan Diah adalah benar-benar jodoh ku. Untuk menjadi pendamping ku. Yang bisa menenangkan hati ku. Aamiin.
Aku memandangi langit malam hari ini. Tenang rasanya. Sudah hampir memasuki musim penghujan tapi hamparan bintang masih tampak gemerlap dan bertebaran memenuhi segala penjuru langit malam hingga batas cakrawala. Suara jangkrik saling bersautan dari penjuru arah seolah ingin membuktikan keberadaannya meskipun aku tidak bisa melihatnya.
Seorang wanita cantik duduk tepat di samping ku. Di bale bambu ini. Telapak kaki ku bisa menapak ke tanah, sedangkan kakinya tidak. Jauh menggantung dan sesekali dia mengayunkan kakinya itu ke depan dan kebelakang. Apakah dia hantu? Tentu saja bukan. Dia istri ku. Kami duduk bersebelahan. Kedua telapak tangannya menapak di pinggiran bale dengan lengan lurus vertikal menopang berat di bahunya. Aku bisa merasakan lengannya yang menempel erat di lengan ku.
Lelah, letih, dan capek, akhirnya terbayar sudah malam ini. Semuanya menjadi terasa sangat ringan dan seperti tidak ada beban sama sekali. Tiga minggu yang melelahkan. Aku harus bolak balik Jogja – Jakarta untuk mengurusi pernikahan ku dengan Diah. Dan wanita yang baru saja aku nikahi itu sekarang duduk manja tepat di samping ku.
Balik ke momen dimana aku melamarnya tiga minggu yang lalu, semua berjalan dengan lancar. Aku, dan Adipati serta mba Endang dan keluarga kecil nya pulang bersama. Ditambah dengan keluarga inti lainnya, bapak dan ibuk, Binar, lalu mas Yoga dan keluarga kecilnya. Dengan menggunakan dua mobil dan membawa buah tangan yang tidak terlalu mewah namun pantas, rombongan kami berangkat menuju ke kediaman saudara Diah.
Rombongan kami di sambut dengan hangat oleh keluarga itu. Malam itu yang menyambut kami ada kakak sepupu Diah dan keluarga kecilnya yang tak lain adalah si pemilik rumah. Orang tua dari pemilik rumah yang tak lain adalah pakde dan bude dari Diah, yang aku juga baru tau kalau mereka ternyata kenal dengan bapak dan ibuk juga. Ga aneh sih, di kampung itu meskipun beda desa tetap ada yang kenal, minimal tau orang. Selain mereka ternyata juga ada beberapa keluarga yang hadir. Diah? Aku belum melihatnya waktu itu, mungkin di sembuyikan agar aku penasaran. Mungkin. Entahlah.
Dan acara ramah tamah pun dimulai. Perbincangan yang lebih banyak basa basinya pun terjalin diantara kedua belah pihak. Tapi aku meraskaan kehangatan ketika berada di tengah-tengah mereka. Hangat dan nyaman. Aku tidak bisa mendiskripsikannya lebih jauh, tapi aku benar-benar merasa nyaman.
Lalu kemudian bapak, sebagai pemimpin pasukan, mewakili kami semua, khususnya aku, memulai pembicaraan serius dengan mengutarakan maksud dan tujuan kami berkunjung ke rumah ini. Dan tentu saja semua anggota keluarga mereka menyambutnya dengan bahagia, dan menyerehkan semua keputusan di tangan Diah, yang pada saat itu belum juga muncul. Baru setelah itu pakde dari Diah menyuruh salah seorang dari mereka untuk memanggil Diah, dan keluar lah Diah yang…entahlah aku harus menyebutnya apa malam ini. Kalau hanya cantik dan anggun, sepertinya terlalu standar dan terlalu biasa untuknya. Dialah ratu malam ini, ratu yang akan segera menjadi permaisuri ku.
Pada malam itu juga langsung ditentukan rencana tanggal pernikahan kami. Tapi dasar orang jawa jaman dulu, masih percaya dengan hari baik. Dan parahnya hari baik terdekat jatuh tidak lama setelah lamaran, hanya berselang dua sampai tiga minggu. Jika lewat dari itu maka kami harus menunggu sekitar dua sampai tiga bulan lagi.
Dan akhirnya dengan penuh perjuangan, dalam tiga minggu semua persyaratan yang dibutuhkan bisa dipenuhi. Semua dokumen, mulai dari ke RT RW, kantor kelurahan, hingga kantor urusan agama. Semuanya beres dalam tiga minggu. Kami tidak mengurus resepsi pernikahan dan lain-lainnya karena memang tidak ada pesta. Dan tidak ada tamu undangan.
Diah masih terus menggoyang-goyang kan kaki nya ke depan dan kebelakang. Persis seperti anak kecil. Sesekali aku melirik kearahnya, sesekali pula aku melihat senyum bahagia terpancar dari wajahnya yang Ayu.
“Mba Ayu lagi apa ya disana?” tanya Diah tiba-tiba sambil menunjuk ke angkasa.
“Entahlah,” jawab ku singkat karena memang aku tidak tau dan tidak bisa membayangkan apa dan bagaimana kondisi di alam kubur sana.
“Aku yakin mba Ayu sudah tenang di alam sana,” lanjut dari Diah. Menjawab pertanyaannya sendiri.
“Aamiin.”
“Wanita yang meninggal karena melahirkan itu kan akan diganjar dengan pahala seperti seorang yang berjihad, matinya syahid.”
“Gitu ya?” tanya ku bingung. Ilmu agama ku memang nol besar.
“Kalau ga salah sih begitu, tapi yang pasti kan kamu sudah melakukan semua amanahnya.”
“Iya sih, ya mudah-mudahan saja. Jujur kadang aku masih suka kangen dengannya, maaf,” ucap ku pelan dengan perasaan bersalah. Bagaimanapun juga istri ku yang sekarang adalah Diah.
“Wajar kok,” senyumnya. “Wajar kalau kamu masih suka keinget dengan mba Ayu. Dan aku maklum kok. Kapan-kapan nyekar yuk ke makam,” ajaknya.
“Kapan?”
“Yaaa sebelum balik ke jakarta lah. Emang kapan kita balik ke jakarta nya? Aku rada-rada kepikiran sih sebenernya.”
“Kepikiran apa?”
“Ya kamu tau sendiri kan selama ini aku ndak pernah kemana-mana. Paling jauh juga ke jogja doang,” jelasnya.
“Kok ndak bilang dari kemarin kalau kepikiran gitu?”
“Kalau aku bilang, emang kamu ga jadi nikahin aku?”
“Eh ya tetep jadi dong, hehehe,” aku tersenyum denga tolol nya. “Lah terus gimana?”
“Ya ga gimana-gimana. Aku cukup di rumah saja kan? Menjadi istri yang baik buat kamu, ngurusin kamu, Kayla dan Adipati.”
“Iyaaa sih, tapi tadi itu maksudnya apa? Aku jadi ngerasa ga enak. Apa aku coba cari kerja di jogja aja, biar kamu ndak perlu kemana?”
“Kalau itu sih terserah kamu. Yang pasti untuk sekarang ini aku ikut kemanapun kamu pergi. Tapi nanti kalau aku di sana kaget sama lingkungan dan rewel, sabar ya kamu, hihihi.”
“Kamu emang istri yang terbaik, Tuhan kasih kamu ke aku di waktu yang tepat.”
“Mba Ayu juga yang terbaik.”
“Iya, dia juga yang terbaik.”
“Dan…eh ga jadi…”
“Dan apaan?”
“Enggak…”
“Apa?” tanya ku sambil mencubit pelang pinggang kirinya. Sontak Diah kegelian dan minta ampun agar dilepaskana sambil tertawa.
“Bilang dulu apa?”
“Ehmm…hehehe, tapi jangan baper ya.”
“Enggak…”
“Ehmm…Gita mungkin juga akan menjadi yang terbaik kalau kamu…”
Aku langsung menarik tangan ku dari pinggangnya. Meluruskan badan ku lagi kearah depan. Tapi kepala ku menunduk. Entahlah. Aku bingung dengan pikiran ku sendiri.
“Tuh kan…”
“Eh, enggak, enggak baper kok, biasa aja. Hehehe,” aku mencoba tersenyum, meskipun kecut rasanya. Aku jadi teringat dengan obrolan ku dan Farah tempo hari. Farah sendiri yang menyadarkan ku bahwa secara tidak sadar aku sebenarnya mengharapkan Gita dan Kiki. Tapi sekarang semua itu seolah tidak ada artinya.
“Tapi mas,” ucapnya lagi dengan ragu. Seperti ada sesuatu yang ingin dia sampaikan tapi takut untuk mengutarakannya.
“Ya?”
“Cuma mau bilang, meski dulu itu aku sempat bilang kalau aku ikhlas seandainya kamu sama Gita, tapi kalau sekarang…a-aku…”
“Aku apa?”
“Maaf, tapi a-aku nd-ndak bisa kalau ha-harus ber-berbagi,” jawab Diah sambil tertunduk lesu.
“Iya aku ngerti, dan aku ndak pernah sekalipun berfikir untuk mendua, bahkan dengan Gita sekalipun, aku janji. Hanya ada kamu. Semoga kamu lah yang akan menjadi awal dan akhir ku. Dulu, sekarang, dan untuk selamanya.”
“Makasih mas. Semoga ini akan menjadi awal yang indah untuk kita berdua. Cerita indah yang kita tulis untuk anak cucu kita nanti,” ucap Diah.
“Aamiin.”
Aku naik ke atas bale dan duduk bersila menghadap ke arah nya dari samping kiri nya. Ku raih pergelangan tangan kirinya, ku usap dengan lembut. Dan dengan perlahan ku tarik mendekat ke bibir ku dan aku mencium buku-buku jemari lentik nya dengan lembut.
“Iihhh cium-cium, malu kan kalau ada yang lihat,” protesnya pelan namun kemudian tersenyum malu. Sepertinya wajahnya memerah.
“Inget ga kapan aku nyium kamu terakhir kali?”
“Waktu kamu pamit ke jakarta yang pas mau kuliah dulu itu kan?”
“Itu juga di tempat terbuka, kamu biasa aja, hehehe.”
“Itu kan nda ada orang posisinya, lah sekarang? Gawat kalau Tiara liat dari dalam.”
“Ga ada yang liat sayang…” rayu ku lagi sambil berusaha menarik tangannya lagi. Entah kenapa malam ini aku iseng banget dengan menggodanya, istri ku sendiri. Wajar sih, tapi tidak di tempat terbuka seperti ini, meskipun malam hari.
“Geli aku denger kamu manggil aku pakai sayang-sayangan, hihihi,” ledek Diah.
“Emang aku sayang sama kamu kok…”
“Hihihi, iya aku percaya kok. Udah ah. Masuk aja yuk. Dah malem. Aku pengen bukti, sayangnya kamu sama aku kaya gimana ya, hihihi,” balas Diah sambil meremas keras kemaluan ku, dan aku hampir berteriak karenanya. Diah terus terkikik geli.
“Aku tunggu di kamar yaah,” lanjut Diah genit sambil mengerlingkan matanya dan berlalu meninggalkan ku. Sial. Niatnya aku yang mau menggoganya tapi malah aku yang digoda oleh nya.
~•~•~•~
Aku masuk kamar dengan degupan jantung yang cukup kencang. Ini bukan pengalaman pertama bagi ku, tapi rasanya seperti baru pertama kali akan menghadapi yang namanya malam pertama.
Aku melihat Diah, istri ku, wanita yang pertama kali aku harapkan akan menjadi pendamping hidup ku terbaring dengan pasrah di tempat tidur ku. Dia mengenakan daster tipis pendek, hanya sanggup menutupi hingga sepertiga pahanya saja. Ternyata dia sudah berganti pakaian. Kaki nya setengah menyilang dan sedikit di tekuk, membuatnya terlihat semakin menggairahkan.
Rona wajahnya menunjukkan kebahagiaan yang sangat mendalam. Pun begitu dengan ku. Aku langsung menghampirinya dan duduk di tepi tempat tidur, tepat di samping kanannya.
“Udah siap, masss?” tanyanya menggoda sambil tersenyum dengan senyuman yang agak genit. Aku mengangguk.
“Rasanya masih seperti mimpi,” balas ku sambil menundukkan badan kemudian mengecup keningnya dengam lembut. Aku tidak langsung melepas Kecupan ku, melainkan terus merambat ke pipi kanannya kemudian terus bergerak menuju telingannya.
“Inilah yang aku harapkan sejak dulu, menjadikan mu pemanis tempat tidur ku,” bisik ku dengan mesra ke telingannya.
“Aahhsshh maass…” Diah mendesah pelan hanya karena bisikan ku. Ciuman ku kemudian merambat turun lagi menyeberangi lehernya yang jenjang lalu terus mengalir menuju pundaknya yang putih halus. Bibir dan lidah ku terus bermain dengan lincahnya pada setiap inci kulit lengannya halusnya. Terus dan terus. Hingga berhenti di ujung pergelangan tangannya saat aku dengan lembut menciumi buku-buku jari tangannya.
Tubuh Diah menggeliat pelan. Gerakannya membuat daster yang dikenakannya, yang memang sudah pendek itu semakin tersingkap hampir ke pangkal pahanya. Paha putih dan mulus itu kini terpampang jelas di hadapan ku. Tangan kanan ku langsung mendarat ke kedua paha mulus itu dan mengusapnya pelan dari bawah ke atas. Membawa ujung bawah dasternya itu keatas hingga selangkangannya yang masih terlindungi celanda dalam berwarna kerem itu terekspos dengan jelas.
Diah setengah memejamkan mata. Kadang menggigit bibir bawahnya sendiri seperti menikmati dan meresapi setiap sentuhan yang aku berikan. Ya, Diah sangat menikmatinya. Entah hubungan seks seperti apa yang dia rasakan dulu dengan mantan suaminya yang katanya tempramen itu. Yang pasti Diah sangat meresapi setiap sentuhan perlakuan ku saat ini.
Aku menarik tangan kanan Diah dan mendaratkannya di selangkangan ku, tepat di kemaluan ku dan membimbingnya untuk meremasnya. Diah menurutinya da meremas penis ku dengan pelan namun sangat berasa. Lembut.
“Udah keras aja…” komentar Diah saat membuka matanya. Kini dia tidak lagi menggeliat-geliat namun fokus pada apa yang sedang di pegangnya, meskipun masih tertutup celana kolor ku.
“Gimana ga keras, ada kamu yang siap ngangetin sih. Hehe,” balas ku sambil berkelekar. Tangan ku kini bermain-main diatas gundukan daging kenyal yang tepat berada di tengah-tengah selangkangannya yang juga masih tertutup celana dalam.
“Buka aja mas dari pada di usap-usap terus gitu, malu ya?” pintanya.
“Hehehe, aku buka ya?” tanya ku dengan bodohnya. Barusan kan dia meminta ku untuk membukanya dan aku masih saja meminta ijin. Kedua tangan ku sekarang bertengger di sisi atas celana dalamnya dan siap menarik turun pelindung bagian paling sensitif nya itu. Sementara tangan kanan Diah masih mengelus pelan dan sesekali meremas penis ku dengan lembut.
Setelah berhasil meloloskan celana dalam nya, aku merangkak ke atas kasur dan berlutut di antara kedua pahanya. Kebelai pinggangnya yang ramping. Masih dari luar daster mini nya, namun belaian ku semakin membuat dastet itu semakin terangkat ke atas. Ke atas dan terus ke atas hingga untuk pertama kali nya aku menyenyuk buah dadanya.
“Sshhhsshh…” Diah kembali mendesah pelan.
“Kenapa sayang?” tanya ku pura-pura polos sambil tersenyum.
“Hihihi, nda apa maaas, kaget aja kamu pegang itu aku…”
“Itu apa?” tanya ku menggodanya.
“Aaa itu…” balasnya sambil melirik ke payudaranya sendiri.
“Ini?” tanya ku polos sambil menangkupkan telapak tangan kanan ku di payudara kirinya. Pas banget ukurannya.
“He’eh masss…sshhshh…aahhsshh…”
Diah semakin mendesah tak terkendali ketika jari ku dengan nakalnya memelintir puting payudaranya itu dari luar dasternya.
“Ini namanya apa sih sayang?” tanya ku sambil memainkan puting payudaranya.
“I-ituuu…”
“Apa?”
“Aaaa udaah aaah…remes lagi dong…aahhsshh…”
“Hehehe”
Aku pun langsung meremas-remas kedua payudaranya dengan gemas. Tubuh ramping Diah semakin menggeliat tak karuan. Aku semakin yakin bahwa dulu Diah tak pernah diperlakukan selembut sekarang ini. Ah kasian sekali. Aku bertekat akan membahagiakannya malam ini, dan seterusnya. Karena memang dia pantas untuk mendapatkannya.
Setelah puas meremasi gundukan kenyal di dadanya aku lalu menarik ujung daster Diah ke atas hingga terpampang dua daging kenyal itu. Diah nampak pasrah dengan mengangkat sedikit tubuh atasnya. Aku terus menarik daster tipis itu keatas melewati kepalanya hingga daster itu terlolosi. Aku merundukkan badan ku dan langsung menjilati area leher dan sekitar daun telingannya.
“Aahhsshh…auucchh…sshhhsshh…”
Kembali tubuh Diah mendesah dan menggeliat. Sambil menjilati lehernya yang jenjang tangan ku bergeriliya menyusuri setiap jengkal kulit tubuhnya. Memberikan rangsangan yang semakin membuat Diah seperti melayang-layang.
“Buka celana ku,” bisik ku pelan. Aku lalu menegakkan badan ku yang diikuti oleh nya. Diah langsung meraih bagian atas kolor ku beserta celana dalam ku dan menarik keduanya turun. Diah nampak tersenyum saat melihat penis ku.
“Kaos nya juga?” tanyanya begitu celana ku lolos.
“He’eh.”
Dan salam sekejap aku dan Diah sudah sama-sama telanjang bulat. Kupegang kedua tangannya dan ku rentangkan lebar-lebar. Kini tubuhnya kembali terbaring dan aku langsung menindihnya. Lagi-lagi Diah pasrah dengan segala perlakuan ku.
“Aahhsshh…maassshh…aauucchh…ssshhhsshh…aaahhshshh…”
“Ssluurrppsss…sluuurrppss…”
“Ooohhsshh…aahhhashh…aahhhsshh…”
Diah semakin mendesah karen menerima sentuhan dan belaian ku, dan juga kecupan serta jilatan ku mulai dari ujung kepalanya hingga ujung kaki nya. Badannya meliuk-liuk dengan indahnya karena rangsangan itu. Aku dapat melihat bagaimana dia sangat menikmatinya.
“Jangaaansshh…” larangnya spontan begitu mengetahui aku akan menjilati kemaluannya. Area paling sensitifnta itu. Aku mengerutkan dahi karena bingung.
“Jangan mas, kotor…” larangnya lagi.
“Tapi biar basah…”
“Sini punya mas aja yang aku basahin.” Tanpa menunggu jawaban ku, Diah langsung bangung dan tersimpuh, sedangkan aku berlutut. Kami saling berhadapan. Dengan sedikit membungkukkan badan Diah memeluk ku dan mendaratkan kepalanya di dada ku. Berhenti sejenak. Seperti menikmati momen kebersamaan ini.
“Makasih mas…” ucapnya tiba-tiba.
“Makasih untuk apa? Hehehe.”
“Makasih karena telah memilih ku, makasih karena telah mau menerima ku apa adanya. Dan makasih untuk semua.”
“Hehehe, iya sayang…sama-sama. Mulai saat ini kita akan menjalani semuanya bersama-sama. Susah senang akan kita jalan berdua.”
“Berempat mas,” ralatnya.
“Eh iya berempat, hehehe…”
Diah lantas tersenyum. Dikecupinya dada ku. Lalu bergerak kesamping dan bibirnya berhenti di puting dada ku. Diah menjilatinya sebentar sebelum jilatannya itu bergerak turun dan terus turun hingga akhirnya berlabuh di kemaluan ku.
“Cupp…muaaachh…”
Diah mengecup ujung penis ku. Diciumi nya kepala penis itu dengan penuh perasaan. Karena posisi ku berlutut di atas kasur, membuat Diah harus sedikit menungging.
Setelah selesai dengan ujung penis ku yang mirip jamur itu, Diah lalu menjulurkan lidahnya dan kulai menjilati seluruh permukaan penis ku. Sambil menjilati Diah juga sambil memberikan ludahnya. Dan sekarang penis ku sudah sangat basah oleh ludahnya. Rasanya sungguh membuat jiwa ku seolah melayang-layang.
“Hihihi, udah basah kan?” tanya nya dengan geli.
“Iya. Aku masukan sekarang ya?”
“He’eh…” balasnya sambil mengangguk manja.
Diah hampir saja rebahan lagi dan mungkin akan mengangkangkan kaki nya guna mempersembahkan kemaluannya itu utuk ku. Namun aku mencegahnya. Diah sempat bingung sebelum mengerti maksud ku saat aku memutar tubuh nya hingga menungging membelakangi ku.
“Mas sukanya aku nungging ya? Hihihi,” tanyanya dengan manja.
“Ga apa-apa kan?” lagi-lagi sebuah pertanyaan tolol dan polos keluar dari mulut ku.
“Dari mana aja terserah mas, tubuh ini milik mu sepenuhnya malam ini dan seterusnya…”
Aku tersenyum mendengar jawaban dari Diah. Jawaban yang membuat ku sebagai seorang suami merasa senang dan bangga. Jawaban yang membuat ku merasa sangat di hargai. Dan jawaban yang membuat penis ku…semakin menegang.
Aku lalu meengarahkan penis ku dan menempelkannya ke lubang kewanitaan Diah.
“Aahhsshh…” Diah nampak kaget dan kembali mendeseah ketika ujung kepala penis ku menempel di kemaluannya. Sebelum aku mendorongnya aku sengaja mengusap-usapkan ujung kemaluan ku itu ke atas dan kebawah. Memberikan rangsangan agar memancing cairan kewanitaannya keluar. Dan tak lama kemudian aku langsung merasakan sedikit becek di bibir kemaluannya.
“Aahhssshh…maashh…ayooo di dorooong…masukiin…aku udah nungggu momen-momen seperti ini dari duluusshh…sshhshh…”
“Iya sayang…aku masuk yaaa…”
“Aahshh…eehhmmhhh… aaahshhsh…iiiyaaahhhssh…maasshshh…aahhhshsh…”
Tanpa kesulitan yang berarti akhirnya kemaluan ku berhasil masuk seluruhnya ke dalam lubang kemaluannya. Mungkin karena Diah sudah pernah melahirkan jadi aku tidak mengalami kesulitan berarti. Dan juga kedua kulit kemaluan kami sudah sama-sama basah dan licin. Tapi tidak masalah. Begini pun sudah terasa menjepit dan hangat.
“Aku sayang sama kamu, Di…selamanya aku akan tetap menyayangi mu…”
“Aahhshh…iiiyyyaaa maasshh…aaakuuuu…juugaaa…aashshh…sayaaang sama kaamuuu…”
Diah nampaknya sudah tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Suaranya menandakan dia seperti menahan sesuatu yang sangat nikmat. Sesuatu yang membuat dirinya terbang ke awang-awang. Padahal aku belum menyodok-nyodokan penis ku. Aku belum menggenjotnya. Aku masih mendiamkan penis ku menerima kedutan dari dinding rahim nya. Kedutan?”
“Aahhhshshh…maaaassss…” Diah mengerang pelan. Aku sempat bingung kenapa dan apa yang sedang terjadi padanya. Hingga aku sadar kalau Diah…
“Aaahhhss…maashhh…aakuuuu…”
Diah tak sanggup menyelesaikan kalimatnya karena ternyata dia sudah orgasme. Hah? Secepat ini? Bahkan aku hanya melakukan sekali penetrasi. Dan dia sudah orgasme.
“Kok cepet banget?” tanya ku polos antara bingung dan menggodanya.
“Aahhsshg…uuhhh…uuuhhh…” nafasnya masih tersengal-sengal.
“Aku ndak tau,” lanjutnya sambil menunduk dan membenamkan wajahnya di bantal.
“Kok bisa ya?” aku lagi-lagi dibuat bingung. Ini kejadian langka. Ini aneh.
“Aahhh…aaahh…ehmmm…mungkin aku nya merasa nyaman dan rileks banget jadinya menikmati banget jadinya yaa…gitu deh, hihihi…”
“Hahaha, mungkin kali ya. Jadi, masih mau lanjut ga?”
“Lanjut lah, enak aja. Mas kan belum apa-apa.”
“Iya ya, hehehe.”
“Tapi kasih aku istirahat bentar ya mas, capek mas. Yang tadi itu rasanya bener…ah entahlah. Susah diungkapinnya.”
“Iya sayang…”
Aku lalu memberikan waktu pada Diah untuk mengembalikan tenaganya. Ku condongkan badan ku ke depan hingga dada ku menempel di punggungnya. Ku raih buah dada nya yang menggantung indah itu dan meremasnya. Kuciumi tengkuk nya yang halus dan putih itu. Berharap birahinya kembali naik dan siap untuk melayani ku lagi. Dan berhasil. Tubuhnya kembali menggeliat dan merespon ku. Dan malam ini sepertinya akan menjadi malam yang sangat panjang.
~•~•~•~
Aku terbangun sekitar jam tiga pagi. Rasa dingin dan rasa ingin buang air kecil penyebabnya. Segera aku ke kamar mandi untuk membuang sisa-sisa hasil ekskresi dalam tubuh ku ini. Kembali ke dalam kamar aku melihat tubuh Diah yang masih tergolek lemas dalam tidurnya. Nampak sekali setamina nya terkuras setelah aku berhasil membuatnya KO empat kali.
Sebenarnya aku bukan lah seorang pria yang memiliki ketahanan yang luar biasa dalam bercinta. Dulu paling banyak aku hanya bisa membuat Ayu dua kali orgasme dala satu ronde. Namun dengan Diah aku merasa menjadi seorang laki-laki sejati. Hahaha. Tapi itu lebih karena Diah yang entah kenapa dengan cepatnya bisa mendapatkan orgasme. Tidak masalah sebanarnya, justru aku senang melihatnya. Namun aku kembali berfikir apakah dulu dia juga seperti ini? Atau justru sebaliknya? Tidak mendapatkan kepuasan sama sekali karena memang mungkin tidak ada rasa atau sikap mantan suaminya yang kasar? Hingga semua hasrat dan birahi nya meluap dan meledak malam ini dalam sebuah ledakan orgasme yang sangat cepat?
Aku tidak tau. Dan tidak akan berusaha mencari tau. Itu masala lalu nya. Yang terpenting kewajiban ku sekarang adalah memastikannya agar selalu bahagia berada di samping ku.
“Eegghhh…”
Tubuh Diah menggeliat dan berbalik arah tidurnya. Dari miring ke kiri menjadi miring ke kanan. Tubuhnya semakin meringkuk. Ah dia kedinginan. Selimut nya agak berantakan. Aku lalu membetulkan selimutnya. Menarik ke atas hingga batas lehernya lalu mengecup keningnya dengan lembut.
“Eh? Ehhmm…maas? Egghh…jam berapa ini?” tanya Diah bingung dengan mata setengah terbuka. Entah dia sadar atau sedang mengigau sebenarnya.
“Masih malem. Aku tadi kebelet pipis. Udah bobo lagi. Aku juga mau bobo lagi.”
“He’eh…” balasnya dengan lembut, tersenyum lalu merem lagi. Meringkuk dan menyusup ke dalam selimut, lalu memeluk lengan kiri ku.
Aku tidur terlentang. Di samping kiri ku ada istri ku yang sangat aku cintai. Cinta pertama ku. Atau mungkin cinta monyet ku juga. Hahaha. Puja dan puji syukur aku haturkan kehadirat Tuhan semesta alam yang pada akhirnya mempersatukan kami kembali dalam ikatan janji suci sehidup semati.
Empat tahun lebih kami terpisah oleh jalan yang mungkin juga sudah menjadi takdir nya. Terpisah oleh jalan yang terjal, khusus nya Diah. Terpisah oleh takdir yang cukup pahit. Namun pada akhirnya kami berhasil melewatinya dengan penuh kesabaran. Dan sekarang kami akan memanen buah dari kesabaran yang selama ini kami tanam itu.
[Bersambung]
Hallo Bosku, Disini Admin KisahMalah
Agar Admin Semakin Semangat Update Cerita Cerita Seru Seterusnya, Bantu Klik Iklan yang Ngambang ya.
Atau Gambar Dibawah INI
Atau Bagi Kamu yang suka bermain game Poker Online atau Gambling Online lainnya, bisa di coba daftarkan ya. Banyak Bonus dan Hadiahnya Loh.
Untuk yang Kesulitan Daftar bisa Hub Admin di WA untuk di bantu Daftar.
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂