Merindukan Kesederhanaan Part 4
Aku Hanya Perlu Yang Sederhana
Satu bulan berlalu sudah dari hari yang aneh itu. Sangat aneh dan menguras energi karena aku harus mengontrol emosi dengan segenap tenaga ku. Untungnya aku masih diberi kesabaran untuk menghadapinya. Hari-hari selanjutnya berjalan dengan sangat datar. Bangun tidur, sarapan, ngantor yang kantornya sendiri hanya ada di halaman samping rumah, makan siang, main dengan Tiara, tidur. Begitu terus setiap hari. Semuanya bisa aku jalani dengan sangat lancar. Itu juga karena aku sendiri belum ada kegiatan lain. Perkuliahan baru akan dimulai hari ini. Sedangkan masa orientasi sudah dilangsungkan minggu kemarin yang hany satu hari.
Ngomong-omong soal masa orientasi, sebelumnya aku sempat takut dengan perpeloncoan yang kemungkinan akan dilakukan oleh para kakak tingkat yang muka-muka songong sudah menghantui ku selama beberapa hari ini. Tapi nyatanya semua itu tidak terjadi. Kegiatan orientasi di kampus ini ternyata sudah sangat maju. Tidak ada perpeloncoan. Memang kita dididik untuk disiplin. Tapi kegiatannya lebih edukatif dan lebih banyak pengarahan terhadap kegiatan perkuliahan. Tidak ada pembodohan. Kami sudah cukup bodoh. Karena kalau kami pintar, tentunya kami akan masuk ke perguruan tinggi negeri, bukan PTS ini.
“Mas, mba, aku berangkat dulu ya,” pamit ku kepada mba Endang dan mas Rizal.
“Ga sarapan dulu ian?” tanya mba Endang.
“Iya kamu ga sarapan dulu?” mas Rizal menambahkan.
“Ntar aja mba di kampus.”
“Dah ga sabar ya mau kuliah?”
“Hehehe…”
“Semangat boleh Ian, tapi tetep harus jaga kesehatan.”
“Iya mba, nanti juga makan kok, tenang aja.”
“Ada ongkosnya ga?”
“Ada dong, kan abis gajian kemarin dari mas Rizal”
“Ya sudah ati-ati…”
Aku lalu mencium tangan mas Rizal dan mba nedang. Lalu pamit dengan Tiara juga.
“Tiara, om kuliah dulu ya,” ucap ku sambil mengajaknya salim. Tiara sedang di suapi mba Endang. Dia lalu mencium tangan ku.
“Kuliah itu apaan sih om?”
“Ngghhh”
“Sekolah Tiara, om Ian mau sekolah dulu, belajar…,” mba Endang membantu ku menjawab.
“Sekolah kok ga pakai seragam? Tiara boleh ga kalau ga pakai seragam juga?” tanyanya dengan santainya.
“…”
“…”
“…”
Tidak ada yang menjawab pertanyaan Tiara, kami bertiga hanya diam. Tapi aku kemudian bergegas berangkat sambil nyengir melarikan diri meninggalkan mba Endang dan mas Rizal dengan Tiara. Entah jawaban apa yang akan di berikan oleh mba Endang karena setau ku Tiara kalau sudah mempertanyakan sesuatu dan menurut nya benar tanpa ada argument lain yang lebih benar, maka dia tidak akan merubah kemauannya. Padahal usianya baru lima tahun.
***
Tiba di kampus suasananya masih sepi. Hanya terlihat satu dua orang manusia yang berseliweran di sepanjang jangkauan mata ku. Setelah insiden dengan makhluk bernama Gita itu, aku sekarang benar-benar hati-hati dalam bersikap, termasuk dalam hal menyeberang jalan di area kampus yang sebenarnya bukan jalan raya juga. Di jalan yang sepi ini pun aku tengok kiri dan kanan terlebih dahulu sebelum menyeberang jalan. Mungkin ini adalah hikmah dibalik musibah itu. Semua hal pasti ada sisi positifnya. Ya, aku rasa begitu. Dan aku sedang membesarkan hati ku sendiri.
Aku lihat jam di handphone, perkuliahan masih sekitar tiga puluh menit lagi. Aku memilih untuk membelokkan arah kaki ku ke kantin. Di kantin juga masih sangat sepi, tapi beberapa penjual makanannya sudah buka.
Aku paling suka dengan suasana kantin kampus ini. Berada di area belakang, membuatnya terasa tenang karena jauh dengan suasana jalan raya yang bising. Apalagi sekelilingnya ditumbuhi beberapa pohon yang cukup besar dan membuatnya cukup rindang. Sebelas dua belas lah dengan suasana di kampung.
Aku lalu memesan teh manis hangat dan gorengan. Sekedar untuk mengganjal perut dan menemani pagi ini. Jadi inget suasana di kampung lagi. Kalau bulan bulan sekarang ini pasti lagi musim panen singkong. Kalau musim panen, pagi-pagi seperti ini paling enak sarapan singkong. Entah itu dikukus, digoreng, atau dibakar. Jadi kangen Diah. Eh, kangen singkong bakar. Tapi kangen Diah juga sih. Kangen semuanya.
Dua puluh menit ku lalui dengan kenangan-kenangan akan kampung halaman ku. Aku lalu beranjak dari kantin menuju kelas karena peekuliahan akan segera dimulai. Perkuliahan pertama. Semoga lancar.
***
Aku membuka pintu kelas itu. Di dalam ternyata sudah rame. Dan seseorang yang sudah sangat aku kenal langsung menyambut ku.
“Woi…ini dia juragan kita dateng juga,” teriak Doni dengan kerasnya yang membuat seisi ruangan menoleh ke arah ku. Nih bocah maksutnya apa ya? Juragan? Amin deh, ucap ku dalam hati. Tapi ga perlu heboh gitu juga. Aku hanya tersenyum menanggapi tatapan mereka semua. Doni sendiri bergabung dengan beberapa anak cowok lainnya di bagian belakang kelas dan terlihat sudah sangat akrab.
“Sini bro, gabung sini,” teriaknya lagi saat melihat aku hampir menaruh tas ku di bangku barisan depan. Dengan enggan aku menuruti perintahnya.
“Ini temen gue yang gue bilang tadi, yang dapet grade A itu…,” sombongnya. Lagi-lagi beberapa temen yang lain menoleh ke arah ku. Berisik. Benar benar berisik. Aku lalu memberikan isyarat ke Doni agar diam. Dia hanya cengengesan.
Agar memberikan kesan pertama yang bagus, aku lalu mengulurkan tangan ke anak-anak itu. Alhamdulillah mereka menyambutnya dengan ramah.
“Alfian.”
“Dimas.”
“Andi.”
“Lukas.”
Mereka bertiga menyebutkan nama masing-masing sambil menjabat tangan ku.
“Duduk sini aja bro, depan mah ga enak,” oceh Doni lagi. Aku mengiyakan saja.
“Gue pikir lu nyasar tadi jam segini baru sampe, haha,” ucapnya lagi.
“Enggak kok, eh belum mulai kan kuliahnya?”
“Belum santai aja.”
Aku lalu duduk didekat mereka berempat. Kupandangi seluruh isi ruangan ini. Bagus kelasnya. Ruangannya juga ber AC. Lantainya keramik. Bersih. Kalau SMA ku mana ada AC nya, kipas angina saja tidak ada. Lantainya juga masih ubin yang kasar. Beda banget dengan ini. Trus itu di langit-langit bagian depan ada sebuah benda berbentuk kotak yang digantung. Kalau tidak salah itu namanya projector. Eh bener tidak ya? Hahaha, apapun namanya, sekarang aku merasa menjadi manusia paling norak sedunia akhirat.
“Bengong aja?”
“Hehe, enggak.”
“Grogi lu ya? santai aja.”
“Enggak kok, biasa aja,” padahal agak deg-deg an juga sebenarnya.
“Eh, lu dah tau belum cewek yang waktu itu masuk kelas apa?”
“Kelas apa?”
“Gue nanya bego!!!”
“Ga tau, ndak mau nyari tau juga,” balas ku cuek.
“Mudah mudahan aja masuk kelas sini ya, haha.”
“Itu sih mau mu don, aku sih enggak.”
“Iya lah, kan jadi ada yang seger seger, tapi kalau pakaiannya kaya waktu itu terus bisa ga konsen juga pas kuliah ya,” ucapnya sambil berlagak mikir.
“Sok mikir kamu! Otak mu itu harusnya dicuci dulu.”
“Haha, kalau yang nyuci tuh cewek mau dah gue, maen basah-basahan deh, haha, namanya siapa ya?”
“Auuuu,” jawab ku bohong sambil mengangkat bahu. Padahal aku sudah tau siapa namanya dan dimana dia tianggal. Kalau aku jujur, Doni pasti akan heboh dan menanyai ku macam-macam. Jadi lebih baik aku diam saja. Biarin aja dia nyari tau sendiri. Bukan urusan ku. Urusan ku sekarang adalah kuliah.
Tidak lama berselang pintu terbuka. Seorang bapak-bapak masuk. Sepertinya ini dosennya, tidak salah lagi. Tapi…tepat di belakang bapak itu sesorang masuk lagi mengikutinya dari belakang. Dan…dia adalah…yang barusan ditanyakan oleh Doni. GITA!!! Oh tidak.
“Pagi semuanya…”
“Pagi pak…” jawab seluruh anak serempak.
Aku langsung menunduk. Aku yang awalnya semangat banget buat kuliah mendadak jadi malas. Masih inget banget aku bagaimana dia menabrak aku dengan mobilnya tepat di depan rumahnya. Dan masih ingat dengan jelas pula bagaimana reaksi nya ketika bibi nya mau nolongin aku tapi malah dilarangnya. Tidak punya hati nurani sih pikir ku.
Aku benar-benar jadi tidak semangat. Aku lalu membayangkan bagaimana tidak enaknya dalam satu tahun kedepan aku akan terus satu kelas dengannya. Padahal sehari saja rasanya ampun-ampunan.
“Bro cewek itu bro,” bisik Doni.
“Iya tau.”
“Kenapa lo nunduk gitu.”
“Gapapa.”
“Hahaha, bakalan semangat nih gua kuliahnya kalau gini.”
“Hmmm…”
Perkuliahan pun dimulai. Aku mencoba fokus. Apalagi ini bidang yang sangat baru. Ya, aku dari IPA, dan sekarang menyeberang ke Akuntansi. Tapi entah kenapa pikiran ku sekarang ini malah penuh dengan bayangan gita. Aduh gimana ini ya?
“Tok Tok Tok,” tiba-tiba ada yang mengetuk pintu dan terbuka sedikit, terlihat hanya bagian mukannya saja yang melongok masuk ke dalam ruangan kelas.
“Maaf pak, saya terlambat, masih boleh masuk?” tanya wanita itu. Mahasiswi.
“Silahkan,” balas pak Dosen. Mahasiswi itu pun masuk dan perkuliahan dimulai lagi. Baru kuliah hari pertama sudah telat, bagaimana kedepannya? Tapi masa bodoh lah, bukan urusan ku juga. Aku mencoba fokus. Tapi sulit. Arrggghh.
***
“Gimana kuliah tadi?” tanya Doni saat kami sudah duduk di kantin.
“Kosong,” balas ku dengan malas.
“Hah?”
“Ndak ada yang masuk.”
“Kebayang Gita lu ya?”
“Iya, tapi bikin males.”
“Ati-ati, ntar kepatil omongan sendiri lo, haha.”
“Endak akan, buat kamu saja kalau mau,” balas ku males.
“Maaf, aku boleh duduk sini ya, penuh soalnya meja yang lain,” ucap seorang wanita pada ku dan Doni. Setelah aku perhatikan, kalau tidak salah wanita ini adalah mahasiswi yang datang terlambat ke kelas tadi. Dan setelah aku perhatikan ke sekitar, siang ini kantin memang penuh banget dan tinggal meja kami yang masih tersisa tempat duduk kosong.
“Silahkan mba,” jawab ku sopan.
“Kamu yang tadi telat dateng kan?” tanya Doni. Mentang-mentang sama cewek saja pakai kamu.
“Hehe, iya mas, busnya tadi malem mogok di jalan.”
“Tadi malam?” tanya ku agak bingung.
“Iya mas,” jawabnya dengan nada sedih.
“Emang lo dari mana?” baru juga disindir langsung elo lagi. Padahal aku nyindir nya dalam hati, wah sakti nih anak pikir ku.
“Eh iya, aku baru dari kampung mas, kemarin berangkatnya. Harusnya sih subuh tadi udah sampai, tapi ya karena mogok itu jadinya telat deh…untung masih boleh masuk.”
“Emang dari mana mba?” tanya ku penasaran. Sesama anak rantau nih pikir ku.
“Purworejo mas, mas nya?”
“Oh purworejo, aku dari Wonosari, Jogja.”
“Deket dong mas?”
“Iya, bus ku kan rutenya juga lewat tempat mu, Purworejo, Kebumen.”
“Wah kalau gitu bisa dong kalau mudik bareng, hihihi,” ucapnya dengan girang. Sejenak aku memperhatikan wajahnya yang gembira. Tidak ada yang spesial. Tapi tertawanya lucu. Tapi bukan lucu seperti pelawak. Tapi…ah entahlah.
“Bisa diatur,” ucap ku mengiyakan.
“Yeeey…dapet temen,” ucapnya lebih girang lagi dari sebelumnya.
“Gini ya rasanya jadi obat nyamuk, hmmm,” ucap Doni tiba-tiba.
“Haha, maaf Don maaf,” ucap ku pada Doni yang merasa dicuekin oleh aku dan…ah siapa namanya tadi ya? Nur…?
“Maaf, mba nya tadi siapa namanya? Nur…?” tanya ku lagi karena mendadak aku lupa dengan nama panjangnya.
“Riski Handayani, Nur Riski Handayani, masnya bisa panggil aku kiki, hehehe,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Langsung ku tangkap tangannya.
“Alfian, Alfian Restu Kusumu.”
“Kalau…”
“Ardoni Sebastian, panggil aja Doni ganteng.”
“Haha, iya mas Doni jeleeek.”
“Hahaha.”
Kami tertawa bersama. Doni juga. Padahal kita berdua mentertawakan dirinya. Entah mengapa dia malah ikut tertawa. Aneh.
“Eh, kalian berdua kan sama-sama dari kampung ya, eh maksud ku sama-sama dari daerah, tempat kalian berdua masih yang alam gitu dong? Yang masih banyak pohon pohon gitu?”
“Iya Don, kenapa?”
“Mau dong diajak ketempat kalian nanti pas libur.”
“Boleh aja, asal ndak rese lagi kaya kemarin.”
“Mas Doni mau? Ayuk aja aku mah, nanti aku ajak ke tempat tempat wisata alam, ada air terjun, ada danau, bagus banget lho…”
“Ah elu Ian, pake syarat segala, kaya Nur dong baek ga pake syarat, ya Nur yaaaak,” ucap Doni merayu.
“Iya mas, tapi jangan panggil Nur ya, Kiki aja, hihihi.”
“Emang kenapa?” tanya ku bingung karena setau ku nama Nur adalah nama yang baik dan aneh bila ada yang malah tidak suka dipanggil Nur.
“InsyaAllah, nanti kalian berdua juga akan tau kok, asal…”
“Asal apa?” tanya ku dengan cepat karena tiba-tiba aku menjadi sangat penasaran.
“Hihihi, penasaran yaaa, syaratnya mudah kok, asal…kalian berdua mau jadi temennya Kiki, hehehe,” jawab Kiki sambil tersenyum. Ah kirain syarat nya apaan.
“Haha, kirain apaan, tapi lo juga jangan pangil gue ama Ian mas dong, mang kita mas-mas.”
“Kamu kan mas-mas kang somai kegatelan don, hahaha.”
“Garing!!” balas Doni dengan sewot.
“Biarin! hahaha.”
Kami tertawa lagi. Rasanya seneng banget. Doni, meskipun orang kota tapi dia mau membaur dengan kami para perantauan. Dan sekarang ada Nur, eh Kiki, kampungnya tetanggaan dengan aku. Kalau dilihat dari penampilan dan kesan pertama yang aku terima barusan, sepertinya orang sama seperti ku. Ga neko neko. Mudah mudahan. Artinya ada kemungkinan aku akan mendapatkan teman atau bahkan mungkin seorang sahabat yang satu paham dengan ku.
“Nur, eh Ki, terus kalau lu dari perworejo, di sini tinggal di mana? Ama siapa?”
“Ngekos mas, eh Don, di belakang kampus sini, deket kok jalan kaki sepuluh menit nyampe.”
“Wah bisa buat basecamp dong,” tanya Doni spontan.
“Jangan macem-macem Don, emangnya kamu yakin kos nya kiki cowok boleh masuk?” sela ku karena merasa tidak enak. Aku merasa Kiki ini anak baik-baik. Pasti dia memilih kosan nya itu yang khusus putri gitu. Apalagi dia pake kerudung. Feeling ku sih merasa begitu.
“Suudzon aja lu, kan maksut gue kalau kita lagi nunggu pergantian jam gini bisa santai santai di kosan dia, atau mungkin ngerjain tugas bareng, atau diskusi bareng, gitu yeee.”
“Alah, ngeles aja kamu…”
“Hahaha, udah udah jangan ribut. Boleh kok cowok masuk, tapi ya ga boleh masuk kamar. Paling di teras kalau mau, atau paling di ruang tamu nya, main aja kalau mau,” ucap kiki sambil tersenyum.
“Asli, baik banget lu ki, ga kaya Ian.”
“Alah, gini-gini juga kamu kan yang ngintilin aku terus sejak tes waktu itu, bilang aja kamu yang ndak punya pasangan…” ejek ku pada Doni.
“Hahaha, pasangan mah banyak Ian, tapi yang bisa bikin gue jadi mahasiswa baik kayanya cuma elu doing, hahaha,” Doni tertawa.
“Kalian?” tanya kiki bingung.
Kenapa?” tanya ku.
“Ndak homoan kan?” wajah Kiki pucat.
“iya kok, kita emang couple an,” ucap Doni sambil berusaha memelukku. Reflek aku menjauh.
“Iiiiihhhh…kaliaaannnn…hiiiii…sereeeem…” teriak kiki histeris.
Sialan nih si Doni. Aku langsung mendorong dan menoyor kepalanya. Dianya hanya ketawa ketawa.
“Gimana kalau tugas kelompok pengantar manajen tadi kita kelompok bertiga aja, entar ngerjainnya di kosan aku, kan jeda jam ke dua dan ketiga lumayan lama tuh, daripada bengong ga jelas, ya kan?” usul kiki.
“Boleh,” jawab ku.
“Cakep, satu kelompok sama Ian mah aman, hahaha, eh tapi ngehe juga tuh dosen. Baru masuk dah kasih tugas kelompok,” umpat Doni dengan kesal.
“Tadi kayanya yang kasih usul buat dijadiin tempat belajar kamu Don, kok malah ngeluh gitu? ga konsisten,” sindir ku.
“Iya, tapi kan ga langsung kaya gini juga.”
“Sama aja Don, ngeles aja kamu mah!”
“Udah ah, kalian ini ribut mulu, kalau mau dateng ya dateng aja, kita bahas tugasnya!!!”, sela kiki tegas. Aku dan Doni melongo melihatnya yang mendadak berubah menjadi tegas. Padahal tadi mah lemah lembut banget.
“Ini bukan ribut Ki, ini wujud rasa sayang kita berdua, ya kan ian sayaaang,” ucap doni sambil dibanci-banciin, dan lagi-lagi dia berusaha memeluk ku. Aku toyor lagi kepalanya.
“Ihh, dasar HOMO,” ucap seorang wanita tapi itu bukan dari Kiki, lalu dari siapa?
“Enghh”
Aku dan doni saling pandang. Terdengar suara cibiran dari seseorang yang baru saja lewat di samping ku yang aku kenal dan sangat tidak asing. Gita???
“Itu tadi…Gita kan?”
“Iya ki” jawab ku santai.
“Aduh ancur deh image gue di matanya,” keluh Doni.
“Muka mu emang udah ancur kali, apalagi otak mu,” ejek ku.
“Lagian sih pake peluk-peluk segala, kena batunya kan?” lanjut ku.
“Gita cantik ya, hehehe,” ucap Kiki tiba-tiba sambil tersenyum dan memandang Gita dari kejauhan yang sudah berjalan pergi meninggalkan kantin.
“Biasa aja ah.”
“Nah, kebukti kan Ki kalau Ian itu homo, cewek secantik gita dia bilang biasa aja.”
“Hati lebih penting Don daripada fisik. Dah ah, aku mau balik ke kelas. Males ngomongin gita,” ucap ku saat bangkit dan meninggalkan mereka berdua. Males aku denger ocehan Doni tentang Gita.
“Woi, napa lo jadi sewot gitu sih?”
“Auuu…”
***
“Eh kalian, jadi kan ke kosan aku?”
“Ayuk, bocah-bocah yang lain pada mau maen PS, gue sih lagi males, lu ian? Gimana?”
“Ya udah.”
“Ya udah apa?”
“Ya udah ayoook.”
“Eh tapi nanti beli makan dulu ya, bungkus aja, maklum lah anak kos ndak ada makanan, hehehe,” ucap Kiki sambil nyengir.
“Selow aja ki, paham kok. ya ga ian?”
“Iyaaa.”
Mata kuliah ke 2 sudah selesai. Dan sekarang sudah waktunya makan siang juga. Jam pertama dan ke dua sebenarnya tidak ada jeda, tapi karena dosen keluar 30 menit lebih cepat jadi kita tadi ada waktu buat ke kantin. Dan sekarang sesuasi rencana tadi pagi, mau ke kosan kiki untuk membahas tugas kelompok pengantar manajemen karena jeda jam ke dua dan ke tiga lumayan lama.
Gita? Sepertinya dia semakin jijik saja kalau melihat ku. Apalagi setelah ulah si Doni tadi yang pura-pura menjadikan aku sebagai pasangan homo nya. Tapi aku sih bodo amad, ndak mau ambil pusing.
Sesuai saran kiki tadi, kita bertiga beli makan siang dulu di sebuah warung nasi khas jawa tengah. Kita belinya dibungkus. Tapi selain beli nasi bungkus, ternyata Doni inisiatif membeli beberapa minuman ringan dan beberapa cemilan di minimarket. Sisi positif dari seorang doni yang aku baru tahu, dia tidak pelit dan tidak perhitungan.
Setelah berjalan kaki sekitar sepuluh menit, kami bertiga sampai di kosan kiki. Sederhana tapi bersih, itu kesan pertama yang aku dapat. Begitu masuk, langsung ke sebuah ruangan yang cukup besar yang menurut ku mirip seperti loby. Widih, keren. Dah kaya hotel saja pikir ku, meskipun aku sekalipun belum pernah tidur di hotel. Mungkin ini yang dimaksut kiki sebagai ruang tamu itu. Mungkin ini termasuk fasilitas bagi yang ingin membawa teman lawan jenis ke area kosan. Mungkin. Aku hanya menebak.
Di ruangan ini fasilitasnya cukup lengkap. Ada tv, meskipun jadul. Sama kaya tv ku di kampung. Ada karpet nya juga, meskipun udah agak lusuh. Tapi yang pasti lantainya keramik dan bersih juga. Terus juga ada apa itu namanya yang buat naruh aqua galon, dispenser. Sama kaya di rumah mba Endang. Kalau yang ini di kampung ndak ada. Haha. Orang tempat airnya dari kendi.
“Ayo masuk, santai aja ya. Kalian tunggu sini aja dulu, aku mau ambil piring ama sendok dulu biar makannya enak. Kalau mau nonton tv hidupin aja,” pesan kiki.
“Enak ye kosannya, sebulan berapa ya?”
“Sejuta kali,” jawab ku ngasal.
“Lebih kali.”
“Tanya orangnya langsung aja kali.”
“Hahaha, PMS lu ya, sewot mulu dari tadi. Apa karena di jutekin Gita terus? Cieee…”
“Kamu yang bikin aku seweot Don,” ucap ku sambil memiting kepalanya. Tapi Doni tau aku hanya bercanda. Dia hanya tertawa.
“Ni anak berdua bercanda mulu ya dari tadi, heran aku,” ucap Kiki yang baru saja balik dari dalam. Dia membawa tiga piring plastik, tiga gelas plastik, dan tiga pasang sendok dan garpu.
“Hehe, ini bentuk ke akraban kita ki.”
“Iya percaya, yang penting bukan bentuk kemesraan kalian.”
“Haha, bisa aja lo Ki, emangnya lo rela apa dua cowok ganteng ini jadi sepasang kekasih.”
“Ya daripada jomblo.”
“Tau darimana gue jomblo, enak aja lo.”
“Kalau ga jomblo ngapain kalian ada di kosan aku? harusnya kan makan siang dengan pasangan masing masing, hahaha.”
“Ya bisa aja kan pasangan kita ada di tempat yang jauh gitu.”
Aku langsung mengernyitkan dahi. Sialan nih Doni. Bisa pas banget omongannya. Jadi keinget Diah lagi kan.
“LDR gitu?”
“Semacamnya.”
“Ndak tau, tapi feeling ku kalian berdua ini jomblo yang ngenes, hihihi.”
“Ntar gue kenalin deh cewek gue ke lo Ki, biar ga dibilang jomblo lagi.”
“Trus Gita di kemanain don?”
“Ya Gita jangan sampai tau, hahaha.”
“Woooo,” teriak ku dan Kiki berbarengan.
Kami akhirnya sudahi dulu bercandanya. Kami lanjutkan acara siang ini dengan makan. Bagi Doni dan kiki, mungkin ini adalah makan siang yang sederhana. Tapi bagi ku ini sudah sangat mewah, apalagi kalau dibandingkan dengan waktu di kampung dulu. Bukan karena pelit. Tapi memang karena keadaan. Dan selain itu bapak ibu selalu mengajarkan ku untuk hidup sederhana dan tidak memaksakan sesuatu yang belum kemampuannya.
“Sabar aja dulu. Nanti juga ada waktunya kamu hidup enak.”
Kira kira begitulah pesan sekaligus doa yang selalu diucapkan ibu pada ku. Bapak, ibu, de Binar, mas Yoga, kalian makan apa hari ini? Lulus masih lama ya? Pengen balik kampung rasanya.
“Napa lu ian? Bengong gitu, mikirin Gita yak? Haha.”
“Gita doang ya yang ada di kepala mu Don? Aku lagi kangen bapak ibuk ku, makan apa ya mereka siang ini?”
“Eh, sorry, hehe.”
“Ditelpon aja kalau kangen, hehe,” saran Kiki sambil tersenyum manis.
“Iya ntar malem aku mau telpon kok,” balas ku.
“Kalau siang gini bapak pasti lagi di kebon. Ibuk kayanya juga pasti sibuk. Adik ku juga pasti blm pulang sekolah. Mas ku juga paling lagi sibuk sama bebek dan lelenya. Entar malam aja lah,” lanjut ku. Mereka berdua manggut-manggut.
“Eh Ki, kok lu malah ngajak kita kita sih? Bukan ngajak temen cewek yang lain gitu?”
“Uhuukk…uhuukk…hahaha, ga tau Don, aku seneng aja ama kalian, lucu, apa adanya. Lagi pula aku minder kalau sama temen-temen cewek yang lain. Kayanya mereka pilih-pilih juga. Ga tau ah. Lagian temen aku dari dulu tuh emang kebanyakan cowok kok, gimana ya? Lebih santai aja. Kalau sama-sama cewek kan biasanya suka ndak enakan atau apalah ribet, males aku. Lha kaliam sendiri? Kenapa ga ikut temen cowok yang lain?”
“Gue sih ama siapa aja no problem, ama temen temen cowok yang lain juga oke kok. Masalahnya tadi mereka mau maen PS doang, gue lagi males.”
“Owh gitu, kamu ian?”
“Aku? Sama mungkin sama kamu,” ndak tau kenapa aku malah berkata seperti itu.
“Maksutnya?” tanya Kiki dengan bingung. Pasti.
“Udah ayuk makan, trus bahas tugasnya,” ajak ku.
Kami pun makan dengan lahapnya. Setelah itu kita mulai membahas tugas. Tak ku sangka, Doni meskipun kalau ngomong jarang seriusnya, tapi kalau lagi diskusi gini ide-ide nya kadang suka pas. Beberapa kali dia memberikan ide seputar permasalahan manajemen yang sama sekali tidak terpikirkan oleh ku. Sedangkan Kiki, sesuai dugaan ku, anaknya cukup pintar dan nyambung ketika diajak diskusi. Alhamdulillah aku mendapatkan teman seperti mereka.
Tidak apalah tidak punya teman yang gaul atau apalah istilahnya, yang penting aku dapet teman yang se visi, se pemikiran, dan yang paling penting sederhana dan apa adanya.
***
Hampir tiga jam telah berlalu. Kami putuskan untuk mengakhiri diskusi ini. Kerangka pemikiran telah terbentuk. Berkat andil semuanya. Tinggal implementasi dan pengetikannya. Mereka sepakat yang ngetik mereka berdua saja. Aku tidak usah karena aku di rumah ada pekerjaan lain. Kiki tau setelah Doni menceritakan kesibukan ku yang lain selain kuliah. Kiki nampak kagum dan memuji ku karena aku bisa kuliah sambil kerja. Padahal menurut ku biasa saja.
Jam terakhir ini terasa sangat berat. Pertama, ini jam ngantuk. Ke dua, badan sudah terasa sangat letih. Ke tiga, apalagi kalau bukan Gita. Sikapnya semakin ndak ngenakin. Tapi ya sudah lah.
“Menurut mu aku peduli?” ucap ku dalam hati. Aku punya teman-teman yang lain kok, khususnya Doni dan Kiki. Dan mereka berdua jauh lebih baik dari kamu. Peduli amat kalau kamu mau anggap aku sampah sekalipun.
***
“Gimana kuliahnya tadi?” tanya mas Rizal. Aku dan dia sedang di halaman samping rumah.
“Lancar mas.”
“Temen temennya? Enak?”
“Alhamdulillah enak-enak mas,” sambil terbayang bagaimana asiknya aku, Doni dan Kiki mengerjakan tugas bersama di kosan nya.
“Ya syukur dah kalau gitu. Oiya kamu capek ga kalau siang kuliah trus malam lanjut kerja gini?”
“Enggak mas, biasa aja, ya dicoba aja dulu, hehe.”
“Iya dicoba aja dulu, kamu masih muda, mumpung masih kuat, semangatnya jangan kendor. Orang ga akan mati kalau cuma kebanyakan kerja, kalau ga makan baru dah tu mati.”
“Iya mas, siap.”
“Dan satu lagi, kamu kalau mau maju, jangan pelit ama tenaga! Entah itu buat kerja, buat kuliah, belajar, apapun, intinya jangan males aja!” imbuhnya.
“Iya mas.”
Aku dan mas Rizal sekarang sedang melakukan pengecekan akhir pada hardcase pesenan pak Weily. Siapa? Iya pak Weily, buapak nya tuan putri Gita. Ini bukan yang waktu itu, tapi ada pesanan lagi setelah itu. Untungnya mas Rizal sendiri yang datang buat ngukur. Dan aku baru tau kalau malam ini pak Weily akan mampir ke rumah, penasaran sama prosesnya katanya.
Pak weily selain sebagai pelanggan mas Rizal, ternyata rekanan bisnisnya. Biasanya barang barang hasil huntingnya di jualnya ke pak Weily ini. Ya semacam makelar dan kolektor. Mungkin begitu istilah umumnya.
“Mas, ada pak Weily tuh, aku suruh kesamping aja apa gimana?” tanya mba Endang yang tiba-tiba datang ke halaman samping.
“Oh udah dateng, aku ke depan deh, oiya tolong buatin kopi ya, tiga kalau Ian mau.”
“Kok cuma tiga? Empat kali.”
“Empat? Kamu mau ngopi?” tanya mas Rizal bingung. Pasti, mba Endang memang tidak pernah mau ngopi, padahal enak. Aneh.
“Enggak, mana bisa aku ngopi.”
“Lalu? Satu lagi buat siapa?”
“Makanya buruan kedepan temuin orangnya, ntar juga tau pak Weily datang sama siapa.”
[Bersambung]