Merindukan Kesederhanaan Part 33
Sebuah Kenyataan Pahit
Jadi ceritanya begini, pas di jalan pulang dari rumah Ayu, Tiara mendadak sakit perut dan mau tidak mau rombongan harus berhenti. Kebetulan waktu itu mereka lewat Simpang lima, dan memutuskan untuk berhenti di salah satu mall yang ada di sana. Tentu saja agar Tiara bisa BAB.
Saat itulah, saat mba Endang mengantar Tiara ke toilet, Binar secara sekilas melihat Gita dari kejauhan. Mereka memang tidak saling berbicara, atau minimal saling bersapa, tapi Binar yakin seyakin-yakinnya bahwa apa yang dia lihat itu adalah benar Gita. Binar bisa seyakin itu adalah karena dia sempat saling beradu pandang dengan gita sebelum akhirnya Gita menghilang di keramaian mall. Dari yang dirasakan Binar, Gita seperti berusaha menghindar dari kejaran Binar yang katanya waktu itu sempat berusaha ingin menghampirinya.
Aku mengatakan ini aneh karena setau ku, sebelum insiden Rumah sakit terjadi, Gita dan Binar cukup dekat. Mereka memang berpisah kota, tapi aku tau mereka saling berkabar layaknya seorang sahabat. Dan kedekatan mereka sebenarnya lebih dari itu. Aku bisa merasakan itu ketika Binar mengetahui terjadi konflik antara aku dengan Gita. Terlebih lagi saat dia tahu Gita ‘melarikan diri’ ke Australia. Aku bisa merasakan kekecewaan yang dia rasakan. Ya, sebenarnya Binar lebih setuju aku dengan Gita, bukan dengan Ayu.
Keadaan semakin rumit ketika aku memberinya kabar bahwasanya aku akan segera menikah dengan Ayu. Entah aku yang salah tangkap atau bagaimana, ada rasa cemburu dan tidak senang di matanya. Rasa cemburu yang mungkin mewakili perasan Gita. Dan tidak senang karena bukan Gita yang akan menjadi kakak ipar barunya. Namun begitu, karena Binar orangnya sudah cukup dewasa, dia mampu menyembunyikan apa yang dirasakannya itu yang kemudian berlaku biasa saja di depan ku.
Dan aku semakin bingung dengan kerumitan yang ada karena pas malam pertama itu aku dan Ayu bercerita banyak tentang Tiara dan Kiki. Hubungan mereka berdua mirip banget dengan hubungan antara Binar dan Gita. Apa yang Ayu ceritakan memanglah benar. Tiara nampak tidak terlalu suka dengan pernikahan ku dengan Ayu.
Lalu bila itu dikaitkan dengan Kiki, dengan ketidakhadirannya di hari yang sakral untuk ku itu, bahkan hingga dua minggu setelah pernikahab ku ini, aku belum juga mendapatkan kabar dari nya, apakah ada hubungannya? Jika memang Tiara menginginkan Kiki menjadi tante baru nya, apakah Kiki juga menginginkan Tiara menjadi keponakan barunya? Dan bila kembali ke masalah kunculan Gita di semarang waktu itu, untuk apa dia ada di sana? Dan kenapa menghindar dari Binar? Aarrgghh…aku pusing sendiri memikirkannya.
“Sayang akuh kok pusing banget sih kelihatannya?”
Sabtu pagi ini, aku masih bermalas-malasan di ruang depan kontrakan ku. Ya, aku dan Ayu sudah kembali ke jakarta. Aku dan ayu sekarang tinggal di kontrakan petakan, masih di daerah lenteng agung juga. Kami memutuskan untuk pindah karena akan sangat tidak nyaman bila kami masih tinggak di kost nya yang hanya satu kamar.
“Ah enggak, mikirin interview aja buat minggu depan.”
“Yang di tempatnya Endra?”
“Iya.”
“Lolos ke tahap interview ya?”
“Iya dong…” jawab ku bangga.
“Suami aku emang pinter, sukses ya sayaaang, dan jangan genit ya kalau nanti keterima di sana!” pesannya sambil duduk di samping ku.
“Aku sih lebih suka genitin kamu aja, hehehe,” balas ku sambil dengan iseng menggesek-gesekan siku lengan ku ke dadanya. Hehehe. Empuk.
“Tangannyaaa, iseng deh. Masih pagi juga,” protesnya namun tidak berusaha menjauh, malah semakin merapatkan gundukan di dada nya itu ke lengan ku.
“Hehehe.”
“Mas,”
“Ya?”
“Belum dapet kabar juga dari Kiki?”
“Belum,” jawab ku sambil menggeleng lemah.
“Gita?”
“Apalagi.”
“Dimana ya mereka berdua?”
Aku menggidikkan bahu ku.
“Gita sama Binar itu deket ya?”
“Ya, setau ku sih begitu, dulu sebelum dia pergi.”
“Sedeket apa?”
“Mungkin sedekat Tiara dengan Kiki. Meskipun berbeda kota, tapi setahu ku mereka saling berkabar selayaknya sahabat. Beberapa kali juga, ketika ada waktu luang, Gita seorang diri menyempatkan diri terbang ke jogja hanya sekedar bertemu dengan Binar.”
“Oh ya?”
“Iya.”
“Terus itu ketemu ngapain?”
“Kamu sebagai cewek pastinya tau lah kalau dua orang cewek yang saling bersahabat dan berbeda kota, ketika mereka bertemu ngapain aja. Ya jalan mungkin, curhat-curhatan, atau apalah aku juga ga tau seperti apa persisnya yang mereka lakukan.”
“Kamu ga nanya ke Binar sedeket apa mereka berdua?”
“Endak, hehehe,” aku nyengir.
“Dasar!! Cuek banget sih. Aku ga nyangka mereka berdua juga sedekat itu.”
“Aku aja juga ga nyangka awalnya.”
“Apanya?”
“Ya itu, kedekatan mereka.”
“Termasuk bagaimana Binar lebih menginginkan Gita yang menjadi kakak iparnya?”
“Tidak pernah ngomong secara langsung sih, tapi aku merasa seperti itu,” jawab ku dengan pelan.
“Hahaha, semakin kalah deh aku.”
“Kalah apanya?”
“Dua cewek cantik itu sama-sama deket dengan dua cewek di keluarga kamu.”
“Terus, maksudnya apa?”
“Ya ga apa-apa sih. Cuma lucu aja.”
“Apanya yang lucu?”
“Tiara, maunya kamu sama Kiki. Sedangkan Binar, maunya kamu sama Gita. Kamu sendiri, jujur aja, yang paling kamu harepin pasti Diah. Ga usah ngeles. Eh dapetnya Aku, apes banget ya kamu, hahaha,” Ayu tertawa garing.
“Aku ga apes kok. Aku juga menginginkan kamu sama seperti dulu aku menginginkan Diah.”
“Sayang sekali, ucapnya tiba-tiba.
“Sayang kenapa?”
“Mereka bertiga dengan segala problem yang mereka alami saat ini ga ada di samping kamu lagi,” balasnya dengan nada sedih.
“Emangnya, kalau sekarang mereka ada di sini kenapa?”
“Kalaua mereka mau, aku rela sih di madu dengan salah satu dari mereka, salah dua juga mau, ketiga-tiganya juga aku ikhlas, hihihi.”
“Ga lucu.”
“Aku ga lagi ngelucu sih,” balasnya.
“Aku yang ga mau kalaupun mereka mau. Dan ga yakin juga sih mereka mau.”
“Kan aku tadi bilang kalau, hehehe.”
“Ya udah sih ga usah bahas masalah kaya gitu.”
“Hahaha, iyaaa. Tapi, emang kenapa kamu ga mau? Kan enak?”
“Aku?”
“Iya.”
“Prinsip.”
“Hahaha, prinsip kamu aneh.”
“Birin.”
“Selain itu? Apalagi?”
“Takut ga bisa adil.”
“Hahaha, kamu pasti bisa adil kok.”
“Udah ah, aku ndak mau ngebahas itu lagi!”
“Hahaha, malah sewot. Kamu tau ga mas apa yang aku bayangin sekarang?” tanyanya memberi tebakan. Aku menggeleng.
“Kita berlima tinggal di satu rumah dan kamu jadi kepala keluarganya. Ngebayangin kita berlima tidur bareng. Uuuhhh…kok aku jadi merinding ya? Hihihi,” jawabnya enteng yang sukses membuat ku ikut merinding.
“Sayangnya itu ga akan mungkin terjadi.”
“Kenapa?”
“Diah, sudah punya keluarga sendiri. Gita, mungkin sudah balik ke Australia. Kiki, entah ada dimana dia sekarang.”
“Semoga kiki cepet ketahuan kabarnya. Semoga gita khilaf dan tiba-tiba balik ke jakarta. Dan Diah, ya semoga saja ada masalah besar yang mengganggu keluarga nya dan tiba-tiba cerai gitu, hihihi,” ucapnya panjang lebar lalu tertawa kegelian sendiri.
“Huss! Itu yang terakhir, ndak boleh doain orang kaya gitu!” aku mengomelinya.
“Hehehe, iya maaf!”
Apa yang di doakan Ayu tadi memang sesuatu yang aku harapkan. Aku memang mengharapkan Gita dan Kiki kembali. Namun hanya sebatas itu. Aku tidak menginginkan lebih karena aku sudah memiliki Ayu. Sedangkan untuk Diah. Tak pernah sekalipun aku mendoakan terjadi sesuatu dengan keluarga nya, meskipun jauh dari lubuk hati ku yang paling dalam sana, bayang-bayang Diah masih lah tetap ada. Namun kini sekarang sudah ada Ayu yang akan melindungi ku dari bayang-bayang itu. Ya, sudah ada Ayu. Tidak akan ada yang lain.
“Tapi aku penasaran,” ucap ku terhenti. Ayu kemudian menoleh ke arah ku.
“Apa?”
“Kamu kenapa malah mendoakan mereka kembali? Bukan kah itu berarti…”
“Ehmm…kenapa ya? Ga tau. Mungkin karena ketulusan mereka bertiga yang mampu memadamkan api cemburu ku.”
“Hahaha, gaya banget dah ah,” tanggap ku.
“Hahaha.”
“Eh tapi, kalau Gita dan Kiki boleh lah kamu bilang begitu. Lha kalau Diah? Emang kamu tau apa tentang dia?”
“Ga tau apa-apa, setau yang kamu pernah cerita aja.”
“Hanya dengan itu kamu bisa menyimpulkan perasaan Diah tulus?”
“Iya.”
“Kok bisa?”
“Insting cewek itu tajem mas. Makanya kamu jangan macem-macem di luar sana!” ancam Ayu dengan seramnya. Mendadak jadi parno akunya.
“Lah, gimana? Kalau sama mereka bertiga kasih lampu hijau, sama yang lainnya lampu merah.”
“Yaaa, begitulah cewek, maennya kan perasaan. Bisa ikhlas untuk orang-orang tertentu namun tidak untuk yang lainnya,” jelasnya. Aku bingung. Serius.
“Yaaa sudalah. Wanita memang susah untuk dimengerti.” Aku menanggapinya dengan acuh tak acuh.
Plaakkk
Aku mendapat tamparan pelan di pipi ku. Hahaha. Galaknya muncul.
“Dan kamu sudah mempunyai istri. Dan istri kamu cewek. Jadi untuk seterus nya kamu harus bisa ngertiin istri kamu, seumur hidup mu, kecuali kalau kamu nikahnya sama cowok. Kalau itu terserah kamu!” balasnya ketus. Hahaha. Aku tersenyum padanya. Dalam hati aku tertawa. Wanita yang sedang hamil memang sangat sensitif. Dan sedikit bisa melawak.
“Iya sayang iya, apapun untuk mu,” aku membalasnya dengan sebuah kecupan.
“Untuk anak kita juga mas,” tambahnya.
“Oh iya buat dede bayinya jugaaa…ayah hampir lupa, hehehe.”
Aku merubah posisi ku. Kini Ayu yang duduk bersandar. Sedangkan aku gantian yang sedikit memiringkan badan ku ke arahnya sambil mengusap lembut perutnya yang sudah mulai ada sedikit perkembangan. Ya, usia kandungannya sudah masuk minggu ke sepuluh.
“Awas aja kalau sampai lupa beneran!! Huuuuh!!” Omel istri ku dengan lucunya.
“Hehehe,” aku malah senyum-senyum sendiri.
“Kenapa?”
“Sini-sini, ayah mau cium dedenya dulu,” ucap ku sambil berusaha menarik gaun tidurnya yang hanya menutupi sebatas pahanya.
“Eh, eh, kamu mau apa? Masih pagi. Belum mandi. Bau ah!” protesnya yang mungkin mengira aku menginginkan sesuatu darinya. ‘Sarapan pagi’ ala suami istri.
“Ayah mau nyium dede nyaaa,” rengek ku sambil terus berusaha menarik gaun tidur nya yang seksi. Namun Ayu masih menahannya hingga sebatas pangkal pahanya. Sepasang paha putih nan mulus dan cukup berisi itu kini terpampang jelas di depan ku. Mau tidak mau aku terangsang juga melihatnya. Padahal awalnya hanya bercanda. Apalagi sekilas celana dalam merah muda mengintip dari balik gaun tidurnya. Hingga akhirnya aku mampu menyingkap gaun tidur itu hingga sebatas bawah dadanya
“Eh kamu mau sarapan apa? Dede bayinya juga, pengen sarapan apa?” tanya ku seolah mengajak bicara pada perutnya yang sudah terbuka.
“Dede mau makan pizza ayaaaah, beliin dooong,” jawab Ayu dengan suara yang dibuat cadel.
“Waduuuh, belum buka kalau pizza, nasi uduk aja yak, hahaha,” kami tertawa bersama.
“Hahaha, jauh amat! Masa dari pizza ke nasi uduk,” protes Ayu dengan suara tertahan. Entah kenapa, seperti ada sesuatu yang berubah dari nya. Nafasnya mulai berat. Hahaha. Ayu mulai horni sendiri dengan kondisinya sekarang yang setengah aku bugilin.
Jujur, ini adalah salah satu hal yang paling aku suka darinya. Nafsunya cepat terpancing bila dekat dengan ku. Contohnya sekarang ini. Aku goda sedikit saja dengan menyingkap gaun tidurnya, dia sudah mulai dilanda birahi. Dan apabila sudah seperti ini, maka dia tidak akan pernah bisa menolak ajakan ku.
“Ya udah, sekarang sarapan nasi uduk dulu ya de, nanti malam baru kita dinner pizza, gimana?” ajak ku masih dengan wajah menghadap tepat ke arah perutnya dengan tangan ku masih terus mengusap-usap perutnya. Dengan iseng sesekali usapan ku merembet kebawah menuju vaginanya yang masih tertutup celana dalam, atau terlalu ke atas hingga punggung tangan ku tidak sengaja menyenggol payudaranya yang tidak dibungkus bra. Ayu melotot dengan lucunya menanggapi keisengan ku, namun tidak ada protes darinya.
“Aahhsshh…ayaahh maahhh pagi-pagi udah isengin bunda…” protesnya. Bunda? Baru sekali ini dia menyebut dirinya sendiri dengam panggilan bunda. Dan aku menyukainya.
“Hehehe, ga apa-apa kan bun? Dede, ga apa-apa kan kalau ayah main-main sebentar dengan bunda sebelum beli sarapan?” tanya ku lagi dengan konyolnya. Mengajak bicara janin yang baru berusia sepuluh minggu.
“Ayah eniiit! huuuh! Dede kan lapeeer yaaah…” protes Ayu dengan nada cadel lagi. Mengumpamakan dirinya adalah janin yang ada di kandungannya.
“Iihhh…entaraan aja deee…ayah pengen nengokin dede niiih,” balas ku dengan agak menahan geli. Bercandaan di pagi hari yang agak mesum. Ayu juga sedikit menahan tawa. Hingga kemudian dia menoyor kepala ku.
“Dasar, emang ayah nya aja yang ada maunya. Pake segala bilang mau nengokin dede nya.”
“Hehehe.”
Aku tidak lagi menanggapi ucapannya. Yang ada adalah kepala ku yang tadinya menghadap ke arah perutnya, sekarang menoleh ke atas. Dan dengan gerakan yang super pelan, aku singkap gaun tidurnya yang sekarang tersingkap tepat di bawah dadanya itu lebih ke atas lagi, hingga menunjukkan dua bukit kembar miliknya yang selalu bisa menghipnotis ku. Eh salah. Dua bukit kembar itu sekarang sudah menjadi milik ku. Ah terserahlah mau milik ku atau miliknya, aku langsung mencaplok puting yang ada di ujungnya dengan mulut ku dan memainkan yang satunya lagi dengan jari kiri ku.
Ayu menggeliat menahan nikmat. Tubuhnya bergerak-gerak seperti cacing kepanasan saat menerima rangsangan yang aku berikan. Puting susunya yang sudah mengeras dan membesar tak henti-hentinya aku hisap dan aku jilati.
Bergantian kiri dan kanan. Saat aku menjilati yang kanan, maka aku memilin yang kiri menggunakan jari jemari ku. Begitu juga sebaliknya. Ayu nampak pasrah dengan segala perlakuan yang memang sudah seharusnya aku berikan. Take and Give. Saling memberi dan menerima kepuasan selayaknya sepasang suami istri.
Ayu nampak sangat seksi dengan gaun tidur yang sudah tersingkap hingga bagian atas dadanya. Sedangkan di bawah, hanya sebuah celana dalam mini yang menutupi bagian tubuhnya. Masih dengan menyusu ke payudaranya, tangan ku meraih gaun itu dengan maksud ingin meloloskannya. Ayu yang mengerti maksud ku langsung meresponnya dengan mengangkat tubuh atas nya dari sandaran sofa dan meloloskan gaun tidurnya sendiri.
¤¤¤
Setelah berhasil membuat Ayu orgasme sebanyak dua kali, dan aku sendiri selesai dengan menyemburkan semua ‘ingus’ ku ke dalam rahim nya, aku keluar kontrakan untuk membeli sarapan. Kami berbagi tugas, dia menyiapkan minum, teh manis, sedangkan aku yang membeli sarapan. Seperti biasa, nasi uduk adalah menu sarapan favorit ku. Sedangkan Ayu sendiri nitip lontong sayur.
Kontrakan ku lokasinya tidak jauh dari stasiun LA. Bukan Los Angles ya, tapi lenteng agung. Dari jalan raya lenteng agung masuk ke jalan agung raya dua sekitar dua ratus meter, sebelum masuk ke dalam gang yang lebih kecil lagi. Lokasinya cukup terpencil, namun tidak masalah bagi kami yang masih tinggal berdua ini. Entah nanti setelah Ayu melahirkan akan tetap tinggal di sini atau pindah ke kontrakan yang lebih bagus, atau mengontrak rumah, atau mengambil cicilan rumah, belum ada pikiran sampai kesana.
Setelah selesai membeli sarapan, aku langsung balik ke kontrakan. Saat tiba, Ayu sudah selesai dengan dua cangkir teh manis yang tersaji di meja ruang tamu. Melihat kedatangan ku, Ayu langsung berjalan ke belakang untuk mengambil piring dan sendok setelah sebelumnya berjalan ke arah ku terlebih dahulu dan meremas selengkangan ku lumayan keras. Aku sedikit mengerang menahan ngilu, tapi enak juga. Hehehe. Sedangkan Ayu hanya tersenyum jahil melihat ekspresi wajah ku.
“Enak ya lontong sayurnya, ini beli dimana mas?” tanya Ayu di sela-sela makannya.
“Tempat biasa kok, yang di gang Haji Naim. Bukannya udah beberapa kali nyoba ya? Sama aja kayanya,” jawab ku disela makan ku juga.
“Beda tau, yang ini rasanya lebih endeeesss…” balasnya lagi seperti tidak mau mengalah dengan pernyataannya. Kalau masih ngeyel gitu kan seharusnya tadi ga perlu mengeluarkan pertanyaan. Wanita.
“Mungkin kamu lagi laper aja,” aku menebak.
“Mungkin, atau mungkin juga dedenya yang laper, pagi-pagi aja udah diajak olah raga sama ayah nya, hihihi,” balasnya sambil tersenyum geli.
“Bisa jadi tuh, ayah nya juga laper banget nih, hahaha,” balas ku sambil tertawa. Ayu juga ikutan tertawa.
Aku merasakan damai dan tenang bila berada di samping Ayu. Entah sihir apa yang dibawanya, tapi dia seolah menjadi malaikat yang menyempurnakan hidup ku. Ternyata benar apa yang kebanyakan orang bilang. Istri mu adalah orang yang akan memberi mu ketenangan lahir dan batin, maka sayangi lah dia, jaga dia, dan bahagiakan dia.
“Aku bahagia banget hari ini,” ucap ku. Acara sarapan bersama sudah selesai. Piring kotor pun juga sudah dibereskan. Kami kembali bersantai ria di ruang tamu sambil menonton acara tv sabtu pagi yang kebanyakan tidak jelas. Kalau ga infoteinment, ya acara musik tapi lebih banyak ngelawak ga jelas. Plus ada sesi masak-masaknya. Benar-benar aneh.
“Kenapa? Karena sarapan nasi uduk?”
“Itu salah satunya. Tapi yang paling utama, karena bisa mengawali pagi yang indah dan cerah ini dengan sarapan berdua kamu, istri ku, wanita yang paling cantik dan paling aku cintai di dunia ini,” ucap ku sambil senyum-senyum sendiri.
“Halah gombal! Masa ngalahin cantiknya ibuk sih?”
“Eh iya, nomer dua berarti, hahaha,” jawab ku sambil tertawa.
“Mba Endang?” tanya nya lagi sambil menatap heran.
“Karena mba Endang galak, dia yang nomer dua deh, kamu nomer tiga, hahaha,” aku semakin tertawa.
“Hahaha, dasar. Kamu ga perlu merayu atau memuji seperti itu mas. Boleh sih, dan aku bakalan seneng. Tapi yang harus kamu selalu lakukan adalah mencintai ku dari sini kamu mas,” Ayu meletakan telapak tangannya di dada ku. “Dan jangan pernah berubah, aku percaya cinta mu tulus,” lanjutnya.
“Terima kasih untuk semuanya,” pungkasnya. Aku tersenyum. Belum pernah aku merasakan bahagia yang sebesar ini. Bahagia karena ada yang menghargai. Bahagia karena diinginkan. Bahagia karena ada yang mendampingi. Tapi…masih ada yang mengganjal. Kiki. Kemana anak itu? Kalau Gita, dia sudah menghilang sejak lama dan tabiatnya memang begitu. Sedangkan Kiki, tidak pernah dia tidak mengabari ku hingga dua minggu seperti ini.
“Mas? Malah ngelamun sih?” tanya nya membuyarkan lamunan ku.
“Ah enggak kok, hehehe.”
“Mikirin Kiki pasti!”
“Enggaaak…”
“Ga usah bohong. Ketahuan.”
“Iyaaa, aku kepikiran dimana anak itu sekarang. Sedang apa? Apa dia baik-baik aja? Ga pernah dia ga ngabari aku hingga dua minggu kaya gini. Itu saja.”
“Hihihi, iya-iya. Percaya kok kalau kalian deket banget. Hihihi.”
“Ya memang deket.”
“Hehe. Kamu bukannya udah ngontak mas Riki lewat fesbuk ya? Ada balesan?”
“Oh iya ya. Hmm…pertiga hari yang lalu belum ada balasan.”
“Udah di cek lagi?”
“Belum sih, hehehe.”
“Yeee…cek dulu sana!”
“Iya deh.”
Aku lalu bangkit dari duduk dan mengambil hp yang berada di kamar. Sambil berjalan aku berdoa semoga ada kabar mengenai Kiki. Kemana anak itu sekarang hinga pindah kost pun tidak mengabari ku. Apa yang sebenarnya terjadi?
Begitu balik ke Ayu, aku langsung membuka akun fesbuk ku. Ahaaa. Ada pesan masuk. Dan dari mas Riki, kakak dari Kiki. Aku langsung membukanya dan menunjukannya ke Ayu.
Hallo juga Ian, kabar baik. Kamu apa kabar juga?
Kiki? Jadi Kiki ndak ngabarin kamu ya? Kamu telpon aku aja di 08123456xxxx
Biar enak aku jelasinnya. Maaf baru bales pesan kamu, udah jaarang buka fesbuk. Hehehe.
Tanpa pikir panjang aku langsung menghubungi nomer yang di berikan mas Riki. Jantung ku berdetak menjadi sangat cepat. Adrenalin ku terpacu. Jeda antara aku menekan tombol “call” hingga pangilan ku tersambung itu rasanya lama banget. Dan lebih lama lagi ketika panggilan ku sudah tersambung hingga mas Riki mengangkat telpon ku.
“Halo…mas Riki? Ini Ian mas…”
“Iyaaa, Ian temennya Kiki mas…”
“Iya ga apa-apa mas, ndak pesta juga kok, cuma keluarga aja yang dateng.”
“Iya mas makasih. Oh iya, mas Riki apa kabar?”
“Alhamdulillah, aku juga baik mas. Mas soal Kiki, gimana? Kemana orangnya? Pindah kost kok enggak ngabari aku? Nomernya juga udah ga aktif ya?”
“Hah? Begitu ya? Kok Kiki ga cerita ya? Minimal pamit gitu?”
Mendengar kata pamit, Ayu langsung menarik lengan ku dan menanyakan apa yang terjadi dengan sebuah isyarat. Aku memberinya isyarat balik untuk bersabar, nanti pasti aku ceritakan. Wajahnya nampak penasaran sekali dengan informasi apa yang diberikan oleh mas Riki.
“Gitu ya mas? Ya udah deh kalau begitu. Aku ga apa-apa kok mas, yang penting sekarang aku sudah tau kabar dari Kiki. Dan yang paling penting dia baik-baik aja.”
“Iya mas, ya sudah kalau begitu. Makasih ya mas. Salamualaikum…” aku menutup telpon ku. Ayu langsung menarik ku dan memberondong ku dengan rentetan pertanyaam soal Kiki. Dengan menguatkan hati aku menjelaskan semuanya.
“Jadiii, Kiki sudah tidak di Indonesia lagi.”
“Apaaa?” Ayu kaget dengan ekspresi wajah layaknya ekspresi artis-artis sinetron yang lebay itu. Hahaha. Istri ku sendiri aku bilang lebay. Hahaha.
“Iya, dia sudah ndak di Indonesia lagi.”
“Lalu dimana kalau ga di Indonesia?”
“Mesir,” jawab ku singkat.
“Mesir?” tanya nya lagi.
“Khairo.”
“Khairo?” lagi-lagi Ayu hanya bisa mengulangi kata-kata ku karena keterkejutannya.
“Dia dapat beasiswa S2 di sana.”
“Waaaw KEEEREEEN! Pinter ya anaknya bisa dapet beasiswa ke luar negeri.”
“Biasa aja. Keren itu kalau dia pergi nya pamit ke aku,” entah kenapa jawaban ku malah jadi sewot begini. Ada rasa kehilangan. Tapi aku seperti tidak mau mengakuinya. Tapi aku benar-benar kehilangan. Aneh.
“Nah kan, ada yang baper! Hahaha,” tawa Ayu setelah melihat tanggapan ku.
“Aku nggak baper!”
“Bohong. Kamu bohong mas. Kelihatan. Kamu kehilangan. Aku bisa melihatnya. Kamu kehilangan banget.”
“Iya aku kehilangan sahabat ku. Setelah Doni dan Gita pergi, aku hanya punya Kiki, sekarang semuanya sudah pergi. Aku ga punya sahabat lagi.”
“Bohong. Kamu kehilangan lebih dari seorang sahabat.”
“Apa maksud mu?” Aku bertanya dengan herannya. Apa maksudnya lebih dari seorang sahabat? Apa dia menyangka aku ada hubungan khusus dengan Kiki?
“Aku boleh cerita sesuatu?”
“Cerita apa?” Aku semakin bingung.
“Cerita tentang Kiki.”
“Iyaaa, kenapa dengan Kikiii?” aku gemas dengan Ayu yang bertele-tele.
“Hihihi, sabar. Penasaran ya?”
“Huuuh!! Cepet cerita ga?” Ancam ku sambil mencoba menggelitiki pinggangnya.
“Aaaw… aaaw… hahaha, geli maasss ampuuun… entar aku ngompol nih. Iya aku cerita tapi lepasin dulu, hahaha, geliii…” Aku langsung melepaskan cengkeraman tangan ku. Namun masih dengan wajah yang super jutek, aku menunggu hal apa yang akan diceritakannya. Apa yang dia tau tentang Kiki tapi aku tidak tau? Bukan kah aku adalah sahabat terdekat Kiki?
“Udah aku lepas kan? Cepet cerita!” perintah ku lagi dengan agak galak. Kenapa aku jadi sensitif seperti ini ya? Aarrgghh…
“Ok sayang, duh ga sabaran banget sih,” protesnya namun dengan tersenyum. Sedangkan aku masih menatapnya dengan tajam. Ayu kemudian menarik nafas panjang dan membuka mulutnya.
“Kamu masih inget ga mas waktu dulu kamu hampir ga jadi ikut seleksi masuk BEM karena ada orang yang gebukin kamu?”
“Ingat,” jawab ku cepat.
“Kamu inget ga waktu aku bilang ada seseorang yang meminta ku untuk memberikan mu kesempatan lagi namun aku tidak mau ngasih tau siapa yang meminta?”
“Iya aku inget. Terus hubunganya apa?”
“Kamu udah tau belum siapa orangnya?” tanya nya lagi. Aku hanya menggeleng. Aku memang tidak tau.
“Kamu berusaha mencari tau ga siapa orangnya?” Lagi-lagi dia bertanya dan aku hanya menggeleng. Perasaan ku mulai tidak enak.
“Keterlaluan kamu mah. Cuek nya ampun-ampunan. Baiklah aku akan membuka rahasia yang Kiki sendiri meminta ku untuk tidak memberitahukannya kepada mu.”
“Jadi maksud mu, waktu itu Kiki yang…?”
“Iya. Sebenarnya waktu itu tidak ada yang namanya seleksi susulan, tapi karena Kiki yang memohon-mohon kepada ku, dengan segala alasan yang diberikannya, maka aku memberikan pengecualian.”
“Jadi maksudnya apa? Aku ga ngerti,” tanya ku balik dengan segala kebingungan ku.
“Itu salah satu bentuk perhatian dari Kiki untuk orang yang di cintainya,” jelasnya.
“Cinta? ndak mungkin.”
“Jangan mengingkari kenyataan! Empat tahun lamanya sahabat mu itu memendam rasa kepada mu dan kamu tidak pernah menangkap isi hati nya.”
Jujur, ini adalah kenyataan yang paling aku tidak menyangka selama ini. Kiki, suka pada ku? Tapi kenapa? Apa menariknya aku?
“Dan tidak hanya itu saja. Masih inget juga ga waktu kamu hampir mati yang pas nolongin Gita? Kamu ninggalin semua ujian kuliah dan tiba-tiba dengan gampangnya kampus ngasih kamu ujian susulan, itu karena siapa?” tanyanya lagi. Aku sempat akan menjawab nama seseorang namun kemudian Ayu memotongnya.
“Itu karena Kiki yang melobi pihak kampus dan semua dosen mata kuliah yang kamu ikuti. Ditambah dengan perhatian yang dia berikan selama ini, apa masih kurang bukti rasa sayang Kiki ke kamu?”
“Tapi beberapa waktu lalu dia cerita kalau dia punya seseorang yang dicintainya, dan itu bukan aku.”
“Kamu pernah bertemu orangnya langsung?”
“Eng-enggak sih.”
“Itu hanya karangannya saja. Khayalannya. Yang nyata dicintainya itu hanya kamu.”
“Ta-tapi…kenapa dia juga nge dukung hubungan ku dengan Gita?”
“Karena Kiki sayang dengan kalian berdua. Kiki ingin kalian berdua bahagia hingga dia rela mengorbankan perasaannya sendiri, demi dua sahabat yang paling di sayanginya.”
Dan aku pun menangis setelah mendengar kalimat terakhirnya. Dua butir air mata mengalir begitu saja dari mata ku turun membasahi pipi ku. Badan ku langsung lemas mendengar perkataan Ayu. Aku menyandarkan badan ku pada sofa hingga kemudian Ayu menarik ku dan sekarang aku bersandar pada bahu mungilnya. Ya Tuhan, kenapa aku begitu bodohnya dengan tidak menyadari perasaan Kiki. Maaf kan aku Ki.
“Makanya, yang kemarin aku bilang, kalau dengan mereka aku rela berbagi, itu serius karena aku melihat ketulusan di hati mereka semua,” ucap Ayu masih sambil mengelus rambut ku dengan tangan kirinya. Aku masih terisak dengan malunya pada Ayu. Menyesali ke tidak pekaan ku terhadap sahabat-sahabat ku hingga mereka semua pergi meninggalkan ku. Menyisakan aku seorang diri.
“Menangis lah mas, ga apa-apa, luapkan seluruh perasaan yang kamu rasakan sekarang.”
Aku merasakan penyesalan yang sangat dalam. Kiki, empat tahun lamanya dia memendam rasa. Mengorbankan perasannya sendiri. Rela mundur demi aku dan Gita tapi aku malah memilih Ayu. Dan aku tidak menyadarinya sedikit pun. Bahkan hingga terakhir kali aku bertemu dengannya waktu itu, saat dengan bodohnya aku mengundangnya untuk datang ke pernikahan ku.
[Bersambung]
Hallo Bosku, Disini Admin KisahMalah
Agar Admin Semakin Semangat Update Cerita Cerita Seru Seterusnya, Bantu Klik Iklan yang Ngambang ya.
Atau Gambar Dibawah INI
Atau Bagi Kamu yang suka bermain game Poker Online atau Gambling Online lainnya, bisa di coba daftarkan ya. Banyak Bonus dan Hadiahnya Loh.
Untuk yang Kesulitan Daftar bisa Hub Admin di WA untuk di bantu Daftar.
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂