Merindukan Kesederhanaan Part 32

Ada Yang Datang, Ada Juga Yang Pergi

Dan hari ini tiba juga saatnya. Hari yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Hari dimana aku ucapkan sumpah di depan orang tua mu, dengan disaksikan para malaikat, hari dimana akan ku ambil tanggung jawab atas diri mu, untuk menjadi imam mu, yang bertanggung jawab atas dunia dan akhirat mu. Insyaallah.

Semarang, 28 Desember XXXX.

Alfian Restu Kusuma.

Saya terina nikahnya dan kawinnya Retno Ayu Dewanti binti Supardi dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai…

“Sah?” tanya dari bapak penghulu setelah aku selesai mengucapkan kalimat qobul.

“Saaah…”

“Saaah…”

Jawab dari para saksi dan juga keluarga yang hadir. Ya, upacara akhad nikah baru saja selesai dan aku resmi menjadi seorang suami terhitung detik ini. Rasanya masih seperti mimpi. Dengan persiapan yang ala kadarnya, akhirnya aku resmi menikahi Ayu. Wanita yang beberapa bulan yang lalu bukan lah siapa-siapa ku. Siapa yang mengira tiga bulan yang lalu aku akan diterima bekerja di tempat Ayu kerja. Siapa yang mengira dia adalah jodoh ku.

Pernikahan kami benar-benar sederhana. Di langsungkan di rumah Ayu yang juga sederhana. Bahkan tamu yang diundang tidak sampai seratus orang. Itu sudah termasuk saudara dekat. Dan tidak sampai sore hari, acara sudah selesai. Mungkin seluruh tamu undangan yang diundang sudah hadir semua. Beberapa keluarga jauh dari Ayu juga sudah pulang ke rumah masing-masing. Yang tersisa hanya beberapa saudara dekat dan keluarga inti dari keluarga nya maupun keluarga ku. Itu pun mereka juga tidak akan lama, karena rencananya selepas magrib akan langsung balik ke Jogja.

Satu hal yang sangat aku syukuri adalah kedua orang tua ku dan orang tua Ayu sama-sama langsung setuju tanpa ada syarat apapun. Yang penting podo-podo seneng. Yang penting sama-sama suka. Susah senang jalani bersama, tidak banyak menuntut ini itu.

Namun di sisi lain, ada satu hal yang mengganjal. Kiki, dia tidak datang ke acara pernikahan ku ini. Padahal dua hari yang lalu aku sudah mengontak dia untuk memastikannya datang, dan orangnya menyanggupi. Tapi hingga saat ini, wajahnya tak kunjung kelihatan. Yang lebih aneh lagi, nomer HP nya tidak aktif. Dari pagi tadi aku mencoba terus menghubunginya. Sesaat sesebelum akhad, setelahnya, hingga acara berakhir aku terus menghubunginya, tapi hasilnya nihil.

“Gimana mas?” Ayu bertanya pelan kepada ku di sela-sela keramaian keluarga inti yang berkumpul di rumah ini. Ada bapak dan pak Supardi, bapak mertua ku yang terlihat asik mengobrol dengan bahasa jawa halusnya. Ada juga Binar, Riko, adik nya Ayu yang tempo hari pernah diceritakan, mas Rizal dan juga Tiara yang terlihat ngobrol bersama sambil tertawa-tawa. Sedangkan ibuk, mba Endang, dan juga bu Lastri, ibu mertua ku sepertinya sedang menyiapkan makan malam bersama untuk semua sebelum nantinya keluarga ku akan balik ke Gunungkidul selepas maghrib nanti.

Ada yang kurang? Iya, mas Yoga dan mba Laras tidak bisa datang karena mba Laras nya sedang kepayahan karena kehamilannya. Sedangkan rombongan keluarga jauh dan tetangga yang ikut mengiringi sebagai pengiring pengantin sudah terlebih dulu balik dengan bus yang kami sewa.

“Tetep enggak bisa dihubungi,” jawab ku dengan tidak bersemangat.

“Aduh, kenapa yah? Aku jadi khawatir deh.”

“Sama, aku juga khawatir. Eh tapi kalau sama dia kamu enggak cemburu kan? hehehe,” tanya ku sambil tersenyum takut Ayu tidak suka kalau aku terlalu khawatir terhadap Kiki.

“Hahaha, enggaklah mas. Kalau sama Kiki mah aku percaya.”

“Kirain, takutnya entar malem aku ndak dikasih jatah. Hehehe,” canda ku.

“Huuu dasaar. Justru kamu yang ga akan dapet jatah kalau ga bisa dapetin kabarnya Kiki gimana.”

“Kok gitu?” aku menggaruk kepala ku meski tidak gatal.

“Canda mas, yailaaah. Sekarang aku ini udah jadi istri mu. Semua mau mu adalah perintah untuk ku,” balasnya.

“Selama bukan hal yang negatif ya,” aku menambahkan.

“Iya mas ku sayaaang, hihihi.”

“Tapi aturan itu tidak berlaku kalau di kantor, status ku masih jadi bawahan mu, hahaha,” ku tertawa kecut.

“Cuma sampai satu bulan ke depan mas,” ganti dia yang menambahkan.

Memang benar, hanya akan sampai satu bulan kedepan status atasan dan bawahan di antara kami. Perusahan tempat kami bekerja memang tidak memperbolehkan ada nya hubungan keluarga antar karyawannya. Dan itu artinya salah satu di antara kami harus resign. Namun, jika terjadi cinlok seperti aku dan Ayu ini, kami sama-sama diberi kompensasi waktu untuk memberikan kesempatan salah satu nya untuk resign.

Aku dan Ayu sudah sepakat untuk sama-sama mencari pekerjaan lagi. Dan siapa yang lebih dulu mendapatkan pekerjaan baru, maka dia yang akan resign. Meskipun kemungkinan besar aku yang akan resign karena posisi Ayu yang sedang hamil, peluangnya sangat kecil sekali untuk dia bisa mendapatkan pekerjaan baru. Tapi dia tetap mau mencoba. Jadi ya sudah lah.

Nganten baru bisik-bisik aja dari tadi. Udah ga sabar ya? Udah masuk kamar sono, kunci pintu, anggep aja rumah sepi, hahaha,” ledek mas Rizal pada kami berdua. Aku dan Ayu maksudnya. Sontak membuat semua yang ada di ruangan ini tertawa. Kecualu Tiara yang malah nampak bingung.

“Apaan sih mas?” Ayu menanggapi dengan wajah yang merona merah.

“Ga usah diladenin Yu, palingan mas Rizal sendiri yang udah kebelet belum dapet jatah dari mba Endang, hahaha,” balas ku menyerang balik mas Rizal.

“Mba mu mah ga perlu dimintain, justru dia yang minta, hahaha,” balas mas Rizal yang saat itu bertepatan dengan datangnya mba Endang.

“Minta apaan pah?”

“Eh, enggak maaah…” mas Rizal langsung salting saat mba Endang datang.

“Jatah mah kata papa tadi,” Tiara menimpali. Hahaha. Ember cocor.

“Jatah apaan?”

“Tau tuh si papah, ga jelas.” Imbuh Tiara lagi.

“Jatah malam mba, tadi katanya mba Endang minta mulu, gitu…” Binar ikut nenambahkan. Semakin salting dah. Hahaha. Mba Endang langsung menatap suaminya sambil melotot.

“Kamu itu, bercandanya vulgar banget. Tau ada anak kecil.”

“Iya mba, omelin aja tuh suaminya, hahaha,” canda ku lagi.

“Maaas…!” Ayu berbisik pelan merasa tidak enak. Belum tau aja dia kalau kami memang sudah biasa bercanda seperti ini.

“Sudah-sudah, mending sekarang kita makan malem dulu. Udah siap semua tuh.” Ajak dari mba Endang ke kami semua. Dan seperti seorang anak kecil yang diperintah oleh ibu nya untuk makan, kami semua menuruti perintah mba Endang, berjalan dengan rapi menuju ruang tengah.

~¤~¤~¤~

“Pamit ya semuanya…salam mualaikum…” teriak mas Rizal dari balik kemudi. Rombongan keluarga inti ku sudah akan balik ke Gunungkidul, menyisakan aku sendiri yang hari ini sudah resmi menjadi bagian dari keluarga Ayu, istri ku.

“Hati-hati mas, jangan ngebut,” balas ku. Yang ada di dalam mobil membalasnya dengan lambaian tangan.

“Kamu juga, jangan kasar-kasar ya, dan jangan berisik,” canda dari mas Rizal yang langsung mendapat toyoran dari mba Endang. Masih sempet ya. Hahaha. Kami semua tertawa.

Selepas mereka semu pergi, kami berlima masuk kembali ke dalam rumah. Ibu langsung menuju ke dapur, entah apa yang dilakukannya. Ayu juga membuntutnya. Sedangkan aku, bapak dan Riko berkumpul di ruang keluarga. Menonton tv bersama.

“Nak Ian, sekarang sudah menjadi bagian dari keluarga bapak, jadi jangan sungkan lagi kalau di rumah ini. Rumah ini sekarang rumah naik Ian juga,” ucap bapak mertua ku membuka obrolan.

“Iya pak, terima kasih sebelumnya sudah merestui pernikahan kami. Saya berjanji akan berusaha membahagiakan Ayu semampu saya, seperti bapak yang sudah membahagiakan Ayu selama ini.”

“Bapak percaya. Oiya satu lagi pesen bapak, sekarang Ayu sudah menjadi tanggung jawab mu, tolong jaga dan bimbing dia, bapak serahkan sepenuhnya kepada nak Ian.”

“Tentu pak, Ayu sekarang menjadi prioritas utama saya. Apapun akan saya lakukan untuknya, untuk kebahagiaanya.”

“Iya terima kasih, bapak doakan semoga pernikahan kalian di ridhoi, membawa berkah, dan tentunya semoga bisa cepet memberi bapak dan ibu seorang cucu.”

“Hehehe, iya pak aamiin. Mohon doanya saja.”

Bertepatan dengan kalimat terakhir ku, Ayu dan bu Lastri datang dari dapur dengan membawa satu nampan berisi teh manis hangat dan beberapa kue sisa pesta.

“Ngobrolin apa sih? Serius amat?”

“Bapak sudah minta cucu mba, barusan aja bilang, hehehe,” balas Riko lalu tertawa.

“Ealaaah si bapak, mbo ya sabar to ya,” ibu menimpali.

“Ya kan lebih cepat lebih baik to bu ne,” bapak membela diri. Ternyata lucu juga mereka.

“Lha tapi kan malam pertama aja belum, kok ya sudah nagih cucu to ya?” balas ibu lagi tidak mau kalah.

“Yo udah, kalau gitu sekarang juga ajak suami mu masuk kamar Yu, dan buatkan bapak seorang cucu ya, hahaha,” canda dari bapak mertua ku. Kami semua tertawa.

“Iiihhh…bapak apaan sih?” Ayu tersipu malu dengan candaan bapaknya dan menatap ke arah ku. Aku bisa merasakan kebahagian dari sorot matanya. Namun aku juga merasakan ada sebersit kesedihan di sana.

Aku juga merasakan hal yang sama persis. Ada perasaan bahagia yang aku rasakan. Namun, dari lubuk hati ku yang paling dalam, aku juga merasa bersalah dan berdosa kepada mereka berdua karena telah berbohong. Bertiga tepatnya, pada Riko adik ipar ku juga.

“Ini lho nduk, kalian kan sekarang sudah resmi menjadi suami istri, bapak cuma bilang kalau bapak nitipin kamu ke nak Ian dan pesan supaya menjaga dan membimbing mu sebagai pengganti bapak. Dan sekalian buat kamu, sekarang kamu adalah istrinya, kamu harus lebih berat ke suami mu daripada siapapun, bahkan dengan bapak sekalipun. Jadilah istri yang berbakti kepada suami. Layani suami mu. Rawat dia. Jadilah istri yang membuatnya nyaman.”

“Iya pak, makasih nasehatnya. Ayu sudah ngerti kok dan semoga Ayu bisa menjadi istri yang baik untuk suami Ayu. Iya kan mas?” ucap Ayu yang duduk di samping ku lalu memeluk lengan kiri ku.

“Tapi aku lebih suka kamu menjadi dirimu sendiri, apa adanya, aku lebih merasa nyaman seperti itu. Yang penting, kamu sabar dan setia di samping ku, hehehe.”

“Makasih mas,” ucap Ayu yang kemudian semakin mengencangkan pelukannya di lengan ku. Tidak ada lagi canggung di antara kami meski kami sedang berada di depan orang tua Ayu.

“Nah, bagus itu nak Ian. Mau menerima istri apa adanya. Jangan kaya bapak mertua mu ini, suka nya minta macem-macem,” ucap dari ibu mertua ku yang kedengarannya rada-rada absurd. Hahaha.

“Emang bapak sukanya minta yang kaya gimana bu?” Ayu menanggapi dengan nada meledek. Hahaha.

“Sstthh…bu ne tuh ya, rahasia pake di sebar luaskan. Ayu juga pakai nambahin segala, kasihan tuh Riko bingung ntar dia,” balas dari bapak.

“Biarin aja lah pak, dah gede ini. Lagian biar cepet nyusul juga. Indri katanya mau dateng Ko? Kok ga kelihatan?” tanya Ayu pada adik laki-laki nya itu.

“Indri siapa?” Tanya sang ibu.

“Ya calon nya lah bu, siapa lagi?”

“Kok ga dikenalin ke ibu Ko?”

“Calon apaan sih bu? Belum pasti kok,” Riko membela diri.

“Jangan gitu Ko, entar ga pasti beneran lho,” goda Ayu.

“Eh, ya jangan dooong,” Riko mendadak cemas.

“Nah kan bener, hihihi…”

“Eh, ehmm…” Riko nampak kebingungan membalas ledekan mba nya itu.

“Wah, kayanya bentar lagi kita bakalan punya mantu lagi nih bu,” bapak mertua ku ikut-ikutan meledek anak laki-laki semata wayangnya itu. Dan kami semua tertawa. Mentertawakan kecanggungan Riko yang mendapat ledekan dari bapaknya. Rasanya bahagia banget bisa langsung menyatu dengan mereka. Bercanda dan tertawa bersama dengan keluarga baru ku.

~¤~¤~¤~

Setelah selesai ngobrol dengan mereka bertiga, jam delapan lewat kami sudah masuk ke kamar masing-masing. Bapak dan ibu katanya sudah ngantuk dan capek juga, hingga memutuskan untuk istirahat duluan. Entah itu beneran capek atau hanya sekedar memberikan kesempatan kepada ku dan Ayu agar juga bisa segera masuk ke kamar.

“Lucu ya mas?” Ayu, tiba-tiba membuka obrolan yang aku tidak paham maksudnya apa. Dia sedang bercermin sambil memakai beberapa macam obat muka yang dulu pernah aku lihat sewaktu di Singapore. Dan sampai sekarang aku belum tau itu fungsinya untuk apa. Tapi itu ga penting juga. Yang penting itu dia nampak cantik dan seksi dalam balutan lingerie tipis berbahan satin warna merah muda yang memperlihatkan lekuk tubuhnya.

“Apanya?”

“Inget ga? Tiba bulan ya lalu, saat kamu anterin aku balik ke kost an, waktu itu kamu masih sungkem sama aku. Tapi sekarang, gantian aku yang harus sungkem kamu, hihihi,” ucapnya sambil tertawa geli.

“Itulah kehidupan. Tidak ada yang tau apa yang sudah digariskan Tuhan. Aku juga ga pernah menyangka bakalan nikah sama kamu. Kita dekat hanya tiga bulan. Tidak ada pacaran.”

“Tiga bulan yang sangat cepat. Semoga pernikahan kita ini awet ya mas. Cepet bisa kasih bapak sama ibu cucu pertama, sekaligus sepupu buat Tiara.”

“Aamiin.” Aku tersenyum. Ayu bangkit dan berjalan ke arah ku hingga berhenti tepat di depan ku. Dikalungkannya kedua lengannya di tengkuk ku. Kedua buah dadanya yang kenyal tepat berada di depan wajah ku.

“Ngomong-ngomong soal Tiara, dia deket banget ya sama Kiki?” tanya Ayu pelan.

“Iya…aku juga ndak tahu kenapa bisa begitu…”

“Kok bisa ya?”

“Aku juga bingung. Bahkan sejak pertama mereka bertemu dulu, mereka langsung akrab. Aku sendiri ga tau kenapa bisa begitu. Seperti ada chemistry diantara mereka berdua. Kenapa mangnya? Kok tiba-tiba nanya itu?”

“Sebenarnya aku cemburu, hehehe.”

“Tadi katanya ndak apa-apa?”

“Hihihi, bukan dengan kamu mas. Tapi dengan Tiara.”

“Maksudnya?”

“Ya… aku cemburu aja, sepertinya Tiara akan jauh lebih seneng kalau Kiki yang jadi tante nya, alias istri kamu, abis keliatan banget sih.”

“Keliatan?”

“Iya, masa kamu ga sadar sih mas?” tanya Ayu mesra lalu duduk mengangkang di paha ku. Kedua tangannya mendarat di pundak ku.

“Cup…slluurrppss…aahhsshh…sslluurrppss…” dia mengecup lembut bibir ku dan memainkan lidahnya yang membuat ku reflek membalas ciuman panasnya.

“Akhirnya kita bisa bebas melakukan ini ya mas, hihihi, ga takut ketahuan lagi,” senyum Ayu manja sambil mengerlingkan matanya.

“Iya sayang, kita sekarang satu. Aku dan kamu.”

“Sslluurrppss…aahhsshh…sslluurrppss…”

Kami kembali berciuman dengan panasnya. Tangan Ayu bergerak lincah memberikan rangsangan di sekitar tengkuk dan leher ku. Sedangkam tangan ku mulai merabai punggungnya yang sebagian terbuka karena lingerie yang dikenakannya sangat mini. Ku usap dan ku raba punggungnya dengan penuh rasa kasih.

“Sslluurrppss…aahhsshh…sslluurrppss…”

Rabaan ku terus menjalar ke bawah. Hingga akhirnya berhenti di pantatnya yang seksi. Ku remas pelan pantat montok itu. Badanya sedikit membungkuk ke arah ku yang membuat pantatnya sedikit menungging. Ku gesek pelan belahan pantat yang montok itu dengan jari telunjuk ku. Ayu mengelinjang keenakan.

“Ahhsshhss…nakal tangannya!” Protes Ayu sambil mentowel hidung ku. Namun kemudian tersenyum manja.

“Udah ga sabar ya mas?”

“Hehehe…” aku tidak menjawabnya karena kemudian giliran ku yang berinisiatif menciumi bibirnya.

“Sslluurrppss…aahhsshh…sslluurrppss…muaacchh…” Ayu melepaskan ciuman ku.

“Sabar mas…malam masih panjang kok, hehehe,” ucapnya menghentikan aksi ku. Di rebahkannya kepalanya di dada ku. Deru nafasnya terasa di dada ku. Lembut.

“Mas?”

“Ya?”

“Soal yang Kiki tadi, emang kamu ga ngerasa Tiara jadi pendiem hari ini?”

“Ngerasa sih, tapi aku pikir itu masih wajar.”

“Iya sih, tapi masa ampe segitunya.”

“Ya namanya anak kecil, mungkin dia nge fans kali ama Kiki,” jelas ku.

“Bisa jadi sih, semacam idola ya, yang biasa anak kecil inginkan kalau sudah besar ingin jadi seperti apa gitu.”

“Nah iya, seperti itu kayanya. Terus, yang masalah cemburu tadi maksudnya gimana sih?”

“Iyaaa, aku cemburunya karena Tiara deket banget sama Kiki, mungkin aku ga ada apa-apanya kali ya. Hehehe. Tapi jangan mikir yang macem-macem ya mas. Aku ga ngemasalahinnya, aku hanya mengeluarkan unek-unek ku aja. Ya semoga saja makin kesini aku bisa semakin deket sama Tiara.”

“Aamiin. Iya, semoga saja. Semoga kamu bisa deket juga sama yang lain. Mba Endang, Binar, ibuk, dan semua keluarga ku. Karena kamu sekarang bagian dari mereka juga.”

“Aamiin. Makasih ya mas ku sayang, love you…”

“Sslluurrppss…aahhsshh…sslluurrppss…”

“Love you to sayaaang…”

“Jadi, sekarang udah bisa dong? Hihihi…” tanya nya tiba-tiba.

“Bisa apa?”

“Bisa gituaaan. Iihhh mas mah. Aku kangen tau di cumbu sama mas. Kangen sama yang ini juga. Eh udah tegang ya? Uuuhhhh…kerasnya. Mau dong mas punya akuh ditusuk-tusuk lagi pakai ini…aahhsshh…” goda Ayu manja sambil mempermainkan penis ku.

“Sesuai janji ku tadi siang, aku akan memberikan mu nafkah lahir dan batin, dan aku akan menggaulimu dengan baik, kapan pun kamu mau,” balas ku sambil memeluk pinggangnya yang ramping.

“Ralat, kapan pun kita mau,” tambahnya.

“Kecuali kalau kamu lagi berhalangan,” aku melanjutkan.

“Tidak akan pernah berhalangan mas, setidaknya untuk sembilan bulan ke depan. Tapi berhalangan pun, aku masih bisa muasin kamu kok mas, dengan ini, hihihi,” ucapnya sambil menunjuk mulutnya sendiri.

“Tapi aku mau nya kita sama-sama puas.”

“Membuat mu puas adalah kepuasan ku mas.”

“Dan aku tidak salah udah milih kamu sayang, love you…”

“Love you too honey…”

Selanjutnya Ayu mendorong tubuh ku hingga aku rebahan di ranjang. Tangannya menyingkap kaos ku keatas hingga perut dan dada ku yang rata terekspos olehnya. Ayu kemudian menunduk lalu merabai perut dan dada ku. Lidahnya yang lembut dan basah menari-nari disana. Ah rasanya geli-geli nikmat yang membuat ku seperti melayang-layang.

“Ahh…sayaang…gellliii…” aku mencoba menghentikan aksinya.

“Hihihi, tapi enak kan mas?”

“He’eh,” jawab ku singkat sambil tersenyum. Kami saling melempar senyum. Ku tatap wajah manisnya lekad-lekad. Ayu lalu tersipu.

“Ngeliatinnya jangan seperti itu…!”

“Kenapa?”

“Nanti aku meleleh…hihihi…”

“Hahaha, abisnya kamu cantik, manis, aku beruntung bisa dapet istri kaya kamu, hehehe.”

“Hihihi, mas bisa bisa aja deeeh gombalnya…”

“Serius…oiya aku mau tanya sesuatu. Maaf, kalau misal kamu enggak…apa kamu tetap mau menerima ku jadi suami mu?” tanya ku dengan serius.

“Tentu saja.”

“Kenapa?”

“Ga tau, ga ada alasan khusus. Pokoknya aku terima aja.”

“Meskipun aku lebih muda?”

So what?”

“Meskipun aku bawahan kamu di kantor?”

“Hanya untuk sebulan ini kan?”

“Ehmm…iya juga sih.”

“Sekarang gantian aku.”

“Apaan?” tanya ku cepat.

“Kalau aku tidak bunting duluaaan…”

“Kaya émbek aja bunting, hahaha,” potong ku dan kami tertawa bersama.

“Iiihhh serius…”

“Iya-iya…hehehe. Kalau kamu tidak hamil…”

“Iya, kalau aku tidak hamil, apa kamu tetep akan melamar ku?”

“Tentu saja. Tapi kenapa kamu nanyain itu?”

“Alesanya apa?” Tanya nya lagi.

“Kamu kenapa nanyain itu?” Tanya ku balik, lagi.

“Iihhh, jawab dulu pertanyaan aku!!”

“Karena aku suka kamu kalau lagi manja gini, hehehe,” canda ku sambil mengusap-usap rambutnya.

“Aku seriuuss maass…”

“Hehehe, iya-iya. Alasan ya? Alasan utama ku adalah karena aku juga tidak punya alasan seperti kamu.”

“Alasan macam apa itu?”

“Lah, kamu tadi juga ndak punya alesan kan?”

“Kalau aku boleh, kamu endaaak,” balasnya manja sambil mengusap-usap dada ku.

“Diiih, pengen banget ya aku aku bilang kalau alesan ku itu Aku suka kamu karena kamu cantik, manis, bla bla bla gitu ya?” balas ku dengan nada aku buat-buat.

“Hahaha, tau aja sih kamu.”

“Dasar. Kamu itu ndak perlu dibilang cantik juga seluruh dunia sudah mengakui kok kalau kamu cantik.”

“Wooo gombal!!”

“Hehehe…” kami sama-sama tersenyum lalu terdiam sesaat, sebelum kemudian ayu turun dari posisinya yang menduduki paha ku lalu rebah tepat di samping kanan ku. Ku genggam erat tangannya. Pandangan kami sama-sama menerawang ke langit-langit kamar.

“Mas.”

“Ya?”

“Kamu ngerasa gak? Sekarang, setelah aku jadi istri kamu, momen bersama seperti ini justru lebih nyaman dan nenangin, dan tidak melulu disertai dengan nafsu?”

“Ehmm…jujur iya. Tapi aku sih dari pertama dulu juga udah nyaman kok sama kamu.”

“Tapi nafsu juga kan? Tiap ke kost an pasti minta itu mulu! Huuh!” balasnya sambil mencubit pelan lengan ku.

“Hehehe, yang penting kan sekarang aku tanggung jawab.”

“Hehehe, iya sih. Makasih ya mas…muaacchh.” Ayu mengecup pipi kanan ku.

“Sama-sama sayaaang.” Aku meraih punggung tangannya dan ku kecup jari-jemarinya. Ayu tersenyum dan kembali memeluk ku. Nyaman sekali. Rasanya aku seperti tidak butuh apa-apa lagi selain dirinya di dunia ini. Hanya Ayu seorang, sudah cukup untuk ku.

Tidak lama berselang setelah itu, aku mendengar suara notifikasi dari HP ku, sebuah pesan wasap masuk. Aku meminta ijin kepada ayu untuk memeriksanya sebentar. Ayu melepaskan pelukannya dan mengangguk sambil tersenyum pada ku.

Ternyata wasap dari Binar. Saat ku buka, aku langsung mengernyitkan dahi ku melihat isi wasapnya. Ayu yang melihat keheranan ku juga penasaran dan bertanya ada apa meskipun hanya dengan isyarat. Aku langsung menunjukkannya.

Mas, lagi apa? Enggak ganggu kan? Hihihi. Mas, masa aku tadi kaya lihat mba Gita deh, pas di Simpang lima…pas mau di sapa eh udah ngilang :(

Gita?

[Bersambung]

Hallo Bosku, Disini Admin KisahMalah
Agar Admin Semakin Semangat Update Cerita Cerita Seru Seterusnya, Bantu Klik Iklan yang Ngambang ya.
Atau Gambar Dibawah INI

Atau Bagi Kamu yang suka bermain game Poker Online atau Gambling Online lainnya, bisa di coba daftarkan ya. Banyak Bonus dan Hadiahnya Loh.
Untuk yang Kesulitan Daftar bisa Hub Admin di WA untuk di bantu Daftar.
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂

Daftar part

By Kisah Malam

Kisah Malam adalah sebuah Website yang berisikan Novel Dewasa, Novel Sex, Cerita Sex, Cerita First Time, Cerita Bersambung, Cerina Menarik Lainnya. Dukung Terus KisahMalam.Com Dengan Cara Bookmarks, Dan Nanti Kan Konten Terupdate dari KisahMalam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *