Merindukan Kesederhanaan Part 31
Kami Akan Memperbaikinya
Tenang Ian. Jangan panik. Ok. Aku ga panik. Aku hanya bingung. Bingung bagaimana kedepannya bila apa yang dikatakan mba Ayu tadi pagi benar adanya. Apa aku sudah siap?
Sebenarnya aku terlihat tenang. Kelihatannya. Bila ada yang melihat sikap ku sekarang, pasti akan mengira tidak terjadi apa-apa. Aku terlalu santai, seperti tidak ada hal super genting yang terjadi. Tapi itu semua hanya kamuflase.
Sebenarnya aku juga panik. Bagaimana dengan reaksi keluarga ku nanti bila mengetahui semuanya? Ibuk, bapak, mba Endang, dan yang lainnya juga. Termasuk Kiki. Bahkan aku belun sempat memberi tahunya tentang hubungan ku dengan mba Ayu. Dan sekarang mba Ayu hamil sembilan puluh sembilan persen positif hamil, hamil anak ku. Cakep.
Hingga aku tiba di kost mba Ayu pun aku masih berharap ini hanyalah mimpi. Bahkan aku berharap semoga Tiara segera membangunkan ku. Kalau perlu, aku berharap dia segera menggedor pintu kamar ku sehingga aku segera terbangun. Sayangnya, hingga aku sampai di depan kamar mba Ayu, hingga saat aku melihat wajahnya yang nampak pucat, semua ini nyata adanya. Aku tidak sedang bermimpi.
Kesan pertama saat aku melihat wajahnya hari ini adalah, pucat. Tubuhnya nampak lemas. Rambutnya berantakan. Kantung matanya membengkak. Apa semalaman dia tidak tidur?
“Kamu pucet banget. Ke dokter yuk, sekalian diperiksa deh.”
Mba Ayu menggeleng. Aku lalu masuk ke dalam kamarnya. Ku tempelkan punggung tangan ku di keningnya, tidak demam. Tapi tubuhnya lemas.
“Tapi kamu lemes banget sayaang.”
Mba Ayu menggeleng lagi. Ku peluk tubuhnya. Kepalanya mendarat di dada ku. Ku usap kepala dan punggung nya.
“Hikss…”
Mba Ayu menangis. Ku lepaskan pelukan ku. Ku dongakan kepalanya. Pandangan kami saling beradu.
“Lho lho lho…kenapa menangis?”
“Maaf…”
“Kamu minta maaf untuk apa?”
“Semuanya ga akan jadi kaya gini kalau saja…aku ga ngajarin kamu malam itu…”
“Hahaha, kamu lucu deh.”
Mba Ayu nampak bingung dengan diri ku.
“Bingung kenapa?”
“Aku tegesin ya, ini semua bukan salah kamu, tidak ada yang salah dalam hal inu. Kalaupun ada, kita berdua yang salah. Bukan hanya kamu, aku juga salah.”
“Enggh…”
“Jangan pernah berfikir aku akan nyalahin kamu atas semua yang terjadi, kita berdua melakukannya bersama. Kita akan menanggungnya bersama.”
“Maaass…hiks…makasih…kamu udah bikin aku tenang.”
“Hahaha, kamu kenapa sih? Kok kesannya takut banget?”
“Aku trauma aja dengan…kamu tau kan? Apalagi sekarang kondisinya…”
“Iya aku tau, aku ga akan kaya gitu.”
“Makasih mas…”
Mba Ayu menunduk dan kembali mendaratkan kepalanya di dada ku.
“Iya sayang, semua akan baik-baik aja kok. Kamu tenang ya…”
Mba Ayu mengangguk pelan. Aku harus tenang untuk bisa menenangkannya. Meskipun dalam hati aku juga sangat pusing memikirkannya. Tapi kembali lagi, aku harus tenang.
Tubuh mba Ayu menempel erat pada ku. Aku merasakan sesuatu yang berbeda. Badanya bergetar. Dia menggigil?
“Kamu gemeteran?”
“Eh, engghh…”
Mba Ayu menjawab dengan ragu dan kemudian menggeleng.
“Kamu gemeteran?” tanya ku lagi dengan agak keras.
“Enggak kok.”
“Enggak apanya? Kapan kamu terakhir makan? Dan ini, kantung mata kamu bengkak, semalem ga tidur pasti!” ucap ku mengomelinya.
“Ehmm…akuu…”
“Kamu tunggu sebentar, aku keluar beli makan. Setelah itu kita ke dokter buat periksa.”
“Ta-tapiii…” mba Ayu hendak menahan lengan ku, namun aku ganti menarik tubuhnya dan mendudukkannya di tempat tidur.
“Kamu mau kenapa-napa?”
“Ta-tapi…aku takut mas…”
“Takut apa?”
“Takut kalau aku benar-benar…”
“Hamil?” Tanya ku. Mba Ayu mengangguk.
“Aku akan nikahin kamu kalau begitu.”
“Ta-tapi…”
“Pokoknya aku beli makan dulu terus abis itu kamu makan!”
“Iya mas…”
Aku pun keluar dari kamar kost mba Ayu. Aku merasakan ke khawatiran yang sangat besar pada diri nya. Aku bingung, kenapa dirinya merasa beban sebesar ini harus dia tanggung sendiri? Sampai tidak makan dan tidak tidur semalaman. Dia mengira aku akan tega meninggalkannya.
Sebenarnya apa yang kami takutkan belum lah pasti, yaitu apakah dia hamil atau tidak. Dia belum memeriksanya. Dari ceritanya di telepon tadi, dia hanya berkata kalau bulanannya telat satu minggu. Ya, ‘baru’ satu minggu. Karena setau ku, untuk beberapa kasus, telat selama itu masih mungkin terjadi tanpa adanya kehamilan. Bisa dikarenakan fisik yang terlalu capek atau bisa juga fikiran yang mungkin terlalu stres. Pantas saja selama seminggu ini aku merasa ada yang aneh pada diri mba Ayu. Ternyata karena ini.
Makanya, setalah makan nanti, jika dia tidak mengantuk, atau setelah kondisinya pulih kembali, aku akan mengajaknya ke dokter untuk periksa agar lebih pasti. Tubuhnya tadi benar-benar payah. Aku tidak mau mba Ayu kenapa-napa. Apalagi kalau dia benar-benar hamil dan terjadi apa-apa juga pada janinnya, aku akan menjadi orang yang paling bersalah karenanya.
~¤~¤~¤~
Aku dan mba Ayu duduk termenung di dalam ruangan ini hingga sang dokter duduk di depan kami dan membuyarkan lamunan kami berdua. Entah kenapa, aku yang dari awal tadi bisa mengendalikan diri, saat menunggu hasil dari sang dokter, aku menjadi sangat deg-deg an.
Jantung ku berdetak dengan kencangnya. Rasanya jauh lebih berdebar daripada saat menunggu hasil ujian kelulusan dulu. Tentu saja. Dua hal itu tidaklah sebanding. Ini tidak hanya menyangkut masa depan ku. Masa depan mba Ayu juga. Dan janin di perutnya apabila benar dia memang sedang mengandung.
Ku genggam erat tangan kanan mba Ayu yang duduk di samping kiri ku. Aku dan dia sama-sama menatap lekad ke arah dokter. Kami sama-sama cemas menantikan hasil nya. Dan aku sudah berjanji akan bertanggung jawab, jika aku harus menikahinya.
“Selamat, bapak dan ibu akan segera menjadi orang tua,” ucap sang dokter dengan entengnya sambil tersenyum. Aku melirik ke mba Ayu. Wajahnya langsung datar. Hampir tanpa ekspresi. Entah apa yang sedang dipikirkannya, tapi aku harus mencairkan suasana. Ku kegenggam lebih erat pergelangan tangannya hingga dia nanpak kaget.
“Benarkah dok? Alhamdulillah, kamu dengar itu yang?” balas ku berpura-pura bahagia sambil tersenyum pada mba Ayu dan juga sang dokter. Ah, aku tidak sedang berpura-pura. Aku benar-benar bahagia, walaupun bahagia yang aku rasakan agak aneh. Entahlah. Aku menggenggam pergelangan tangan mba Ayu lebih keras lagi. Mba Ayu nampak tersadar dari lamunannya. Dan membalas senyuman ku walaupun dengan agak kaku.
“I-iya mas, Alhamdulillah ya,” mba Ayu kembali tersenyum.
“Ini hasil nya, bapak dan ibu bisa melihatnya. Kandungannya normal, hanya saja ibu nya sepertinya sedang tidak fit ya?” tanya sang dokter.
“Iya dok, agak ga enak badan,” balas ku.
“Ya sudah, normal kok. Yang penting mulai sekarang dijaga kondisinya. Ini bukan lagi untuk ibu, tapi untuk janin yang ibu kandung sendiri. Ini saya kasih resep vitamin, diminum yah, biar badannya kembali segar,” pesan sang dokter.
“I-iya dok,” jawab mba Ayu.
Setelah selesai mengurus semua administrasinya, kami pun pulang. Dengan perasaan yang campur aduk. Senang, iya. Tapi bingung juga. Kami berdua juga jadi canggung dengan kondisi dan fakta yang kami dapatkan sekarang. Tapi ya sudah lah. Tidak akan bisa berubah bagaimanapun kami berdua menyesalinya.
~¤~¤~¤~
“Mas?” mba Ayu memanggil ku. Kami berdua sudah tiba di kost nya. Setelah meletakkan tas nya dia duduk dengan lemas di tempat tidurnya. Sedangkan aku duduk bersila di karpet lantai tapat di hadapannya.
“Ya?” aku mencoba tersenyum.
“Kamu beneran ga akan ninggalin aku kan?”
“Itu mulu nanya nya!”
“Aku… hanya kepikiran mas, aku…” mba Ayu nampak sedih. Aku kembali tersenyum. Wajar sebenarnya bila dia kepikiran. Dengan kondisinya sekarang yang berbadan dua, cemas, khawatir adalah hal yang normal. Aku takut itu semua akan berpengaruh pada kondisi fisiknya. Dan aku harus menenangkannya.
“Kamu sekarang rantai aku aja deh biar tenang,” balas ku bercanda dengan sedikit manyun. Mba Ayu awalnya ikut manyun namun kemudian tersenyum dengan lepas. Akhirnya, senyum itu kembali juga.
“Kesenengan kamu nya kalau aku rantai di sini, weeek!!” mba Ayu menjulurkan lidahnya.
“Hehehe, tau aja.”
“Dasar. Jadi rencana kita ke depannya gimana?” mba Ayu bertanya dengan penuh harap.
“Yaaa kawin lah,” canda ku.
“Nikah mas,” mba Ayu meralat.
“Hehehe. Iya-iya. Ehmm…” aku berfikir sebentar sebelum mengatakan apa yang harus aku katakan. Mba Ayu semakin menatap ku.
“Malam ini juga, atau paling lama besok, aku akan bicara ke mba Endang.”
“Mau ngomong apa?”
“Ya pernikahan kita.”
“Kalau mba Endang ga setuju, atau jika misal ga suka, gimana?”
“Ya jangan berdoa gitu dong…”
“Aku hanya memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin terjadi.”
“Huufffttt…” aku menarik nafas panjang.
“Kenapa?”
“Ga apa-apa, hehehe. Pokoknya kamu tenang aja. Masalah keluarga ku, itu menjadi urusan ku. Yang penting sekarang kamu jaga kesehatan. Demi calon anak kita, hehehe.” Aku mendekat kepadanya, duduk di sampingnya lalu mengusap perutnya yang masih rata. Tidak terlihat bila dirinya sekarang sedang mengandung anak ku. Ya Tuhan, rasanya masih belum percaya.
“Hihihi, mas manis banget deh, jadi makin sayang, hehehe.”
“Dan setelah itu, aku akan bicara dengan orang tua mu,” lanjut ku. Mba Ayu semakin tersipu.
“Aaaa…maaasss…makasih yaaah,” ucapnya mesra lalu memeluk ku.
“Iya sayang.”
Kami duduk sambil berpelukan. Ku usap rambut dan bahunya. Dia semakin merapatkan tubuhnya ke tubuh ku. Lalu kemudian hening.
“Mas?”
“Hmm…?”
“Kamu ga kepengin?”
“Itu? Enggak tuh. Biasa aja, kenapa?”
“Tumben? Biasanya nyosor aku mulu. Dan seminggu ini kan aku nyuekin kamu.”
“Ga tau, pokoknya lagi ndak pengen. Eh, bukan ndak pengen sama sekali sih, tapi ndak pengen banget. Ya pokoknya biasa aja.”
“Hihihi.”
“Kenapa?”
“Seminggu ini kamu mikirin aku ga?”
“Banget!”
“Masa sih?”
“Iyaaa.”
“Hihihi, maafin aku yah mas…abisnya aku bingung, aku takut, dan aku ga tau harus cerita kesiapa sampe tadi pagi aku nekad cerita ke kamu.”
“Ngerti…cuma lain kali kalau ada masalah apa-apa gitu cerita ya sayang, kita kan sebentar lagi akan hidup bersama.”
“Aaaa…maass bisa banget bikin aku seneng, hihihi,” balas mba Ayu dengan ceria.
“Sekarang, apapun akan aku lakukan demi kamu, dan demi yang ada di dalam sini nih,” ucap ku sambil mengelus lagi perutnya.
“Jadi, beneran nih mas ga kepengen? Aku kangen tau…seminggu ini kan kita…”
“Ehmm…pengen ndak ya…?” Aku meledeknya.
“Malah bercanda!” Mba Ayu terlihat manyun dan kemudian menggeser posisi duduknya sambil membuang wajahnya.
“Hahaha, ngambeeek…aku pengen dan juga kangen kok sama kamu, tapiiii,” aku berhenti dan mba Ayu menoleh ke arah ku.
“Tapi apa?” tanya nya galak.
“Tunggu sampe nanti kita resmi jadi suami istri, hehehe. Lagipula, kalau usia kandungan masih muda gini tuh lagu rawan-rawan nya?” lanjut ku sambil berlagak berfikir.
“Aaaa…mas emang paling bisa bikin aku meleleh.”
“Hahaha, emangnya es krim meleleh?” canda ku. Mba Ayu kembali menjulurkan lidahnya.
Aku tersenyum padanya. Mba Ayu kemudian mendekat lagi dan memeluk ku kembali. Sekarang, mereka berdua adalah prioritas utama ku. Yah, meskipun aku sadar semua ini diawali bukan dengan sesuatu yang baik, namun sekarang niat ku adalah baik, jadi semoga saja Tuhan melancarkan niat baik ku ini. Dan juga sebagai penebus dosa-dosa kami berdua sebelum ini.
~¤~¤~¤~
Tiba di rumah, sabtu malam minggu ini, suasana sudah sepi. Udah pada tidur kali ya. Tapi tv masih nyala. Pasti masih ada yang melek. Atau nonton tv tapi ketiduran? Hahaha. Entahlah. Aku segera memasukan motor ku ke halaman samping seperti biasa.
Ckleek!!
“Salam mualaikum…?”
“Waalaikum salaam…baru pulang Ian?” balas mas Rizal. Ternyata mas Rizal yang masih nonton tv.
“Hehehe, iya mas. Udah pada tidur ya?”
“Tiara udah, kalau mba mu belum. Lagi di dapur tuh.”
“Owh, kirain dah pada tidur. Ya udah aku ke kamar dulu ya mas.”
“Oke.”
Aku pikir udah pada tidur semua. Aku sih berharapnya begitu, jadi mau tidak mau aku akan berbicara pada mereka besok. Tapi kalau seperti ini ceritanya, aku jadi bingung. Bilang sekarang atau besok ya? Ah, bersih-bersih dulu aja deh.
~¤~¤~¤~
Selesai bersih-bersih badan, aku kembali ke ruang tengah dan ikut nonton tv bersama mas Rizal, yang ternyata juga sudah ada mba Endang. Aduh. Makin deg-deg an deh jadinya. Sekarang-besok-sekarang-besok-sekarang. Dan aku galau.
“Kerjaan gimana? Lancar?”
“Eh, ehmm kerjaan…lancar mas,” jawab ku tergugub. Hadeh.
“Kamu kenapa?” mba Endang ganti bertanya.
“Ndak apa-apa mba, emang kenapa?”
“Kaya lagi linglung gitu. Ada masalah?”
“Enggak kok mba, enggak ada.”
“Yo wes kalau gitu. Udah makan?”
“U-udah mba,” lagi-lagi aku tergugub.
“Kamu kenapa sih?”
Mampus aku. Aku memang paling tidak bisa berbohong dengan mba Endang. Dari dulu selalu begitu.
“Ehmm…”
“Kenapa?” Tanya mba Endang tegas membuat ku semakin kikuk. Mas Rizal ikutan menoleh ke arah ku.
“A-aku…aku…mau nikah…”
Yak. Aku sudah mengatakannya. Entah apa reaksi dari mereka berdua. Aku pasrah saja. Aku menatap mereka berdua dengan dengan penuh cemas. Sedangkan mereka malah menatap ku dengan anehnya. Ya, memang aneh. Tengah malam begini tiba-tiba bilang mau nikah. Kalau orang lain mungkin sudah menganggap ku gila kali.
“HAHAHA”
Tawa dari mereka berdua. Ya, mereka berdua malah tertawa. Padahal aku serius.
“HAHAHA”
Meraka masih terus tertawa.
“Aku serius mba, mas!”
Mereka langsung terdiam.
“Iya, semua orang memang harus menikah, tapi memangnya kamu sudah ada calonnya? Hehehe,” ledek mas Rizal.
“Sudah.”
“Siapa? Kok ga pernah kamu ajak main ke sini?” ganti mba Endang yang bertanya.
“Mba Ayu.”
“HAHAHA”
Lagi-lagi mereka malah tertawa. Ah, aku kesal sendiri jadinya.
“Kenapa?”
“Kamu bercanda nya kebangetan, hahaha.”
“Kok bercanda? Aku beneran akan menikahinya.”
“Hahaha, emang dia mau sama kamu? Ayu itu, supervisor kamu di kantor kan?” mas Rizal meledek ku kembali.
“Dan menikah bukan buat bercandaan. Kamu harus memikirkannya matang-matang.” mba Endang menambahkan.
“Aku dan Ayu sudah memikirkannya matang-matang. Dan kami sudah sama-sama yakin.”
“Ian, pada dasarnya aku dan juga bapak sama ibu enggak mempermasalahkan kamu akan menikah dengan siapa. Asal sama-sama suka, bagi kami itu sudah cukup. Masalahnya, apa iya kamu sudah siap mau menikah sekarang? Dan, kenapa mendadak seperti ini?”
“Eh, ehmm…itu…anu…i-itu…”
“Kenapa?”
“A-annuu…i-itu…”
“Jawab mba! Kenapa mendadak gini?”
Mba Endang semakin memojokkan ku. Sumpah. Ini adalah momen paling tidak mengenakan yang pernah aku rasakan. Mulut ku seperti terkunci untuk mengatakan “mba, aku sudah menghamilinya, makanya aku harus menikahinya secepat mungkin”
“Kamu sama Ayu…jangan bilang kalau…” ucap mba Endang terhenti.
“Ehmm…mbaa…i-itu…a-aku…”
“Astagfirulloooh Iaaaan!!!” Mba Endang menutup mulutnya tidak percaya dengan kenyataan yang di dapatnya. Adik laki-laki yang selalu dibanggakannya, yang di gadang-gadangnya bisa mengangkat martabat kedua orang tuanya, justru malah melakukan hal yang tidak terpuji dan melenceng dari norma dan etika yang ada.
“Maaf mba…aku…”
“Cukup!! Ga usahlah kamu jelasin apa-apa.”
“Maah, jangan terlalu keras gitu. Dengerin dulu penjelasan Ian.” Dan seperti biasa, ketika ada satu masalah hingga mba Endang memarahi ku, mas Rizal selalu ada sebagai orang yang membela ku.
“Jangan mentang-mentang kamu sama-sama cowok trus kamu ngebelain Ian ya pah!!”
Dan suasana menjadi tegang. Hampir mirip dengan saat dulu ketika aku terlibat masalah dengan Gita. Tapi sekarang berbeda dan tentu lebih rumit. Seperti yang aku katakan sebelumnya. Bukan hanya menyangkut masa depan dua orang, tapi tiga orang.
“Enggak. Aku cuma mau kamu dengerin duku penjelasan Ian. Atau, paling ga hargai dia yang mau bertanggung jawab.”
“Oke. Sekarang kamu mau ngomong apa?” Mba Endang menatap ku lekat-lekat.
“Ehmm…Aku cuma mau bilang, kami saling mencintai. Dan memang benar apa yang sudah kami lakukan itu adalah salah. Aku mengakuinya. Makanya kami ingin memperbaikinya. Dan aku ingin mba Endang merestui kami.”
“Restu bukan di tangan ku Ian, bicaralah pada bapak sama ibuk.”
“Tapi aku bingung bilangnya gimana.”
“Itu bukan urusan ku. Terserah kamu mau bilangnya gimana, kamu cowok, kamu harus bilang sendiri.”
“I-iya mba.”
“Ngomong-ngomong, besok ajak Ayu ke rumah! Aku mau ngomong sama dia.”
“Mba Endang mau ngomong apa?”
“Sesuatu yang akan kakak perempuan tanyakan padan calon istri ade laki-laki nya.” Ucap mba Endang dengan entengnya lalu meninggalkan ku dan mas Rizal.
“Hah? Ta-tapi mba?” Mba Endang tidak menggubris ku.
“Udah ga usah panik gitu. Kamu denger kan tadi mba mu bilang apa? Calon istri. Itu artinya di sudah bisa menerimanya. Dia mungkin cuma kaget aja. Kamu kan tau, diantara sodara-sodaranya, kamu lah yang paling dekat dengan mba mu. Mungkin dia cemburu atau semacamnya kali tau kamu tiba-tiba mau nikah.”
“Gitu ya?”
“Iya. Udah tenang aja. Sekarang kamu tidur dah. Tenangin pikiran buat ngadepin gimana besok.”
“I-iya deh mas.” Aku pun bangkit dan hendak berjalan menuju kamar ku sebelum mas Rizal menggentikan ku kembali.
“Ngomong-ngomong, hebat juga lu ya bisa dapetin bos, cakep lagi, belajar dari siapa? Hahaha.” Mas Rizal meledek ku. Haah!!! Si abang satu ini memang tidak pernah berubah konyolnya. Tapi ga apa-apa juga sih. Hehehe. Gitu-gitu dia yang selalu membela ku.
~¤~¤~¤~
“Tante Ayu cantik ya mah,” puji Tiara pada Ayu. Siang ini kami berlima makan siang bersama di rumah. Sesuai dengan permintaan mba Endang semalam yang meminta ku mengajak Ayu main ke rumah. Awalnya Ayu ragu karena merasa belum siap. Belum siap bertemu dengan mba Endang dalam kondisi dia sudah hamil seperti ini. Namun aku sudah meyakinkannya bahwa mba Endang sudah bisa menerima semuanya.
“Makasih Tiaraaa, Tiara juga cantik, manis, hehehe,” puji Ayu balik pada Tiara. Wanita memang begitu. Sukanya saling memuji.
“Tapi yang paling cantik tetep tante Kiki sih,” balas Tiara lagi dengan entengnya. Dan kemudian hening. Suasana berubah menjadi kaku. Hadeh, ini bocah polos amat ya.
“Tiara! Ga boleh ngebanding-bandingin gitu ah,” tegur mba Endang.
“Biarin. Emang bener cantikan tante Kiki kok!”
“Tiaraaa!! Ga boleh gitu. Ayo minta maaf sama tante Ayu. Tante Ayu, maafin Tiara yaaa,” ucap mba Endang.
“Hehehe, ga apa-apa mba, namanya juga anak kecil, ya sayang yaaa, iiihhh emesin aneet ciii aamuuu…,” balas Ayu sambil mencubit pelan pipi Tiara. Si bocah diem aja.
Aku sebenarnya juga tidak enak dengan Ayu karena kepolosan Tiara yang membanding-bandingkan diri nya dengan Kiki. Padahal, menurut ku mereka berdua sama. Sama-sama cantiknya. Dua-dua nya memiliki kelebihan masing-masing, apabila dilihat dari sisi jasmani maupun rohani. Tapi ya sudahlah, tidak penting juga membandingkan mereka.
Yang paling penting, mba Endang sudah mau menerima Ayu dan menyetujui hubungan kami. Permasalahan berikutnya adalah, bagaimana menyampaikannya pada bapak dan ibuk di kampung. Tapi aku sedikit terbantu juga karena mba Endang akan membantu ku bicara pada mereka berdua. Entah apa yang akan direncanakannya, namun aku diminta untuk diam dulu. Baiklah.
~¤~¤~¤~
Satu Minggu Kemudian
Jadi, rencana dari mba Endang adalah tidak memberitahukan dulu kehamilan Ayu pada bapak dan ibuk. Katanya mumpung masih hamil muda. Aku tidak mengerti hitungannya bagaimana, tapi katanya tidak akan ketahuan. Apa iya? Bukannya kalaupun aku dan Ayu menikah bulan ini, hingga dia melahirkan jarak waktunya hanya delapan bulan? Tapi mba Endang juga bilang, pait-paitnya jika bapak dan ibuk mempertanyakannya, atau juga ada saudara yang bertanya juga, kita bisa bilang bayi nya lahir prematur. Entahlah. Ngikut saja dengan rencana mba Endang.
Besok, aku dan Ayu akan pergi ke Semarang untuk menemui orang tua nya dan mengutarakan niat pernikahan kami. Dan aku menemui orang tua nya tanpa modal apa-apa. Hanya niat dan nekad. Semoga lancar.
Sedangkan hari ini, aku bertemu dengan Kiki untuk menceritakan niat ku ini. Bagaimanapun juga, dia sahabat ku dan dia harus tau lebih dulu dari teman-teman ku yang lain. Tapi tentu saja aku tidak akan menceritakan tentang kehamilan Ayu. Cukup rencana pernikahan kami saja. Dan sekaligus memohon doa dari nya semoga semua persiapannya lancar.
“Menikah?” tanyanya dengan sangat terkejut.
“Iya, hehe. Kok kamu kayanya ndak seneng gitu? Sahabat mu ini mau nikah lho, hehehe,” balas ku dengan semangat.
“Eh, eng-enggak gitu, a-aku se-seneng kok. Cuma kaget aja, kok mendadak gitu. Dan, kamu mau nikah sama siapa?”
“Ndak mendadak kok, cuma ya memang aku sama Ayu ndak pake pacaran, jadi ya langsung nikah aja, hehehe.”
“A-ayu?”
“Iya Ki, mba Ayu. Beruntung ya aku, mba Ayu mau sama aku, hahaha,” aku tertawa.
“Iya, kamu beruntung banget. Selamat deh.” Kiki memberi ku selamat, tapi kok lesu gitu.
“Kok kamu malah lesu gitu sih?”
“Eh, enggak kok, aku seneng tau, hihihi, akhirnya kamu move on juga dari Diah, hihihi. Tapi sedih juga kalau kamu udah nikah sama mba Ayu nanti pasti porsi kamu sebagai sahabat aku kan pasti bakalan berkurang.”
“Pastinya. Masa melihat kebelakang mulu. Kan sesuai dengan nasehat kamu selama ini. Tapi kok? Tuh kan, kok kamu malah nangis sih? Kalau soal sahabatan aku udah bilang ke Ayu kok kalau kita masih bisa terus sahabatan…”
Ya, Kiki menangis. Meskipun tanpa suara seperti waktu itu. Entah apa yang dipikirkannya, tapi aku melihat dua butir air mata jatuh membasahi pipinya yang halus.
“Eh, engg…ini tangis bahagia tau…hiks…hehehe…bahagia karena akhirnya kamu sudah menemukan wanita yang kamu cari. Sekali lagi selamat ya. Terus, kapan rencananya?”
“Bener gitu?”
“Iya Iaaan, tuh udah ga nangis lagi. Hehehe.” Kiki mengusap air matanya.
“Hehe, kirain kamu sedih karena aku tinggalin. Tenang, kita tetep akan sahabatan kok.”
“Huuu, dasar narsis. Jadi kapan?”
“Ehm…kemungkinan bulan ini. Besok aku mau jalan ke semarang buat ngomong ke orang tua Ayu. Buat ngomongin semuanya. Doain ya lancar, hehehe.”
“Bulan ini?”
“Iyaaa.”
“Cepet banget? Apa keburu ngurus semuanya?”
“Ya mudah-mudahan. Tapi rencananya, pestanya sederhanya aja kok. Cuma sodara aja. Tapi kamu kudu wajib dan harus datang. Oke?”
“Oh gitu? Ya Insyaallah aku pasti dateng kok. Bayarin tiket nya tapi ya? Hihihi.”
“Hahaha. Sama aja dong. Ga masalah sih, asal kamu ngamplop nya dua kali lipet ya. Hahaha.” Kami tertawa bersama.
“Yeee maunya. Weeek.”
Hahaha. Kami tertawa lagi. Oke. Kiki sudah tau dan dia juga setuju dengan pernikahan ku. Sebenarnya bukan minta ijin juga sih. Hanya sekedar memberi tahunya saja. Dan dia nampak senang meskipun agak lesu tadi. Tapi mungkin itu karena kaget saja sahabat nya ini akan segera menikah. Iya, pasti begitu.
[Bersambung]
Hallo Bosku, Disini Admin KisahMalah
Agar Admin Semakin Semangat Update Cerita Cerita Seru Seterusnya, Bantu Klik Iklan yang Ngambang ya.
Atau Gambar Dibawah INI
Atau Bagi Kamu yang suka bermain game Poker Online atau Gambling Online lainnya, bisa di coba daftarkan ya. Banyak Bonus dan Hadiahnya Loh.
Untuk yang Kesulitan Daftar bisa Hub Admin di WA untuk di bantu Daftar.
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂