Merindukan Kesederhanaan Part 3
The First Project
Dua minggu telah berlalu semenjak insiden SKSD ku terhadap gadis di ruang pendaftaran itu dan hari ini tiba saatnya aku menjalani tes penentuan grade. Aku harus bisa mendapatkan grade A agar bisa mendapatkan biaya kuliah yang paling murah. Semoga lancar. Dan pagi-pagi ini aku sudah bangun untuk mempersiapkan semuanya. Berkas-berkas lengkap. Baju juga sudah siap, hasil pinjam punya mas Rizal. Untuk tes ini memang diwajibkan memakai celana bahan hitam dan kemeja putih, dan kebetulan aku tidak punya. Ada sih, tapi di kampung tapi aku tidak membawanya. Untungnya mas Rizal ada kemeja putih dan ukuranya kebetulan juga sama. Jadi untuk sementara pakai ini dulu saja dari pada beli.
Seminggu ini aku habiskan dengan bekerja. Total ada lima pesanan dan untuk setiap quantity nya aku mendapatkan serratus ribu dari mas Rizal. Jadi awal pekan yang indah ini aku sudah memegang uang lima ratus ribu. Jumlah yang sangat banyak untuk ukuran ku.
Tes nya sendiri akan di mulai jam Sembilan pagi. Sekarang masih jam enam, tapi karena takut terlambat, aku berpamitan dengan mas Rizal dan mba Endang untuk berangkat ke kampus. Dan benar dugaan ku, ketika sampai kampus suasana masih sangat sepi.
Aku tidak langsung ke lokasi tes melainkan ke bagian pendaftaran dulu untuk menyerahkan kelengkapan berkas. Setau ku bagian pendaftaran sudah buka dari pukul tujuh tiga puluh pagi. Aku duduk di depan gedung itu. Memperhatikan satu dua orang yang lewat. Kebanyakan berpakaian seperti ku. Pasti mereka juga akan mengikuti tes. Sesekali juga lewat security dan petugas kebersihan. Aku mencoba tersenyum kepada mereka dan meraka pun membalasnya dengan senyuman yang ramah juga.
Tidak lama kemudian bagian pendaftaran di buka. Aku langsung menyerahkan berkas-berkas ku. Alhamdulillah semuanya lengkap dan diterima dengan baik. Kata mas nya aku bisa langsung mengikuti tes. Aku pun bergegas ke gedung lokasi tes. Saat aku berjalan ke lokasi tes, karena begitu bersemangatnya aku sampai tidak melihat ada mobil yang melintas dengan kencang dari arah samping ku dan hampir saja menabrak ku.
“CIIIIIIIIIT”
“TIIIINNNNMN”, terdengar suara nyaring gesekan ban mobil dengan aspal yang diikuti dengan suara klakson mobil.
Huffftt…hampir saja, kalau orang itu tidak sigap mungkin aku sudah tertabrak. Aku memang salah sih. Tapi, di area kampus seperti ini kenapa bawa mobil nya mesti ngebut gitu ya?
Hingga beberapa detik pertama tubuh ku masih diam mematung. Kaget dan emosi campur aduk menjadi satu. Tapi aku coba menahannya. Aku harus tenang. Aku tidak mau cari masalah. Aku lalu berjalan ke pinggir. Mobil itu perlahan mulai berjalan lagi dan kaca mobil sebelah kiri juga terbuka.
“KALAU JALAN PAKE MATA!!!”, bentak seorang wanita dari balik kemudi. Eh, wanita itu kan…yang dua minggu lalu judesin aku itu. Haduuuh…kenapa mesti dia lagi sih keluh ku. Aku sempat khawatir dia akan turun dan melabrak ku. Meskipun awalnya aku agak emosi, tapi sekarang melihat tampangnya yang galak itu membuat ku berfikir dua kali jug ajika harus ribut dengannya. Tapi untungnya yang aku takutkan ternyata tidak terjadi. Mobil itu terus berjalan. Dan masih tetap ngebut. Luar biasa batin ku.
Aku lalu melanjutkan perjalanan menuju lokasi tes. Ternyata sudah ada beberapa peserta tes yang hadir meskipun masih jam 8. Kebanyakan dari mereka saling berbincang membentuk beberapa gerombol. Aku memilih untuk duduk di pinggiran dekat tiang. Kaya orang hilang. Biarkan saja.
Masih lama nih keluh ku. Ngapain ya? Belajar? Kata masnya, tesnya hanya seputar matematika, bahasa, dan pengetahuan umum. Bingung juga mau belajar apa. Hingga tiba tiba seseorang menepuk bahu ku.
“Bro, ada korek?” tanyanya.
“Hah?” aku yang awalnya bengong jadi bingung dengan kalimatnya.
“Eh, maksut gua lo punya korek ga?” jelasnya lagi.
“Oh korek, maaf mas ndak punya, aku ndak ngerokok.”
“Oh, sorry, ah pake ketinggalan lagi korek gua,” ucapnya lagi dengan kesal. Dia nampak melihat sekeliling. kayanya lagi mau nyari pinjaman korek. Dan dia pergi meninggalkan ku begitu saja. Orang aneh pikirku. Aku kembali memeriksa jam di hp ku. Masih empat puluh lima menit lagi tesnya baru dimulai.
Tak lama kemudian pria yang tadi menghampiri ku datang lagi.
“Tes juga ya?” tanyanya.
“Iya nih, hehehe.”
“Ambil jurusan apa?”
“Akuntansi.”
“Wah, sama dong, oiya kenalan dulu lah, nama gua Doni, Ardoni Sebastian”, ucapnya sambil mengulurkan tangan.
“Alfian Restu Kusuma, mase bisa panggil aku Fian,” jawab ku. Kurasakan jabatan tangannya kuat di telapak tangan ku.
“Dari daerah ya? Hehe,” tanyanya lagi.
“Hehe, iya mas. Mas nya?” tanya ku balik.
“Ya elah, ga usah pake mas kali. Santai aja bro. Keluarga gue juga dari daerah, tapi gue lahir di Jakarta.”
“Oh ya? Dari mana mas?”
“Bokap gue asli padang, kalau nyokap sih Jakarta.”
“Oh padang, aku punya kakak ipar juga asli padang. Kamu padangnya dimana?”
Orang bernama doni ini tidak langsung menjawab pertanyaan ku, malah melihat ku dengan tatapan aneh. Lalu kemudian malah tertawa.
“HAHAHAHA.”
“Eh kenapa? Ada yang lucu yah mas?” tanya ku dengan polos.
“Hahaha…uhukk…uhuukkk…hahaha…sorry sorry.”
Tawanya tidak berhenti malah semakin kencang. Hingga beberapa saat, setelah bisa mengontrol diri baru dia menjawab pertanyaan ku.
“Hahaha, sorry, geli aja gue lo ngobrol pake aku-kamu.”
“Emang nya lucu ya kalau pakai aku-kamu,” tanya ku dengan polosnya.
“Hahaha, ga sih ga ada yang lucu, Cuma sok manis aja, hehe.”
Aku makin bingung dengan jawabannya. Tapi ya sudah lah. Ga penting juga pikir ku.
Ardoni ini orangnya lumayan enak ternyata. Dan ga sombong yang pasti. Dia bersikap biasa saja meskipun tau aku dari kampung. Tidak ada sedikitpun dari sikapnya yang merendahkan ku. Kami ngobrol layaknya teman biasa. Saling cerita kehidupan masing masing, terutama masa-masa SMA. Lalu tiba-tiba dia menepuk bahu ku lagi saat aku sedang menunduk melihat hp ku.
“Bro bro, manteb tuh bro, body nya brooo…”
“Apaan?” tanya ku sambil menoleh ke arahnya. Dia lalu memberikan isyarat ke arah sebaliknya. Aku pun menengok kearah yang dia maksud.
“DEG!!!” Wanita itu lagi, batin ku. Haduh.
Aku melihat sosok tubuh wanita yang hampir sempurna di mata ku. Iya hampir, dan akan sempurna bila sopan santunnya bisa sedikit dijaga. Sayangnya wanita itu tidak memiliki sopan santun sama sekali. Setidaknya itulah yang ada di pandangan ku. Meskipun aku akui tubuh nya memang sangat aduhai. Tinggi, ramping tapi berisi, kulit putih, dan wajah yang sangat cantik.
Saat ini dia menggunakan setelan kemeja putih yang nge press body banget dengan renda-renda di bagian dadanya, celana bahan hitam ketat, ditambah highheels yang lumayam tinggi. Dan, cara berjalannya aku akuin memang sangat anggun sekali. Tapi kalau inget bagaimana dia berbicara, bagaimana dia membentak ku tadi, aku jadi tidak tertarik sama sekali dengannya.
Lalu timbul pertanyaan di benak ku. Ini cewek beneran baru mau daftar kuliah? Angkatan baru? Kok setelannya udah kaya orang kantoran gitu ya? Ga salah? Pikiran ku malah melayang kemana-mana. Tapi wajar. Dandannya tidak seperti orang yang baru saja lulus SMA. Kalau anak gadis di kampung ku yang baru lulus SMA tidak akan mungkin ada yang berpenampilan seperti ini. Tapi ini Jakarta, dan semua jenis manusia memang ada di sini. Hingga akhirnya doni menepuk bahu ku lagi.
“Woiii lihatnya biasa aja dong, hahaha,” ucap Doni mengagetkan ku.
“Apaan, aku juga biasa aja ah liat nya,” balas ku.
“Biasa aja apanya? Ampe bengong gitu tadi lo mandang tuh cewek lewat. Haha. Tapi ga apa-apa juga sih. Wajar kok. Lo boleh dari kampung, tapi selera tetep harus kota men, haha,” ucapnya sambil menyenggol lengan ku.
Aku hanya bisa nyengir mendengar ocehan si Doni. Sialan. Apa benar aku tadi sampai bengong gitu ya? Kok aku tidak sadar? Ini pasti ga bener pikir ku.
“Abis tes, ajak kenalan yuk, berani ga lu?” ajaknya.
“Ndak ndak ndak, ndak mau aku, kamu aja kalau mau, aku ga tertarik,” jawab ku acuh.
“Yakin ga mau? Jangan nyesel ya hehe.”
“Iyooo…”
Males banget aku diajak kenalan ama tu cewek. Sekarang saja cewek itu sesekali memandang ke arah ku dan doni dengan pandangan sinis. Kami ini seperti pengganggu bagi nya. Sombong sekali pikir ku. Emang pikir dia siapa?
Tidak lama setelah itu pintu ruangan tes pun dibuka. Semua peserta langsung berdiri dan berkerumun di depan pintu masuk. Petugas yang membuka pintu tadi langsung menghimbau agar masuknya tertib, tidak perlu berebutan. Semua pasti kebagian tempat duduk. Akupun memilih untuk menunggu dan masuk belakangan.
Setelah masuk ruangan, aku langsung mencari nomer kursi sesuai yang tertera di kartu ujian ku. Ternyata soal tes nya pilihan ganda dan sudah terkomputerisasi. Kampus ini memang terkenal dengan fakultas Teknologi Informasi nya. Dn salah satu Universitas swasta dengan fakultas TI terbaik. Oiya, petugas juga menginformasikan kalau tiga puluh menit setelah tes hasilnya sudah keluar. Jadi kami di himbau untuk tidak langsung pulang.
Meskipun aku dari kampung, tapi sejauh ini aku tidak gaptek-gaptek banget. Sewaktu SMA dulu di sekolah ku sudah ada mata pelajaran komputer. Jadi bagaimana mengoperasikannya sebagai user aku sudah bisa. Ga malu maluin banget lah.
“Apaan?” tanya ku. Aku mendengar bisikan dari arah kiri belakang. Ternyata doni.
“Tuh,” jawabnya dengan isyarat. Aku menengok ke arah kanan dan, ya ampun…wanita itu lagi. Dia dapat nomer tepat di samping kanan ku. Dia yang merasa aku pandangi juga ikutan nengok.
“Apa lo liat-liat?” tanya nya dengan kasar.
“Eh, enngghh…enggak kok, ga liat apa apa,” jawab ku gugup.
Dia masih menatap ku tajam dan melotot. Tak mau cari masalah aku lalu mengalihkan pandangan ku ke depan. Lalu terdengar suara cekikikan dari arah doni. Aku kembali menoleh ke arahnya. Sialan dia menertawakan ku. Aduh kenapa jadi begini sih? Fokus Ian fokus.
Tidak lama setelah itu, tes pun di mulai. Aku lalu berusaha fokus untuk mengerjakannya. Tapi dari ekor mata kanan ku, aku bisa sedikit memperhatikan wanita yang bahkan aku belum tau namanya itu, body nya kebentuk banget kalau dari samping seperti ini. Perutnya ramping, pinggulnya melengkung dengan indah, dan dadanya itu, mancung banget. Apalagi bajunya serba ketat.
Duuuh…fokus fokus. Aku sampai menepuk pipi ku sendiri dengan agak keras yang malah membuat wanita itu menengok lagi ke arah ku. Tidak ada kata yang terucap dari mulutnya, tapi pandangan sinis dan merendahkan itu yang aku lihat. Bodo amat lah pikir ku lagi dalam hati.
***
Waktu yang diberikan untuk mengerjakan soal-soal ujian ini adalah seratus dua puluh menit, dan sekarang aku sudah menyelesaikan semuanya meskipun waktu yang di berikan masih ada sekitar dua puluh menitan. Petugasnya sudah mulai menginstruksikan bagi yang sudah selesai boleh meninggalkan ruangan.
Aku yang sudah tidak nyaman duduk di samping wanita ini langsung buru-buru menutup aplikasi ujiannya dan meninggalkan ruangan. Dan cukup membuat beberapa peserta lainnya kaget. Termasuk makhluk sombong di samping kanan ku ini. Tapi tetap, pandangannya tetap sinis terhadap ku. Tapi aku merasa senang karena aku bisa menyelesaikan soal ku lebih cepat dari dia.
***
“Keren juga lo bro bisa selesai paling cepet, beneran ngerjain apa ngasal tuh? Haha,” canda doni yang lagi-lagi menepuk bahu ku dari belakang. Ni anak hobi banget ngagetin orang. Dan aku baru sadar ternyata waktu ujiannya sudah habis dan mau tidak mau semua peserta harus menghentikan pekerjaannya.
“Hehe, lihat saja nanti hasilnya, aku juga nda yakin sih, tapi ya mudah mudahan dapet grade A, kan lumayan tuh paling murah semesterannya.”
“Aamiin dah, eh ke kantin dulu yuk, mayan setengah jam buat nyegerin tenggorokan. Kering banget nih, aus.”
“Nyegerin tenggorokan apa mata?” canda ku.
“Haha, dua duanya boleh juga,” jawabnya nyengir.
***
“Eh lo tinggal di mana? Lupa gua.”
“Sawangan Don.”
“Oiya, yang ikut kakak lo itu ya?”
“Iyaa.”
Aku dan doni sudah berada di kantin. Kami sedang menikmati segarnya es di siang hari yang panas ini. Dan betul juga kata si Doni. Setelah dua jam mikir, tubuh ini rasanya dehidrasi banget, kering banget. Dan es ini adalah solusinya.
“Eh gue ampe lupa, nomer lu berapa, ada wa nya kan?”
“Wa?”
“…”
“Apaan?”
“Lu ga tau wa? Whatsapp…”
“Oh whatsapp…” jawab ku dengan polos nya. Aku baru tau kalau whatsapp di singkatnya jadi WA. Orang Indonesia memang paling senang menyederhanakan suku kata. Kalau ada yang bisa di sederhanakan, kenapa harus di persulit? Betul sih, sayang nya birokrasi di negeri ini kebalikannya.
Aku tidak langsung menjawab pertanyaan Doni, tapi kemudian merogoh kantong celana ku dan menunjukkan hp jadul ku kepada nya.
“Haha, sorry sorry, ya udah nomer lu dah sini berapa?”
“0812XXXXXXXX.”
Dia lalu misscall ke hp ku.
“Disimpen ye, itu noner gue.”
“Iyaaa bawel…”
“Hahaha, gitu dong kasih imbal balik. Di jakarta tu jangan iya iya aja…”
“Iyeeee…”
“Hahaha.”
Tak tok tak tok tak tok
Tiba tiba terdengar suara benturan antara hak sepatu dengan keramik lantai kantin. Khas banget suara dari sepatu hak tinggi seorang wanita. Aku dan Doni sama-sama menoleh. Dan ya Tuhan, dia lagi dia lagi. Aku langsung menekuk muka ku dan menunduk pura-pura mengaduk minuman ku. Jujur aku mulai males dengan wanita ini. Doni? Malah cengar cengir dan sok cari perhatian kepada mereka.
Mereka? Iya, sekarang wanita judes itu jalan bereng dengan dua wanita lain yang model-model dandanannya sebelas dua belas dengannya. Dan dari gerak-geriknya, sifat mereka bertiga sepertinya juga tidak jauh berbeda. Sombong dan arogan. Dan yang pasti, senang menjadi pusat perhatian.
“Sstthhh…cewek itu lagi tuh…”
“Iya aku juga lihat, terus?”
“Mau ga ikut gua? Kenalan…,” ucapnya sambil menaik turunkan alis matanya.
“Ndak mau, kamu saja…”
“Cemen, jangan nyesel ya kalau nanti dia jatuh ke pelukan gua, hahaha.”
“Aku justru berharap dia seperti itu…”
“Hahaha…”
Doni lalu bangkit dan menghampiri tiga wanita itu dengan pede nya. Bener-bener nekad nih bocah, batin ku. Aku memalingkan pandangan ku ke arah parkiran, ga berani ngelihat apa yang akan terjadi.
BRAAAK
Aduh…suara apa itu? Pikiran ku bertanya-tanya Tapi kayanya suara meja digebrak. Pasti sekarang semua pengunjung kantin ini menatap ke arah mereka. Rasanya aku tidak ingin lagi berbicara dengan Doni saat ini, di tempat ini. Aku ingin lupa ingatan saja dan tidak mengenal nya untuk saat ini. Atau, aku pura-pura ga kenal aja kali ya?
“BISA GA SIH LO KALAU GA GANGGU?”
“Kok galak sih neng ama abang?”
Begitulah percakapan yang samar-samar aku dengar. Don, tolong jangan tambah bikin malu, ucap ku pelan seraya berdoa pada Tuhan Yang Maha Pengasih Dan Penyayang pada setiap Umatnya. Kira-kira Tuhan sayang gay a sama Doni yang ganjen itu?
Aku masih belum berani menengok ke arah mereka meskipun sudah tidak ada percakapan yang aku dengar lagi. Tapi tidak lama kemudian aku mendengar suara langkah kaki dari sepatu ber hak tinggi itu mendekat ke arah ku. Ada apa ini?
“Lain kali kalau punya temen diajarin sopan santun!!!” ucap wanita itu pelan, tapi tajam dan dalam. Dalam banget. Sialan. Aku lagi kan yang kena. Reflek aku menatap ke arahnya. Serem banget. Mukanya merah. Entah apa yang diucapkan Doni tadi hingga wanita ini bisa jadi emosi seperti ini.
“I-iya mba, maafin temen saya ya…”
“Awas lu ya sekali lagi gangguin gue!!!”
“Iya mba…”
“Jangan iya iya aja, ngerti ga???”
“Iya ngerti mba…”
Wanita ini sepertinya memang tempramental. Dikit dikit langsung naik. Aku tidak mungkin menghadapinya dengan emosi juga. Meskipun sebenernya dari tadi aku juga sudah menahan emosi karena sikapnya. Tapi biarin lah. Sekarang gimana caranya tuh mba-mba pergi dari tempat ini.
“Satu lagi, jangan panggil gue mba lagi, gue bukan mba lo!!! Paham???”
“Iya mb…eh…iya paham, sekali lagi maaf ya…”
Tidak ada balasan darinya. Dan sekali lagi wanita itu pergi begitu saja dengan sombongnya. Dasar orang kota pikir ku.
Tapi untungnya dia segera pergi. Kalau ga, lama-lama bisa stress aku. Cewek kaya gitu apa ada yang mau ya. Apa tidak langsung darah tinggi itu pasangannya nanti? Entahlah.
Tidak lama setelah itu Doni datang dengan santainya. Dan tidak ada perasaan bersalah sedikitpun.
“Anjir tuh cewek, galak banget men.”
“Kamu sih, udah aku bilangin juga masih aja nekad. Aku jadi ikutan kena kan,” keluh ku.
“Hahaha, ngomong apa dia tadi?”
“Suruh ngajarin kamu sopan santun…”
“Hahaha, tapi gue jadi tertantang nih.”
“Buat?”
“Naklukin dia lah.”
“Jangan bercanda ah, kamu ndak kapok apa di bentak di depan umum kaya tadi?”
“Alah, cewek mah gitu, awalnya doang galak, kesininya paling nurut, tapi ga tau deh kalau di ranjangnya gimana, hahaha.”
“Sarap, aku ndak mau ikutan ah kalau urusan begituan…”
“Siapa juga yang mau ngajak lu, orang kita mau enak-enakan di ranjang berdua aja, haha.”
“Terserah…”
“Haha, ngambek…sorry deh buat yang tadi. Gantinya nih es gue bayarin deh.”
“Cuma tiga ribu.”
“Haha, oke-oke, kapan-kapan gue traktir makan deh. Sekarang kita liat pengumuman yuk, kayanya udah keluar hasilnya.”
“Ya udah ayok.”
Kita berdua akhirnya meninggalkan kanti dan berjalan menuju ke lokasi tes tadi. Seharusnya hasil ujian sudah keluar. Sebenarnya lucu juga tes ini. Ujian tapi semua peserta pasti lulus. Namanya juga PTS. Tes ini hanya menentukan biaya masing-masing saja. Doni berjalan duluan. Agak tergesa-gesa. Sepertinya dia sangat penasaran. Aku hanya mengekor di belakangnya.
Sesampainya di depan ruangan, aku lihat sudah banyak sekali peserta tes yang berkerumun di depan sebuah papan kaca yang di situ ditempel hasil tes tadi. Doni mencoba merengsek masuk. Aku? Hanya berdiri saja beberapa meter di belakang mereka. Paling malas aku kalau harus berkerumun seperti itu.
“Woooiii ian, sini! Lu masuk grade A nih”, teriaknya dari dalam kerumunan itu ke arah ku. Sontak sebagian dari para peserta itu menoleh ke arah ku. Waduh. Ga akan ada tindakan anarkis kan? Batin ku. Entah darimana pikiran itu muncul, tapi dilihat dari pandangan mata mereka, seperti menunjukkan ketidak senangan. Aku hanya tersenyum kaku pada mereka semua.
***
“Wah, pinter juga lu bro, ga nyangka gue.”
“Kebetulan aja itu.”
“Ga mungkin, lo emang keliatan pinter kok.”
“Biasa aja don, paling yang dapet grade A juga banyak kan?”
Aku memang tidak tau siapa saja dan berapa orang yang sudah beruntung mendapatkan grade A. Aku tidak melihatnya. Aku yakin saja dengan informsi dari doni. Kerumunan itu tidak kunjung berkurang. Justru semakin bertambah karena peserta lain malah baru berdatangan. Dan itu semakin membuat ku tidak berminat untuk masuk ke kerumunan.
“Elu sih ga mau liat, yang dapet grade A cuma dua orang tau, dan salah satunya itu elu.”
“Ya abis kerumunan gitu, males akunya…”
“Justru itu enaknya, empuk empuk nyoi…hahaha.”
“Mesum…”
“Biarin…”
“Trus satu lagi siapa?”
“Lupa aku namanya, tapi yang pasti cewek. Kebanyakan sih grade C, kaya gue, hehe…”
Cewek? Aku berharap bukan wanita itu. Kalau iya, bisa makin besar kepala dia. Entah kenapa aku tidak suka bila wanita itu bisa mendapatkan nilai yang sama dengan ku.
“Woi, napa bengong lu?” tanya Doni.
“Eh, enggak, eh bentar, ada telpon nih, bentar ya.”
Kita berdua sekarang sedang berjalan meninggalkan gedung itu. Tujuan Doni ke parkiran motor, sedangkan aku ke gerbang depan. Tapi kita masih searah. Dan tiba tiba ada panggilan masuk dari mas rizal.
“Ya, halo, ada apa mas?”
“Oh gitu ya, aku ke sana?”
“Ya mudah mudahan bisa, hehe.”
“Iya mas, nanti sms aja alamatnya.”
“Iya mas, tenang aja, hehe.”
“Iya mas, sama sama.”
Dapet tugas negara nih. Gimana ya pikir ku?
“Siapa?”
“Mas ku.”
“Kenapa? Kok bingung?”
“Inget kan usaha sampingan kakak ku yang aku ceritain tadi?”
“Iya, oke, trus?”
“Dia nyuruh aku ngambil ukuran ke tempat pelanggannya.”
“Iya masalahnya apaaa?”, Doni nampak gemas. Dia belum paham karena memang aku nya yang terlalu bertele tele.
“Aku ga tau mesti naik angkutan apa ke sana, hehe,” jawab ku nyengir.
“Emang dimana?” tanya nya penasaran.
“Dia baru mau sms, ah ni dia baru masuk,” aku lalu menunjukkan sms mas Rizal ke Doni.
“Ah, ini sih searah ke rumah gue. Udah yuk bareng gue aja.”
“Serius?”
“Iya, anggep aja ucapan maaf dari gue soal yang tadi.”
“Tapi helm nya?”
“Banyak jalan tikus. Udah tenang aja, terima jadi deh pokoknya.”
“Ya udah kalau gitu.”
Aku menerima tawaran dari doni. Alhadulillah. Rezeki anak baik. Hehe.
***
“Yakin lu ga mau gue tungguin?”
“Ga usah, makasih Don.”
“Inget kan angkotnya? Pokoknya naik aja angkot warna biru itu, tapi yang ke arah sono, jangan sebaliknya. Itu udah langsung ke terminal Depok, Abis itu lu tinggal nyambung sekali doing ke arah Sawangan.”
“Iya iya inget, suwon njih mas…hehehe…,” balas ku bercanda dengan loga jawa.
“Suwan suwon, jangan terlalu lugu jadi orang. Ya udah, gue cabs dulu kalau gitu, ati ati bro..”
“Makasih Don, hati-hati juga.”
Doni lalu menyalakan motornya dan berlalu meninggalkan ku. Aku kemudian berbalik dan wah…perumahan elit nih pikir ku. Aduh, jadi minder mau masuk. Bodo ah. Namanya juga usaha. Malu urusan ke seribu, pesan mas Rizal tempo hari saat memberiku wejangan. Katanya kalau usaha itu jangan pikirin malunya. Yang penting usahanya bener dan halal.
***
Aku berdiri di depan gerbang sebuah rumah. Sebesar rumah ku di kampung. Tapi ini versi mewahnya. Rumah ku di kampung juga besar. Tapi sebagian lantainya masih tanah, dan sebagian dindingnya masih anyaman bambu. Tidak ada mewah nya. Jadi inget rumah.
Aku masih diam mematung. Bingung gimana caranya memanggil orang di dalam ya? Pagarnya tinggi, tertutup, dan prediksi ku jarak antara rumah dan pagar cukup jauh alias halamannya luas. Lalu tiba tiba…
“BUGH”
“BRUGH”
“Aduuh”
Sebuah mobil yang tidak asing bagi ku menabrak ku dari belakang hingga membuat ku tersungkur ke depan.
“Arrgghhh…,” aku meringis kesakitan karena merasakan nyeri di sekitar kaki ku bagian belakang.
“HEH, NGAPAIN LO BEDIRI DEPAN RUMAH GUE? NGIKUTIN GUE LU YA?” dan ternyata wanita itu lagi. Ini rumah nya? Ya ampun, sempit banget kayanya Jakarta tuh. Wanita itu membentak dan memarahi ku. Jadi ini rumahnya? Ampun gusti. Tobat. Mimpi apa saya semalam?
Jujur aku sudah sangat malas. Kalau bukan karena mas Rizal ogah sebenarnya aku dateng ke rumah ini.
“Situ kan yang dateng belakangan, situ kali yang ngikutin,” ucap ku pelan dan ngasal pura-pura tidak paham dengan teriakannya barusan. Aku sudah kehilangan rasa hormat ku kepadanya.
“APA LU BILANG?”
“Enggaaaaaak…”
Tiba tiba pagar terbuka. Seorang ibu ibu paruh baya yang membukakannya.
“Loh, non Gita? Kok teriak-teriak sih non? Ada apa toh ini?”
“Ada orang gila ngikutin Gita bi!!”
“Mana non?” tanya ibu tadi kebingungan, mungkin di dalam benak nya tidak mungkin ada orang gila seganteng aku, hahaha.
“Tuh!!!” jawab Wanita yang ternyata bernama Gita ini sambil menunjuk ke arah ku.
“Eh, nak kamu kenapa? Kok kakinya dipegangin?” tanya si ibu yang sadar kalau aku sedang memegangi kaki ku dengan ekspresi menahan sakit.
“Engg…anu…”
“Jangan ditolongin bi!!!” teriak si wanita bernama Gita itu. Tega benar ya? Ya Allah…
“Iya non,” balas si ibu patuh.
“Papa ada?” tanya wanita itu lagi.
“Ada non di dalam.”
“Elu, jangan kemanana mana!!!”, ucapnya sambil menunjuk ku lalu berjalan dengan cepat ke dalam rumah nya.
“Paaaa…papaaa…”
Aku hanya bengong mendengar perkataannya. Luar biasa. Aku tidak boleh ditolong. Dan sekarang aku tidak boleh kemana-mana.
“Kamu ini siapa nak? Kakinya kenapa?” tanya ibu itu saat melihat ku masih kesakitan meskipun aku sudah berdiri.
“Ga apa apa bu, kepleset saja tadi, hehehe. Oiya saya ada perlu dengan pak Weily, betul disini rumahnya pak Weily?” tanya ku ramah sambil sedikit membungkuk.
“Iya betul, ya sudah bibi bilang ke pak Weily dulu, kamu tunggu sini ya.”
“Iya bu.”
Baru ibu ibu itu mau masuk, terdengar samar sama suara seorang pria.
“Kamu itu kebiasaan! kalau ngomong pake teriak…”
Kemudian muncul seorang bapak bapak bersama wanita arogan itu. Jangan jangan ini pak weily. Dan makhluk itu anaknya? Astaga…..
“Kamu siapa?” tanyanya dengan tenang. Suaranya berat. Berwibawa. Tapi tetap sopan. Membuat siapa pun pasti akan memberikan hormat kepadanya.
“Maaf pak sebelumnya, apa benar ini kediaman pak Weily?”
“Ya benar, saya Weily, kamu siapa?”
“Alhamdulillah, saya Alfian, saya adik nya Rizal, di suruh ngambil ukuran,” ucap ku sambil mengulurkan tangan.
“Owalahh…jadi kamu yang disuruh si Rizal, diapain kamu tadi sama gita?”
Pak weily menjabat tangan ku dengan erat.
“Ga diapa-apain pak, saya yang salah tadi berdiri di depan gerbang, hehe,” jawab ku diplomatis tidak mau memperkeruh suasana.
“Ya sudah ayo masuk, aku sudah nungguin kamu dari tadi.”
“Tapi pa, dia itu…,” protes Gita yang tidak terima Ayah nya sendiri malah mempersilahkan aku masuk.
“Apa? Mending kamu masukin tu mobil, papa ada urusan dengan orang ini, ayok,” ajak pak Weily kepada ku.
Pak weily lalu mengajak ku masuk. Sedangkan makhluk yang bernama Gita itu akhirnya dengan muka manyun semanyun manyunnya menuruti perintah papanya itu. Iseng aku memberikan senyum kemenangan ku kepada nya untuk membuat nya semakin kesal. Entah kenapa aku melakukan itu.
Sampai di dalam aku dibuat kagum dengan design dan interior rumah ini. Elegan. Unik. Dan yang pasti mewah. Tidak banyak basa basi di antara aku dan pak weily. Langsung ke inti tujuan ku datang kemari. Mengukur barang barang porselen yang akan dibuatkan hardcase.
***
Sore hari sekitar pukul 4 semuanya sudah beres. Ada sekitar 20 barang yang aku ukur. Wah lumayan nih pikir ku. Kalau diitung kemungkinann upah yang akan aku terima dari mas rizal, tinggal tambahin dikit udah bisa buat bayar satu semester. Alhamdulillah.
Aku sempat disuruh makan. Tapi karena aku nya sungkan, aku menolaknya. Aku bilang sudah makan, padahal belum. Aku hanya mencicipi beberapa kue dan minuman yang dihidangkan. Setelah itu aku pamit pulang. Tapi sebelumnya aku berpesan pada pqk Weily untuk tidak menceritakan insiden kecil di depan rumahnya tadi kepada mas rizal. Pak weily mengiyakan dan juga meminta maaf atas kelakuan anaknya.
***
“Haha, jadi anaknya pak Weily daftar situ dan ujian bareng kamu juga tadi?” tanya mas rizal. Kita sedang meeting, bahasa kerennya, di kantor kami di halaman samping rumah. Lagi menghitung hitung banyaknya bahan dan apa saja yang harus dibeli, sekaligus menghitung harga jualnya.
“Iya mas, kebetulan banget,” jawab ku santai seolah tidak terjadi apa apa seharian tadi. Padahal, hampir stress aku ngadepin tingkah dari wanita yang hampir mati juga aku karena ulahnya. Tidak terbayangkan oleh ku akan bagaimana kedepannya. Mungkin ya beginilah namanya hidup. Semua hal terjadi begitu saja. Mengalir seperti aliran sungai. Kadang alurnya landai dan tenang. Kadang terjal, curam, dan penuh gejolak. Entah semuanya serba kebetulan atau sebenarnya sudah tersusun dalam sebuah keteraturan.
[Bersambung]