Merindukan Kesederhanaan Part 26
Sekali Ini Saja
“AAAAAAAAAAAA…IAAAAAAAN…KAMUUUU?”
Aku terbangun kerena teriakan keras dari mba Ayu. Selain itu dia juga mendorong ku hingga ke tepi kasur yang membuat ku hampir terjatuh. Dia nampak kaget sekali. Wajar. Bagaimana tidak. Bangun tidur dia sudah dalam kondisi telanjang bulat berdua dengan pria yang bukan siapa-siapanya. Dia lalu melihat ke dalam selimutnya. Kemudian menatap ku lagi dengan tajam.
“KAMU?”
“Mba, tenang dulu, aku bisa jelasin sem…”
“KELUAAAR!!!” teriaknya lagi. Apa yang aku takutkan semalam terjadi juga. Tidak mau dia berteriak semakin histeris, dengan tergesa aku mengenakan pakaian ku dan keluar dari kamarnya. Meninggalkannya yang masih nampak kaget dan tidak percaya dengan apa yang terjadi.
~¤~¤~¤~
Kami berdua sarapan pagi bersama dengan sangat kaku. Kami masih saling diam dari ketika kami jalan bersama dari kamar menuju tempat sarapan di hotel, hingga sekarang saat kami hampir menyelesaikan makan kami. Mba Ayu memang mengajak ku sarapan bareng. Tapi ajakannya itu dingin. Dia lebih banyak membuang muka. Aku juga masih takut untuk mengajaknya bicara. Tapi aku tetap harus membicarakan ini.
“Mba, yang semalam itu, aku bisa jelasin semuanya,” ucap ku padanya yang masih makan dengan menunduk. Tidak ada respon. Dia terus makan. Aku jadi bingung. Serba salah. Aku harus gimana kalau sudah begini?
“Mba?” panggil ku lagi. Dia menatap ku sebentar dan membuang muka lagi. Aku jadi semakin bingung dan juga semakin takut.
“Udah selesai kan sarapannya. Kita jalan sekarang,” ucapnya datar. Dan dingin. Ada aura penyesalan dari dalam matanya. Dia lalu bergegas bangun. Mengambil tas nya dan berjalan duluan menuju loby hotel. Mau tidak mau aku harus mengikutinya.
Perasaan ku semakin berkecamuk. Bukan hanya karena kemungkinan yang akan terjadi terhadap hubungan ku dengan mba Ayu, tapi juga kemungkinan apa yang akan terjadi di kantor nanti. Bagaimana kalau mba Ayu tidak terima dan berpengaruh terhadap pekerjaan ku. Bagaimanapun juga, aku dalam kondisi sadar. Dan aku seorang laki-laki. Seharusnya aku bisa menahannya.
Tidak seperti kemarin ketika kami berjalan berdampingan, kali ini mba Ayu seperti menjaga jarak. Dan dia masih terdiam. Selama perjalanan dari hotel menuju stasiun MRT Bugis, pandangannya selalu lurus ke depan. Tidak sedikitpun dia menatap ku. Apalagi mengajak ku berbicara. Dan aku semakin kalut.
Hingga kami berada di dalam MRT pun mba Ayu masih tetap diam. Aku seperti tidak ada baginya. Bahkan ketika MRT penuh sesak, karena ini jam sibuk, dia tetap diam saja ketika bagian depan tubuhnya menempel erat ke tubuh ku. Posisi lengan kirinya menyilang menahan bagian dadanya agar tidak menempel langsung ke perut atas ku.
Posisi tidak mengenakan ini terus berlangsung hingga stasium MRT terakhir. Sebenarnya posisi ini enak. Aku dapat mencium wangi tubuhnya. Selain itu aku juga bisa merasakan hangat tubuhnya lagi. Aahh. Kejadian semalam pun teringat kembali. Sediki demi sedikit junior mulai bereaksi. Gawat. Kalau dia merasakannya dia pasti akan semakin berfikit negatif pada ku. Dia pasti berfikir disaat situasi tidak enak seperti ini aku masih terangsang olehnya. Aku pun membuang jauh-jauh pikiran kotor itu.
Setelah melewati empat stasiun dan sekali transit, kami tiba di hotel dimana gathering akan berlangsung. Sebuah hotel bintang lima di kawasan Orchad. Mba Ayu masih diam. Kami semakin canggung. Selama workshop, nyaris tidak interaksi di antara kami. Dia terlihat fokus mendengarkan presentasi dari pembicara. Akupun juga begitu. Namu tidak ada satu materi pun yang masuk.
Bagaimana bisa masuk? Sebentar-sebentar pikiran ku kembali melayang-layang ke peristiwa semalam. Enak sih. Tapi cuma sesaat. Sedangkan efek pusing yang diakibatkannya masih terasa hingga sekarang. Dan aku hanya bisa menyesal. Dan penyesalan itu selalu jatuh di belakang.
~¤~¤~¤~
Sebuah pesan wasap masuk dari mba Ayu. Aku langsung bisa tersenyum lebar setelah membaca pesan itu. Meskipun hanya melalui wasap, setidaknya mulai ada interaksi dari dirinya. Aku lalu turun ke lobi hotel dengan semangat. Kegalauan ku seharian ini sekejap hilang. Berubah menjadi semangat yang menggebu untuk kembali bisa berbicara langsung dengan mba Ayu. Entah mengapa aku menjadi sangat takut ketika dia memndiamkan ku. Selain karena pekerjaan, tentu aku tidak mau hubungan ku dengannya menjadi renggang. Hubungan yang lebih dari sebatas rekan kerja.
Namun kegembiraan yang aku rasakan baru saja tadi kemudian hilang lagi. Saat kami bertemu di lobi, aku masih melihat tatapan mata yang dingin keluar dari matanya. Bahkan hampir tanpa ekspresi. Ah, galau lagi kan jadinya. Namun aku juga tidak mau terlalu terbawa suasana. Ku coba untum bersikap sesantai mungkin.
Kami sekarang tengah berjalan menuju stasiun MRT Orchard. Sama seperti saat berangkat tadi, kami masih sama-sama saling diam. Mba Ayu berjalan dengan cepat meskipun dia mengenakan rok span selutut dan sepatu dengan hak meskipun tidak terlalu tinggi. Dan aku hanya mengekornya. Mengikuti gerakan pantatnya yang bergoyang ke kiri dan ke kanan. Ah, jadi teringat kejadian semalem lagi. Gawat nih kalau si junior bangun di tempat umum seperti ini. Dan aku hanya bisa berusaha menghilangkan pikiran kotor itu.
“Kita langsung pulang atau?” tanya ku pada nya yang nampak kebingungan mencari arah tujuan.
“Cari makan dulu. Emangnya kamu mau mati kelaparan?” tanyanya judes. Bukannya takut, aku malah senyum-senyum sendiri. Au senang karena meskipun dia masih bersikap dingin namun dia juga masih memperhatikan ku. Hehehe.
Aku dan mba Ayu sekarang sudah berada di dalam MRT. Sama seperti berangkat tadi, kondisi sekarang penuh dan sesak. Dan seperti tadi pagi juga, posisi mba Ayu menempel erat kepada ku. Hanya sekarang posisinya membelakangin ku. Jadi, pantatnya yang seksi dan dibalut rok span ketat itu kini menempel erat menggesek-gesek selangkangan ku. Sial. Junior ku kembali bereaksi di bawah sana. Gawat.
Dari stasiun MRT Orchard, aku dan mba Ayu naik ke arah Marina bay. Ini sih arah pulang. Jangan-jangan mba Ayu berubah pikiran karena aku berbuat mesum lagi kepada nya barusan? Atau mungkin kami akan makan di sekitaran hotel saja pikir ku. Aku masih terus bertanya-tanya hingga ketika kami hampir tiba di stasiun City Hall, dimana kita harus transit dan naik MRT yang ke arah Bugis, saat aku hendak bergerak dengan maksud mendekat ke arah pintu keluar mba Ayu menahan tangan ku. Dia memegang pergelangan tangan ku.
“Kita makan dulu di Lau Pa Sat. Turunnya satu stasiun lagi,” ucapnya singkat, padat, dan jelas. Dan juga datar. Aku mengiyakan.
Setelah MRT berjalan lagi, aku baru menyadari ada sesuatu yang berbeda. Mba Ayu masih memegang tangan ku. Bahkan menariknya ke depan hingga telapak tangan ku mendarat di pahanya. Dan genggaman tangannya semakin kuat. Seperti seseorang yang sedang bersama dengan orang yang tidak ingin dilepaskannya. Atau seperti seseorang yang butuh perlindungan dari orang yang disayanginya. Bahkan aku merasakan punggungnya merapat ke dadaku. Dengan posisi seperti ini aku seperti memeluk tubuhnya dari belakang.
Karena dari stasiun City Hall hanya berjarak satu stasiun, kejadian ini tidak berlangsung lama. MRT pun tiba di stasiun Raffles Place. Dengan sigap mba Ayu menarik ku berjalan ke arah pintu kelur. Dan dia masih menggandeng ku. Sepertinya dia takut aku akan ketinggalan di dalam MRT. Hahaha.
Dari stasiun Raffles Place, aku dan mba Ayu berjalan sekitar seratus meter. Cukup melelahkan juga pikir ku. Bagaimana rasanya dengan mba Ayu yang menggunakan heels dan rok ya? Ah entah lah. Mungkim wanita sudah terbiasa jadi bagi mereka hal itu sudah biasa. Dan, selama perjalanan itu kembali kami berada dalam kondisi sama-sama diam. Dan entah akan sampai kapan.
Tiba di Lau Pa Sat, suasana lumayan rame, tapi di beberapa tempat masih ada tempat yang kosong. Tempat ini mirip seperti…apa ya? Susah menggambarkannya. Yang pasti tempatnya cukup besar, mirip seperti foodcourt dengan banyak kios-kios yang menjajakan beragam jenis makanan. Dari yang asli lokal, maupun makanan khas negara tetangga, termasuk indonesia. Salah satu yang aku temukan diantaranya adalah, sate kambing, nasi padang, nasi goreng, gado-gado, dan lain sebagainya.
“Kamu pesan aja dulu, aku tunggu disini. Sekalian pesan minum ya. Oiya, pilihnya yang teliti. Jangan sampai ada B Dua nya,” pesan mba Ayu ketika kami duduk di salah satu meja kosong. Mba Ayu memang ngomong panjang lebar, tapi matanya sama sekali tidak menatap ku.
“Iya mba,” balas ku lemas. Aku tertunduk lesu menghadapi sikapnya. Aku lalu meninggalkannya. Setelah melihat-lihat sebentar, pilihan ku tertuju pada masakan ayam yang aku ga tau seperti apa rasanya. Untung-untungan aja. Untuk minum aku memesan sweet ice tea. Setelah mendapatkan pesanan ku, aku langsung balik ke meja. Mba Ayu yang melihat ku sudah balik langsung berdiri dan meninggalkan ku untuk memesan makanan. Ya elah. Gini amat ya jadi cowok. Karena kesal aku pun memutuskan untuk makan duluan karena memang juga sudah lapar.
~¤~¤~¤~
“Mba?” aku memanggil wanita di depan ku ini. Dia masih diam. Bahkan hingga kami sudah selesai makan.
“Hmmm?”
“Masih mau diam?”
“Siapa yang diam?”
“Mba Ayu.”
“Lah kamu ga ngajakin ngomong!” balasnya enteng.
“Abis mba nya judes,” balas ku lagi.
“Biasa aja!”
“Mba, sepertinya kita harus bicara tentang kejadian semalem deh,” ucap ku. Dia langsung menatap ku.
“Apa yang musti dibicarain?”
“Aku ndak mau mba menganggap ku ambil kesempatan.”
“Aku ga tau kamu seperti itu atau enggak, jadi aku ga akan mikir sampai kesana.”
“Mba Ayu kenapa begitu ngomongnya?”
“Memang kenyataannya begitu kan? Siapa yang tau isi hati orang? Udah terjadi juga, mau apa lagi. Lagi pula aku memang udah ga virgin lagi, jadi apa yang mau disesali?”
“Kok gitu sih ngomongnya?”
“Kenapa? Kamu ilfeel?”
“Enggak sama sekali, justru karena aku sayang, eh maksudnya aku menghormati mba makanya aku ndak mau nyakitin mba…”
“Sayang?”
“Iya, tapi…ahhh. Aku cuma ndak mau mba Ayu berfikiran seperti itu!”
“Seperti itu bagaimana? Kalau ngomong jangan muter-muter kenapa?”
“Mba berfikir seolah-olah mba itu sudah ndak ada harganya lagi. Mba salah. Mba masih sama berharganya dengan wanita-wanita lainnya di dunia ini. Termasuk aku yang sangat menghargai mba Ayu apapun kondisinya.”
“Memang sudah ga ada harganya lagi kok. Hikss…milik ku yang paling berharga udah ga ada lagi. Hikss…apa yang mau dibanggain lagi?” mba Ayu menangis.
“Tapi bukan berarti mba Ayu udah ndak berharga lagi. Mba Ayu tetaplah mba Ayu yang aku kenal. Mba Ayu yang kuat. Mba Ayu yang tegar. Mba Ayu yang pinter. Presiden BEM FE tempat aku kuliah dulu, mba Ayu yang selalu memberikan ku dukungan dan yang selalu menjadi panutan ku. Aku ingin mba Ayu yang seperti itu tetap ada.”
“Tapi semuanya udah berbeda Ian, hikss…bajingan ituuu.”
“Stop!!” aku memotong kalimatnya. Dia menatap ku heran. “Ndak usah diterusin! Aku ndak perduli dengan apa yang udah terjadi dengan mba Ayu dan orang itu.” lanjut ku berbohong. Tentu saja aku penasaran bagaimana mba Ayu yang aku kenal baik selama ini bisa menjadi seperti ini. Tapi aku tidak akan mengoreknya sekarang. Masih ada waktu lain kali. Sekarang hatinya sedang kalut. Dia pun makin bingung.
“Kenapa?” tanyanya.
“Kalau aku memperdulikan itu berarti sama aja aku menganggap itu sebagai sesuatu yang salah dong. Aku bukan manusia sempurna yang luput dari dosa. Apa bedanya dengan yang aku lakukan semalam dengan mba? Sama saja. Tapi aku juga tidak membenarkannya. Aku tau itu salah. Dan mba Ayu benar yang sudah terjadi ya biarlah. Tapi bukan berarti mba Ayu harus merendahkan diri sendiri seperti itu.”
“Kamuuu, hikss,” dia menangis terisak. Kepalanya menunduk.
“Mba, kalau boleh aku mau minta sesuatu.” ucap ku. Mba Ayu lalu menatap ku lagi. “Aku minta mba Ayu menjauhi si Rian itu!” lanjut ku dengan tegas.
“Hahaha,” dia tertawa kecut. “Tidak kamu minta pun dia sudah menjauhi ku.”
“Kalau begitu aku minta mba Ayu tidak mengharapkannya lagi.”
“Hahaha, lalu aku harus mengharapkan siapa? Pria mana yang mau menerima wanita yang udah ga virgin lagi seperti aku?” keluh mba Ayu. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
“Kalau mba Ayu menginginkannya, aku akan bertanggung jawab,” entah bagaimana kalimat itu bisa terlontar dengan lancarnya dari mulut ku, tapi aku sangat yakin dengan kalimat itu. Bahkan hingga kalimat itu selesai, aku belum mengerti mengapa aku mengucapkanya, tapi aku tidak pernah menyesalinya. Dan aku tidak bisa menariknya lagi.
“Hahaha, jangan membuat aku seolah-olah memaksa mu.”
“Aku ndak akan terpaksa, karena aku juga berbuat.”
“Hahaha, udah-udah! Belum tentu juga aku akan langsung hamil kan? Kamu itu masih bocah sok-sok mau jadi pahlawan, memangnya gaji mu sudah cukup buat kasih makan aku sama beli susu?”
“Lebih baik sedikit sok tapi bertanggung jawab dari pada lari dari tanggung jawab. Tapi terserah mba Ayu juga sih. Yang jelas aku ndak akan lari kalau, amit-amit, hal itu kejadian.”
“Makanya, ga usah dibahas lagi. Ntar nyesel kamu kalau aku beneran hamil anak mu.”
“Aku ndak akan nyese mba, demi apapun!” balas ku tegas.
“Hahaha, kamu itu lucu. Harusnya aku yang ngotot minta kamu tanggung jawab, ini malah kebalik,” ucapnya konyol. Tapi iya juga sih.
“Eh, ehmmm, iya juga sih ya, tapi ya mau gimana lagi, sudah didikannya dari kecil harus tanggung jawab sama yang udah dilakuin.”
“Sudah kamu tenang aja. Maaf tadi pagi aku sempet teriak-teriak ke kamu. Aku cuma kaget aja dengan situasi itu. Tapi setelah aku inget-inget lagi, terakhir itu kemarin aku memang minum ama kamu di cafe. Dari situ aku sadar, pasti semua yang terjadi itu karena aku lagi mabuk.”
“Lalu kenapa aku di diemin?” tanya ku dengan sedikit merajuk.
“Aku malu tau! Hehehe, jangan ngambek ya ade ku sayang…hihihi.”
“Ndak ada momen yang lebih ndak enak dibanding dengan didiemin sama cewek.”
“Hahaha, lebay lu. Aku semalem ngomong apa aja?”
“Eh, anu, kalau itu, ada deh, hehehe.”
“Aaaa, gitu kan? Jelek! Ngambek nih,” rajuknya dengan manja. Bibirnya manyun sambil membuang muka.
“Aku sudah lupa mba, lebih tepatnya aku sudah melupakannya. Dan aku menganggap mba Ayu ndak pernah mengucapkan kata-kata itu.”
“Aaaa, jadi malu. Bener ya ga ngungkit-ngungkit itu lagi?”
“Iyaa,” aku tersenyum.
“Janji?” pintanya lagi dengan manja. Ah, jadi gemas aku melihatnya.
“Iya kakak cantik, aku janji ndak akan bahas itu lagi dan aku anggep mba Ayu juga ndak pernah ngucapin itu semua.”
“Hihihi, kamu menggombal,” tawanya kegelian.
“Hahaha, tapi beneran cantik, aneh aja kalau ada yang bilang mba Ayu ndak cantik,” aku ikut tertawa. “Tapi, aku mau mba Ayu juga mau menuruti permintaan ku,” lanjut ku.
“Masalah Rian?”
“Iya.”
“Berani ya kamu nyuruh atasan.”
“Mba! Aku mohon, sekali ini aja.”
“Kenapa kamu pengen banget aku ga ngarepin Rian lagi? Aku bukan siapa-siapa mu.”
“Karena aku mau mba Ayu bahagia. Aku ndak melihat mba Ayu akan bahagia sama orang itu. Dan bagi ku, aku ndak harus jadi siapa-siapa jika aku ingin orang lain bahagia.”
“Maksud mu aku ga bakal bahagia kalau sama Rian?”
“Jangan menipu diri sendiri mba, mba Ayu tau jawabannya.”
“Baiklah. Aku ga akan ngarepin dia lagi. Gantinya aku bakal ngarepin kamu ajah. Biar tau rasa!” candanya.
“Hahaha, kesannya jadi gimana gitu ya?”
“Gimana gitu gimana?”
“Enggak, kesannya kok aku jadi kaya pihak yang tersakiti gitu.”
“Emang. Kita berbicara seolah-olah aku udah mendzolimi kamu ya!”
“Iya, hahaha.”
“Padahal keluar juga kan kamu?”
“Eh, kalau itu sih ga bisa di tahan mba, hehehe.”
“Dasar. Mana di dalem lagi!”
“Anu, ituuu…”
“Lain kali kalau mau keluar di cabut.”
“Mbaaa!!!”
“Hihihi, kenapa?”
“Malu tau!”
“Hahaha, satu sama sekarang.”
“Satu lagi mba,” ucap ku.
“Apa lagiii?”
“Mba Ayu berhenti minum ya,” pinta ku.
Dia tidak langsung menjawab. Seperti berfikir sesuatu. Entah apa itu. Lalu kemudian tersenyum.
“Kita lihat nanti yaah,” balasnya dengan manis.
“Jangan lihat nanti. Aku mau mba janji ndak bakal minum lagi. Ndak ada gunanya itu.”
Dia nampak diam lagi lalu tersenyum dan mengangguk pelan. Aku ikut tersenyum menanggapinya.
Selesai makan dan ngobrol panjang lebar, aku dan mba Ayu pulang. Balik ke hotel maksudnya. Aku lihat HP ternyata sudah jam sembilan waktu setempat. Kami berjalan menyusuri trotoar jalan dari Lau Pa Sat menuju stasiun MRT Raffles Place. Dari stasiun ini kami bisa langsung ke Bugis, hanya berjarak dua stasiun dan tidak perlu transit.
Ada rasa yang berbeda yang aku rasakan selama perjalanan ini. Lega, tentu saja. Senang, sudah pasti. Tapi yang aku bingung adalah aku juga merasakan kenyamanan yang sama seperti ketika aku berada di dekat Kiki. Apa karena aku semakin dekat dengan mba Ayu? Sehingga aku menganggapnya bukan hanya sekedar atasan namun juga seorang sahabat. Entahlah.
Kami masih terus berjalan. Tidak seperti saat berangkat tadi, cara jalannya sekarang lebih lembut dan anggun. Dan sambil menggandeng lengan ku. Sesekali kami bercanda. Sesekali juga dia menoleh ke arah etalase di dalam gedung yang kami lewat yang hampir semuanya adalah toko-toko busana. Dasar wanita. Aku tersenyum dalam hati.
Saat di dalam MRT, suasanya tidak sepadat sore tadi, tapi juga belum sepi-sepi banget. Hanya ada satu bangku kosong di dekat pintu keluar. Aku persilahkan dia duduk sedangkan aku berdiri di depannya.
“Duduk aja di sana, gapapa,” perintah mba Ayu.
“Enggak ah, mau deket sama mba Ayu aja, hehehe, lagian bentar doang kan?” balas ku.
“Ganjen! Atau jangan-jangan takut ketinggalan ya?” dia meledek ku.
“Enggak sih. Cuma takut jauh dari mba Ayu aja,” balas ku menggodanya.
“Gombal!!” balasnya sambil mencubit pelan lengan ku. Aku hanya tersenyum sambil pura-pura menghindar. Tidak lama kemudian kami berdua sudah tiba di stasiun MRT Bugis. Kami pun langsung berjalan menuju hotel. Kami berjalan dengan riangnya. Mba Ayu sudah kembali seperti biasa. Terima kasih Tuhan. Apa yang aku khawatir kan tidak terjadi.
“Ian,” panggil mba Ayu saat aku berada di dalam lift. Kami sudah tiba di hotel dan langsung menuju kamar. Aku menoleh padanya.
“Kalau masih mau ngobrol, abis mandi ke kamar ku aja. Atau kamu udah mau tidur?”
“Belum sih mba, tapi liat nanti ya,” jawab ku. Aku sebenarnya ingin langsung menolak, tapi kok rasanya ga enak.
“Ya udah iya, nanti kabarin aja.”
“Siap mba bos,” balas ku bercanda.
Dan kami pun berpisah menuju untuk menuju kamar masing-masing. Badan rasanya capek banget. Lemes. Ga biasa jalan, hari ini berangkat dan pulang jalan kaki ke stasihn aga berasa juga pegalnya. Beda dengan di jakarta yang kemana-mana naik motor.
Ku rebahkan badan ku. Aku lalu memeriksa HP ku. Banyak sekali pesan masuk. Salah satunya dari Kiki.
Astaga. Aku lupa membalas wa Kiki dari semalem. Cepat-cepat ku ketik balasan untuknya.
Tidak lama kemudian datang balasan dari Kiki.
Selesai ngobrol dengan Kiki lewat wa aku pun mandi. Akhirnya bisa mandi juga pikir ku. Badan rasanya udah lengket banget. Keringet. Debu. Dekil. Lengkap komplit jadi satu. Namun aku mendadak teringat dengan tawaran mba Ayu yang meminta ku ke kamarnya setelah mandi.
Itu tawaran atau perintah ya? Dan apakah aku harus menurutinya? Dan kalau aku menurutinya, lalu aku masuk ke kamarnya lagi, kalau sampai kejadian lagi kaya semalem gimana? Aku harus menolaknya atau menerimanya dengan lapang dada? Hadeh, pikiran ngeres ku malah melayang kemana-mana. Hahaha.
[Bersambung]
Hallo Gaiss, Disini Admin KisahMalah
Agar Admin Semakin Semangat Update Cerita Cerita Seru Seterusnya, Bantu Klik Iklan yang Ngambang ya.
Atau Gambar Dibawah INI
Atau Bagi Kamu yang suka bermain game Poker Online atau Gambling Online lainnya, bisa di coba daftarkan ya. Banyak Bonus dan Hadiahnya Loh.
Untuk yang Kesulitan Daftar bisa Hub Admin di WA untuk di bantu Daftar.
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂