Merindukan Kesederhanaan Part 25

Awal Dari Sebuah Masalah

Awal november, atau sekitar dua minggu setelah wisuda, hari-hari ku berjalan dengan datar-datar saja. Bapak dan Ibuk sudah balik ke kampung. Mereka memang tidak pernah di Jakarta lebih dari seminggu. Katanya sih kangen sama sapi nya. Sapi di kangenin. Palingan juga kangen sama Binar. Atau yang paling mungkin adalah bapak sama ibu ga tega ninggalin Binar sendiri, mengurus rumah sendiri. Anak bungsu memang selalu menjadi anak kesayangan.

Kiki kami semakin dekat dengan ku. Dia semakin perhatian dengan ku. Dan aku pun begitu. Kami berada di posisi di mana saling memberikan perhatian namun tidak ada hubungam khusus di antara kami. Kami hanyalah sepasang sahabat. Mungkin terkesan naif, tapi begitulah apa adanya. Begitulah hidup kami. Dan aku tidak mau merusaknya dengan hal-hal bodoh. Aku tidak mau kehilangan Kiki.

Doni, sesaat setelah wisuda itu aku menemuinya. Dan seperti yang sudah aku duga, dia masih tidak menerima ku. Entah apa yang ada dipikirannya hingga dia menganggap ku seperti sudah berbuat dosa yang tidak termaafkan. Atau mungkin baginya dosa ku sudah selevel dengan dosa durhaka pada orang tua. Entahlah. Masa bodoh.

Gita, sudah tidak ada harapan lagi. Komunikasi apapun tidak ada yang nyambung. Telepon, chating, hingga sosial media, semuanya tidak terhubung. Semua media itu di blok olehnya. Seandainya aku punya tabungan cukup, aku pasti sudah menyusulnya. Tapi apa daya. Itu adalah keputusan yang sudah dipilihnya. Terserah dia saja.

Pagi ini aku sudah di kantor. Seperti biasa, setiap pagi sebelum memulai aktifitas kerja aku ke pantry dulu untuk membuat kopi. Jam tujuh tiga puluh pagi, beberapa karyawan sudah nampak disana, dengan sarapan masing-masing. Sedangkan aku selalu sarapan di rumah. Lumayan bisa ngirit. Lagi pula memang disuruhnya begitu sama mba Endang. Jadi dalam sehari pengeluaran ku paling cuma buat makan siang saja. Kan lumayan, siapa tau ga sampe tiga bulan sudah bisa kebeli tiket ke ausy. Nah kan, Gita lagi.

“Bikin kopi mas?” tanya seseorang pada ku dari arah belakang. Ternyata mba Farah, customer service kantor.

“Eh, mba Farah. Iya nih, ngopi biar semangat kerjanya, hehehe,” balas ku. Dia nampak sedikit mengintip adukan kopi dalam gelas ku.

“Kopi aja?”

“Maksudnya?”

“Ga ada temennya gitu?”

“Oh, ada kok cemilan di ruangan, kalau sarapan sih udah mba tadi di rumah.”

“Maksud ku, cuma kopi aja? Ga pake susu?” tanya nya sambil mengerlingkan mata. Dalam sepersekian detik aku terdiam, berfikir sejenak dengan maksud dan kalimatnya.

“Oiii, mikir jorok ya? Hihihi,” ledeknya.

“Hehehe, mba ini pagi-pagi udah mbahas susu aja,” balas ku.

“Kamu yang pagi-pagi udah mikir jorok, orang maksud ku tuh susu yang ini,” ucapnya sambil mengambil tempat susu yang biasa menjadi pendamping kopi. “Kamu, pasti mikirnya susu yang lain kan? Ngaku!!”

“Eh, enggak, eh iya, eh enggak deng,” jawab ku tergagap karena pas dia nanya seperti itu posisinya sedikit membungkuk. Dan belahan itu pun terlihat oleh ku.

“Hihihi, tapi gapapa sih, wajar kok kalau cowok sukanya susu, kalau sukanya terong malah repot. Eh, hihihi,” tawanya kegelian lalu meninggalkan ku. Aku bengong lagi. Sadar Ian sadar. Aku memukul kepala ku sendiri, lalu menyesap kopi hitam buatan ku tadi dan masuk ke dalam ruangan. Di pantry banyak godaannya pikir ku.

~¤~¤~¤~

“Pagi mba,” sapa ku pada spv ku alias mba Ayu. Sekarang aku sudah tidak memanggilnya ‘bu’ lagi karena kesannya malah jadi seperti ada jarak diantara kami.

“Pagi Ian,” balasnya. Tidak seperti biasanya, pagi ini dia nampak santai. Dia nampak senyum-senyum pada ku. Aku yang bingung kemudian dengan agak salah tingkah memperhatikan diri ku sendiri. Dari kaki hingga badan ku.

“Kenapa mba? Ada yang salah?”

“Ah, enggak. Eh, coba kamu nyalahin PC dan buka email.”

“Kenapa deh?”

“Udah buka aja,” perintahnya lagi.

“Iya-iyaaa,” balas ku. Aku lalu menyalakan PC dan membuka email sesuai perintahnya. Langsung ku buka folder inbox dan aku melihat ada satu email yang pengirimnya adalah dari salah satu vendor.

Dengan teleti ku baca email tersebut. Kata demi kata, baris demi baris, aku membaca sambil mengartikannya. Ya, email itu memang dalam bahasa inggris. Kalau tidak salah tangkap, email itu merupakan semacam undangan untuk menghadiri gathering untuk semua anak perusahaan yang berada di regional Asia Pacific. Wooow, itu artinya?

“Ini maksudnya apa mba?”

“Ya itu kamu dapet undangan ke pusat.”

“Aku? Sendirian?”

“Kenapa? Ga berani?”

“Eh, ehmmm,” aku bingung, tapi memang benar aku takut mba. Aku ga berani. Bukan apa-apa, selain aku yang belum pernah naik pesawat, tapi bahasa juga pasti akan jadi kendala. Bahasa Inggris ku ga lancar-lancar banget. Dan lagi, aku ini baru satu bulan kerja, aku belum ada pengalaman apa-apa. Masa iya aku yang dateng dan sendirian?

“Hihihi, ga berani ya?”

“Ehmmm, berani kok, tapiii?”

“Hahaha, ga usah bohong. Tenang aja, kamu ga berangkat sendiri. Ga mungkin juga perusahaan ngelepas kamu sendiri. Tapi karena kamu yang megang product itu, kamu wajib datang.” Aku langsung mencerna kalimatnya. Berarti aku pasti ikut tapi ada yang menemani.

“Lalu, aku berangkat sama siapa?”

“Aku,” balasnya cepat sambil tersenyum. Aku tidak tau arti senyumannya itu, tapi aku merasa ada yang beda aja. Tapi aku juga tidak terlalu memusingkannya. Pikiran ku langsung tertuju pada dua kata, Luar Negeri.

“Kenapa senyum-senyum gitu?” tanya nya.

“Gapapa mba, ndak ngira aja bakalan bisa ke luar negeri secepat ini, hehehe.”

“Ya jangan di kira-kira. Udah pokoknya sekarang siapin mental aja. Disana nanti akan ketemu orang-orang hebat. Jangan sampe keliatan bego,” pesan mba Ayu.

“Hehehe. Siap!”

“Nah, sekarang kamu forward email itu ke sekretaris nya bu Yosie, CC aku dan bu Yosie, kamu kasih data diri kamu, biar nanti disiapkan semua akomodasinya,” perintah mba Ayu.

“Oke deh mba,” balas ku dengan semangat. Siapa yang ga akan semangat. Meskipun judulnya adalah kerja, siapa yang ga seneng kalau bisa ke luar negeri secara gratis. Yang pasti akan menambah pengalaman juga.

~¤~¤~¤~

Dua minggu setelah datangnya undangan dari pusat itu, aku dan mba Ayu terbang ke Singapore. Aku tadi pagi barangkat dari rumah jam tiga menggunakn taxi. Sebelum ke bandara aku terlebih dahulu menghampiri mba Ayu di kostnya. Kami sengaja mengambil penerbangan pertama agar siangnya hingga malam bisa kami manfaatkan untuk jalan-jalan. Sedangkan event nya sendiri baru berlangsung besok selama dua hari. Dan kami akan balik ke jakarta lagi pada hari ke empat. Jadi total kami akan berada di Singapore selama tiga malam.

“Mba, udah sering ya ikut event ini?” tanya ku pada nya saat kami berjalan menuju antrian bagasi. Kami tiba di Changi International Airport tepat pukul sembilan waktu setempat.

“Baru dua kali ini, yang pertama tahun lalu. Kenapa mangnya?”

“Owh, aman deh kalau gitu?”

“Aman?”

“Hehehe.”

“Takut nyasar?” tanya nya. Aku mengangguk.

“Hahaha, kalau pergi-pergi ke tempat baru mah ga usah takut nyasar. Yang penting mau nanya aja.”

“Iya sih.”

“Tenang, aku bakal jagain kamu kok. Kalau kamu kenapa-napa aku yang repot, hihihi.”

“Kenapa?”

“Adaaa satu, dua, ehmm,” mba Ayu menghitung dengan jarinya.

“Kenapa toh?”

“Akan ada beberapa cewek yang bakal komplain ke aku kalau kamu sampai kenapa-napa, dan itu akan jadi masalah buat ku, hahaha,” tawanya. Aku ikut tertawa.

“Hahaha, kok kesannya aku merepotkan banget ya?”

“Embeeer, kamu tuh cowok paliiiing…yang pernah aku kenal.”

“Paling apa?”

“Ya paling kemayu tadi!”

“Hahaha.”

“Udah yuk ah. Nanti pas di imigrasi ga usah nervous ya, santai aja.” pesan mba Ayu. Aku mengiyakan. Kami berdua sama-sama sudah mendapatkan koper kami. Kami lalu berjalan beriringan menuju gerbang imigrasi.

~¤~¤~¤~

Setelah melewati Imigrasi, aku dan mba Ayu langsung bergegas ke pintu keluar bandara. Di Singapore, transportasi umum sebenarnya sudah sangat maju. MRT sudah menjangkau seluruh wilayah pusat kota. Semuanya tertata dengan rapi dan teratur. Awalnya aku pikir kami akan naik MRT tapi ternyata mba Ayu sudah maju duluan masuk ke antrian taxi.

“Apa ga mahal mba?”

“Dibayarin kantor ini,” balasnya enteng.

Iya juga sih. Tidak mau di cap banyak omong, aku nurut aja apa katanya. Lagi pula, enakan juga naik taxi kan? Setelah memasukan kedua koper kami ke dalam bagasi, aku dan mba Ayu langsung masuk ke dalam taxi.

“Udah laper belum?” tanya mba Ayu. Aku dan dia sudah berada di dalam taxi.

“Dikit.”

“Sabar ya dek, nanti begitu sampai kita langsung makan yah,” candanya sambil menahan ketawa. Tangannya hendak memeluk ku, atau mungkin ingin mengusap kepala ku. Aku tidak tau karena sudah menghindar dulu.

“Hihihi, kenapa mukanya gitu?”

“Enggak, lucu aja mba Ayu bercandaannya kaya gitu, beda banget sama kalau lagi di kantor.”

“Hahaha, kadang kita harus bertingkah sedikit konyol agar bisa menghibur diri sendiri, saat tidak ada orang lain yang bisa menghibur diri mu.”

“Mba Ayu lagi ada masalah?”

“Ah, enggak, hehehe. lupakan. Eh, ntar malam enaknya jalan kemana ya?”

“Waduh, ya jangan tanya aku to mba. Mba kan yang udah pernah kesini. Aku mah nurut aja. Pasrah aja mau diajakin kemana.”

“Hmmm, sip deh.”

Jam dua belas siang waktu setempat aku dan mba Ayu tiba di hotel. Kami akan menginap di daerah Bugis. Tepatnya di Sumerview hotel di jalan Bencoolen. Sedangkan event sendiri akan berlangsung di daerah Orchard. Begitu sampai kami langsung checkin. Bukan hotel yang mahal, hanya bintang dua kayanya, tapi sangat nyaman rasanya ketika aku merebahkan diri ku di kasur. Mba Ayu ada di kamar sebelah. Tentu saja kami tidur di kamar yang terpisah. Setelah bebersih badan, aku keluar dan menunggunya di lobi hotel. Kami sudah janjian untuk langsung makan siang. Tujuan kami adalah Bugis Junction.

“Sudah lama?” mba Ayu menghampiri ku. Dia nampak modis sekali. Bajunya santai tapi tetap elegan.

“Belum, baru juga kok mba,” balas ku.

“Udah siap?”

“Buat?”

“Menjelajah Singapore boooy,” ucapnya dengan nada digaul-gaulin.

“Hahaha, siaaap!” balas ku.

Kami pun jalan keluar bersama. Dari peta yang kami ambil dari hotel, jaraknya harusnya tidak terlalu jauh. Tapi harus menyeberang jalan raya. Saat menyeberang inilah naluri ku sebagai laki-laki menuntun ku untuk mwnggandeng tangannya. Untungnya mba Ayu tidak menolak. Kalau nolak kan aku nya malu. Tak terbayangkan sebelumnya oleh ku aku akan jalan-jalan ke luar negeri dengan wanita ini. Bukan dengan Gita atau Kiki. Atau bahkan dengan Diah, tapi dengan mba Ayu.

Singapore, satu hal yang aku rasakan di sini adalah hawanya tidak dingin, karena memang negara katulistiwa, tapi tidak pengap juga seperti jakarta. Hawanya masih terasa sejuk dengan hembusan angin yang lumayan kencang. Coba Jakarta bisa sebersih dan serapi ini. Pasti nyaman banget.

“Kamu ga ada paket internet ya?”

“Iya ndak ada, gimana dong?”

“Tethering aja nih,” tawarnya.

“Ndak usah mba, ndak perlu,” balas ku.

“Ah dasar orang jawa! jangan GR dulu, kamu tethering trus buka maps, cowok kan biasanya lebih jago baca maps. Kalau ngandelin peta yang dari hotel ini ribet.”

“Hahaha, oh gitu toh. Ngomong dong, hehehe, jadi malu.”

“Makanya, jangan malu-maluin.”

“Haha, iya mba.”

Berbekal peta digital dari HP, kami bisa mendapatkan rute jalan terdekat menuju Bugis Junction. Begitu sampai, kami langsung masuk. Kata mba Ayu foodcourt yang harga makanannya terjangkau ada di lantai atas. Kami pun langsung menuju ke atas.

Setelah makan siang nanti, rencananya kami akan mencari oleh-oleh terlebih dahulu ke Mustafa. Pusatnya oleh-oleh murah katanya. Kata mba Ayu, kalau ke Singapore gini oleh-oleh yang terjangkau ya paling cokelat. Nah di Mustafa ini nanti segala macam coklat ada. Beberapa makanan kecil lainnya pun juga ada.

Dari bugis menuju mustafa perlu dua kali transit MRT. Pertama dari Bugis naik ke arah Joo Koon turun di City Hall. Kemudian naik ke arah Jurong East turun di Dhoby Ghaut sebelum transit lagi ke arah Punggol dan turun di Farrer Park. Rencananya kita disana sampai jam tigaan. Sorenya, kami akan melipir ke Merlion. Katanya, ke Singapore belum afdol kalau belum foto bareng patung singa. Setelah itu mungkin akan jalan-jalan sore berkeliling disekitar Marina Bay Sands. Atau kulineran di sekitar sana. Sepertinya akan menarik. Sekarang waktunya kita isi tenaga dulu.

~¤~¤~¤~

Awalnya aku mengira jalan-jalan ini akan menarik. Tapi ternyata tidak pada kenyataannya. Berawal dari setelah sesi foto-foto di Merlion, mba Ayu mengajak ku untuk berkeliling dan kami akhirnya berhenti di sebuah cafe pinggir jalan, yang lokasinya di tepi sungai. Kami duduk bersama dengan pemandangan sungai yang mengalir dengan jernihnya.

Romantis sih, kalau saja mba Ayu tidak mabok. Iya, mba Ayu mabuk. Dan aku baru tau kalau dia itu ga kuat minum. Dan aku tidak melarangnya ketika dia mulai meminum alkohol itu. Karena aku pikir dia bisa menahan diri. Aku baru sadar ketika dia mulai mengucapkan kalimat-kalimat ngawur. Tapi sudah telat, dia melawan ketika aku larang. Lalu siapa yang salah? Aku. Aku yang salah. Dan juga tolol.

Sekarang bagaimana? Pulang naik MRT, pasti akan sangat merepotkan. Satu-satunya jalan adalah naik taxi lagi. Tapi, uang di dompet ku sepertinya pas-pasan. Dengan nekat aku buka tas dan dompet mba Ayu. Untungnya ada uang cukup di dompetnya. Sekarang yang paling penting adalah bagaimana membawanya ke hotel dulu secepat mungkin. Urusan lain dipikir nanti saja.

~¤~¤~¤~

“Heeiii, Riaaan, brengsek luuu, lu mau bawa gue ke hotel lagi yaak?” oceh mba Ayu ketika aku memapahnya di dalam lift Hotel. Rian adalah mantannya yang sempat dia ceritakan tadi.

“Mba, mba, sadar mba ini aku Ian.”

“Dasar playboy cap tengik luuu, nama Rian ngaku-ngaku Ian, mau lepas tangan lu ya setelah apa yang lu perbuat sama gue?” sial. Mba Ayu ngomongnya semakin tidak jelas. Suaranya tidak terkontrol. Beberapa pengunjung pun yang tidak mengerti bahasa indonesia melihat kearah kami dengan aneh. Atau mungkin berfikiran aneh karena baru jam segini tapi sudah mabuk.

Tubuh mba ayu semakin lemas. Tangan kanannya merangkul belakang leher ku. Tangan kiri ku masuk ke sela-sela ketiak kirinya untuk menahan beban badannya. Untung badannya tidak terlalu besar. Jadi aku bisa memapahnya dengan mudah. Kami berdua sekarsng sudah keluar dari lift dan hampir tiba di kamar. Aku langsung membuka kamarnya dan terus memapahnya hingga ke kasur. Ketika aku hendak menidurkannya, tiba-tiba mba Ayu meraih tangan ku yang membuat ku ikut terjatuh menimpa tubuhnya.

“Brengsek!! Mau kemana lu? Mau balik ke perek itu?”

“Astaga, mba ini aku Ian,” balas ku. Ini kenapa semakin ngaco ya?

“Udah deh, lu ga usah pura-pura jadi Ian. Mentang-mentang lu udah bosen ama memek gue kan jadinya lu mau kabur gitu aja ninggalin gue,”

Rasanya seperti disambar petir mendengar kalimat barusan. Apabila itu benar, jangan-jangan? Ya Tuhan, aku harus bagaimana ini? Mba Ayu masih mencengkram erat lengan ku. Meskipun matanya udah teler, kepalanya lemas, tapi tangannya masih dengan kuat mencengkram lengan ku.

“Dan satu lagi,” ucapnya. Aku menoleh.

“Lu itu berengsek. Udah di kasih enak, udah di kasih kesempatan, masih aja main ama tuh perek, kurang apa sih gue? Haaah? Lu itu bajingan. Jangan ngaku-ngaku Ian deh. Dia itu anak baik-baik. Ga kaya elu. Sayang aja dia masih brondong, hihihi, coba lebih tua dari gue, udah gue pepet dia. Lu mah ga ada apa-apanya. Ngaca dong. Dasar plaboy tengik!”

Hah? Kenapa aku ikut dibanding-bandingin? Hahaha, tapi lucu juga dia menganggap ku brondong.

“Mba, sudah mba. Sekarang mba istirahat dulu ya.”

“ENGGAK! Lu pasti mau kabur kan? Kenapa sih lu tinggalin gue? Karena toket gue kecil? Atau karen memek gue udah ga rapet lagi.”

“Mbaaa! Sadar mba, astagaa!” Aku ikut kesal dibuatnya. Tapi aku tidak boleh emosi. Dia lagi mabuk. Aku harus tenang.

Tapi belum selesai aku menenangkan diri mba Ayu sudah berbalik dan menggulingkan tubuh ku hingga kini gantian aku yang ditindihnya. Mba Ayu duduk tepat di selangkangan ku. Untungnya baju yang kami kenakan masih lengkap. Tapi meskipun begitu tidak mengurangi sensasi gesekan yang aku rasakan dibawah sana. Ian sadar Ian. Dia lagi mabuk. Kamu jangan ikutan mabuk, aku membatin.

“Atau lu kurang puas ya dengan services yang gue kasih? Oke, malam ini aku akan kasih mu yang terbaik. Tapi lu janji harus ninggalin tuh perek!” ocehnya lagi dengan nada sedih. Aku jadi ikut sedih. Tapi tangannya kemudian memegang bagian bawah bajunya dan dengan gerakan cepat dia sudah meloloskan baju itu. Sekarang bagian atas tubuh mba Ayu hanya tertutup BH.

Merasa dengan ucapan akan percuma, aku mencoba akan bangkit dengan paksa. Namun entah mengapa rasanya jadi berat sekali. Sial. Aku dilanda kebingungan antara ingin bangun atau menikmati saja sajian darinya. Saat dilanda kebingungan itu mba Ayu dengan cepat merentangkan kedua tangan ku dan dia mencondongkan badannya hingga wajahnya mendekat ke wajah ku.

“Slurrpp…aahhh…slurrpp…aahhh,” mba Ayu menghisap bibir ku kuat-kuat. Ya, dia melumat bibir ku. Dia menciun ku. Ciuman dari wanita ke dua dalam hidup ku, setelah Diah.

“Ahhrgghh…mbaa sadar! Ini aku Ian,” aku mencoba mengelak. Mba Ayu malah semakin kuat menekan kedua tangan ku. Dadanya terasa kenyal menempel ke dada ku. Bibirnya terus bermain-main disekitar mulut ku. Lalu lama-lama turun dan menjelajahi leher ku. Ini kenapa aku malah merasa seperti diperkosa ya?

“Diem lu kampret. Mau dikasih enak aja bawel!!” bentak mba Ayu. Mba Ayu melepaskan tangan ku, namun kemudian tangannya turun dan meraih ujung bawah baju ku dan menariknya ke atas hingga perut dan dada ku terbuka. Mba Ayu lalu membungkuk lagi dan kemudian menjilati area puting dada ku. Fix. Aku benar-benar sedang diperkosanya. Anehnya aku tidak bisa menolak. Bagaimana mau menolak. Jilatanya membuat ku melayang-layang. Ini terlalu nikmat untuk dilawan. Tapi haruskah aku juga menikmatinya?

Sadar Ian, apa yang kamu lakukan itu dosa. Dan wanita di depan mu itu sedang tidak sadar, kamu jangan memanfaatkan dia. Suara bisikan dari telinga kanan ku.

Alah, dosa itu kalau lu yang punya niat. Ini kan tu wanita yang mulai, nikmati saja Ian, kapan lagi coba lu bakal dapetin kesempatan buat nikmatin tubuh wanita cantik macem bos lu itu. Udah hajar aja bro, tusuk memek bos lu itu. Buat dia terkapar sama batang lu. balasan dari telinga kiri ku.

Yang di kanan tadi ada benarnya. Tapi yang di kiri juga lebih benar lagi. Ya, aku harus menikmatinya. Ini terlalu sayang kalau di lawan. Lagi pula bukan aku kan yang memulai?

Kembali ke mba Ayu yang masih duduk selangkangan ku. Posisi duduknya semakin ke bawah dan diiringi dengan jilatannya yang semakin merambat turun ke perut ku. Aku samakin kegelian dibuatnya. Geli campur nikmat. Jilatan lidahnya yang menyapu permukaan kulit perut ku memberikan sensasi tersendiri yang membuat ku melayang. Dan aku semakin pasrah. Kemaluan ku sudah menegang dibawah sana.

Jilatan mba Ayu semakin turun. Dan terus turun hingga kepalanya tepat berada diatas kemaluan ku. Dengan posisinya sekarang aku bisa melihat payudaranya yang menggantung dengan indahnya meskipun masih dibungkus dengan BH warna krem miliknya.

Sejenak pandangannya menghadap ke atas. Matanya menatap ku. Dengan pandangan menggoda dia buka gesper ku sekaligus dengan celana jeans ku. Aku benar-benar sudah takluk olehnya. Tidak ada daya lagi untuk melawannya. Ditariknya celana jeans dan celana dalam ku berbarengan hingga terlepas. Lalu dengan gerakan kilat dia melepas kaitan BH di punggungnya yang membuatnya kini benar-benar bertelanjang dada. Mba Ayu lalu membungkukkan badannya lagi. Kepalanya langsung mengarah ke kemaluan ku.

“Slurrpp…asshh…slurrpp…” seluruh permukaan kemaluan ku dijilatinnya.

“Aahhsshh…aaahhsshh…” kenikmatan yang aku rasakan akibat jilatan itu membuat ku tanpa sadar ikut mendesah keenakan. Rasa geli dan nikmat yang baru pertama kali aku rasakan ini seolah telah membius ku untuk terus menikmatinya. Aku benar-benar tidak ingin melawatkan sedetik pun kenikmatan yang baru pertama kali aku rasakan ini.

“Slurrpp…asshh…slurrpp…” jilatan mba Ayu terus berlanjut. Selain batang ku yang sudah sangat keras itu, jilatannya juga merambat ke area kantung zakar dibawahnya. Bahkan terkadang lubang anus ku tak lulut dari jilatannya yang membuat ku seperti terkena sengatan listrik letika lidah basahnya itu menari-nari di sana.

Dan aku semakin pasrah. Tanpa sadar aku malah membuka kaos ku sendiri. Aku yang awalnya berusaha menyadarkannya kini malah terbawa arus dan menikmatinya. Dan menunggu untuk mendapatkan lebih malah. Sekilas aku melihat mba Ayu tersenyum genit pada ku. Dia lalu berdiri mengangkangi kedua paha ku sambil membuka celana jeans sekaligus celana dalamnya. Kini kami sama-sama telanjang. Dan ini pertama kalinya bagi ku melihat tubuh wanita telanjang secara langsung.

Mba Ayu lalu berjalan ke atas. Sekarang kedua telapak kakinya berada di samping bahu ku. Setelah itu dia berlutut hingga permukaan vaginanya sekarang berada tepat di atas wajahnya. Dia semakin mendekatkannya. Aku tau. Dia ingi diperlakukan sama halnya dengan dia menjilati kemaluan ku tadi. Dengan agak ragu ku buka mulut ku dan ku julurkan lidah ku. Rasanya agak aneh, namun karena nafsu yang sudah memuncak aku jadi tidak terlalu memperdulikannya.

“Aahhh…ahhsshhh…anjiinngg…enak banget jilatan lu Ian…aaahhh…terusss…aaahhh…jilat memek gueee ampee basaahhh.” racau mba Ayu. Aku tidak tau yang dimaksud Ian barusan itu Ian aku atau Ian Rian. Dan aku tidak peduli. Yang aku inginkan sekarang hanyalah menikmati semua ini.

“Aahhh…aahhhsshhh…aahhhsshh…ouuhhhsshh…” mba Ayu terus mendesah. Tangan kirinya menyandar ke dinding menahan berat badanya. Sedangkan tangan kanannya menjambak rambut ku memaksa ku semakin intens mengerjai lubang vaginanya.

“Ahhsshh…ahhsshhh…iiyyaaassshhh…aahhgssshh teerrruuusss…aahhssshh.”

“Slurrpp…slurrpp…slurrpp…” aku semakin semangat menjilati dan menghisap bibir vaginanya yang semakin becek itu karena mendengar desahan dan erangannya yang semakin kencang memenuhi ruangan ini. Tubuhnya bak cacing kepanasan yang menggeliat kesana kemari. Kepala ku semakin ditekannya lebih dalam ke arah selangkangannya.

“Ahhsshh…ahhsshhh…iiyyaaassshhh…aahhgssshh teerrruuusss…aahhssshh…enaak teruuss…aahhhh…” tubuh mba Ayu mengejang. Badanya melengkung kebelakang. Dadanya membusung dengan indah. Bibir vaginanya semakin merekah dan mengeluarkan cairan kenikmatannya.

Mba Ayu telah sampai. Dia telah mendapatkan orgasme pertamanya hanya dengan jilatan lidah ku. Tidak lama kemudian tubuhnya ambruk ke samping. Matanya terpejam. Nafasnya masih tersengal. Entah mendapat bisikan darimana, aku seperti tersadar kembali. Ini adalah saatnya aku keluar dari kamar ini sebelum semuanya terlanjur lebih jauh. Aku segera bangun. Namun lagi-lagi tangan mba Ayu menahan ku.

“Heh! Mau kemana lu? Lu ga mau make memek gue buat muasin kontol lu lagi emang?” oceh mba Ayu lagi. Matanya masih terpejam. Aku bingung antara meninggalkannya atau tetap tinggal. Dalam kebingungan ku tiba-tiba dia meregangkan kedua kakinya lebar-lebar.

“Lu udah bosen ya sama memek gue? Emang memek perek lu itu lebih rapet dari punya gue?” mendengar kalimat liarnya, kemaluan ku yang tadinya sudah sedikit lemas kini kembali tegak lagi. Mba Ayu lalu menarik tangan ku dan dengan nurutnya aku sekarang sudah berlutut tepat diselangkangannya. Masih dengan memejamkan mata, dan dengan tangan yang sempoyongan mba Ayu mencoba meraih kedua tangan ku. Tangan itu kemudian mengarahkan telapak tangan ku menuju kedua bukit kembar miliknya.

“Remas toket gue kayaak biasaanya,” ucapnya lagi. Dan dengan bodohnya aku menurut saja. Ku remas pelan dua bukit kembar itu sambil sesekali memainkan putingnya. Entah bagaimana, tangan ku bisa dengan terampil sekali memainkan kedua payudaranya itu.

“Ahhsshh…aahhsshh…teruuss…” mba Ayu mendesah. Badannya menggeliat. Tangannya lalu turun kebawah dan meraih penis ku. Mba Ayu lalu mengurut dan mengocoknya pelan dengan jari-jari lentiknya.

“Aahhh,” aku ikut mendesah merasakan sensasi nikmat yang belum pernah aku rasakan sebelumnya ini.

“Enak yaah?” tanya nya manja.

“Ehh?” aku bingung. Bingung antara dia sadar atau tidak. Ingin ku membangunkannya tapi, ah ini sedikit lagi. Tidak. Ini tidak boleh lepaskan. Dia tidak boleh sadar dulu. Disaat aku diam dalam kebingungan ku, mba Ayu menarik penis ku ke arah vaginanya. Ujung kepala penis ku kini telah menempel di bibir vaginanya. Vagina mba Ayu. Atasan ku. Yang selalu ku hormati bukan hanya karena dia atasan ku, tapi karena juga dia selalu mengayomi ku di kantor. Namun kini ujung penis ku sudah ada di ujung lubang vaginanya. Siap mengaduk-aduk lubang kenikmatan itu.

Dalam pejam nya, mba Ayu masih sempat tersenyum. Dia lalu menggerak-gerakan pinggulnya yang otomatis menggesek ujung penis ku. Secara reflek aku juga ikut menggerakan pinggul ku. Pelan-pelan, sedikit demi sedikit penis ku mulai masuk menerobos liang senggamanya.

“Aahhhsshhhsshh,” mba Ayu mendesah panjang ketika seluruh penis ku sudah amblas seluruhnya ke dalam vaginanya. Masih dengan terpejam, mba Ayu menggigit bibir bawahnya. Sementara aku sendiri sudah melayang entah kemana.

Aku tidak bisa menggambarkan seperti apa kenikamatan yang aku rasakan. Bagaimana ketika aku sekarang menyetubuhi orang yang sangat aku hormati. Bagaimana ketika penis ku menerobos lubang vaginanya. Vagina atasan ku yang sudah aku anggap seperti kakak ku sendiri. Pengalaman pertama ku.

“Dasar lu yaaahhsshhh…aahhh… ga pernah puashh dengan satu lubang ajaahhhaahh,” racaunya membuyarkan pikiran ku yang masih melayang-layang.

Lagi-lagi aku bingung. Mendengar ucapan-ucapannya kok aku merasa ngenes dengan yang di alami mba Ayu, jika memang benar itu terjadi. Ada rasa kasihan dan bersalah ketika aku menikmati ini semua. Tapi, ini memang benar-benar nikmat. Aku tidak bisa menolaknya. Aku tidak bisa memungkiri nikmat yang aku rasakan ini.

Ingin aku rasanya mencabut kemaluan ku dan meninggalkannya. Namun ketika batang itu hampir terlepas, setan di kepala ku mendorong ku untuk memasukannya lagi. Dan berulang begitu seterusnya. Kemaluan ku kelur masuk mengaduk-aduk lubang kenikmatan itu.

“Aahhhssshhh…aahhssshhh…aahhhssshhh…”

Semakin keras aku mengaduk-aduk liang senggamanya. Dan semakin becek pula aku rasakan. Mba Ayu mendesah semakin keras. Tangannya mencengkeram keras ke sprei. Kepalanya kadang mendongak, kadang menoleh ke kiri dan kanan.

“Aahhh…ahhhsshhh…enaaakkk teeruusss…sodook teerus…lu ituu…aahhh…brengseekk tapi kontol lu inii…enaaak anjiiing aahhsshhh…aahhhsshh,” racau mba Ayu. Aku semakin terangsang mendengar desahan dan erangannya. Seperti suntikan tenaga yang membuat ku semakin bersemakan menyodok-nyodokan penis ku ke lubang vaginanya.

“Aahhh…ahhhsshhh…enaaakkk teeruusss…sodok teruuss…lebiih kenceeeng… aahhhsshh… aaakuuu… aakuuu diikiiit… laaagiiii…” tubuh mba Ayu semakin mengejang. Pahanya merapat menjepit pinggang ku. Dia akan mencapai orgasmenya yang kedua. Aku juga merasakan hal yang sama. Aku merasakan vaginanya semakin menjepit penis ku dengan kuat.

“Aahhssshh Riaaann…lebiihh cepaaat laagiii…aaahhssshhs…”

Dan aku pun menuruti kemauannya. Kuhujamkan keras-keras penis ku hingga dasar vaginanya. Aku juga sudah tidak tahan lagi. Aku semakin kesetanan. Semakin beringas aku mengaduk-aduk vagina atasan ku itu dengan penis ku. Rasanya luar biasa. Membayangkan jika di kantor aku adalah bawahanya, sekarang posisinya berbalik seratus delapan puluh derajat. Mba Ayu kini sepenuhnya menjadi bawahan ku. Dan tugasnya adalah, memuaskan nafsu ku.

“AAAAAHHHHHHHSSSSHHHHHHH,” teriak mba Ayu ketika dia mendapatkan orgasmenya. Badannya kejang. Kepalanya mendongak. Tangannya mencengkeram keras pundak ku. Kakinya menghimpit kaki ku. Sementara aku masih menyodok-nyodokan penis ku. Hingga akupun juga sudah tidak mampu lagi menahannya.

“Aarrgghhh…” aku mengerang kuat saat sperma ku menyembur denga derasnya membanjiri rahimnya. Badan ku juga mengejang. Semua persendian ku rasanya ingin lepas. Aahhh seperti ini ternyata rasanya. Surga dunia yang sebenarnya.

Sesaat kemudian hening. Mba Ayu masih menikmati sisa-sisa orgasmenya. Aku juga begitu. Kemaluan ku masih menancap dengan kokoh di vaginanya. Sekarang apa? Dengan bodohnya aku tersadar kembali. Dengan penyesalan tentunya. Bukan karena semata-mata ini adalah dosa, tapi karena telah memanfaatkan tubuh mba Ayu yang sedang mabuk itu.

Aku binggung harus bagaimana. Bagaimana kalau dia tiba-tiba sadar. Atau besok saat dia terbangun dan menyadari telah terjadi sesuatu diantara aku dan dia. Apa yang harus aku katakan padanya? Akan kah dia marah pada ku dan berimbas pada pekerjaan di kantor? Ah semuanya berputar-putar di kepala ku. Aku pusing.

Mba Ayu lalu sedikit menarik badannya. Penis ku mulai mengecil, dan kemudian terlepas dari vaginanya. Aku yang capek akhirnya ambruk di sampingnya. Mba Ayu lalu beringsut ke arah ku dan memeluk lengan ku. Matanya masih tetap terpejam.

“Gimanaa? Masih enakan memek gue kan?” tanya nya tiba-tiba.

“Eh, ehmm, i-iyaa,” jawab ku mengiyakan dengan bodohnya.

“Makaanyaaa, lu itu sama gue ajaaa. Tinggalin aajaa ituuu pereek. Lu mau apapun gue kasih deeeh,” lanjutnya sambil tangannya mengusap dada ku.

“I-iyaa,” lagi-lagi aku menjawab iya dengan tololnya.

Satu hal lagi yang membuat ku pusing. Tentang kalimat-kalimat mba Ayu barusan. Miris banget aku mendengarnya. Apakah separah itu hubungannya dengan si Rian itu? Apakah Rian itu seberengsek ucapan mba Ayu barusan? Atau semua ini hanya omong kosong akibat pengaruh alkohol saja? Tapi kalau memang semua itu benar adanya lalu kenapa? Kasihan? Iya. Aku kasihan mendengarnya. Tapi lu juga ikut menikmati tubuhnya, gemuruh dalam hati ku. Entahlah.

Tidak lama kemudian aku mendengar dengkuran dari mba Ayu. Ya Tuhan, kenapa jadi begini ya? Aku baru saja menyetubuhi wanita yang sudah aku anggap seperti kakak ku sendiri dalam kondisi mabuk. Dan sekarang dia tidur di pelukan ku. Karena pusing, aku mencoba ikut memejamkan mata saja. Aku tidak tau dan pasrah saja dengan apa yang akan terjadi besok pagi.

[Bersambung]

Hallo Gaiss, Disini Admin KisahMalah
Agar Admin Semakin Semangat Update Cerita Cerita Seru Seterusnya, Bantu Klik Iklan yang Ngambang ya.
Atau Gambar Dibawah INI

Atau Bagi Kamu yang suka bermain game Poker Online atau Gambling Online lainnya, bisa di coba daftarkan ya. Banyak Bonus dan Hadiahnya Loh.
Untuk yang Kesulitan Daftar bisa Hub Admin di WA untuk di bantu Daftar.
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂

Daftar Part

By Kisah Malam

Kisah Malam adalah sebuah Website yang berisikan Novel Dewasa, Novel Sex, Cerita Sex, Cerita First Time, Cerita Bersambung, Cerina Menarik Lainnya. Dukung Terus KisahMalam.Com Dengan Cara Bookmarks, Dan Nanti Kan Konten Terupdate dari KisahMalam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *