Merindukan Kesederhanaan Part 23

Dusta Tetaplah Dusta, Apapun Tujuannya!

Aku melihat Kiki duduk di lantai bersandar pada dinding dengan memeluk lutut dan kepala tertunduk saat aku tiba di kostan nya. Sepertinya dia memang sedang menunggu ku. Atau dia sedang ada masalah? Hingga dia sadar dengan kedatangan ku. Atau dia ketiduran waktu duduk disitu? Ga mungkin juga, dari pada mikir yang enggak-enggak mending aku langsung turun dan menghampirinya. Namun hingga saat aku berdiri tepat di depannya, dia masih tetap diam tak bergeming.

“Ki? Kiki? Ini aku, kamu ngapain duduk di sini?” tanya ku padanya sambil memegang lengannya. Dia langsung bangkit dan memeluk ku dengan erat. Aku yang masih bingung hanya bisa sedikit merentang kan tangan ku. Memberinya ruang untuk lebih erat memeluk ku. Naluri ku kemudian menuntun ku untuk membalas pelukannya. Mengusap punggungnya dan memberinya ketenangan.

“Iaaan…Ibu…Ibuuu…hiks…” ucapnya pada ku sambil menangis sesenggukan.

“Iya…tenang dulu ya, ada aku di sini, Ibu kenapa?” balas ku menenangkannya.

“I-ibu di rawat, udah seminggu dan kondisinya semakin kritis, aku dan mas Riki baru di kabarin tadi oleh, hikss…”

“Ibu kamu?”

“Iya ibu…hiks,” Kiki masih terus menangis.

“Oke oke. Sekarang tenang dulu ya,” aku terus mengusap punggungnya. Aku harus bisa berfikir jernih. Pelukannya masih erat pada ku. Kepalanya rebah di dada ku.

“Sekarang kita tengokin ibu kamu ya,” ajak ku.

“Ta-tapi,” balasnya terhenti. Dia melepaskan pelukannya. Namun pandangannya menunduk.

“Tapi kenapa?”

“Kata mas Riki, Ibu harus di operasi, ta-tapi kami…hiks…ka-kami kesulitan…”

“Biaya?” tanya ku. Kiki mengangguk.

“Udah, kamu tenang dulu ya. Insyaallah pasti ada jalan keluarnya. Sekarang kita susul ke rumah sakit dulu ya,” ajak ku padanya. Dia mengangguk. Hufftt. Untung dia mau tenang dulu. Kemudian dia minta ijin ke dalam sebentar untuk mengambil tas nya. Setelah itu kami langsung meluncur ke rumah sakit menggunakan motor ku.

Sebenarnya, aku juga tidak kalah bingung dengan Kiki. Bagaimana kami bisa dapetin uang seratus lima puluh juta hanya dalam semalam? Apalagi aku tadi memberikan harapan. Lalu bagaimana nanti kalau tidak ada jalan keluar? Duuuh, gimana ini? Bagaimana kalau Kiki jadi ikutan nge drop karenanya?

Berfikir Ian!

Seratus lima puluh juta.

Seratus lima puluh juta.

Seratus lima puluh juta.

Mas Rizal? Rasa-rasanya dia pasti ada lah uang sejumlah itu, tapi ga mungkin juga aku tiba-tiba minta pinjaman sebanyak itu ke dia.

Seratus lima puluh juta.

Seratus lima puluh juta.

Seratus lima puluh juta.

Pak Weily? Ah iya. Pak Weily. Pikiran ku mendadak tertuju pada beliau. Tapi, apa aku harus minta tolong padanya. Aku dulu sudah menolaknya. Uang itu sudah aku tolak. Harus kah aku menjilat ludah ku sendiri? Tapi bodo lah. Malu-malu deh. Ini darurat. Ini demi nyawa seseorang. Aku harus meminta tolong padanya.

Sesampainya di Rumah sakit, kami berdua langsung menuju kamar tempat ibu nya Kiki di rawat. Namun sebelumnya aku menyuruh Kiki untuk duluan saja. Aku katakan padanya aku mau ke toilet sebentar. Tentu saja aku berbohong. Aku akan menelpon pak Weily.

“Halo, pak Weily.”

“Ya halo.”

“Malam pak, apa kabar?”

“Kabar baik, kamu apa kabar? Kirain sudah lupa dengan aki-aki yang satu ini, hehehe.”

“Hehehe, bapak bisa aja ya. Ehmmm, pak, saya langsung saja ya. Saya butuh bantuan pak Weily sekarang.”

“Hmmm, katakanlah, apa yang bisa aku bantu?”

“Saya butuh uang, imbalan yang bapak tawarkan dulu itu apa masih berlaku?”

“Hahaha. Ada apa ini? Ini seperti bukan kamu yang aku kenal.”

“Bapak dimana sekarang? Nanti saya jelaskan secara langsung. Jadi, apa masih berlaku? Demi apapun, saya butuh uang itu.”

“Hmmm, sampai kapan pun masih tetap berlaku. Datang lah, aku ada di rumah. Atau kita ketemuan di luar?”

“Tidak perlu pak, saya akan ke rumah bapak. Dan, terima kasih sebelumnya.”

“Oke, santai saja.”

Alhamdulillah. Dana sudah ditangan. Akhirnya berguna juga itu duit. Akupun langsung menyusul Kiki. Aku melihat beberapa orang yang tidak ku kenal bersama Kiki saat aku sampai di sana. Satu orang berpakaian dokter, kemudian beberapa suster, dua orang laki-laki yang salah satunya masih muda, dan satu lagi sudah berumur, dan seorang wanita yang masih muda.

Aku langsung menghampiri Kiki. Dia lalu mengenalkan ku pada mereka yang ternyata adalah kakak dari Kiki, kemudian istrinya, dan si pria tua adalah suami baru dari ibu nya Kiki. Alias bapak tiri Kiki.

“Iaaan, hiks, hiks.”

Kiki kembali menangis sesenggukan. Feeling ku mengatakan ini pasti masalah biaya. Dan ternyata benar, pihak rumah sakit tidak mau menjalankan operasi tanpa ada jaminan dana. Sial. Masalah klasik. Semua harus ada uang dulu, baru bisa berjalan. Sedangkan nyawa pasien sudah di ujung tanduk. Ini harus segera diselesaikan. Dengan penuh percaya diri aku menghampiri mereka karena sudah mendapat jaminan dana dari pak Weily. Mas Riki masih mencoba bernegosiasi dengan sang dokter.

“Dok, apa tidak bisa dibantu dulu, ibu saya sudah kritis,” pinta mas Riki dengan iba. Dokter masih bersikukuh dengan pendiriannya, ini adalah kebijakan dari pihak rumah sakit.

“Dok, saya yang akan menanggung biayanya. Tolong dilaksanakan saja dulu operasinya!” ucap ku tegas. Mas Riki, bapak tiri Kiki, dan dokter itu serentak menoleh pada ku. Memandang heran seperti tidak percaya. Tentu saja. Aku seperti pahlawan kesiangan. Dan, penampilan ku tidak seperti orang berduit. Mana mungkin dokter itu percaya.

“Maaf mas, tanpa jaminan, kami tidak bisa menjalankannya!” ucap dokter itu.

“Pasien sudah sekarat gitu dan kalian masih menunggu jaminan? Dimana hati nurani kalian?” ucap ku penuh emosi. Mas Riki memegang tangan ku yang sudah mengepal erat.

“Saya mau nya juga menolong, tapi ini kebijakan rumah sakit. Saya tidak bisa apa-apa,” balas dokter itu lagi.

“Saya pasti bayar, saya akan melunasinya malam ini juga, tapi tolong dijalankan dulu operasinya!” ucap ku memohon.

“Maaf, tetap tidak bisa sebelum administrasinya diselesaikan!” balas dokter itu seraya akan meninggalkan kami. Aku semakin emosi. Beberapa pasang mata dari orang-orang yang berada di sekitar kami juga mulai menatap ke arah kami karena suara perdebatan ini yang mulai memanas.

Sial. Bagaimana aku bisa meyakinkan dokter ini? Kalau begini terus ibu nya Kiki bisa dalam bahaya. Lalu, hampir habis akal ku, satu persatu secara perlahan aku menggunakan lutut ku untuk bersimpuh. Ya, aku berlutut di dibelakang dokter yang mulai melangkah pergi itu.

“Iaaan!” teriak Kiki yang melihat ku berlutut.

“Ka-kamu ga harus seperti ini Ian, hiks, ayo banguuun,” dia menghampiri ku dan membujuk ku untuk berdiri. Tapi aku tidak bergeming.

“Demi rasa kemanusiaan anda sebagai seorang dokter, tolong lah orang tua temen saya ini dok, sebelum jam dua belas malam saya pasti bayar!” ucap ku pelan namun jelas. Dokter itu pun berhenti. Membalikkan badanya dan melihat ku. Semua orang yang berada disekitar lorong ini juga melihat ku.

“Kalaupun harus menjadi kacung Dokter seumur hidup pun saya bersedia, karena saya yakin bisa membayarnya malam ini juga!” ucap ku lagi pelan. Aku lalu membungkukkan badan ku dan bersujud tepat di depan dokter itu.

“Iaaan, hiks, bangun!” perintah Kiki. Aku masih mengacuhkannya. “Kamu ngapain? hiks, Ian aku mohon, banguuun,” perintahnya lagi sambil terus menangis. Aku masih mengacuhkannya.

Satu detik, dua detik, hingga beberapa saat kemudian suasana masih tetap hening. Sial. Dengan cara seperti ini apa hati dokter itu tidak tergugah juga? Disisi lain Mas Riki hanya diam membisu. Pun begitu dengan bapak tirinya. Dan semua orang yang ada di lorong ini. Hening. Dan sunyi. Hanya terdengar tarikan nafas Kiki yang sesenggukan. Aku tidak tau bagaimana ekspresi wajah mereka.

Tiba-tiba, dari arah kanan depan ku aku seperti melihat ada sepasang tangan yang menapak ke lantai juga. Tapi tangan itu kecil. Apa itu seorang anak kecil. Aku sedikit melirik. Dan benar itu tangan seorang anak kecil. Dia ikut bersujud seperti ku.

“Dokter, tolong bantu orang tua kakak itu,” teriaknya polos.

“Aku kalau sudah besar nanti juga mau jadi dokter. Supaya bisa menolong orang yang sakit,” pintanya dengan lantang. Aku terhenyuk mendengar ucapan polos anak itu. Dan tanpa kuduga, orang-orang yang berada disekitar anak itu juga ikut berlutut memohon pada sang dokter. Namun dokter itu masih diam. Belum ada respon darinya. Beberapa saat masih hening.

“Suster, siapkan sumua peralatan!” perintah sang dokter pada suster di sampingnya tiba-tiba. “Sementara saya yang nanggung,” lanjut dari sang dokter. Sambil tersenyum, aku mengangkat kepala dan badan ku, namun masih dalam posisi berlutut. Semua orang pun ikut tersenyum dengan bahagia. Bahkan beberapa ada yang sampai tepuk tangan.

“Saya harap kamu bisa menepati janji kamu!” ucapnya lagi.

“Pasti dok,” balas ku sambil menangguk dengan pasti. Kiki nampak tidak percaya. Pun begitu dengan mas Riki maupun pria tua itu. Namun aku melihat perasaan bahagia dari mata mereka. Aku lalu bangun sedangkan sang dokter pergi meninggalkan kami.

“Iaan, ka-kamu…” ucap Kiki tertahan. Aku tersenyum.

“Kamu mau nyari uang sebanyak itu ke mana?” tanyanya sedih.

“Udah tenang aja, aku tinggal dulu ya, ndak nyampe dua jam aku balik sini lagi, kamu berdoa aja semoga operasinya berjalan dengan lancar,” balas ku sambil mengusap bahu kirinya.

“Tapi kamu mau pergi kemana? Kamu jangan macem-macem ya!” larangnya. Mungkin dia mengira aku akan berbuat nekat. Nyuri, nodong, ngrampok atau sejenisnya. Aku sempat akan tertawa tapi aku tahan.

“Di bilang suruh percaya aja, Insyaallah aku ada jalan keluarnya…”

“Tapiii?”

“Kamu percaya sama aku ndak?” tanya ku lagi. Dia mengangguk tapi kemudian menunduk. Aku angkat kepalanya dan…

Cup!

Ku kecup kening nya. Dia nampak kaget. Akupun tersenyum padanya.

“Yakin aja semuanya bakalan baik-baik aja,” ucap ku meyakinkannya. Dia mengangguk pelan. Aku lalu melangkah meninggalkannya.

“Ian,” panggilnya saat aku baru dapat beberapa langkah. Aku berhenti.

“Hati-hati,” pesannya. Aku berbalik dan tersenyum. “Dan, terima kasih,” lanjutnya.

“Terima kasih lah sama ade ini,” balas ku sambil mengusap kepala anak kecil yang ikut bersujud tadi.

“Kamu anak pemberani,” ucap ku pada anak kecil itu. “Belajar yang rajin dan kejar cita-cita hingga setinggi langit ya,” pesan ku padanya dan mengajaknya tos. Anak kecil itu tersenyum pada ku dan mengangguk dengan pasti. Setelah itu aku pergi meninggalkan mereka semua untuk menuju rumah pak Weily. Ya Tuhan, semoga Engkau memberikan kemudahan untuk operasi ini. Aamiin.

~¤~¤~¤~

“Langsung ke galeri saja mas, bapak sudah menunggu di sana,” pesan dari satpam rumah Gita pada ku. Rupanya pak Weily sudah menunggu. Akupun bergegas menuju kesana. Rumah nampak sepi. Mungkin Gita belum pulang. Bagus lah.

“Selamat malam pak,” sapa ku pada pak Weily. Dia nampak tidak melakukan apa-apa, mungkin hanya sedang iseng saja dengan barang-barang koleksinya.

“Eh, malam juga, ayo masuk,” perintahnya.

“Terakhir kali kamu kesini ituuu,” ucapnya lagi berbasa-basi.

“Pak, maaf, apa kita bisa langsung ke inti pembicaraan?” terpaksa aku menyela ucapannya.

“Oke, sepertinya kamu memang sangat membutuhkannya,” jawabnya.

“Ya, ini menyangkut nyawa seseorang, dan orang itu membutuhkannya segera,” balas ku.

Well, siapapun itu, urusan ku adalah dengan mu. Dan khusus untuk mu, aku sudah mempersiapkannya sebelum kamu tiba tadi.”

Pak Weily lalu mengambil sebuah tas koper dari kolong meja dan membukannya. Lalu dia menunjukkan isinya pada ku.

“Terima kasih pak,” ucap ku padanya sambil bernafas lega.

“NO! Ini tidak sebanding dengan apa yang telah kalian lakukan untuk Gita. Semenjak berteman dengan kalian, Gita berubah menjadi lebih baik, seharusnya dua lagi teman mu itu juga mendapatkannya. Tapi gampang lah itu, aku akan berikan pada mereka besok ini juga,” jelasnya.

“Sebenarnya ada kesepakatan apa di antara kalian berdua?” tanya seseorang dari arah pintu. Seorang wanita.

“Gita?” ucap ku pelan.

Gita tidak menjawab, hanya sorot mata tajam nya yang aku terima.

“Kok kamu bisa di sini?”

“Ini rumah gue, seharusnya gue yang nanya kaya gitu ke elu, Alfian!”

“Git, aku bisa jelasin semuanya, ini tuh untuk orang tua Kiki.”

“Gua tau. Lalu kenapa?”

“Kamu tau dari mana?”

“Kiki sebelumnya juga menghubungi gue, lalu entah bagaimana caranya pas gue tiba di kost nya, elu juga berada di sana, dan kalian berpelukan,” ucapnya terhenti. Bibirnya bergetar. Gigi-gigi nya menggigit dengan kuat. Gita melihat ku berpelukan dengan Kiki?

“Ini ndak seperti yang kamu bayangin, aku sama Kiki…”

“Sebenernya kalau lo atau Kiki minta tolong ke gue, duit segitu ga ada artinya buat gue, tapi sayangnya kalian berdua terlalu naif!”

“Git…biarin aku jelasin dul…”

“DIAAM!! dan, asal lo tau, gue ga perduli duit itu mau lo pakai buat apa,” lanjutnya.

Sorot matanya semakin tajam. Tangannya mengepal. Urat-urat di dahinya menegang bahkan hingga terlihat. Belum pernah aku melihat Gita menjadi seperti ini sebelumnya.

“Jadi sekarang gantian gue yang nanya ya Alfian, ada kesepakatan apa diantara kalian berdua?”

“Demi Allah aku bisa jelasin semuanya, kamu tenang…” balas ku sambil berjalan mendekat padanya.

“STOOP!!!” Gita berteriak. Aku sontak menghentikan langkah ku.

“Git…”

“Sekali lagi, Alfian, ada kesepakatan apa antara elu dengan pria tua itu?” tanya Gita sambil menunjuk pak Weily.

“Pak jangan diam saja!” aku membentak pada pak Weily yang sedari tadi hanya diam saja. Pak Weily seperti mati kutu. Aku tidak tau pasti apa yang dipikirkannya, tapi aku merasa dia berfikir kalau tidak ada gunanya meladeni Gita dalam situasi seperti ini. Beberapa saat kemudian hening. Lalu…

PRAAK!!

PRAAK!!

PRAAK!!

Gita mengamuk. Dia mengambil sembuah tongkat kayu kuno yang tersandar di salah satu sisi ruangan galeri ini menghantamkannya ke segala arah. Guci, piring, vas, semua porselen antik milih pak Weily menjadi sasaran amarahnya. Semuanya hancur berkeping-keping. Tapi mungkin itu tidak sebanding dengan sakit yang dia rasakan. Hatinya pasti lebih hancur karena kebohongan diantara aku dan pak Weily.

“Udah dong Git, aku mohon!” ucap ku pada nya seraya mendekat. Mata ku berkaca-kaca hampir menangis membayangkan perjuangan ku selama ini merubah ini anak seketika menjadi sia-sia, tapi tetap aku tahan sekuat ku bisa.

“BERHENTI DAN DIAM!!” bentak Gita lagi sambil mengarahkan tongkat ditangannya itu pada ku. Sorot matanya semakin tajam.

“Persahabatan yang benar-benar sahabat ituuu, ternyata memang cuma bullshit ya!! Hahaha.”

“Git, aku mohooon.”

“DIEEM!!! Ternyata elu itu sama saja kaya yang lain, cuma uang, uang, dan uang yang ada di mata lu!!” ucapnya. Ya Tuhan, kenapa jadi seperti ini sih? Aku masih terdiam, tidak tau lagi harus berbicara apa.

“Dan kamu!!” bentak Gita pada pak Weily. “Rubah lah sikap mu dulu sebelum kamu ingin anak-anak mu menaruh hormat pada mu!!!” lanjutnya. Gita lalu mengambil beberapa langkah mundur. Air mata telah jatuh membasahi pipinya. Kemudian dia berbalik dan berlari meninggalkan ruangan ini. Aku berusaha mengejarnya hingga depan pintu.

“Ian, sudah lah, percuma mengejarnya dalam situasi seperti ini.”

“Pak, kalau Gita berbuat nekat gimana?” teriak ku pada pak Weily karena jengkel dengan sikapnya yang terlalu santai menghadapi emosi anaknya.

“Tenang aja, Gita akan baik-baik saja. Biarin aja dia tenang dulu. Sekarang kamu fokus ke tujuan awal mu ke sini. Bawa uang ini ke rumah sakit, dan selamatkan nyawa orang tua Kiki,” pesan pak Weily.

“Tapi pak? Maafin saya.”

“Bukan salah mu.” beliau tersenyum. “Ayo pergilah, jangan sampai terlambat.” lanjutnya.

“Baiklah, terima kasih banyak. Setelah urusan saya di rumah sakit beres saya akan segera menemui Gita,” balas ku. Dia mengangguk. Dengan berat hati aku lalu kembali ke rumah sakit. Membiarkan Gita pergi entah kemana. Diperjalanan tak henti-hentinya aku berdoa. Kiki, tunggu ya, ibu mu pasti selamat. Dan Gita, maaf. Aku pasti akan menemui mu segera setelah semua ini beres.

~¤~¤~¤~

Dengan langkah tergesa aku berjalan dari parkiran motor menuju kamar operasi. Di sana sudah menunggu Kiki, Mas Riki, mba Ratih, dan juga bapak tiri Kiki yang aku belum tau namanya. Kiki tidak mengenalkan ku. Bagaimana mau mengenalkan ku, interaksi saja hanya sedikit antara mereka. Pasti ada kemelut batin di antara mereka. Tapi biarlah, itu masalah pribadi keluarga mereka.

Saat aku tiba, aku melihat mereka berempat menunggu dengan sangat cemas. Semuanya diam. Kiki dan mba Ratih duduk berdampingan di bangku, dan saling berpegangan tangan. Mas Riki terlihat berjalan mondar mandir sebelum akhirnya berjalan ke arah ku yang juga berjalan ke arah mereka. Dan si bapak, terlihat berdiri mematung, entah apa yang ada di pikirannya.

“Gimana operasinya mas?”

“Masih berjalan, sudah hampir satu jam.”

“Oh iya, ini aku udah dapet uangnya.”

Aku lalu menyerahkan koper ditangan ku pada mas Riki. Mas Riki nampak bingung, namun tetap menerimanya. Kiki dan mba Ratih kemudian bangkit dari duduknya.

“Kamu dapet uang itu dari mana?”

Kiki bertanya pada ku dengan nada kebingungan dalan juga keheranan. Tampak sekali dia khawatir terhadap ku.

“Nanti aku pasti jelasin semuanya, sekarang yang penting kita semua berdoa untuk kesembuhan ibu kamu. Semoga operasinya berjalan dengan lancar, ya kan mas?”

“Aamiin. Makasih ya, aku dan Kiki pasti akan menggantinya nanti.”

“Hehehe, soal ganti mengganti dipikir nanti saja, gampang itu.”

“Ya sudah, aku mau ke bagian administrasi dulu,” Mas Riki nampak bersiap akan berjalan. Namun kemudian si bapak itu menghampiri kami.

“Bapak boleh ikut nak Riki?”

Mas Riki tidak menjawab, namun kemudian menganggukan kepala. Mereka kemudian pergi dan sekarang tinggal kami bertiga. Kiki tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepada ku. Begitu juga Mba Ratih.

Tidak sampai tiga puluh menit mas Riki dan bapak tirinya sudah kembali.

“Gimana mas, beres semua kan?” tanya Kiki.

“Alhamdulillah, sudah beres semua.”

“Alhamdulillah.”

Kami semua bisa bernafas lega sekarang. Paling tidak masalah biaya sudah selesai. Sudah selesai bagi mereka. Tidak untuk ku. Jujur aku masih kepikiran dengan Gita. Tapi aku tidak mungkin menceritakannya pada Kiki. Tidak untuk sekarang. Nanti saja pikir ku.

“Kamu udah makan?” tanya mas Riki pada Kiki. Kiki menggeleng diam.

“Ya udah kamu makan dulu sana, biar mas aja yang tunggu di sini,” perintah mas Riki. Kiki masih menggeleng lagi. Mas Riki nampak kesal.

“Ian dah makan?” giliran aku yang ditanya.

“Belum maas, heheee,” balas ku sambil nyengir.

“Aduuuh, kalian ini. Tolong ajak Kiki makan dulu ya,” perintah mas Riki pada ku sambil memberikan isyarat. Aku mengangguk. Aku lalu menghampiri Kiki dan mengulurkan tangan ku.

“Yuk,” ajak ku. Kiki nampak malas namun kemudian meraih tangan ku dan bangun.

“Kita makan dulu ya mas,” aku pamit pada mereka. Mereka mengiyakan. Dan aku pun jalan keluar berdua dengan Kiki.

“Kamu mau makan apa?” tanya ku.

Kiki masih diam saja.

“Oiii, bengong aja,” ledek ku.

“Eh, maaf…” ucap kiki kaget. Ternyata dia masih belum fokus.

“Apa yang kamu pikirin?” kami sudah tiba di kantin rumah sakit. Suasana sudah sepi. Aku lihat jam ternyata sudah jam setengah sebelas.

“Aku, aku masih belum percaya dengan apa yang kamu lakuin tadi, sujud di depan banyak orang.”

“Kepepet Ki, manusia kan gitu, kadang kalau udah kepepet apa aja di kerjain.”

“Tapi yang kamu lakuin tadi bukan untuk siapa-siapa mu.”

“Untuk orang tua mu kan? Orang tua mu itu udah aku anggep sebagai orang tua ku juga.”

“Dan aku anaknya hanya bisa diam saja.” kiki tersenyum kecut.

“Sudah lah, ndak usah dipikirin itu. Sekarang kita makan yuk, kita butuh tenaga banyak malam ini, hehehe” canda ku.

“Kita? Kamu ga pulang?” tanya Kiki heran.

“Kamu ngusir?” tanya ku balik manyun.

“Enggak juga, tapi kamu udah nolong kita banyak, kamu ga harus ikut nungguin, pulang aja deh. Ga enak aku sama mba Endang, dia kan paling khawatir sama ade cowoknya yang satu ini, hehehe,” jawab Kiki sambil tersenyum.

“Oh iya mba Endang, aku lupa belum ijin.”

“Tuh kan, bilang dulu sana!” perintah Kiki. Dan aku pun mengiyakan saja.

Aku lalu mengabari mba Endang. Aku bilang apa adanya kalau ibu Kiki sedang di operasi dan aku menemani. Jadi pulangnya agak malam. Mba Endang mengiyakan dan berpesan nanti hati-hati pas pulangnya.

“Dapet salam kamu dari Tiara,” ucap ku begitu telepon terputus.

“Waalaikum salam, aku belum sempet main nih, jadi ga enak. Abisnya sekarang masih sibuk-sibuknya. Sabtu pun kadang masuk,” keluhnya.

“Gapapa, seada waktunya aja. Eh kita mau makan apa nih?”

Aku dan Kiki lalu mengamati daftar makanan yang tersedia. Hanya tinggal beberapa pilihan sih. Sebagian udah pada tutup. Tapi ya lumayanlah untuk mengisi perut yang sudah sangat lapar ini.

“Oiya,” ucap ku padanya setelah kami memesan makanan.

“Ya?” dia menanggapi ku dengan antusias.

“Nanti, kalau kamu ketemu sama mba Endang, atau mas Rizal, kejadian yang aku sujud tadi ndak usah diceritain ya.”

“Loh kenapa?”

“Sama soal uang itu, kamu ndak usah bilang-bilang ya.”

“Iya, tapi kenapa? Kamu dapetin uang itu dengan cara bener kan Ian?” dia nampak berharap.

“Kamu percaya kan sama aku?”

“Iya, aku percaya, tapi…”

“Kalau percaya, turuti saja permintaan ku yang ini. Demi Allah, itu uang halal. Lagi pula kalau aku nodonng, siapa juga yang bakal takut sama aku yang polos gini, hehehe.”

“Hahaha, dasar Ian mah becanda mulu.”

“Hehehe. Ya sudah yuk kita makaaan,” ajak ku saat makanan telah tiba. Kami pun makan berdua.

“Sekali lagi makasih ya,” ucapnya lagi. Kami telah selesai makan.

“Iya Kikiii,” balas ku. Tanpa sadar aku mengusap punggung tangannya. Tapi Kiki diam saja. Entah apakah dia sebenarnya sadar dan mengijinkan ku menyentuh kulitnya, atau tidak sadar karena saking senangnya karena beberapa saat sebelumnya mas Riki mengabari kalau operasi telah selesai dan kondisi ibunya sudah stabil. Tapi kemudian aku yang sadar lebih dulu dan buru-buru menarik tangan ku.

“Maaf,” ucap ku dengan malu.

Dari situ Kiki baru sadar dan ikut kaget dengan apa yang barusan aku lakukan. Tidak ada balasan darinya. Dia hanya menunduk dan tersipu malu. Aku pun hanya garuk-garuk kepala dengan situasi canggung ini. Akhirnya kami pun memutuskan untuk balik ke kamar tempat ibu nya di rawat.

~¤~¤~¤~

“Aku berhutang nyawa pada mu,” ucap Kiki. Kami sekarang sedang berjalan menuju kamar rawat. Bukan ke kamar operasi karena pasien telah dipindahkan.

“Sekali lagi bahas itu, kita ndak temenan,” ancam ku bercanda.

“Yeee, itu kan kalimat aku, ga kreatif niiih,” balasnya sambil mencubit lengan ku.

“Makaanyaaaa!”

“Hehehe, iya-iya. Makasih yaah.”

“Duapuluh tiga,” balas ku sambil menghitung dengan jari. Kiki kebingungan.

“Udah duapuluh tiga kali mau bilang makasih,” ucap ku. Dia tertawa.

“Hahaha, Ian maaah, gitu aja dihitungin,” balasnya manja. Kiki lalu mengamit lengan ku dan kami berjalan bersama. Seperti layaknya sepasang kekasih, atau bahkan layaknya pasangan suami istri. Kiki mungkin sangat bahagia hingga dia tidak sadar telah melakukan hal-hal yang sebelumnya pasti agak aneh jika dia yang melakukannya. Aku ingin mengingatkannya namun tidak enak jika nantinya malah membuatnya malu atau bahkan tersinggung. Jadi ya aku biarkan saja, ga ada ruginya juga kan? Hahaha. Aku tertawa dalam hati.

Entah mengapa, aku merasa sekarang ini semuanya nampak sempurna. Aku merasakan jiwa ku hidup kembali setelah aku berpisah dengan Diah. Bahkan lebih hidup dibandingkan ketika dulu waktu aku sempat dekat dengan Gita. Apakah iniii? Ah tidak mungkin. Kiki sahabat ku, dan yang paling dekat. Doni dan Gita juga dekat, tapi Kiki lah yang paling bisa mengerti ku. Dan kami akan terus bersahabat.

Untuk sampai ke kamar rawat yang berbeda gedung, kami harus melewati area parkiran dan pelataran terbuka. Kami masih terus berjalan berasama. Kiki masih mengamit lengan kiri ku. Kami berjalan berdampingan. Lalu tiba-tiba saat kami sampai ditengah-tengah pelataran, seaeorang dari belakang dengan kasar menarik lengan kanan ku. Kemudian menarik kerah kemeja ku hingga sedikit menjauh dari Kiki.

“BANGSAAAT LU YAAA!!” teriak orang itu.

BUGH!!

Sebuah tinju keras dengan telak menghantam wajah ku hingga membuat ku terpelanting dan terjatuh. Aku tidak sempat mengelak. Semuanya terjadi begitu cepat. Orang itu lalu mendekati ku dan melayangkan beberapa tendangan tepat di perut ku.

BUGH!!

“Arrgghh”

BUGH!!

“Arrgghh”

Aku mengerang kesakitan merasakan tendangannya yang sangat keras.

“DONI!! Apa yang kamu…” teriak Kiki pada Doni. Ya, pria yang menghajar ku barusan adalah Doni. Salah satu sahabat terdekat ku. Sial! Gita pasti sudah bercerita pada Doni. Sekarang apa? Melawan pun percuma. Justru akan semakin membuat penilaian Doni kepada ku akan semakin buruk. Aku pun hanya diam dan pasrah. Terus Don, hajar saja aku, puaskan amarah mu. Aku memang pantas mendapatkannya. Teriak ku dalam hati.

BUGH!!

“Arrgghh”

BUGH!!

“Arrgghh”

“Doni, SUDAH CUKUP!! Aku mohon Don, hiks, hentikan!!” teriak Kiki. Dia kembali menangis.

“Elu, DIEM!!” bentak Doni ke Kiki sambil menunjuk tepat ke arah mukanya. Membuat Kiki semakin ketakutan. Senakal-nakalnya Doni, sebrandal-brandalnya Doni, Kiki belum pernah melihat Doni sekasar ini padanya.

“Gue ga nyangka ya, ternyata yang ada di otak lu itu cuma uang.”

Cuiih!!

Doni meludah tepat mengenai wajah ku.

“Doni!! Sebenarnya apa yang terjadi. Kalau memang ada masalah kita bisa bicara baik-baik, kita ini sahabat kan?” tanya Kiki setengah berteriak. Kiki duduk tepat di belakang punggung ku dan memegangi ku yang meringkuk menahan sakit.

“Tanya aja ama anak ini! Atau elu juga ada di belakangnya? Tau gue sekarang, kalian memang sama saja. Pantes kalian akhir-akhir ini semakin deket. Nyesel gue empat tahun temenan ama kalian.”

“Kamu ngomong apa sih Don? Kenapa jadi ga jelas gini? Hiks,” Kiki semakin bingung.

“Alaaah, pura-pura aja lu. Lu sebenarnya ikut terlibat kan? Dapet bagian berapa lu dari bocah ini?”

“Don!! Jangan bawa-bawa Kiki, ini semua salah ku, dia ndak tau apa-apa,” teriak ku. Aku tidak mau kalau Kiki ikut terlibat. Ini masalah ku.

“Hahaha, dan kalian saling membela. Semakin jelas sekarang,” balas Doni dengan senyum kekecewaan.

BUGH!!

Doni kembali menghajar ku.

“Arrgghh”

Lagi-lagi aku hanya bisa mengerang kesakitan.

“DONIII!! Udah! hiks, jangan sakiti Ian lagi, hiks,” teriak Kiki dengan tangisnya yang semakin keras.

“Ki, udah ndak apa-apa,” ucap ku pelan pada Kiki.

“Mulai sekarang, gue anggep persahabatan diantara kita udah ga ada lagi. Dan iya, satu lagi. Gue keluar dari hardcase. Lu makan aja sendiri tuh duit,” teriak Doni. Dia lalu meninggalkan kami.

“Doni!! Kamu mau kemana? Ini sebenarnya da apa sih? Hiks,” ucap Kiki yang masih kebingungan dan hendak mengejar Doni. Namun aku memegang lengannya dan menahannya.

“Sudah Ki, sudah terlambat,” ucap ku padanya.

“Ini sebenarnya ada apa?”

“Maafin aku Ki,” ucap ku dengan tertunduk lesu.

Kiki masih menangis. Raut mukanya seperti mengisyaratkan kebingungan dan ketidakpercayaan. Aku pasrah. Iya, aku pasrah dengan situasi yang terjadi sekarang. Aku pasrah kalau Kiki kemudian juga akan marah pada ku. Aku memang salah. Aku terlalu gegabah mengambil keputusan. Aku hanya bisa berdoa semoga ini hanya mimpi. Tapi sayangnya ini bukan mimpi. Malam ini lewat perantara pak Weily, aku bisa menyelamatkan nyawa seseorang. Tapi gantinya, kemungkinan aku akan kehilangan dua dari tiga sahabat ku. Atau bahkan mungkin ketiga-tiga nya.

[Bersambung]

Hallo Gaiss, Disini Admin KisahMalah
Agar Admin Semakin Semangat Update Cerita Cerita Seru Seterusnya, Bantu Klik Iklan yang Ngambang ya.
Atau Gambar Dibawah INI

Atau Bagi Kamu yang suka bermain game Poker Online atau Gambling Online lainnya, bisa di coba daftarkan ya. Banyak Bonus dan Hadiahnya Loh.
Untuk yang Kesulitan Daftar bisa Hub Admin di WA untuk di bantu Daftar.
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂

Daftar Part

By Kisah Malam

Kisah Malam adalah sebuah Website yang berisikan Novel Dewasa, Novel Sex, Cerita Sex, Cerita First Time, Cerita Bersambung, Cerina Menarik Lainnya. Dukung Terus KisahMalam.Com Dengan Cara Bookmarks, Dan Nanti Kan Konten Terupdate dari KisahMalam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *