Merindukan Kesederhanaan Part 22
Retno Ayu Dewanti
Aku mengekor saja pada wanita yang berjalan di depan ku ini. Dia mengenakan kemeja warna biru muda yang ada renda di bagian dadanya dan dipadu dengan rok span ketat yang panjangnya sedikit di bawah lutut. Kaki nya beralaskan highheels berwarna biru juga. Wanita itu berjalan dengan sungguh mempesona. Membuatnya menjadi perhatian semua mata laki-laki yang ada disekitarnya. Termasuk aku yang mendapatkan suguhan gratis dari pantat seksinya itu. Haduh. Fokus Ian fokus!! Oke!! Tujuan kami adalah kantin yang berada di basement gedung. Kami sudah berjanji akan makan siang bersama siang ini.
Namanya Ayu, Retno Ayu Dewanti. Kakak tingkat ku sewaktu di kampus dulu. Aku tidak menyangka ternyata aku melamar kerja di tempat dia bekerja. Sebuah kebetulan yang membuat ku senang. Bila aku keterima kerja di sini, paling tidak ada rekan kerja yang satu civitas. Sampai di kantin kami langsung memesan makan. Setelah memesan makanan, kami berdua kemudian mencari meja yang kosong. Mba Ayu memesan nasi setengah porsi dan sayuran, makanan sehat lah intinya. Sedangkan aku nasi dengan beberapa macam lauk-pauk campur menjadi satu ke dalam piring.
“Jadi, kalian berempat sudah lulus?” tanyanya begitu kami duduk di meja yang kosong.
“Alhamdulillah sudah mba,” balasku.
“Termasuk Doni yang… ganjen itu? Hehehe,” lanjutnya sambil tertawa pelan.
“Hahaha, justru malah duluan dia sidangnya dari pada aku. Dan dia sudah ndak ganjen lagi kok,” ucap ku membela Doni.
“Masa? Orang seperti dia bisa tobat juga?” canda nya lagi.
“Serius, nanti deh kalau ada waktu luang aku ceritain ke mba,” jawab ku.
“Nanti? Jadi ceritanya kamu mau ngajak aku ketemuan lagi gitu?” balasnya.
“Eh, engg-enggak gitu, maksud kuuu, kan kalau aku keterima kerja di sini kita bisa makan bareng lagi kaya gini, hehehe,” sial salah ngomong.
“Hehehe, kamu bisa aja deh, dasar cowok, hihihi,” dia tersenyum geli.
“Hehehe,” aku hanya tersenyum garing menanggapinya.
Beberapa saat kemudian hening. Kami sama-sama menikmati makanan masing-masing. Sesekali kami saling memperhatikan. Dan saling tersenyum. Aaah, ini cewek satu kok makin mempesona aja ya? Sekarang usiannya pasti sekitar dua enam atau dua tujuhan. Kira-kira dia punya pacar ga ya? Atau malah udah nikah? Dan udah punya anak? Hahaha, aku tertawa dalam hati mempertanyakan kemungkinan-kemungkinan yang ada.
“Kenapa sih?” tanya nya.
“Ndak apa-apa mba, hehehe,” balas ku dengan canggung. Bingung mau jawab apa. Tidak mungkin juga kan aku tiba-tiba bilang “Ya ampun mba, kamu nambah cantik aja deh.”? Hahaha.
“Aneh kamu mah. Eh iya, kamu ngelamar di posisi apa deh?”
“Procurement mba, mba Ayu sendiri di bagian apa ya?”
“Aku di finance. Anak ekonomi macem kita mah kemana lagi kalau ga ke accounting atau finance? Melenceng dikit paling ke HR atau GA. Agak jauhan lagi ke marketing,” jelasnya.
“Iya juga ya, hehehe.”
“Teruuus, tadi bisa ga ngerjain tes nya?” tanyanya lalu menyuap makanan yang hanya seujung sendoknya. Wanita semuanya begitu kali ya, makannya seiprit-seiprit. Aku sendiri sudah menghabiskan separuh dari makanan ku.
“Tes tertulis nya sih lancar jaya, tes lisannya yang agak-agak gugup,” jelas ku.
“Oh ya? emang siapa yang ngetes?” tanyanya lagi.
“Bu Fenny mba,” jawab ku polos.
“Pantes, hihihi,” tawanya pelan.
“Eh, kenapa emang?”
“Kamu gugup nya karena takut atau karena gagal fokus sama? Hahaha,” tawanya meledek ku. Aku tahu apa yang dia maksud. Bu Fenny ini memang memiliki ukuran yang di atas standar.
“Eh, hahaha, grogi mba grogi,” kilah ku berbohong. Aku sebenarnya memang agak gagal fokus dengan dandanan bu Fenny tadi pas beliau mewawancarai ku.
“Alaaah, kamu pikir aku ga tau apa yang kamu pikirin. Semua cowok kan sama saja, huuuh,” balasnya kesal.
“Hehehe, curhat mba?” ledek ku.
“Hahaha, sial lo!” umpatnya pelan namun tidak membuatnya terlihat galak. Justru membuatnya semakin terlihat meggemaskan.
“Hehehe. Mba Ayu masih kost di tempat yang dulu?” tanya ku membuka topik yang lain.
“Masih, kenapa?”
“Pengen tau aja, hehehe.”
“Kirain mau main, main lah sekali-kali.”
“Hahaha, endak mba, cuma pengen tau juga. Eh tapi boleh deh kapan-kapan kalau sempet.”
“Haiyaaah, ya disempetin dong,” protesnya.
“Hehehe. Teruuus, maaf nih, cowok yang waktu itu masih ngejer-ngejer ndak mba?”
“Udah enggak. Cuma beberapa kali aja neror lewat telepon tapi ga aku respon. Bis tu udah. Kamu masih inget aja deh,” komentar mba Ayu.
“Iya lah inget, epic banget waktu itu soalnya, hehehe.”
“Hahaha, untung ada kamu ya. Sempet parno juga waktu itu kalau dia nekat ngejar. Hehehe. Main-main lagi dong ke kost an kalau ada waktu,” pintanya sedikit merayu.
“Iya mba, Insyallah kapan-kapan pas ada waktu senggang,” balas ku.
“Harus ada pokoknya,” paksanya. Aku hanya tersenyum dan mengangguk mengiyakan.
“Eh iya, kamu sendiri sama Gita gimana?”
“Gimana apanya?”
“Hubungan kaliaaan…?”
“Kami tetep sahabatan kok mba, kita berempat…” jawab ku.
“Ah payah!!”
“Kok?”
“Kirain udah di tembak,” ucapnya kecewa.
“Hahaha, mati mba ntar kalau di dor,” canda ku. Mba Ayu ikutan tertawa.
“Eh maaf, mba ayu sendiri sekaraaang, apa udaaah?” tanya ku.
“Menikah?” lanjutnya. Aku mengangguk.
“Hahaha, cowok aja ga punya aku,” balasnya sambil tertawa renyah.
“Masa? Boong ah,”
“Serius, sejak kejadian yang waktu itu, aku ga pernah punya pacar lagi. Hingga sekarang. Males aja rasanya.”
“Trauma?”
“Bisa dibilang begitu.”
“Bahaya.” ucap ku dengan nada mendramatisir.
“Biasa aja ah!”
“Maksud ku, bahaya kalau cewek secakep Mba Ayu sekarang orientasinya berubah, kasian cowok-cowoknya,” canda ku.
“Hahaha, enak aja. Aku masih suka cowok kok. Tapi lagi gak pengen punya hubungan aja ama seseorang,” balasnya.
“Oh gitu.”
“Iyaaa,” balasnya. Dia lalu meneruskan makannya yang tinggal sedikit. Sedangkan aku sudah habis dari tadi.
“Eh mba, masuk lagi jam berapa?” tanya ku karena melihat jam sudah lewat dari jam satu.
“Harusnya sih jam satu, tapi ngaret dikit wajar lah,” balasnya santai. “Udah mau balik ya?” lanjutnya.
“Belum kok, bareng mba aja, aku mah santai, bebas, orang masih pengangguran,” balas ku.
“Owh, ya udah. Temenin bentar lagi ya. Ntar sekalian sama aku aja bayarnya,” ucapnya.
“Loh? Ndak usah. Sendiri-sendiri aja mba, aku ada kok,” tolak ku dengan sopan.
“Sekali ini aja, ntar kalau kamu udah keterima di sini, kamu boleh deh gantian traktir aku pas gajian pertama, hehehe,” balasnya.
“Ehmmm,” aku berfikir sebentar. “Ya udah kalau gitu, makasih ya, hehehe,” lanjut ku.
“Tapi kamu traktirnya di restoran, hihihi,” tambahnya.
“Laaah, menang banyak dong mba Ayu nya,” protes ku.
“Biarin, wajar kan kalo cowok yang modal?” balasnya.
“Hahaha, iya-iyaaa,” balas ku lagi dengan pasrah.
“Hihihi, ya udah yuk,” ajaknya seraya bangkit. Akupun mengikutinya.
Sesuai dengan kesepakatan tadi, mba Ayu langsung menuju kasir untuk membayar makanan yang kami makan. Aku hanya mengekor padanya. Dan lagi-lagi aku disuguhi pemandangan yaaang, ah sudah lah. Pasti sudah mengerti semua apa yang aku maksud. Selanjutnya kami berjalan bersama menuju loby perkantoran sebelum kemudian berpisah. Mba Ayu kembali meneruskan kerjanya, sedangkan aku pulang.
~¤~¤~¤~
Dua minggu berlalu sejak wawancara kerja di kantor mba Ayu. Dan kabar gembiranya, aku diterima. Dan lebih gembiranya lagi, ternyata mba Ayu yang akan menjadi atasan ku langsung. Ya, dia yang akan menjadi supervisor ku. Dan hari ini, aku akan masuk kerja untuk pertama kalinya. Setelah bersiap-siap dan sarapan pagi bersama aku pamit kepada Tiara, Mba Endang, dan Mas Rizal. Mereka berdua mendoakan ku semoga aku bisa mengawali hari pertama ku dengan lancar. Tiara, mengingatkan ku akan janji traktirannya. Dan juga tentang Kiki.
Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, aku tiba di kantor. Kantor ku terletak di lantai sembilan. Suasana kantor masih sangat sepi. Hanya ada seorang security yang berjaga di dekat meja resepsionis dan dua OB yang beberapa kali melintas sambil membawa nampan yang diatasnya terdapat gelas berisi air putih.
“Pagi pak,” sapa ku.
“Pagi mas, ada yang bisa dibantu?” balas nya dengan tegas tapi ramah.
“Saya karyawan baru di sini pak, baru hari pertama,” jawab ku sambil tersenyum.
“Oh baruuu, bagian apa ya mas?”
“Procurement pak, satu team dengan Bu Ayu,” jelas ku padanya.
“Oh team nya Bu Ayu. Kepagian ini mas, baru jam tujuh. Masuknya jam delapan lho,” balasnya.
“Ya gapapa pak, namanya hari pertama. Pengennya kasih kesan yang bagus gitu, hehehe.”
“Hehehe, iya sih. Ya sudah. Tapi mas nya tunggu di sini dulu ya, saya ga berani kalau ngijinin mas nya langsung masuk ke dalam,” jelasnya.
“Oh iya ndak apa-apa pak, santai aja,” jawab ku.
“Tapi mas nya kalau mau bikin minum dulu, ngopi atau ngeteh boleh, saya anter ke pantry,” tawarnya.
“Ndak usah pak, nanti saja, hehehe.”
“Ya sudah. Ngomong-ngomong tinggal dimana mas? Belum kenalan, saya Prapto, satpam disini, mas nya?” tanya pak satpam.
Dan kami pun terlibat perbincangan ringan. Aku mengenalkan diri ku dan dimana aku tinggal. Pak Prapto pun begitu. Setelah itu aku tau kalau tempat tinggalnya ternyata di daerah Depok juga, sama seperti ku. Dan ternyata dia juga dari jawa. Meskipun berbeda daerah.
~¤~¤~¤~
Tepat pukul delapan pas, orang yang aku tunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Siapa lagi kalau bukan Mba Ayu. Eh salah, di kantor aku harus memanggilnya Bu. Ya, Bu Ayu. Dia berjalan dari lift menuju finger print yang berada di dekat meja resepsionis dengan tergesa-gesa. Jalannya nampak lancar sekali meskipun dia menggunakan heels yang cukup tinggi yang menjadi alas dari kakinya yang jenjang.
Penampilannya hari ini sama dengan yang dia kenakan pas hari dimana aku wawancara, hanya berbeda warna saja. Sekarang dia mengenakan rok span berwarna krem dipadu dengan kemeja berenda berwarna biru navy. Dan di tangan dia menenteng tas cewek berwarna merah muda. Membuatnya nampak semakin manis dan anggun dengan sepatu hak tinggi yang senada dengan warna tas nya. Setelah absen, dia lalu berjalan ke arah ku. Mba Ayu memang sudah menyadari keberadaan ku. Dengan nafas masih ngos-ngosan dia lalu menyapa ku.
“Hufft, hampir aja telat. Udah lama?”
“Kurang lebih udah satu abad, Bu,” canda ku.
“Hahaha, bisa aja deh kamu. Eh kamu ga harus panggil aku Bu lho, Mba juga gapapa, tapi terserah kamu juga sih, senyamannya aja. Asal janga panggil nama aja, nanti orang-orang pada nanya-nanya.”
“Iya Mba, eh Bu, panggil Bu aja gapapa kok Mba, eh Bu, hehehe, haduh jadi muter-muter,” balas ku. Jujur aku jadi agak grogi berhadapan dengannya kali ini. Entah apa alasannya.
“Halaaah, malah belibet gitu ngomongnya,” komentar Mba Ayu.
“Hehehe.”
“Ya udah yuk kita ke ruangan,” ajaknya. “Eh tunggu bentar deng,” dia menahan ku. Sejenak kemudian dia memperhatikan ku dari kaki hingga kepala, yang membuatnya harus sedikit mendangak karena aku yang jauh lebih tinggi dari nya.
“Kenapa?” tanya ku polos.
“Ehmmm,” dia hanya manggut-manggut. “Penampilan kamuuu, oke juga, hihihi,” lanjutnya.
“Walaaah, kirain ada apa, hehehe. Makasih pujiannya,” balas ku sambil senyum-senyum sendiri. GR? Jelas lah.
“Oke, lets go, kita ke ruangan dulu. Abis itu baru kita muter-muter yaah,” ajaknya lagi dengan lembut.
“Hah?”
“Maksudnya muter-muter ke seluruh divisi buat kenalan, gitu lhooo,” jelasnya.
“Owalaah, hehehe, kirain.”
“Kamu pikir muter-muter ngapain?” tanyanya lagi sambil berjalan. Kami sudah berjalan bersama menuju ruangan. Ruangan kami berdua. Aduh, ngebayanginnya kok malah jadi gimana gitu ya? Hahaha, sadar Ian!! Bukan waktunya mikir jorok. Dan belum tentu juga kamu hanya berdua dengan Bu Ayu kan?
Kami berdua sekarang telah tiba di ruangan team procurement. Ruangan yang dimaksud disini ternyata hanyalah ruangan kecil yang dibentuk dari sekat-sekat yang memisahkan setiap divisi dalam sebuah ruangan besar.
Sedikit cerita kebelakang, sampai dengan saat tanda tangan kontrak, sebenarnya aku belum tau kalau bakal menjadi bawahannya Mba Ayu. Karena seperti ceritanya dulu, dia mengatakan kalau dia berada dibagian Finance. Nah ternyata Procurement itu berada di bawah sub departemen Finance, sedangkan diatasnya lagi baru departemen Finance and Accounting.
Jadi, kesimpulannya adalah waktu itu Mba Ayu sebenarnya sudah tau bahwa aku adalah salah satu calon karyawan yang akan masuk ke tim nya. Dan ternyata dia juga baru di promosikan setelah supervisor yang sebelumnya resign.
Di dalam ruangan procurement ini ada empat meja. Satu meja terpisah dari tiga lainnya dan posisinya langsung menghadap keluar, ini pasti singgasana Mba ayu. Sedangkan tiga lainya berjajar di sisi kiri dari arah meja itu. Pasti ini untuk staff yang akan dibawahinya, termasuk aku. Berarti aku akan punya dua rekan kerja yang satu tim dan selevel.
“Kamu nanti duduknya di sini ya,” ucapnya sambil menunjuk meja yang paling dekat dengan mejanya. Dia lalu duduk dan meletakkan tas nya di atas meja.
“Duduk aja, ga bayar kok,” candanya setelah melihat ku masih saja berdiri sambil melihat-lihat ke sekeliling. Aku pun duduk. Tapi pandangan ku masih terus bergerak kesana kemari. Sesekali malah menatap ke atas ke langit-langit ruangan yang terang benderang karena nyala lampu.
“Takjub gitu kayanya?” ucapnya lagi sambil menyalakan PC nya. Aku tersenyum.
“Masih belum percaya aku sekarang sudah kerja kantoran kaya gini, hehehe,” balas ku. Dia nampak heran.
“Faktanya kamu sekarang memang sudah resmi menjadi pegawai kantoran,” balasnya. Dia lalu membuka tas nya dan mengambil sesuatu. Peralatan make up. Dia lalu tersenyum pada ku yang heran dengan apa yang dia keluarkan. Ya, aku memang heran. Heran karena wajahnya sudah sangat cantik dan rapi. Pertanyaan ku, apa yang mau di rias lagi?
“Heran gitu sih kamu? Wajar kan kalau di dalam tas ku ada ini?” tanya nya sambil menunjuk peralatannya.
“Bukan gitu Bu, ehmmm, maaf ya, wajah Bu Ayu itu udah cantik banget, ngapain di make up lagi?” balas ku polos.
“Hahaha,” tawanya.
“Hehehe, salah ya?”
“Hahaha, aku memang sudah make up an tadi, tapi tetep harus di poles ulang, hihihi, namanya juga cewek, soal penampilan harus perfect,” lanjutnya sambil mengangkat alisnya.
“Iya sih, setuju kalau itu, biar enak juga dilihatnya, eh end-endak deng,” sial. Salah ngomong lagi aku.
“Apa kamu bilang barusan?”
“End-endak Bu, becanda tadi,” jawab ku panik. Aduuuh.
“Awas ya kalau kamu di sini kerjanya cuma liatin karyawati lain!” peringatnya tegas.
“Ma-maaf. Iya saya ndak akan begitu, saya janji,” jawab ku lemas, dan pelan. Dan bahasa ku mendadak menjadi sangat formal. Duh, Iaaan. Bodoh sekali kamu! Hari pertama kerja udah bikin atasan ga seneng. Sejenak kemudian hening. Aku menunduk. Dengan segala penyesalan. Dari ekor mata ku Bu Ayu masih sibuk dengan peralatannya. Tapi tidak lama kemudian dia selesai dan malah tertawa geli.
“Hihihi.”
“Eh?” aku bingung.
“Hahaha, kamu polos banget dah. Aku bercanda kok, kalau cuma liatin karyawati lain ya silahkan. Asal jangan jelalatan aja matanya. Dan yang penting, jangan sampai ganggu kerjaan kamu,” jelasnya. Aku langsung bernafas lega setelah mendengar penjelasannya. Huuffttt.
“Endak Bu, aku pasti akan fokus ke kerjaan kok,” balas ku dengan semangat.
“Ya bagus kalau begitu. Tapi, jujur aku salut sama kamu,” lanjutnya. Apalagiii ini? Aku tak menjawab ucapannya, hanya memicingkan mata tanda bingung.
“Iya aku salut, salut sama kamu yang baru hari pertama kerja tapi udah berani gombalin atasan kamu, dan aku, yang baru pertama kali punya bawahan langsung jadi korbannya. Hahaha. Iaaan Ian. Aku tu bingung, kamu itu polos apa gimana sih?” tanyanya heran. Aku jadi malu sendiri mendengar penjelasannya.
“Hehehe, ya mungkin karena polos itu Bu jadinya aku kalau ngomong suka apa adanya,” jawab ku.
“Oh ya? Berarti tadi kamu bilang aku cantik itu jujur apa adanya dong? Hihihi,” tanya nya sambil tersenyum geli. Namun sekilas aku juga bisa melihat rona merah di pipinya. Mba Ayu tersipu malu? Tanya ku dalam hati.
“Hehehe, mungkin cuma cowok yang sakit mata nya, atau yang orientasi seksualnya menyimpang yang bilang Ibu ga cantik,” canda ku lagi semakin berani karena aku yakin Bu Ayu tidak akan marah.
“HAHAHAHAHAHAHA!!!” tawanya keras dan panjang sambil memegangi perutnya sendiri.
“Hahaha, beneran deh kamu tuh gombalnya. Udah yuk ah! kita keliling dulu buat kenalan sama temen-temen departemen lain,” ajaknya dengan semangat.
“Ayuk deh. Eh tapi Bu, ini dua meja lagi kosong emangnya? Kok belum ada orangnya ya?” tanya ku yang menghentikan langkahnya.
“Ada satu lagi kok tim kita. Namanya Bu Meli. Aku juga ga tau kenapa belum dateng. Tumben tumbenan telat. Biasanya sih on time.”
“Bu Meli?” tanya ku bingung.
“Iya, dia lebih tuah dari kita, tiga puluhan akhir umurnya. Lebih senior juga dari aku di sini. Aku sendiri juga bingung kenapa aku yang di promosiin jadi supervisor, bukan beliau.”
“Mungkin dilihat dari kinerjanya,” tanggap ku.
“Mungkin, tapi ya sukuri ajalah, rejeki kan itu namanya?” tambahnya.
“Betul,” balas ku.
“Oke. Jadi, bisa kita jalan sekarang?” tanya nya lagi mengajak ku.
“Oke, bisa Bu Bosss,” canda ku. Dia tersenyum geli namun ditahan. Kami berdua lalu keluar ruangan dan Mba Ayu mengenalkan ku dengan karyawan lainnya.
~¤~¤~¤~
Hari pertama berlalu dengan lancar. Semua jobdesk yang diberikan pada ku, dengan cepat aku bisa menangkapnya. Meskipun masih sedikit meraba-raba sih. Tapi secara umum Mba Ayu cukup puas dengan kemampuan ku menyerap sesuatu hal yang baru.
“Yu, aku duluan ya?” pamit Bu Meli pada Mba Ayu. Ya, bu Meli memanggil mba Ayu langsung namanya. Secara level, seharusnya Bu Meli tidak boleh seperti itu. Namun mungkin itu karena sudah kebiasaan sejak dulu waktu mereka berdua masih sama-sama staff, jadi terbawa hingga sekarang.
Dan mungkin juga karena ini masih dalam internal procurement, jadi mba Ayu masih memakluminya. Dan aku lihat sih mba Ayu tidak mempermasalahkannya. Dari pengakuannya, justru dia sedikit tidak enak dengan posisinya sekarang yang memiliki anak buah yang umurnya jauh lebih tua. Sepuluh tahun pasti ada.
“Eh, iya bu. Hati-hati ya,” balas mba Ayu ramah.
“Duluan ya Ian,” pamitnya pada ku juga dengan ramah.
“Iya bu hati-hati,” balas ku. Dia mengiyakan dan tersenyum. Lalu keluar meninggalkan kami berdua di ruangan ini.
Sesaat hening. Aku sebenarnya sudah tidak ada kerjaan lagi. Tapi rasanya kok sungkan banget mau pamit pulang duluan. Apa aku tungguin saja ya? Mba Ayu masih berkutat dengan PC nya. Jari-jari lentiknya masih bermain dengan lincah di atas keybordnya. Pandangannya masih fokus pada layar monitor.
“Kenapa? Kalau udah selesai pulang duluan aja gapapa,” ucapnya seolah bisa membaca isi hati ku. Mata dan tangannya masih fokus pada layar monitor dan keyboard.
“Ehmmm, Bu Ayu masih lama ya?” aku tanya ku balik bertanya.
“Sampai abis magrib paling, kenapa deh?” tanya nya lagi. Sekarang baru jam lima lewat. Berarti masih satu jam an lagi.
“Ndak apa-apa Bu, ndak enak aja rasanya kalau puluang duluan, hehehe,” jawab ku malu-malu.
“Hahaha, ga enak kenapa? Karena aku atasan kamu? Biasa kali disini mah, kalau udah ga da kerjaan ya pulang. Kalau nungguin bos, bisa-bisa ga pulang. Itu Pak Rusdy hampir tiap hari pulangnya jam sembilan jam sepuluhan. Karena kita dan beliau lingkup kerjanya beda. Kita mah delapan-lima. Masuk jam delapan pulang jam lima. Nah beliau, justru diluar jam itu lah jam kerjanya. Jadi santai aja,” jelasnya panjang lebar. Aku hanya manggut-manggut.
“Oh gitu, Bu Ayu sendiri udah biasa pulang malem?”
“Lumayan.”
“Sendirian?”
“Yes!”
“Berani gitu?”
Dia tidak menjawab, tapi langsung menatap ku dengan tajam.
“Jangan iseng ah!!”
Aku bingung dengan ucapannya.
“Sebelum kamu bilang begitu, aku mah berani-berani aja. Tapi kalau kamunya ngomong kaya begitu aku jadi mikir yang enggak-enggak nih,” protesnya kesal sambil cemberut. Aduh salah lagi deh.
“Eh, ma-maaf Bu,” ucap ku dengan menyesal.
“Tanggung jawab! Temenin samapai aku pulang pokoknya!” pintanya masih dengan nada kesal.
“I-iyaa, saya tungguin,” balas ku dengan pasrah.
Detik-detik berikutnya berjalan dengan sangat canggung. Aku hanya duduk saja dengan sesekali memainkan HP ku. Mba Ayu, masih mengetik di komputernya, entah apa yang dia ketik.
“Ian,” panggil Mba Ayu membuyarkan lamunan ku.
“Kamu masih tinggal di sawangan kan?”
“Masih Bu, kenapa?”
“Rute kamu biasanya lewat mana?”
“Cinere, jagakarsa, langsung ke sini,” jawab ku apa adanya.
“Berarti, kalau ke lenteng dulu ga terlalu muter dong ya?” tanyanya.
“Ehmmm?” sejenak aku berfikir.
“Udah ga usah kelamaan mikir. Aku anggep itu enggak muter ya. Dan itu artinya kamu nanti harus anterin aku pulang dulu!” perintahnya tiba-tiba. Aku hanya melongo mendengarnya. Memang ga terlalu muter arah sih. Tapi kenapa jadi tiba-tiba begini?
“Makanya jangan iseng nakut-nakutin,” ucapnya lagi.
“Saya ndak nakut-nakutin Bu,” aku membela diri.
“Tetep aja, gara-gara obrolan kamu tadi aku jadi takut,” ucapnya lagi tidak mau kalah.
“Iya deh iyaaa,” balas ku pasrah.
“Hihihi,” di malah tertawa geli. Lalu kemudian melirik ku sebentar dan tersenyum. Setelah itu melanjutkan pekerjaannya kembali. Dan aku pun, bengong kembali.
~¤~¤~¤~
Setelah tiga tahun lamanya, aku kembali ke tempat ini. Kost Mba Ayu. Rasanya baru kemarin. Dan memang tidak ada yang berubah. Suasananya masih sama seperti yang dulu.
“Kamu ga usah mampir dulu ya, lain kali aja!” ucapnya pada ku begitu dia turun dari motor. Ya, akhirnya aku mengantarnya pulang ke kost nya juga. Menggunakan motor bebek ku.
“Siapa juga yang mau mampir!” balas ku sewot. Sambil memakai tas ku kembali ke punggung.
“Cieee, ngambek nih ceritanya? Mentang-mentang udah di luar kantor ya? Padahal tadi pas aku jutekin dikit aja udah pucet banget. Tapi lucu, hihihi” ledeknya.
Ya, selama menunggu nya tadi aku memang dikerjain. Mba Ayu sendiri yang mengakuinya pas di jalan pulang tadi. Dia hanya berpura-pura marah pada ku. Tapi, akunya juga yang terlalu polos sih. Seharusnya aku bisa membedakan mana yang benar-benar serius, mana yang hanya bercanda. Dan di situ aku kadang merasa sangat TOLOL.
“Makasih,” balas ku dengan malas.
“Hihihi, ya udah pulang sana, besok pulangnya bareng lagi ya. Mayan bisa ngirit ongkos,” tambahnya lagi.
“Hmmm,” balas ku lagi masih dengan malas.
“Senyum dooong!!!” ucapnya lagi sambil menarik pipi kiri ku.
“Heeee,” aku tersenyum juga akhirnya namun dengan terpaksa. Dan garing. Entah kenapa aku malah menjadi childish padanya. Dan seneng aja rasanya. Tapi aku sembunyikan dari Mba Ayu. Gengsi dong.
“Udah?” tanya nya lagi setelah melihat ku siap untuk meneruskan perjalanan.
“Iya udaaah, nih pulang,” balas ku masih sewot sambil menyodorkan tangan ku untuk salim padanya. Iya salim. Aku mencium tangannya.
“Hihihi, TTDJ ya dee,” pesannya dengan sedikit berjinjit. Dia menenteng tasnya dengan kedua tangannya, menutupi kedua pahanya.
“Iya kakaaak, mari kakaaak,” canda ku balik padanya. Dia semakin kegelian dengan sikap ku hingga menutupi senyum di bibirnya dengan tangan kirinya. Lalu kemudian melambaikan tangan pada ku. Dan aku pun berlalu. Meninggalkan kost nya.
~¤~¤~¤~
Saaat diperjalanan aku sambil berfikir mau lewat mana. Kalau lurus, berarti Margonda raya, nanti di ujung belok kanan udah ke arah sawangan. Lebih jauh, tapi jalanan pasti lebih ramai. Atau bisa juga puter balik dan lewat jalan dalam, tapi pasti sepi. Kayanya lebih baik aku lewat jalur yang ramai saja. Aku pun melajukan motor ku. Menyusuri ruas jalan Margonda.
Tepat ketika akan melewati kampus, aku tiba-tiba teringat Kiki. Dia udah pulang kerja belum ya? Aku pun berhenti. Langsung ku ambil HP ku dan menghubunginya. Kali aja bisa ketemuan. Makan nasgor atau pecel lele bareng bisa kali.
“Halo, Ki, lagi dimana?”
“Iaaan, hiks…”
Loh? Kiki nangis? Ada apa ini? Aku sempat berfikir sebentar. Apa aku salah sambung? Kuperiksa kembali layar HP ku, tapi benar kok, ini nomernya Kiki.
“Halo, Ki, kamu kenapa?”
“Iaaan, hiks, kamu dimana? Aku butuh kamu sekarang, tolong aku, hiks…” tangisnya semakin menjadi dari seberang.
“I-iya Ki, tenang dulu, kebetulan aku di deket kampus, makanya aku hubungin kamu, kamu dimana? Kenapa?” tanya ku semakin panik.
“A-aku di kost, hiks…ka-kamu tolong ke-kesini ya Ian, hiks, aku mohooon, hiks…”
“I-iyaa Ki, aku ke situ sekarang juga. Kamu jangan nangis lagi ya. Lima menit lagi aku sampai,” pesan ku pada Kiki. Dia mengiyakan dan aku menutup telepon ku.
Ini ada apa lagi ya? Kiki nangis? Pasti ada suatu hal besar yang membuatnya menangis. Pikiran ku berkecamuk. Membayangkan hal-hal buruk yang mungkin baru saja terjadi. Ah, aku tidak boleh berfikiran negatif dulu. Lebih baik aku segera menuju ke kost nya. Semoga tidak ada apa-apa.
[Bersambung]
Hallo Gaiss, Disini Admin KisahMalah
Agar Admin Semakin Semangat Update Cerita Cerita Seru Seterusnya, Bantu Klik Iklan yang Ngambang ya.
Atau Gambar Dibawah INI
Atau Bagi Kamu yang suka bermain game Poker Online atau Gambling Online lainnya, bisa di coba daftarkan ya. Banyak Bonus dan Hadiahnya Loh.
Untuk yang Kesulitan Daftar bisa Hub Admin di WA untuk di bantu Daftar.
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂