Merindukan Kesederhanaan Part 15

Ooooo…

Seminggu sudah berlalu sejak keberangkatan Gita ke Australia. Jangan ditanya bagaimana rasanya. Rasanya biasa aja. Haha. Tapi bohong. Semua menjadi terasa hampa. Kebersamaan kami satu hari itu telah merubah segalanya. Aku merasakannya. Jujur aku mengakuinya. Tapi, masih terlalu berat bagi ku untuk mengungkapkannya kepada Gita. Aku takut. Terlalu cepat.

Aku takut ini hanya euforia sesaat. Selain itu aku juga takut Gita menganggap ku hanya memanfaatkannya sebagai pelampiasan. Apalagi sebelum berangkat waktu itu dia mengucapkan doanya untuk ku dan Diah. Jadi, aku merasa lebih baik aku memendam rasa ini dulu. Aku tidak mau hubungan ku dengannya malah menjadi renggang. Jadi mungkin akan lebih baik kalau kita berdua menjalani dulu apa ada nya seperti biasa.

Oiya, masalan Doni dan Kiki juga sudah beres. Mereka berdua sih setengah hati marahnya. Di speak-speak dikit juga udah luluh. Hehe. Apalagi kemarin aku ajakin ngumpul bareng seharian. Seneng banget mereka berdua. Lega rasanya kami bertiga bisa kembali seperti dulu lagi.

Kembali ke Gita, praktis satu minggu ini aku tidak berkomunikasi dengannya. Sama sekali tidak. Telephone atau SMS jelas sangat mahal karena pasti kena roaming. Beli HP baru yang bisa untuk chating? Ehmm, apakah se-urgent itu hingga aku harus beli HP? Aku rasa belum. Tapi…

“Pagi-pagi udah bengong aja Ian?” komentar Mas Rizal yang melihat ku melamun di halaman samping rumah. Setelah lari pagi tadi, aku sengaja menyepi ke samping untuk sarapan. Nasi uduk dan segelas teh manis hangat. Cukup untuk menemani kegalauan ku pagi ini. Aku galau? Iya. Aneh rasanya. Tidak biasanya aku seperti ini. Bahkan saat aku tidak bisa berkomunikasi dengan Diah waktu itu aku tidak segalau ini.

“Ah, enggak mas, siapa juga yang lagi bengong,” kilah ku.

“Hahaha, kangen Gita ya?” tembaknya sambil senyum-senyum ngeledek.

“Kangen kenapa? Emang Gita kemana?” tanya ku balik pura-pura ga tau. Entah kenapa aku belum siap kalau kedekatan ku dengan Gita diketahui oleh Mas Rizal atau Mba Endang.

“Halah, pura-pura aja. Orang Pak Weily sendiri yang bilang ke Aku kalau kamu ngajak jalan Gita ampe tengah malem tapi nganterin baliknya ga sampe rumah, ga mungkin kamu ga tau apa-apa. Pak Weily nanti katanya mau kesini mau minta pertanggung jawaban, hahaha,” ucap Mas Rizal.

Hah? Serius? Tanggung jawab? Emang Aku ngapain? Kenapa jadi salah paham gini sih?

“Eh, Mas, i-itu…,” balas ku gugup.

“Hahaha, ga ikut-ikutan ya Aku,” balasnya sambil tertawa lebar. Puas sekali keliatannya. Lah, kakak macam apa ini?

“Tapi Mas, beneran deh Aku ga ngapa-ngapain. Tanggung jawab apa sih?”

“Tanya langsung aja ke Pak Weily, berani berbuat berani bertanggung jawab bro,” ucapnya sambil menepuk bahu kiri. Sialan, ini bercanda apa serius sih. Kok kayanya beneran. Tapi kok aneh. Telepon Pak Weily aja lah. Aku pun bergegas masuk ke dalam rumah untuk mengambil HP ku.

“Mau kemana?” tanya Mas Rizal bingung.

“Kabur, ke bulan!” jawab ku ngasal tanpa menengok.

“Hahaha,” kembali Mas Rizal mentertawakan ku. Aku sudah tidak memperdulikannya lagi. Yang ada di pikiran ku sekarang hanyalah Gita. Eh, Pak Weily maksudnya. Eh, dua-duannya.

***

“Halo, Pak Weily,” sapa ku saat telpon sudah tersambung.

Seperti biasanya, beliau selalu welcome dengan ku. Marah apanya pikir ku dalam hati. Pasti Mas Rizal meng ada-ada pikir ku lagi. Tapi, agar lebih jelas aku tetap harus membicarakannya.

“Alhamdulillah, baik Pak. Bapak apa kabar juga? Ga ada apa-apa pak, pengen ngobrol aja. Oiya, kapan nih ada orderan lagi? Sepi nih pak, kasian anak-anak ga ada kerjaan, hehe” balas ku padanya yang menanyakan kabar ku sekaligus mengatakan kalau lagi sepi orderan. Yang aku maksud anak-anak di sini adalah dua orang tetangga karyawan lepas ku. Songong banget yang aku bilang mereka anak-anak. Hehe. Padahal mereka lebih tua dari ku.

“Alhamdulilah kalau begitu. Siang ini boleh juga. Ya udah nanti siang aja kita ngobrolnya. Bapak selesai dari Gereja jam berapa?” tanya ku. Oiya aku lupa, sekarang kan hari minggu. Pagi-pagi gini Pak Weily pasti lagi di Gereja. Aku jadi ga enak. Langsung saja aku cepet-cepet menyudahi telepon ini.

“Siap Pak. Ya udah kalau gitu nanti siang kita sambung lagi. Maaf nih Pak sudah mengganggu, hehehe,” ucap ku tidak enak.

“Baik pak.”

Aku lalu mematikan telpon ku.

Tuuut…Tuuut…Tuuut…

Perasaan ku kembali tenang. Ini sih pasti Mas Rizal ngerjain aku doang. Tapi ga apa-apa juga sih. Ada hikmahnya. Pas banget ada orderan dari Pak Weily. Aku disuruh ke rumahnya untuk mengukur porselen yang akan dibuatkan hardcase.

***

Ting Tong…Ting Tong…Ting Tong

Suara bel pagar rumah Pak Weily itu terdengar cukup nyaring.

Siang ini, setelah sekian lama, akhirnya aku berkunjung lagi ke rumah ini. Jadi inget dulu waktu awal-awal kuliah, waktu entah dengan sengaja atau tidak Gita dengan mobil nya menabrak ku. Kalau dipikir-pikir lagi, rasanya lucu juga. Dulu, kita saling bermusuhan. Sebenernya ga kita sih, tapi dia. Karena aku sebenarnya selalu open padanya. Dianya saja yang selalu cari masalah dengan ku.

Tunggu dulu, apa jangan-jangan sikapnya dulu itu bentuk dari caranya menarik perhatian ku? Bisa jadi. Tanpa sadar aku senyum-senyum sendiri. Tapi, kalau menarik perhatian masa sampai mau membunuh ku? Lagi-lagi aku dibuat bingung dengan semua tingkah laku Gita pada masa-masa suram ini. Sekarang? Harusnya sih berbung-bunga. Haha.

Tidak lama setelah aku menekan tombol bel itu, seseorang yang aku kenal sebagai satpam rumah Gita keluar membukakan pintu. Aku tau dia satpam, karena pakaiannya. Kalau muka nya, sepertinya aku baru pertama kali ini aku melihatnya.

“Mas Ian ya? Silahkan Mas, sudah ditunggu Bapak, langsung masuk saja,” ucap bapak itu mempersilahkan aku masuk dengam sangat ramah.

“Bapaknya baru ya? Saya baru liat,” balas ku.

“Iya mas, baru sebulanan,” balasnya pada ku.

“Oh gitu, ya udah saya masuk dulu, permisi,” aku pamit menuju ke dalam.

“Silahkan-silahkan,” ucap bapak itu mempersilahkan.

Aku pun masuk ke dalam rumah besar itu lagi. Rumah besar, yang mirip sebuah istana. Meskipun aku sudah beberapa kali ke sini, tapi aku tetap selalu takjub dengan isi rumah ini. Aku harus punya satu suatu hari nanti, untuk kedua orang tua ku.

Saat aku masuk ke dalam, tepatnya tidak jauh dari pintu masuk, ada bi Surti, asisten rumah tangga Gita yang waktu itu membela ku namun dilarang Gita, menyapa ku. Bi Surti ternyata lagi mengelap perabotan rumah tangga.

“Mas Ian, Bapak sudah nunggu di galeri nya, tadi pesannya begitu,” ucapnya pada ku sambil tersenyum ramah.

“Oh, iya bi, siap,” balas ku sambil tersenyum juga dan langsung menuju galeri Pak Weily.

Yang dimaksud galeri di sini adalah sebuah ruangan khusus yang di gunakan pak Weily untuk menyimpan koleksi porselennya. Tapi di ruangan ini hanya teruntuk yang harganya ratusan juta. Kalau di bawah itu yang di pajang di berbagai sudut rumah.

Dua kali ini aku akan masuk ruangan ini. Perkiraan ku, di ruangan ini mungkin ada sekitar dua puluh sampai tiga puluh barang. Kalau dipukul rata dua ratus juta aja, sudah berapa itu. Dan itu baru sebagian kecil hartanya. Orang kaya.

Saat masuk, aku mendapati Pak Weily sedang duduk di sebuah kursi nyamannya sedang mengamati sebuah barang yang terbuat dari logam, entah apa jenisnya. Barangnya berbentuk seperti cawan namun tebal dan ceper, serta ada semacam pegangan di dua sisinya. Seperti sebuah tempat untuk membakar dupa pada zaman dahulu. Itu kan…yang Mas Rizal kasih tau ke aku tempo hari. Apa Pak Weily sudah membeli nya?

“Permisi,” sapa ku pelan takut membuyarkan konsentrasinya. Iya konsentrasi karena Pak Weily nampak sangat serius dengan sebuah kaca pembesar ditangan kanannya.

“Eh, Ian, ayo masuk, aku sudah menunggu mu dari tadi,” balasnya. Dia langsung meletakkan benda yang dia amati dan dan langsung bangkit menyambut ku. Sangat ramah.

“Maaf sudah membuat Bapak menunggu, hehe,” balas ku basa basi.

“Santai, wajar. Namanya jakarta. Apalagi weekend gini, silahkan duduk.”

Aku pun duduk di kursi yang satunya.

“Hehe, iya macet banget,” ucap ku. Pak Weily memandang ku dengan tersenyum. Aku sempat bingung apakah ada yang salah dengan ku.

“Kenapa pak senyum-senyum?” tanya ku.

“Haha, ga apa-apa, ga nyangka ya kita berhasil,” balasnya. Berhasil?

“Maksudnya?” tanya semakin bingung.

“Gita.”

“Kenapa Gita?”

“Jangan pura-pura ga gerti!”

“Maksud bapak tentang perubahan Gita?”

“Tentu saja. Meskipun masih agak jaim, tapi dia mulai nunjukin perubahan. Terima kasih banyak untuk itu.”

“Saya ndak ngelakuin apa-apa pak, kan kejadian waktu itu ndak di rencanakan,” balas ku.

“Memang. Tapi aku tau kamu menasehati Gita untuk merubah sikapnya ke semua orang, termasuk ke aku.”

“Kalau itu mungkin memang seharusnya saya menasehatinya begitu. Kebetulan saja yang kemarin itu ke Gita.”

“Apapun itu, aku sangat menghargainya.”

“Terima kasih pak.”

“Aku yang seharusnya berterima kasih. Makanya aku meminta mu kesini.”

“Bapak meminta saya datang karena ada barang yang mau dibuatin hardcase kan?”

“Ah, itu nanti saja. Aku meminta mu datang untuk….”

“Menanyakan perihal Gita pulang malam waktu itu kan?” potong ku.

“Hahahaha.”

Pak Weily bukannya mengiyakan malah tertawa.

“Ada yang lucu pak?” Tanya ku bingung.

“Pasti Rizal yang bilang begitu.”

“Memang.”

“Dan kamu percaya?”

“Saya? Iya.” Balas ku dengan polosnya.

“Hahahaha.” Pak Weily semakin mentertawakan ku.

“Rizal dipercaya, hahaha.”

“Jadi bohongan?”

Pak Weily hanya mengangguk. Sebenarnya aku sudah mengiranya dari awal. Tapi belum yakin kalau belum mendengarnya langsung dari Pak Weily.

“Aku justru mau memberi mu ini,” ucap Pak Weily sambil menyodorkan sebuah kertas kepada ku. Apa ini? Check? Limaratus juta?

“Apa ini pak?”

“Imbalan untuk mu,” jawabnya enteng.

“Maaf, saya ndak bisa menerimanya,” balas ku sambil menyodorkan lagi check itu padanya.

“Apa kurang?”

“Ndak sama sekali.”

“Lalu?”

“Saya tidak menginginkannya. Itu saja.”

“Kenapa?”

“Apa perlu saya jelaskan lagi?” jawab ku agak meninggi.

“Jadi kamu menolaknya?”

“Maaf, iya.”

“Oke,” balas Pak Weily singkat sambil mengangkat alisnya. Sebenarnya aku merasa sangat tidak enak. Tapi, hati ku mengatakan aku harus menolaknya. Orang tua ku tidak pernah mengajarkan untuk pamrih pada orang lain.

“Tapi Pak Weily mungkin bisa menyerahkan uang itu untuk Pak Ahmad dan anak-anak itu jika mau,” ucap ku yang tiba-tiba teringat dengan anak-anak asuh Gita.

“Kamu tau mereka?” tanyanya. Masih dengan raut muka kecewa namun sudah sedikit bisa menerima.

“Tau, saya pernah sekali diajak Gita ke sana.”

“Jadi kamu sudah tau semua?”

“Tau semua? Memangnya ada yang dirahasiakan?” tanya ku balik karena bingung.

“Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya pak Weily lagi.

“Pertanyaan Pak Weily memberikan kesan ada sesuatu yang dirahasiakan.”

“Ah, tidak. Jadi, sebenarnya apa yang sudah kamu tau?” tanyanya lagi. Dia seperti kuatir ada sebuah rahasia yang aku ketahui. Tapi, apa ya?

“Tidak banyak, hanya sesuatu yang tidak terlalu penting yang saya yakin Pak Weily pasti sudah mengetahuinya, hehehe” balas ku. Aku sengaja tidak menjawabnya secara langsung.

“Kamu bisa saja menjawabnya.”

“Saya tidak harus menjawab semua pertanyaan bapak kan?”

“Hahaha, tentu saja. Kita ini rekan bisnis. Kita berbicara antar pebisnis. Kamu jangan memandang ku sebagai bos nya Rizal,” ucapnya tegas. “Kenapa kamu tersenyum?” tanya Pak Weily lagi yang aku sendiri juga tidak tahu kenapa malah tersenyum.

“Ah, endak Pak, hehe,” balas ku masih senyum-senyum.

“Dasar kamu, ya udah yok kita ukur barangnya,” ajak Pak Weily. Beliau sudah beranjak bangkit. Tapi aku masih duduk.

“Pak, satu lagi,” ucap ku menghentikan gerakannya.

“Apa itu?”

“Gita, kapan balik Pak?”

Pak Weily tidak langsung menjawabnya. Dia menatap ku dengan tajam dan serius. Dan tetap begitu hingga beberapa detik. Apa dia curiga atau berfikir yang macam-macam ya?

“Mungkin tidak balik. Kenapa kamu tidak tanya sendiri saja?” tanyanya agak sinis tapi kemudian langsung meninggalkan ku. Aduh, salah nanya nih pikir ku. Tapi bodo amat lah. Aku penasaran. Aku lalu mengikutinya.

***

Sekitar tiga puluh menit aku mengukur barang antik milik Pak Weily. Total ada enam belas barang. Dengan cepat aku menghitung total harganya. Itungannya gampang. Volume hardcase dikali tujuh rupiah per centi meter kubik ditambah ongkos kerja seratus ribu. Setelah ditotal, angkanya lima juta sekian, hampir enam juta.

“Berapa jadinya?” tanya nya saat dia menghampiri ku. Tau saja kalau sudah selesai. Sebelum ini beliau masuk ke dalam rumah inti.

“Lima juta delapan ratus ribu Pak, ini perinciannya,” aku memberikan selembar kertas berisi angka list harga per satuan.

“Tidak perlu, kamu pegang saja. Tunggu sebentar,” balasnya. Pak Weily kemudian pergi lagi.

Lah, ditinggal lagi. Tapi ternyata tidak lama. Tidak sampai lima menit beliau sudah kembali.

“Nih, aku bayar di muka. Ini tidak bertentangan dengan idealisme mu kan?” tanyanya menyindir ku.

“Enggak, sih pak, tapi biasanya barang di kirim baru bayar. COD istilah kerennya, hehehe.”

“Pegang saja sekarang. Siapa tau kamu mau beli sesuatu.”

“Beli sesuatu, apaan?”

“Mana aku tau. Oiya sorry, bukannya ngusir, tapi aku ada janji sekarang dengan orang,” ucapnya basa-basi.

“Owh, gapapa Pak. Ya udah deh, ini saya terima sekarang. Terima kasih banyak.”

“Sama-sama. Yang rapi ya kerjannya.”

“Siap!” balas ku.

Aku pun berpamitan dan meninggalkan rumah Gita. Meskipun dengan sedikit keanehan. Pertama dia membayar hardcase nya dimuka. Kedua, dia mengusir ku dengan halus. Dua hal itu tidak pernah beliau lakukan sebelumnya. Tapi ya sudahlah. Biarin aja. Orang kaya kadang melakukan sesuatu sesuka hatinya.

***

Saat diperjalanan pulang aku malah jadi kepikiran dengan ucapan Pak Weily.

Siapa tau kamu mau beli sesuatu

Beli sesuatu? Aku kan memang lagi pengen beli HP yang bisa buat WA. Apa aku beli itu aja ya? Tapi kok bisa kebetulan banget?

Aku masih terus berfikir. Lima koma delapan, kalau diambil empat puluh persen sebagai asumsi biaya bahan baku maka laba ku sekitar tiga koma lima juta. Untuk ongkos kerja, enam belas hardcase berarti satu koma enam juta, ditambah ini itu anggep saja jadi dua juta. Berarti laba bersih ku sekitar satu koma lima juta. Cukup itu sih. Beli-enggak-beli-enggak-beli. Beli aja deh.

“Bang kiri bang,” ucap ku menyetop angkot yang ku naiki.

Setelah membayar ongkosnya, tanpa pikir panjang aku langsung turun dan menyeberang jalan untuk naik angkot dengan arah berlawanan. Tujuan ku adalah sebuah mall di kotak depok. Di jalan Margonda Raya.

***

Dengan santai aku berjalan memasuki mall ini. Jujur, aku jarang main ke mall. Ke mall ini, yang notabene jaraknya sangat dekat dengan kampus pun aku hanya pernah tiga kali ke mall ini. Berbekal ingatan seadanya aku langsung menuju lift. Pusat elektronik ada di lantai paling atas, maka aku pilih naik lift saja dari pada eskalator.

Langsung saja aku tekan tombolnya begitu sampai di depan lift. Aku pun masuk saat pintu lift terbuka. Ketika sampai di lantai satu, lampu menyala dan lift terhenti. Tidak lama kemudian pintu terbuaka lagi dan seseorang yang aku kenal berdiri di depan pintu lift.

“Eh, kamu?” sapanya. Dia lalu masuk.

“Eh, Mba Ayu,” balas ku malu malu. Dia lalu masuk dan berdiri tepat di samping ku. Tinggi Mbak Ayu hanya sedikit di atas bahu ku. Dari posisi ini tanpa sengaja aku melihat ke arah tonjolan dadanya dari atas. Sialan. Putih banget. Aku melihat bagian bawah lehernya yang terekspos karena leher kaos yang dikenakannya cukup lebar.

“Sendirian?” tanya nya masih menatap lurus ke depan. Langsung saja ku buang pandangan ku. Takut dia akan memergoki mata ku yang menatap tajam ke dadanya dari pantulan pintu lift.

“Iya Mba, sendiri. Mau beli sesuatu ke atas. Mba Ayu sendiri?”

“Aku mau ketemu seseorang, hehe.”

Karena hanya satu lantai, kami sudah sampai di lantai dua. Mba Ayu aku persilahkan untuk keluar duluan. Aku kemudian menyusulnya.

“Temennya sudah datang mba?” tanya ku basa basi. Kami berdua berjalan beriringan.

“Udah kok, katanya sih udah nunggu di foodcourt. Lah, kamu mau ke mana?”

“Aku mau ke eletronik center Mbak.”

“Owh, ya udah bareng aja sampe foodcourt, nanti kamu tinggal belok kanan,” tawarnya.

“Oke deh,” balas ku. Tentu saja aku mau jalan bareng dengannya. Siapa juga cowok yang nolak jalan beriringan dengan cewek secantik Mba Ayu. Hehehe.

“Gimana kabar Gita?”

“Gita? Kok nanya ke aku?”

“Hehehe, ya siapa tau kamu tau.”

“Dia lagi ke Australia Mba, nengokin Kakaknya yang mau nglahirin.”

“Tuh kan, kamu tahu. Enak ya bisa jalan-jalan keluar negeri.”

Horang kaya, hahaha.”

“Hehehe, ember.”

Lalu hening sesaat. Kami masih terus berjalan.

“Mba, boleh nanya?”

“Ya?”

“Masalah BEM, Aku bingung nih, kayanya ketinggalan banget sama temen-temen yang lain.”

“Kamu santai saja. Toh yang kamu alamin waktu itu kan musibah yang ga bisa kita prediksi. Justru aku, dan semua anggota BEM masih ada rasa bersalah karena acara itu, kamu hampir kehilangan nyawa mu,” balasnya.

“Akhir-akhir ini aku udah mulai sibuk dengan skripsi. Jadi udah mulai sedikit-sedikit mengurangi porsi di BEM. Paling-paling bulan depan saat pemilihan Presiden BEM, aku baru aktif lagi untuk mengurusi semuanya,” lanjutnya dengan santai.

“Owh gitu. Tapi semua kebijakan BEM masih ditangan Mba Ayu kan?” tanya ku.

“Tentu saja. Semua program kerja masih bergantung dengan ku. Hanya saja, aku sudah tidak terjun langsung lagi,” jawabnya. Kami masih terus berjalan beriringan.

“Owh, begitu.”

“Pokoknya kamu tenang saja. Teman-teman yang lain pasti ngerti lah gimana kondisinya kamu waktu itu dan sekarang. Kalau ada apa-apa, tanya ke koordinator kamu saja. Atau ke aku langsung juga boleh,” pesannya.

“Siap Mba, hehe,” balas ku. Kami sudah hampir sampai ke foodcourt.

“Kalau sudah tingkat tiga nanti kamu calon jadi Presiden BEM ya, nerusin program-program kita yang sekarang,” pintanya. Entah serius atau cuma bercanda.

“Haha, lihat nanti saja kalau itu Mbak. Eh, aku duluan ya Mba,” ucap ku saat menyadari kita sudah sampai di foodcourd. Dari sini electronic center ke arah kanan dari arah jalan ku tadi.

“Eh, iya. Tuh temen ku juga udah keliatan tuh. Berkabar dong kalau ada waktu luang, jangan hubungin aku kalau ada perlu nya doang, hihihi,” balasnya sambil tersenyum manis.

“Oke Mba, nanti aku telpon deh, daaa…,” balas ku ngasal mau meneleponnya sambil sedikit melambaikan tangan ku.

“Aku tunggu. Oke bye bye…”

Kami pun berpisah. Ga nyangka akan ketemu Mba Ayu di sini. Makin hari makin cantik aja. Hehehe. Tapi tetep, yang paling cantik masih Diah. Diah yang paling cantik? Yakin? Gita? Gita juga cantik. Sekarang sudah jadi anak baik lagi. Duh, jadi galau. Galau? Emang lu di suruh milih Ian? Hahaha. Aku malah tertawa dalam hati memikirkan dua wanita itu.

Yang satu, Diah, aku yakin dua hati kami sudah saling menyatu. Orang tuanya yang jadi penghalang. Penghalang? Yakin? Kamu saja belum pernah menghadap ke bapaknya Ian. Ga fair kalau kamu bilang Bapaknya jadi penghalang.

Pertanyaannya kenapa Aku tidak pulang dan menemui mereka? Kalau kalian bertanya begitu, jawabannya adalah ada rasa nyaman dari orang lain yang aku terima belakangan ini. Dan itu dari Gita. Permasalahannya Aku masih belum yakin dengan perasaan ini. Terlalu cepat. Aku takut ini hanya perasaan sesaat yang kalau suatu saat nanti terjadi masalah diantara kita akan membuat hubungan kami berantakan. Aku tidak mau. Mending untuk sekarang ini kita tetap sahabatan tetapi terjalin hubungan yang akrab. Ya, aku rasa lebih baik begitu. Biarlah waktu yang mengatur semuanya.

Terus memikirkan masalah ini, tak terasa aku sudah tiba di lokasi. Di tempat ini, isinya toko HP semua. Ga cuma HP sih, tapi HP dan segala aksesorisnya.

“Boleh kakak, di lihat-lihat dulu.”

“Boleh kakak, cari HP apa ka?”

Begitulah kira-kira suara para penjaga toko itu ketika menawarkan dagangan mereka. Bingung juga aku mau mampir ke yang mana. Ga mau pusing, bermodalkan insting saja, aku lalu berhenti di salah satu toko.

“Bisa di bantu? Cari HP Mas?” sapa mbak nya.

Aku tidak langsung menjawab. Karena jujur aku bingung mau beli HP apa. Aku pura-pura lihat-lihat ke etalase dulu. Dari pada pusing, minta saran mba nya aja deh.

“Masih bingung nih mba, saya ada uang satu setengah, kira-kira yang di bawah itu apa ya? Tapi yang bisa untuk internetan, hehehe,” balas ku sambil tersenyum. Cukup nekat aku sebenarnya. Aku ga akan tau kalau mba nya menipu ku karena aku tidak tau harga pasaran HP.

“Ehm…satu setengah ya mas? Sebentar,” balasnya lalu membuka etalase dan mengambil tiga HP dari tiga merek yang berbeda.

“Saya sih saranin diantara tiga ini mas,” ucap mba nya lagi. Sedetik kemudian, dengan bahasa khas sales nya si embak nyerocos tanpa henti menjelaskan keunggulan dari masing-masing HP tadi. Setelah aku perhatikan, dari ketiga HP tersebut memang tidak terlalu banyak perbedaannya. Mungkin memang satu kelas. Dari pada kelamaan, aku pilih saja satu yang modelnya paling menarik.

“Yang ini aja deh Mba. Eh mba, di sini jual kartu perdana juga?,” tanya ku saat melihat beberapa paket kartu perdana yang dipajang rapi di pojok etalase.

“Ada dong mas, mau sekalian? Ntar kita bantu setingin deh,” balasnya sambil tersenyum dan mulai membuka box HP ku.

“Ya udah deh, sekalian aja. Nanti aplikasi yang standarnya setingin sekalian ya mba, akunya gaptek, ndak mudeng, hehe,” ucap ku polos. Aku memang tidak mau pusing. Kalau bisa ya yang tinggal pakai saja.

“Siap. Masnya tunggu aja dulu ya. Ini diminum dulu,” ucapnya ramah sambil menyodorkan segelas akua gelas kepada ku. Aku pun dengan sabar menunggu. Duduk dengan gantengnya. Pasang tampang kalem. Sambil menikmati sajian langsung dari cewek-cewek mall yang lalu lalang. Yang tentu saja penampilannya lebih menarik daripada cewek-cewek yang sering aku lihat di lingkungan rumah. Hahaha. Beli HP bonus cuci mata.

***

“Nih mas, sudah selesai. Saya sudah setingin wasap dan bbm nya. Sosmednya juga sudah ada, tinggal login aja,” jelas mba nya membuyarkan lamunan ku.

“Eh, udah ya, hehe,” balas ku.

Setelah berbasa-basi sebentar aku lalu meninggalkan toko HP ini. Ini adalah barang mahal pertama, mahal untuk ukuran ku, yang aku beli menggunakan uang hasil keringat ku sendiri. Alhamdulillah.

Dengan bergaya layaknya anak muda jaman sekarang, aku berjalan meninggalkan toko HP tadi sambil memainkan HP baru ku. Hahaha. Norak sih pikir ku. Tapi gapapa lah sekali-kali.

Dengan bersemangat aku langsung memasukkan nomor kontak Gita. Tidak sabar rasanya ingin segera menghubungi dia lewat WA. Pasti akan menjadi kejutan baginya karena sebelumnya dia yang paling cerewet menyuruh ku untuk membeli HP baru. Rasanya seperti kembali ke masa awal SMA yang baru mengenal apa itu yang dinamakan dengan cinta. Cinta?

Sedang asik memasukkan nomer Gita, tiba-tiba aku melihat seperti ada kegaduhan di pinggiran area foodcourt. Ada apa ya? Rasa penasaran ku mendorong kaki ku untuk melangkah kesana. Saat sudah sampai di dekat dengan orang-orang itu, aku melihat seseorang yang aku kenal. Mba Ayu?

“LEPASKAN!!,” aku mendengar teriakan Mba Ayu dari kejauhan. Ada apa ini? Aku langsung mendekat. Tanpa sengaja pandangan ku beradu dengan Mba Ayu. Mba Ayu yang menyadari keberadaan ku langsung berlari ke arah ku. Tapi aku juga melihat seorang laki-laki ikut mengejarnya.

Mba Ayu langsung meraih lengan ku dan langsung menarik ku ikut menjauh dari kejaran laki-laki itu. Namun si laki-laki tidak mau kalah. Dia berlari menyusul kami berdua dan menghadang jalan kami. Merasa terpojok Mba Ayu langsung berbalik dan berlindung di balik badan ku.

“Siapa lu?” tanya pria di depan ku.

“Aku? Nama ku Ian,” jawab ku dengan santai.

“Gua ga butuh nama lu, gua tanya, lu siapa berdiri di situ?”

“Ini tempat umum, semua orang bebas berdiri di sini.”

“Banyak bacot lu!” ucapnya lalu tanpa ba bi bu langsung merengsek ke depan dengan tinju ditangan kanannya.

Untungnya aku masih sempat berfikir harus bagaimana. Aku tarik Mba Ayu agar bergeser ke arah kiri ku. Saat tinju dari pria tadi hampir mengenai ku, langsung ku raih lengannya lalu ku tendang belakang lututnya hingga dia berlutut. Iseng ku muncul, ku tapak kan kaki kanan ku tepat di atas punggungnya. Setelah itu dengan mantab ku jejakkan kaki ku ke depan hingga membuatnya jatuh tersungkur.

Sempat menahan senyum aku melihat ekspresinya saat terjatuh itu. Lucu sekali. Tapi aku tidak mau berlama-lama. Segera ku tarik Mba Ayu ke arah lift sebelum pria itu menghadang kami lagi. Aku dan Mba Ayu sudah di dalam lift saat pria yang ku tendang tadi tergopoh-gopoh berusaha mengejar ku. Ku akui semangatnya pantang menyerah tapi terlambat. Pintu sudah tertutup dan kami berdua sudah turun.

Sesaat ku pandang wajah Mba Ayu dengan sorot pandang serius. Sekilas dari raut mukanya seperti merasa bersalah dan tidak enak karena sudah melibatkan ku. Aku yang tidak tega langsung memberikan senyuman. Dan Mba Ayu pun nampak lebih tenang. Kami masih tetap diam seribu bahasa. Sengaja aku tidak membahasnya sekarang karena fokus untuk pergi meninggalkan tempat ini secepatnya.

Dengan tergesa kita berdua berjalan menuju jalan raya depan mall. Tidak mau pusing dengan angkot, Aku langsung menuntun Mba Ayu ke salah satu taxi yang memang sengaja menunggu penumpang di mall ini.

“Kemana pak?” tanya pak sopir.

“Jalan dulu aja pak,” perintah ku.

Mobil pun mulai berjalan. Aku dan Mba Ayu masih sama-sama diam. Sopirnya pun begitu. Lalu tiba-tiba…

“Hiks…hiks…hiks…,” suara tangis Mba Ayu mulai terdengar. Sopir sempat sekilas melirik dari arah spion namun kemudian kembali fokus ke depan. Profesionalitasnya ternyata masih lebih tinggi dari rasa ingin tahunya.

“Mba?”

“Ian, hiks…pria brengsek itu…hikss…huaa…,” ucap Mba Ayu nggak jelas. Sepontan aku langsung memeluknya dari samping. Berusaha menenangkannya. Kalau feeling ku benar, pasti masalahnya ga jauh-jauh dari perselingkuhan. Dasar anak muda. Eh, Aku kan lebih muda ya, hehehe.

“Sudah Mba sudah, Mba tenang dulu ya. Mba sekarang aman sama aku. Pokoknya Mba Ayu tenang dulu. Kita sekarang pergi kemana? Nanti Mba boleh cerita semua unek-uneknya sama aku,” bisik ku pada telingannya. Dan berhasil. Mba Ayu mulai sedikit tenang dan setelah berfikir sejenak dia memberikan sebuah alamat di daerah Lenteng Agung. Taxi pun langsung meluncur kesana.

***

Sekitar setengah jam kemudian kami sudah tiba di alamat yang dimaksud. Rupanya sebuah rumah kontrakan. Aku sempat bingung kenapa malah kesini. Bukannya akan sangat mudah bagi pria tadi untuk menyusul kesini. Tapi Mba Ayu ternyata sudah memperhitungkannya. Dia baru seminggu pindah kesini dan pria tadi belum mengetahuinya.

Masih dengan raut muka sedihnya, Mba Ayu mempersilahkan ku masuk. Kontrakan ini berbentuk petakan. Seperti pada umumnya, ada satu ruangan untuk tamu di depan, tapi aku tidak tau bagaimana di dalamnya.

Setelah dipersilahkan duduk, Aku pun duduk bersila di atas karpet yang halus dan wangi ini. Bukannya menawari ku minun, Mba Ayu malah ikut duduk di samping ku dengan posisi kaki ditekuk dan memeluk lututnya sendiri.

“Makasih buat yang tadi,” ucapnya memecah keheningan.

“Sama-sama Mba, tapi jujur Aku masih penasaran sebenarnya tadi itu apa yang terjadi?”

“Dia, pacar ku Ian. Mantan pacar. Karena Aku sudah memutuskannya tadi. Hiks…di-dia…dia selingkuh Ian. Aku memergokinya, lagi jalan ama pacarnya yang lain, hiks…huaa” jelasnya. Tangisnya mulai pecah lagi. Reflek aku agak menggeser duduk ku agar semakin dekat sebagai rasa simpati.

“Jadi, Mba Ayu tadi berbohong waktu bilang ada janji dengan seseorang?”

“Iya, hiks…Aku dapet laporan dari teman ku kalau lihat, hikss…Angga sedang jalan dengan, hikss…wanita lain…hikksss…huaaa…Ian, Aku salah apa? Sa-sampai pria brengsek i-itu berbuat seperti itu…,” tangis Mba Ayu semakin menjadi.

Bicaranya mulai sesenggukan. Kepalanya menunduk. Aku sekarang bukan lagi duduk di sampingnya. Melainkan memelukanya lagi dari samping. Tangan kiri ku mengusap lengan kirinya, begitu juga dengan tangan kanan ku yang mengusap lengan kanannya.

“Mba, Mba Ayu dengerin Aku. Ga ada yang salah dengan Mba Ayu. Sumpah demi Allah sama sekali ga ada yang salah. Yang salah itu pria itu mba. Pria itu yang salah dan bloon karena udah nyia-nyiain Mba Ayu.”

“Tapi Ian, sakit rasanya…hikksss…sakit banget…”

“Mba, aku ngerti apa yang Mba Rasain saat ini. Tapi Mba ga boleh sedih begitu. Maksud ku, sedih boleh tapi jangan berlebihan dan yang penting jangan sampai berpengaruh negatif ke diri Mba sendiri. Mba dengerin aku. Mba itu cantik. Cantik banget malah menurut ku, pinter lagi. Jadi, tidak sepatutnya Mba untuk sedih. Seharusnya pria bego itu yang sedih karena telah kehilangan Mba Ayu. Aku yakin kok masih banyak pria baik-baik di luar sana. Satu lagi, Aku tau Mba Ayu ini orang baik, dan aku yakin, orang baik akan berjodoh dengan orang baik. Begitu juga sebaliknya.”

“Benar kah itu?”

“Eh, tentu saja. Mba Ayu itu cantik”

“Maksud ku, apakah menurut mu Aku ini orang baik?”

“Sejauh yang aku tau, iya. Mba Ayu orang yang baik.”

Dia lalu menatap ku tajam setelah mendengar penjelasan ku. Lalu kemudian seperti tersenyum kecut. Aku tidak tau apa maksud nya.

“Atau, aku kurang cantik kali ya?” tanyanya polos sambil menopang dagu ke arah ku.

“Cantik Mba, cantik banget, beneran deh,” balas ku agak gugup karena mendapatkan senyuman manis dari nya.

“Sama Gita, cantikan manaa?” tanya nya lagi tiba-tiba.

“Gita,” ucap ku sepontan karena teringat aku tadi seharusnya mau tes WA ke dia. Tapi sepertinya aku salah ucap. Mba Ayu menangkapnya lain. Mati Aku.

“Emang sih, Gita cantik banget, ga perlu dibandingin kalau itu mah,” ucapnya lesu. Makin lesu aja dia. Namanya cewek, momen seperti ini seharusnya aku menghiburnya. Bukan malah bilang ada wanita lain yang lebih cantik dari nya. Walaupun memang lebih cantik Gita sih. Tapi tetap, Diah masih yang paling cantik. Tapi kan aku ga sengaja.

“Hahaha, bukan gitu Mba, maksud ku tadi tu…aku lupa mau WA Gita, gitu,” kilah ku sambil menunjukkan HP ku. Entah maksud nya apa aku menunjukkan HP ku yang justru malah membuatnya tau aku punya HP baru. Terlihat dari anti gores yang masih bawaan pabrik.

“Eh, HP baru, cieee, pasti mau buat video call an sama Gita, ya kaaan?,” ledeknya.

“E-enggak kok, beneran deh. Abis dapet rezeki aja makanya beli HP, biar kekinian, hehehe,” jawab ku berkilah lagi.

“Coba sini lihat!” ucapnya tiba-tiba sambil merebut HP ku dengan gesit. Dan sekarang HP baru ku sudah berpindah ke tangannya.

“Mana? Kok belum ada?”

“Tadi kan udah aku bilang, baru mau nge WA tapi keburu lihat Mba Ayu tadi.”

“Oiya ya, maaf ya.”

“Ga perlu minta maaf Mba. Bagi ku, yang penting sekarang Mba Ayu ndak sedih lagi.”

“Kamu baik banget. Makasih ya,” ucap Mba Ayu.

“Iya Mba, sama-sama. Mba juga udah banyak membantu ku. Manusia kan harus saling tolong-menolong.”

“Tapi tidak semua orang punya pikiran seperti mu.”

“Tapi masih ada,” balas ku optimis.

“Sedikit,” ucapnya pesimis.

“Maka jadilah salah satunya, meskipun sedikit,” balas ku.

“Eh, ehmm…baiklah,” balasnya sambil menyodorkan HP ku lagi.

“Nih, tuan putri nya di WA dulu, udah kangen pasti dia sama kamu. Oiya, mpe lupa belum ditawarin minum. Mau minum apa?”

“Tuan putri apaan kaya gitu? Nenek lampir dia mah. Hehe. Apa aja mba yang penting dingin, hehehe.”

“Okay, bentar yah,” ucapnya saat meninggalkan ku.

Aku mengangguk pelan. Lega rasanya Mba Ayu sudah kembali seperti biasa. Setidaknya sudah lebih tenang. Aku lalu mengambil HP. Masih sambil meraba-raba, ku coba mengirimkan pesan ke Gita.

To Gita: Halo…

Setelah terkirim, aku masih terus mengotak-atik “mainan” baru ku ini. Aku memang cukup memiliki rasa penasaran yang tinggi untuk sesuatu hal yang baru. Tidak lama kemudian datang balasan dari Gita. Kami pun berchating ria.

From Gita: Ian? Ini beneran Ian?

To Gita: Yoi brooo…

From Gita: Bra bro bra bro, aku kan cewek L

To Gita: Hehehe, tapi lebih galak dari cowok

From Gita: Iiihhh…Ian mah gitu, itu kan duuluuuu…sekaraang udah maniiissss taauuuuu… sebel iiihhh!!!

Nih anak, semakin gemesin aja ya. Hehe. Belum sempat aku bales, chatnya sudah muncul lagi.

From Gita: Emang kapan beli HP nya?

To Gita: Barusan aja, ini kamu cewek pertama yang aku coba, eh maksud nya aku WA.

From Gita: Iiihhh…Ian porno!! Owh, beli HP sengaja biar bisa hubungin akuh yah? J

To Gita: Pedeee!!!

From Gita: Biarin!! Beli dimana?

To Gita: Deket kampus

From Gita: Owh, I see. Berarti sekarang masih di mall dong? Tumben?

To Gita: Udah enggak sih

From Gita: Tentu saja. Kaya alergi gimana gitu kan. Hhmmm…

To Gita: Hehehe

From Gita: Jadi kamu sekarang dimana sih? Udah pulang?

To Gita: Belum juga. Aku lg di kost an Mba Ayu. Tadi ga sengaja ketemu trus main deh.

Eh iya sampe lupa nanya, kamu sendiri lagi apa?

Tidak ada balesan lagi dari nya. Hanya di baca. Padahal statusnya online. Ku chat lagi saja.

To Gita: Git?

From Gita: Ooooooo…lagi dikosan…

Eh udah dulu ya, aku lagi ada perlu. Byee…

To Gita: Eh, Git? Kok udahan? Kamu pulang kapan jadinya?

Lagi-lagi WA ku hanya di baca. Tanpa dibalas. Tapi sekarang statusnya sudah tidak online lagi. Aku jadi penasaran sendiri dengan perubahan sikapnya. Kenapa ya? Apa aku salah ngomong? Enggak deh kayanya.

Tapi ya sudah lah, mungkin memang dia lagi sibuk. Ntar aku coba hubungi lagi saja. Sekarang aku mau fokus memastikan kondisi psikis Mba Ayu baik-baik saja dan tidak melakukan perbuatan yang bisa mencelakainya sendiri. Meskipun orangnya sudah agak tenang, tetap saja namanya wanita yang sedang patah hati, bagaimana pun kuatnya pasti akan galau juga. Dan butuh orang untuk berkeluh kesah. Semoga kali ini aku bisa membantunya.

[Bersambung]

Daftar Part

By Kisah Malam

Kisah Malam adalah sebuah Website yang berisikan Novel Dewasa, Novel Sex, Cerita Sex, Cerita First Time, Cerita Bersambung, Cerina Menarik Lainnya. Dukung Terus KisahMalam.Com Dengan Cara Bookmarks, Dan Nanti Kan Konten Terupdate dari KisahMalam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *