Merindukan Kesederhanaan Part 13
Kamu Bukan Superman
Minggu ketiga terakhir bulan Januari, aku memulai aktifitas ku lagi sebagai seorang mahasiswa setelah terakhir kali dua setengah bulan yang lalu. Satu minggu tidak sadarkan diri, dua minggu menginap di rumah sakit, dan sebulannya lagi bengong ga ngapa-ngapain selain tidur, makan, mandi, BAB, dan bernafas karena kebetulan sedang libur semester.
Seperti biasa aku ke kampus naik angkutan yang dari rumah ke kampus harus melalui dua rute. Dan dari rumah ke angkutan pertama harus jalan keluar dulu sekitar tiga puluh meter. Di daerah rumah Mas Rizal ini, suasana kekeluargaannya masih cukup terasa. Rata-rata orang Betawi asli. Antar penghuni lingkungan sini masih saling kenal satu sama lain.
Tempat aku menunggu angkutan adalah sebuah perempatan kecil. Di salah satu pojokan ada sebuah minimarket. Pojokan satunya ada sebuah counter pulsa. Di pojokan yang lain ada sebuah foto copy an. Sedangkan aku menunggu di depan warung kelontong di pojokan ke empat.
“Udah kuliah lagi Ian?” tanya abang pemilik warung.
“Udah bang, bosen di rumah mulu, hehe,” balas ku santai.
“Emang udah sembuh lu?”
“Ya kaya gini bang, udah sehat kan,” balas ku sambil menirukan gaya atlet binaraga. Si abangnya tersenyum.
“Ya yang penting ati-ati, kasian Abang sama Mpok lu kalau lu kenapa-napa lagi,” pesannya.
“Pasti bang, mudah-mudahan ndak kejadian lagi deh,” aku menanggapi pesannya.
Pas banget aku selesai bicara, sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan warung kelontong ini. Sepertinya aku tau ini mobil siapa. Dan benar, setelah kaca mobil terbuka, wajah yang sangat aku kenal muncul dan tersenyum dengan manis ke arah ku dan abang warung kelontong.
“Ayo masuk,” ajaknya dengan manja.
“Kamu? Kok bisa di sini?”
“Masuuuk!” perintahnya lagi. Mau tak mau akhirnya aku menurutinya.
“Bang, duluan ya…” pamit ku ke abang warung.
“Iye, ati-ati tong,” balasnya dengan logat betawinya yang kental banget.
***
“Kamu ngapain pakai jemput segala sih?” tanya ku memecah keheningan. Mobil yang dikendarainya sudah berjalan sekitar lima belas menit. Sebelumnya tidak ada pembicaraan diantara kami. Aku hanya diam, dia hanya senyum sesekali.
“Depan belok kiri kan ya?” dia malah bertanya balik.
“Ditanya malah nanya balik! Iya belok kiri trus bis itu masuk jurang,” balas ku kesal.
“Hihihi, kamu lucu deh, gitu aja sewot,” ejeknya. Mobil sudah berbelok ke kiri masuk ke jalan raya.
“Kalau ditanya tuh dijawab,” balas ku masih dengan agak kesal.
“Iya-iya aku jawab, nanya apa tadi?”
“Ngapain pake jemput segala?”
“Pertanyaan seperti itu harus ya disampaikan? Bukannya lebih baik bilang Ya ampun, Gita makasih ya udah jemput aku, atau apa gitu,” ocehnya. Aku langsung menoleh kearahnya dengan ekspresi wajah yang sangat gemas. Ingin rasanya aku acak-acak lagi rambutnya yang lembut dan wangi itu. Tapi karena dia lagi nyetir maka aku urungkan niat ku. Aku hanya membuat gerakan seolah meremas sesuatu menggunakan kedua tangan ku tepat di samping kepalanya.
“Hihihi,” tawanya lagi sambil menutup mulutnya dangan telapak tangan kirinya. Dia malah semakin tertawa geli melihat kekesalan ku.
“Dari jam berapa kamu tadi?” tanya ku lagi.
“Maksutnya?” tanyanya balik sambil berlaga bingung.
“Aku rasa ndak mungkin kamu kebetulan lewat sini pas aku lagi nungu angkutan.”
“Hehehe, ketahuan ya?”
“Dari jam berapa?”
“Jam enam, hehehe,” jawabnya sambil nyengir.
Aku lihat jam di dashboard mobilnya, sudah jam delapan kurang, berarti hampir dua jam dia menunggui ku. Ini anak benar-benar keras kepalanya. Kalau sudah punya keiinginan tekad nya tidak akan pernah luntur.
“Ngapain sih pake jemput? Trus kenapa ndak mampir aja sekalian malah nunggu di jalan? Dua jam lho. Lain kali ndak usah lah jemput-jemput segala!” ucap ku melarangnya.
“Ga boleh ya?” tanyanya pelan sambil mengok ke arah ku dengan wajah yang memelas dan nada yang sangat dibuat-buat sedih. Aku tidak tau itu di buat-buat atau tulus. Aku jadi tidak tega melihatnya.
“Hmmm…iya iya boleh…” jawab ku dengan terpaksa.
“Yeeey…asiiik…” teriaknya girang.
“Tapi jawab dulu pertanyaan ku tadi,” ucap ku mengajukan syarat. Semua pertanyaan ku belum ada satu pun yang di jawab.
“Haha, iya-iya, satu satu ya.”
“Hmmm…”
“Aku ga mampir karena ga enak sama Mba Endang, lebih karena malu sih, hihihi. Kalau yang dua jam, itu mah ga ada apa-apanya. Kamu, magrib-magrib nyariin aku. Hampir…”
“Yang itu ndak perlu dibahas lagi,” potong ku.
“Aku kan cuma mau balas budi baik kamu Ian,” ucapnya membela diri.
“Aku ikhlas,”
“Aku tau,” selanya.
“Tapi, kalau kamu bisa ikhlas berbuat baik kepada orang lain, kamu juga ga ada hak dong melarang orang lain berbuat baik kepada yang lainnya, termasuk ke kamu,” lanjutnya.
“Iya sih,” balas ku pelan, memang benar analogi nya. Kita bebas berbuat baik kepada orang lain, sangat dianjurkan malah, begitu juga kita tidak seharusnya menolak kebaikan orang lain.
“Nah kan, makanya, kamu itu bukan superman, jangan terlalu menutup diri deh. Kamu ga mungkin bisa hidup sendiri, selain keluarga, ada teman dan sahabat mu, itu juga kalau kamu mau anggep aku sahabat kamu,” tambahnya.
“Tumben kamu ngomong bener?” canda ku.
“Enak aja, aku mah selalu bener, kondisi yang membuat ku menjadi nggak bener, dalam tanda kutip ya.”
“Dan itu yang harus kamu ceritain kepada ku. Termasuk bagaimana kamu bisa damai dengan Mba Endang dan Kiki.”
“Damai? emang kita perang sebelumnya?”
“Enggak sampai perang sih, ya pokoknya kamu harus cerita nanti,” paksa ku.
“Iya-iya, eh tapi kapan dan dimana?” tanya nya.
“Nanti sepulang kuliah, di kantin kampus juga boleh, tapi kalau kamu kurang nyaman, di tempat lain yang kamu mau juga boleh,” jawab ku. Dia langsung melirik ku dengam tatapan curiga.
“Kamu, ga lagi usaha buat ngajak aku kencan kan?” tanya nya sambil menggerak-gerakan alisnya.
“Pedeee!” ucap ku sambil menoyor kepalanya.
“Iiihh kasar!” balasnya sambil cemberut. Cepat sekali perubahan ekspresinya.
“Eh, maaf,” ucap ku spontan merasa tidak enak.
“Hahaha, kamu emang paling ga tegaan, hahaha,” tawanya mengejek ku terdengar nyaring namun tetap manis.
“Gitaaa…”
***
Jarak dari parkiran mobil ke ruang kelas ku hari ini tidak terlalu jauh, bila dibandingkan dengan jarak dari gerbang kampus ke ruang kelas. Ya, mungkin ini sisi positif dibalik kemunculan Gita yang tiba-tiba pagi tadi. Aku tidak perlu berjalan jauh. Lagi-lagi aku merasa deja vu pagi ini. Sama seperti dulu, anak-anak kelas menyambut ku bak seorang kesatria yang baru pulang dari perang. Sekali lagi, mereka mengerubuti ku, menanyai kabar ku, dan…, meledek ku. Iya, meledeki ku karena aku datang bareng dengan Gita.
Dan yang lebih parahnya, sejak dari parkiran mobil tadi Gita menggandeng lengan ku. Katanya takut aku ga kuat dan jatuh. Padahal aku yakin kalau aku kuat dan sudah melarangnya. Malu dilihat anak-anak. Tapi, Gita tidak akan bisa dilarang. Aku hanya nyengir mendengar ledekan mereka semua.
***
“Ian, sstthh…oiii,” aku mendengar ada yang memanggil ku dari belakang. Aku hari ini memang duduk di barisan depan, di samping Gita. Aku menengok, Doni ternyata.
“Apaan?” jawab ku dengan berbisik.
Bukannya menjawab, dia malah melempari ku dengan sebuah kertas kecil yang digulung. Aku lalu membukanya, ada sebuah pesan ternyata.
Selesai kuliah nongki dulu di tempatnya Kiki yuk! Kita orang kangen ama lu!
Selesai kuliahkan aku mau jalan ama Gita, eh maksutnya mau dengerin curhatan dia. Aduh gimana ya? Bimbang. Disatu sisi aku juga kangen sama mereka berdua, dan yang pasti ga enak kalau nolak. Secara, selama ini mereka selalu ada untuk ku. Tapi Gita? Aku lalu menyerahkan gulungan kertas tadi ke Gita.
“Apaan ini?” tanya nya bingung.
“Doni sama Kiki ngajakin kumpul sepulang kuliah nanti,” balas ku masih dengan berbisik.
“Kita ga jadi dong?” tanya nya pelan.
“Aku bingung, hehe,” jawab ku polos. Tapi aku memang benar-benar bingung.
“Kalau bingung mending kitanya ga usah, mereka berdua kan sahabat kamu, aku mah bukan siapa-siapa, hehehe,” balasnya santai dengan senyum yang agak dipaksakan.
Aku jadi bingung. Mereka berdua memang sahabat ku. Tapi, aku sudah membuat janji terlebih dahulu dengan Gita. Bagaimanapun janji harus ditepati. Kayanya mereka berdua juga pasti akan mengerti.
“Kita tetep jadi nanti,” ucap ku sambil tersenyum.
“Okay,” balasnya dengan ceria.
Tadinya aku ingin langsung menyampaikan balasan ku yang tidak bisa ikut kumpul ke Kiki dan Doni, tapi kayanya mending nanti saja setelah kuliah langsung. Aku hanya menoleh pada Doni dan sedikit menggeleng. Dia merasa heran dan bingung.
***
“Don,” sapa ku saat perkuliahan telah selesai.
“Hmmm…?” balasnya dengan malas-malasan.
“Aku ndak bisa ikut, aku sudah ada janji duluan…”
“Sama?” tanya nya lagi.
“Ehmm…itu…” jawab ku ragu sambil menunjuk ke belakang tempat dimana ada Gita.
“Gita?” tanya Kiki yang ikutan nimbrung.
“I-iyaaa.”
“Sudah gue duga,” balas Doni lagi agak sinis.
“Kok gitu responnya?” tanya ku karena merasa tidak enak.
“Emang dari awal gue menduganya begitu, masa harus bilang yang lain?” jawab Doni. Makin ga enak balesannya.
“Kalian ikut aku sama Gita aja,” tawar ku.
“Males! Yuk Ki, kita berdua aja! Ian nya lagi sibuk,” ajak Doni pada Kiki lalu beranjak pergi duluan. Sedangkan Kiki hanya mengekor sambil memberikan senyum yang dipaksakan. Tanpa sepatah kata pun. Ini bukan Kiki yang seperti biasanya.
Dengan lemas, aku pun balik ke tempat Gita duduk untuk mengajaknya berangkat.
“Yuk, jalan,” ucap ku tanpa semangat.
“Kok lemes gitu?”
“Gapapa, udah yuk jalan,” ajak ku tanpa menunggu persetujuannya, dan langsung meninggalkannya.
“Ian, tungguuu!” teriaknya sambil bangkit dan bergegas. Sebelumnya dia sudah berpamitan terlebih dahulu dengan kedua sahabat sosialitanya itu. Sama seperti Doni dan Kiki, mereka berdua juga nampak tidak terlalu suka. Ya elah. Ini bukan akhir dunia kali. Aku menggerutu dalam hati sambil berjalan menuju parkiran. Anak-anak kota sepertinya terlalu membawa perasaan. Di kampung dulu jalan mah jalan saja dengan siapa yang mau. Namanya juga berteman.
Aku benar-benar tidak menyangka dengan sikap Doni dan Kiki tadi. Aku pikir mereka akan mengerti, tapi ternyata malah begitu. Namanya janji harus ditepati kan? Masa aku ngeberatin mereka daripada janji ku. Janji itu kan hutang. Mau gimanapun ya harus ditepatin. Aku masih mencoba mencari pembenaran atas keputusan yang aku ambil. Tapi entahlah, mungkin mereka berdua belum terbiasa aja kali dengan aku yang baru sekali ini menolak ajakan mereka.
“Ian, tungguuiin!” teriak Gita sambil berjalan dengan tergesa-gesa menyusul ku ke arah parkiran. Lucu sekali jalannya yang tergesa-gesa gitu menggunakan high heels.
Aku sudah berdiri tepat di samping mobilnya. Berdiri menghadap kearahnya. Aku masukan dua tangan ku ke kantong depan celana Jeans ku. Memandangnya dari kejauhan. Dasar, ke kampus aja pakai sepatu hak tinggi.
“Buru-buru banget sih?” omel nya dengan kesal ketika sudah sampai di depan mobil dan langsung menuju pintu kemudi. Dia langsung masuk dan menyalakan mobil, setelah itu membuka kunci pintu mobilnya. Akupum langsung masuk.
“Jadi kemana kita?” tanya nya dengan tersenyum manis. Lagi-lagi perubahan ekspresinya terjadi begitu drastis.
“Terserah kamu aja, yang penting kamu suka.”
“Kamu kenapa sih? jadi jutek gitu?” tanya nya. Mobil sudah bergerak keluar dari parkiran menuju gerbang kampus.
“Nanti aku ceritain,” balas ku dingin.
“Okay,” balasnya lagi singkat.
Mobil mulai masuk ke jalan raya. Menembus kemacetan pinggiran kota Jakarta yang hampir tidak kenal waktu. Entah aku akan dibawa kemana. Terserah dia saja.
***
Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, aku dan Gita tiba di sebuah restoran yang sebelumnya aku pernah makan di sana dengan Pak Weily. Restoran milik Pak Weily. Berarti milik Gita juga dong. Tapi aku memilih diam saja. Kalau aku nanya macem-macem takutnya Dia nanti malah curiga.
“Udah pernah makan disini belum?” tanyanya saat kami sudah duduk di salah satu meja yang posisinya sangat strategis di lantai dua. Sebelumnya aku melihat pelayan yang mengantarkan kami tadi mengambil sebuah papan bertuliskan “Reserved” yang sebelumnya berada di atas meja.
“Eh? Apa? Aku? Aku pernah ke sini apa belum? Hahaha, yang belum lah,” jawab ku berbohong.
“Oh kirain udah pernah, enak tau di sini. Makanannya lumayan, suasannya juga oke punya,” jelasnya. Ya iyalah, restoran milik Papa mu sendiri ya pasti kamu bilang enak lah. Aku lalu iseng nanya mengenai papan reservasi tadi.
“Meja ini udah kamu pesen? Kapan mesennya? Atau…?”
“Eh, hehehe, kamu merhatiin aja. Iya udah aku pesen dari pagi tadi, tapi cuma sebagai backup aja sih,” jelasnya.
“Backup? Kaya file aja di backup,” canda ku. Dia lantas tertawa renyah.
“Aku tadinya mau ikut aja kemanapun kamu mau ajak aku, karena aku pikir kamu pasti sungkan kalau aku ajak ke tempat seperti ini,” jelasnya.
“Kemanapun? Kalau aku ajak ke hotel?” canda ku lagi.
“Iiihhh nakal ya Ian sekarang, hahaha,” balasnya manja sambil mencubit ku pelan dan tertawa.
“Serius,” balas ku dengan mimik muka serius.
“Halah, kaya berani aja,” ejeknya.
“Hahaha, emang ga berani sih,” balas ku polos. Tapi, untuk urusan semacam itu aku memang belum pernah.
“Lalu, kenapa kamu jadi ngikut kemana mau ku?”
“Lagi sebel aku,” keluh ku.
“Sama?”
“Tuh bocah berdua.”
“Doni sama Kiki?”
“Siapa lagi.”
“Kok bisa sih? hahaha, kayanya yang perlu curhat kamu deh, bukan aku.”
“Enak aja, rencana awal tetep harus,” protes ku.
“Tapi sebelumnya kamu harus cerita dulu,” ucapnya memberikan syarat.
“Hmmm…intinya mereka rada bete aku menolak ajakan mereka. Tapi kan aku menolak karena sudah ada janji duluan ama kamu,” jawab ku polos.
“Duh…kamu so sweet banget, jadi enak hihihi.”
“Jangan GR! Garis bawahi tuh kata duluan nya.”
“Biarin, yang penting kan kamu bela-belain buat nepatin janji kamu sama aku, hehehe.”
“Pengen banget ya jalan sama aku sampai seneng banget gitu,” ledek ku.
“Eh, enggak sih, biasa aja weeek,” kilahnya. “Jadi, sebelum aku cerita, kamu mau makan apa? Pesan aja,” lanjutnya.
“Kamu aja deh yang pesenin, aku ndak ngerti makanan ginian,” jawab ku lagi-lagi berbohong.
“Tapi dimakan ya, awas kalau ga dimakan,” ancamnya.
“Iya, tapi jangan banyak-banyak juga,” jawab ku.
“Suka-suka aku dong, hihihi,” lagi-lagi dia membalas ucapan ku dengan senyum nya yang manis. Senyumnya seperti anak kecil, manis, imut, tapi tetap anggun. Ah susah di jelasinnya. Senyumnya nampak selalu beda dengan yang lain.
“Mba…!” panggilnya ke pelayan dengan lembut. Serius, ini beda banget dengan Gita yang aku kenal dulu. Gita yang sekarang benar-benar lembut dan halus. Kira-kira kulit tubuhnya halus juga ga ya? Haha. Sekilas aku melihat kulit bawah lehernya yang terbuka, nampak sangat putih dan bersih. Hei, matanya dijaga!! Haha, gagal fokus.
Dengan telaten Gita memesan beberapa macam menu makanan yang aku tidak tau bentuk dan rasanya seperti apa. Tapi dari nama-nama makanan yang dipesan, sepertinya komplit. Mulai dari menu pembuka, utama, penutup hingga minumannya. Calon istri idaman sepertinya. Boleh nih masuk list. Haha. Ngaca Ian, mana mau Pak Weily nerima kamu yang hanya seorang anak petani ini jadi mantu. Haha. Ngimpiii.
“Sebanyak itu?” tanya ku dengan herannya karena baru sadar kalau apa yang dipesan Gita mungkin cukup untuk lima sampai enam orang. Baru sadar? Dari tadi ngapain aja? Liatin dada nya Gita?
“Pasti abis kok, tenang aja,” jawabnya santai.
“Aku baru tau porsi makan kamu sebanyak ini,” ucap ku masih dengan takjubnya.
“Kenapa? Ilfeel?”
“Enggak-enggak, ndak ada yang salah dengan porsi makan sebanyak itu, tapi…kok…,” tanya ku sambil sedikit memperhatikan bentuk tubuhnya termasuk ke bagian dada nya yang membusang indah itu. Reflek Gita nampak menyilangkan kedua lengannya, berusaha menutupi dadanya yang menantang itu.
“Iiih…Ian genit banget sih! Liatin Gita ampe segitunya,” protesnya manja. Tapi tidak ada ekspresi marah sedikitpun. Mukanya kesal tapi ya hanya sebatas gemas pada keusilan ku.
“Hehehe, normal kan?” balas ku bercanda.
“Iya tapi ga se terang-terangan gitu juga kali, kan jadi malu! Semua cowok mah sama aja!”
“Papa Weily juga dong? berarti kalau liatinnya diem-diem ndak apa-apa dong?”
“Ga boleh! Enak aja! Mungkin juga sama aja papa mah, aku ga tau kelakuannya di luar sana kek gimana, dan ga mau tau juga,” ucapnya santai.
“Itu Papa mu lho,” balas ku sambil mengernyitkan dahi.
“Trus? Kalau mau buat kamu ajah, kayanya kalian cocok, hahaha,” balasnya sambil tertawa.
“Ga lucu, aku serius,” balas ku tegas.
“Aku juga serius!”
“Sebenarnya ada apa sih di antara kalian berdua? Kenapa kamu begitu cuek dengan papa mu?”
“Menurut kamu?”
“Mana aku tau.”
“Kamu pasti tau, Papa pasti udah cerita macem-macem tentang aku ke kamu!”
“Dih, pede banget. Serius, hubungan ku dengan Papa mu tidak lebih dari urusan bisnis saja.”
“Hahaha, gaya banget.”
“Terserah, tapi kenyataannya memang begitu kok.”
“Hahaha, sewot lagi, kaya cewek ah kamu itu.”
“Bodo!”
“Hahaha.”
“Hiiih,” saking gemasnya akhirnya aku mengacak-acak rambutnya lagi.
“Iiih…jangan digituin!”
“Makanya cerita!”
Tidak lama setelah aku memintanya cerita, semua makanan yang dipesan Gita tadi sudah tiba.
“Makan dulu yuk, baru nanti aku cerita deh…,” ajaknya.
“Bisa aja ya kamu cari alesannya,” protes ku.
“Sabar, pasti cerita kok, okey.”
“Okey.”
Kami pun makan bersama. Setelah perbincangan yang cukup serius tadi, obrolan kali ini lebih ke hal-hal santai. Beberapa kali Gita menanyakan tentang Kiki dan Doni. Gita penasaran sebenarnya mereka berdua seperti apa.
Kalau menurut Gita sendiri, Kiki itu orangnya terlalu serius, pemalu, dan apa ada nya seperti ku. Sedangkan Doni, tidak banyak komentar, tapi Gita merasa geli kalau melihat tingkah polah Doni. Haha. Aku mengamininya, tapi aku juga menegaskan kalau mereka berdua itu orangnya sangat baik.
Sekitar tiga puluh menit kemudian kami selesai makan. Sebenarnya, Gita yang butuh waktu selama itu. Aku sih cuma butuh waktu setengahnya saja, meskipun kalau dihitung jumlah makan ku lebih banyak. Tentu saja, dia makannya lelet. Lebih sering ngocehnya dari pada makannya. Dasar wanita.
“Tuh kan bener ndak abis,” protes ku saat kami berdua sudah selesai makan tapi makanan di meja masih tersisa banyak. Mungkin yang kemakan baru sepertiganya saja.
“Tenang, pasti abis kok. Waktu masih panjang,” balasnya santai.
“Ya udah sekarang kamu mulai!”
“Hehe, tapi aku bingung mulainya dari mana.”
“Ga ada alasan lagi!”
“Ya udah kamu tanya deh, ntar aku jawab.”
Aku lalu berfikir sejenak. Memikirkan kalimat apa yang akan aku tanyakan padanya.
“Sejujurnya aku tidak paham dengan diri mu. Tapi aku tau kamu yang sebenarnya adalah kamu yang sekarang aku lihat ini. Pertanyaan ku, kenapa kamu sebelumnya selalu…, kamu tau maksut ku,” tanya ku. Sengaja aku tidak meneruskan kalimat ku.
“Aku yang sekarang? Cantik maksutnya? Makasii,” balasnya sambil tersenyum. Aku tidak meresponnya. Hanya sebuah pelototan mata tanda tidak ada sesi bercanda lagi kali ini.
“Hahaha, oke aku jawab deeeh,” ucapnya lalu berhenti dan menarik nafas.
“Masih inget kan waktu di rumah kamu aku bilang rindu dengan suasana hangat makan malam itu?”
“Ya, aku inget.”
“Aku kangen mama.”
“Trus?” tanya ku bingung.
“Iiih…,”
“Apaan sih?” Aku makin bingung.
“Papa tuh gila kerja orangnya. Baginya kerja adalah yang nomer satu. Selama dia bisa mencukupi kebutuhan kami, baginya sudah cukup. Kamu ngerti kan maksut ku?”
Aku sebenarnya belum nyambung, tapi sepertinya sedikit-sedikit mulai tau ke arah mana pembicaraan Gita.
“Ya, aku mengerti,” jawab ku sambil mengangguk.
“Dulu, aku dan Ka Yohana masih punya mama, tapi semuanya berubah setelah…hiks…” kalimatnya terhenti. Air matanya mengalir. Gita menangis.
“Tidak usah dilanjutkan kalau kamu tidak sanggup,” potong ku.
“E-enggak, aku harus menceritakannya. Kamu satu-satunya teman ku yang perhatiin aku sampai sedetail ini.”
“Cuma aku? Lah dua sahabat kamu itu?”
“Mereka tidak seperhatian kamu, lagi pula aku memang tidak pernah menceritakan masalah pribadi kesiapapun,” jawabnya sedih sambil memainkan sendok diatas makanannya. Kan bener, Gita itu contoh anak yang kuper. Kurang perhatian.
“Trus…, setelah almarhum mama kamu…meninggal?” tanya ku mencoba bersimpati.
“Papa nikah lagi,” jawabnya pelan sambil menunduk. Masih berman dengan sendoknya. Sama seperti pengakuan Pak Weily.
“Aku pikir setelah mama meninggal, papa akan lebih memberikan kasih sayangnya ke aku dan Ka Yo, tapi aku salah. Yang aku takutkan terjadi. Papa malah menikah lagi dan lebih memperhatikan istri barunya itu. Dari awal itu aku ga setuju papa nikah lagi. Aku ga mau ada yang gantiin mama, siapapun orangnya. Ga mau punya mama baru.”
“Tapi aku lihat Pak Weily perhatian juga kok sama kamu.”
“Perhatian macam apa yang selalu mengawasi anaknya? Dikira aku robot apa?”
“Hah? Maksutnya?”
“Kamu lihat saja ke arah jam sembilan, di dalam, dan arah jam satu di bawah sana,” perintahnya.
Karena takut menarik perhatian, aku hanya menengok sedikit dan melirik semaksimal aku bisa. Astaga! Orang-orang itu?
“Jangan bilang mereka itu orang-orangnya Papa kamu!”
“Kalau bukan orangnya papa, orangnya siapa lagi?”
“Kamu tau dari mana?”
“Awalnya aku tidak tau dan tidak sadar juga, tapi lama-lama aku sadar karena orang-orang itu selalu ada dimana aku berada.”
“Ya, mungkin Papa Kamu sedang sibuk mungkin, jadi hanya bisa suruh orang untuk jagain kamu,” ucap ku. Pembelaan yang konyol.
“Ian! Aku butuh kasih sayang Papa, bukan pengawasan dari mereka!” balasnya tegas.
“Iya, aku mengerti,” balas ku menenangkannya.
“Setelah semua itu terjadi, kamu berontak?”
“Hmmm…”
“Jadi, setelah itu kamu mencoba mencari perhatian Pak Weily dengan semua ulah kamu itu?” tanya ku lagi
“Kesannya aku kriminal banget, hikss…,” keluhnya.
“Hahaha, canda Git, hehehe.”
“Ga lucu!”
“Trus-trus?”
“Tras trus tras trus, dasar tukang parkir!” omelnya.
“Biarin tukang parkir, yang penting ganteng!”
“Preeet!!”
“Banyak yang bilang gitu kok.”
“Paling Mama Kamu, Mba Endang, sama Diah doang. Ga ada lagi.”
“Hahaha, tau aja.” aku tertawa mendengar candaannya. Tapi kemudian tawa ku langsung sirna karena Gita juga ikut menyebut satu nama lagi, Diah.
Aku sudah tidak berkomunikasi sama sekali dengan Diah. Dia ternyata telah berganti nomer HP. Aku sudah mencoba minta tolong ke Binar untuk mencari informasi tentamg Diah, tapi nihil. Diah selalu menghindar saat Binar menanyainya.
“Eh, Diah apa kabar?” tanya nya tiba-tiba.
Aku hanya menggeleng.
“Maafin aku, semua karena aku, hikss…huaaa…,” tangisnya semakin menjadi. Aku tidak mau orangnya Pak Weily itu mengira yang tidak-tidak. Aku langsung menenangkannya.
“Git, please jangan nangis, nanti orang-orang papa kamu itu mikir aku macem-macemin kamu.”
“Hiks…e-eh i-iya ya,” sekilas tangisnya langsung mereda. “Maaf.”
“Aku ndak apa-apa kok, kamu tenang aja ya” ucap ku sambil tersenyum.
“Makasih ya, kamu baik banget. Dan udah mau dengerin cerita ku juga, hehe.”
“Dan aku minta maaf belum bisa kasih solusi apa-apa, haha.”
“Gapapa,” balasnya sambil tersenyum. Sejenak aku memperhatikan wajahnya. Cantik. Benar-benar cantik.
“Trus yang kamu sama Mba Endang gimana ceritanya?”
Dia tidak langsung menjawab. Malah menatap ku sambil memicingkan matanya.
“Kamu itu mau dengerin curhat ku atau menginterogasi ku sih?” tanyanya ketus.
“Dua-duanya, eh maksud ku dengerin cerita kamu,” jawab ku keceplosan.
“Tuh kan! Ah males ah,” balasnya sambil cemberut. Bibirnya dimanyun-manyunin.
“Jangan cemberut gitu dong…ntar ilang manisnya lho,” rayu ku.
“Biarin, emangnya kamu peduli aku manis apa enggak?”
“Eh, itu…” aku bingung menjawab pertanyaannya.
“Ah kamu mah perhatiannya setengah-setengah. Udah ah, cerita-ceritanya selesai. Case closed!”
“Kok gitu? Kan udah janji mau cerita?”
“Bodooo!!”
“Ayo dong…penasaran nih.”
“Enggak mau!!”
“Sedikit aja,” aku masih terus memohon.
“Sekali enggak ya enggak. Lagian, Mba Endang sendiri kok yang ga bolehin aku cerita-cerita,” jelasnya.
“Bohong!” Balas ku tidak percaya.
“Terserah!”
“Aku ga bilang-bilang deh.”
“Ga ada jaminannya.”
“Kamu mau apa biar percaya.”
“Aku ga butuh apa-apa, hahaha.”
“Jelek!!”
“Biarin. Lagian nih ya aku kasih tau. Rahasia antar perempuan itu sama pentingnya kaya janji antar laki-laki. Aku ga mau ambil resiko cerita ini ke kamu. Mending aku jaga perasaannya Mba Endang dari pada jaga perasaan kamu, hahaha, weeek,” jelas nya sambil melet. Ah, lucunya. Pengen marah tapi ga bisa. Ekspresi wajahnya bener-bener membuat lelaki manapun langsung luluh.
“Dih gitu, tega banget sih,” balas ku cemberut.
“Biarin! Dah ah, yuk cabut. Bosen aku lama-lama disini, kaya pemain sinetron ada yang nonton,” ucapnya. Pasti yang dimaksud adalah dua orang berbadan tegap itu.
“Kemana kita? Pulangkan?”
“Pulang?”
“Lah terus?”
“Mba, tolong dong,” bukannya menjawab pertanyaan ku, Gita malah memanggil pelayan dan memberikan instruksi untuk membungkus makanan yang belum tersentuh tadi. Dengan cekatan mba nya merapikam semuanya dalam dua box makanan. Aku tidak mengerti dengan maksutnya. Biarin ajalah nona yang satu ini berkreasi sesukanya.
***
“Kalau soal anak itu, gimana sih cerita yang sebenarnya?” tanya ku pada Gita saat kami berdua sudah berada di dalam mobil.
“Waktu di hutan?”
“Iya…”
“Dia sih ngaku nya ga sengaja lewat situ.”
“Kamu ndak nanya dia dari mana?”
“Kata nya abis nengokin sodara yang rumahnya ga jauh dari perkemahan itu.”
“Terus?”
“Untungnya dia ga sendiri, sama pamannya kalau ga salah, intinya rombongan lah, lalu dia yang nganter aku ke perkemahan, sedangkan rombongannya itu yang nolongin kamu, wah kalau ga ada mereka mah aku ga tau apa yang bakalan terjadi.”
“Nasib Andre dan kawan-kawannya sekarang gimana?” tanya ku.
“Ga tau, papa yang urus. Udah ah ga mau bahas masalah itu lagi. Ga kebayang kalau kamu sampai ga…”
“Yang penting ada hikmah di balik itu semua, kamu jadi anak manis nya pak Weily lagi.”
“Iiih…Ian jangan bilang anak manis mulu napa siih?” balasnya manja.
“Lah kenapa?” tanya ku dengana aneh, di puji ga mau.
“Kan Gita jadi malu, hihihi.”
“Di puji kok malu.”
“Hihihi, emang beneran manis yaah?”
“He’em, apalagi kalau cerita soal mba Endang dan Kiki, manis nya bertambah berkali-kali lipat, hehehe.”
“Itu sih maunya kamu aja, emang pengen tau banget apa?”
“Iya lah.”
“Hmmm…”
“Cerita aja sih, ndak mungkin juga aku bilang ke mereka kalau kamu cerita, aku cuma pengen tau aja…”
“Janji?”
“Iya janji.”
“Ya udah deh aku cerita, tapi ini beneran ya jangan bilang ke mereka kalau aku cerita?”
“Iya janji, demi Tuhan dan semua yang ada di antara langit dan bumi.”
“Ya, waktu itu memang mba Endang marah besar sama aku setelah tau kalau Andre dan Aku ada hubungannya dengan kejadian waktu kamu nganter hardcase itu.”
“Trus?”
“Selain mba Endang, Kiki dan Doni juga. Intinya semua sangat marah kepada ku. Aku pun waktu itu juga marah pada diri ku sendiri. Kamu, yang sebelumnya pernah aku gampar, pernah aku maki-maki, pernah di gebukin karena aku, tapi kamu juga yang waktu itu jadi orang yang mau mengorbankan nyawanya untuk ku. Jujur aku benar-benar malu. Malu sama diri ku sendiri.”
“Hmm…”
“Aku lalu bilang ke papa kalau aku benar-benar nyesel dan mau ngelakuin apapun asal keluarga kamu, Kiki dan Doni mau maafin aku.”
“Akhirnya?”
“Yang aku denger sih papa sampai sujud di hadapan mba Endang minta aku di beri kesempatan sekali lagi. Papa mau semuanya diselesaikan dengan kekeluargaan. Papa benar-benar hanya minta kesempatan sekali lagi. Kalau aku berulah lagi, papa sendiri yang akan menyerahkan ku, plus diri nya. Papa bersedia ikut menanggung akibatnya.”
“Dan kamu sadar kesalahan kamu?”
“Iya aku sadar, dan kamu yang nyadarin aku. Sifat polos dan kesederhanaan mu itu yang menyadarkan ku.”
“Emang kamu ndak ikut waktu pak Weily minta maaf itu?” Gita langsung menggeleng.
“Aku ga ikut karena aku benar-benar takut,” jawabnya dengan lemas.
“Setelah itu mba Endang mau ambil jalan damai?”
“Iya, aku lalu rutin nengokin kamu. Awalnya memang sangat kaku, tapi pada akhirnya mba Endang mau menerima ku.”
“Mba ku itu memang ndak ada dua nya,” ucap ku memuji kakak kandung ku sendiri itu.
“Setuju, aku paham sih bila dia begitu marah sama aku, dan sekaligus kagum dia masih mau berbesar hati memaafkan ku.”
“Ngomong-ngomong ini kita mau kemana?” tanya ku saat mobil yang kita naiki berbelok ke sebuah gang kecil di pinggiran Kota jakarta. Aku sepertinya baru sekali ini pergi ketempat ini. Suasanya masih cukup asri, pepohonan masih banyak tumbuh di kiri kanan sepanjang jalan yang aku lewatin tadi. Aku sampai tidak percaya bahwa tempat seperti ini tidak jauh dari Jakarta.
“Ntar juga tau. Eh iya, kamu ga bisa nyetir mobil ya?” tanya nya.
“Hehehe, ndak bisa. Belum butuh juga kayanya, kan ndak punya mobil,” balas ku polos.
“Jangan bilang ga punya, belum punya gitu dong,” pesannya.
“Eh iya belum punya.”
“Belajar aja sih, ambil kursus gitu, cowok mah ga ada ruginya bisa nyetir mobil, kali aja lain kali kita bisa jalan bareng lagi, kamu setirin aku deh,” ucapnya saat mobil sudah terparkir di halaman sebuah rumah.
“Kamu, tidak sedang lagi usaha ngajak aku kencan kan?” tanya ku sama seperti yang dia tanyakan tadi pagi. Tidak ada jawaban darinya. Hanya tawa yang keluar dari mulut kami berdua.
“Rumah siapa ini Git?”
“Rumah ku dong,” jawabnya bangga.
Rumahnya? Seperti ini? Bukan aku menganggap jelek rumah ini, tapi ini bukan Gita banget. Halaman rumah ini cukup luas, namun hanya halaman biasa saja. Tidak ada yang menarik, tapi lumayan rapi dan bersih.
“Rumah kamu? Kamu tinggal disini gitu?”
“Kenapa? Bukan aku sih, tapi hati ku yang tinggal di sini. Di sini adalah rumah tempat aku pulang dan berteduh,” jawabnya dengan yakin yang membuat ku semakin tidak memgerti. “Dari pada bingung mending turun yuk, bantuin aku nurunin barang-barang,” ajaknya. Aku yang sempat bengong tadi akhirnya ikut turun. Gita! Ya, ya, ya, masih banyak hal yang belum aku tau tentang diri mu. Tidak masalah.
Oiya, saat diperjalanan tadi, kami berdua sempat mampir ke sebuah minimarket membeli berbagai macam keperluan sehari-hari. Aku tanya buat siapa, katanya untuk kebutuhan bulanan. Sebenarnya aku tadi tidak percaya karena gak mungkin seorang Gita berbelanja seperti ini sendiri jika hanya untuk kebutuhan di rumah mewahnya. Pekerjaan asisten rumah tangga itu. Tapi kalau dia meminta ku untuk membatunya menurunkan barang-barang itu di sini, sepertinya ketidak percayaan ku tadi sudah terjawab.
Sekilas tentang rumah ini, tidak terlalu besar, tapi bukan tipe rumah RSS juga. Namun yang pasti halamannya cukup luas. Meskipun halamannya masih rumput dan tanah, tapi sangat bersih, tidak ada sampah sama sekali. Keren. Kami berdua lantas turun dari mobil. Saat kami berdua turun itu, tiba-tiba dari dalam rumah secara berbarengan keluar belasan anak-anak yang rata-rata berusia, mungkin sekitar lima sampai sepuluh tahun.
“Kak Gita datang…Kak Gita datang…” teriak mereka sambil berlari menghambur ke arah Gita. Dibelakang mereka ada satu anak, kayanya masih balita, dengan lucunya juga berlari ke arah Gita. Dia menjadi anak paling terakhir. Tapi semangatnya tidak kalah dengan yang lainnya.
“Kakak…” teriak anak itu dengan suara yang masih agak cadel. Begitu sampai, Gita langsung menggendong balita tadi. Aku bisa melihat rona bahagia dari mereka semua, termasuk Gita sendiri. Gita sendiri sempat menoleh ke arah ku dan tersenyum. Beberapa anak nampaknya menyadari keberadaan ku dan menatap ke arah ku heran.
“Itu siapa kak?” tanya salah seorang anak laki-laki sambil menunjuk tepat ke arah ku. Aku sempat bingung namun Gita buru-buru menjawabnya.
“Eh, itu teman kakak. Namanya Kak Alfian, tapi kalian bisa panggil Kak Ian aja. Ayo semuanya, salim dulu sama Kak Ian,” jelas Gita ke mereka semua dengan lembut. Anak-anak itu lalu melangkah ke arah ku. Gita mengangguk ke arah ku. Aku pun ikut maju ke depan menghampiri mereka semua. Dan kemudian anak-anak itu dengan rapi berbaris antri salim mencium tangan ku. Terakhir, Gita ikut melangkah ke arah ku.
“Ayo, Aldi juga salim sama Kak Ian,” perintah Gita. Oh si anak paling kecil ini namanya Aldi. Awalnya Aldi ragu, namun kemudian dia mengulurkan tangannya. Langsung ku sambut dan menyorongkan tangan ku ke arah keningnya.
“Semuanya udah salim kan sama Kak Ian, sekarang waktunya masuk, lets gooo. Andri, Rian, ehmmm…sama Riko bantuin Kak Ian ya bawa barang-barang,” perintah Gita ke tiga anak laki-laki yang paling besar diantara semuanya.
“Oke Kak,” balas mereka serentak.
Pikiran ku sekarang mulai menerka-nerka tentang Gita dan anak-anak itu. Kalau benar dugaan ku, maka mereka ini adalah…
“Yuk Kak,” ajak salah seorang dari mereka yang membuyarkan lamunan ku barusan.
“Eh, ayuk,” balas ku sambil tersenyum.
Aku dan ke tiga anak tersebut lalu masuk dengan masing-masing menenteng kantong plastik di kiri dan kanan. Total ada sepuluh kantong, empat di aku dan enam dibawa mereka bertiga, masing masing membawa dua kantong.
Sambil berjalan, aku membatin lagi. Gita Gita Gita. Aku pikir aku sudah tau semuanya tentang kamu. Ternyata aku salah. Masih banyak hal yang kamu sembunyikan tentang diri mu. Kejutan apa lagi yang akan kamu berikan pada ku Git? Hmmm…Apapun itu, semoga sesuatu yang positif.
[Bersambung]