Merindukan Kesederhanaan Part 12
Kalian Tidak Usah Merisaukannya
Aku membuka mata dan sadar ketika disekeliling ku berdiri empat bidadari cantik. Bidadari? Benarkah mereka bidadari? Lalu, tempat apa ini? Aku berbaring disebuah singgasana emas dan beralaskan permadani yang halus. Aku mengenakan baju kebesaran yang terbuat dari sutra yang lembut. Apa aku sudah di Surga? Jadi seperti ini surga?
“I-ian? Ian, sudah sadar nak? Nasib mu kok ya gini banget le”
Sayub sayub aku mendengar suara itu terucap dari salah seorang bidadari tadi. Eh tapi, sepertinya aku mengenal pemilik suara itu?
“I-ibuk?” Ucap ku lirih. Bagaimana Ibuk bisa ada di sini? Dan itu, Mba Ayu? Kiki? Mba Endang? Kenapa mereka juga berkumpul di sini?
“Ian? Kamu udah sadar?” tanya Mba Endang.
“A-aku di mana?” tanya ku balik.
“Ki, tolong panggilin dokter ya,” ucap Mba Endang.
“Iya mba,” balas Kiki, lalu pergi meninggalkan ruangan ini.
Sedangkan aku sendiri masih bingung dengan semua ini.
“Argh…” aku berusaha memegang kepala ku yang masih terasa sangat sakit dan nyeri.
“Sudah, kamu tenang dulu ya Ian, jangan dipakai buat mikir dulu, kamu aman di sini,” ucap Mba Ayu lembut.
Aku merasa seperti deja vu.
“Argh…” aku baru ingat.
Terakhir kali aku tersadar adalah malam itu, saat aku berhadapan dengan…
“Argh…” aku kembali mengerang. Mencoba mengingat sesuatu dan yang aku ingat adalah… Gita.
“Gita? Gimana keadaan Gita?” tanya ku dengan panik.
“Gita aman Ian, kamu tenang aja,” jelas Mba Ayu.
“Benarkah? Di-dimana Dia sekarang?” tanya ku lagi.
Tidak ada jawaban dari mereka bertiga. Mba Ayu sepertinya nampak ragu ingin menjawabnya. Sedangkan Mba Endang, raut muka nya mendadak masam.
“Sudah le, kamu tenang saja, ndak usah mikirin apa-apa dulu ya,” jawab Ibuk. Tentu saja aku mengiyakan. Tapi, dalam hati aku masih penasaran. Kenapa mereka seperti menyembunyikan sesuatu?
Tidak lama kemudian Kiki dan beberapa orang lagi masuk. Ada seorang dokter, Bapak, Mas Rizal, dan Tiara. Aku langsung tersenyum melihat kemunculan Tiara. Anak itu, selalu membuat ku tersenyum. Si dokter langsung memeriksa ku. Sedangkan yang lainnya dengan antusias memperhatikan ku. Entah apa yang diperiksa si dokter. Aku tidak terlalu memperhatikan. Kepala ku masih terlalu pusing. Tapi aku tidak tau apa yang aku pusing kan. Seperti ada sesuatu yang…, ah iya. Diah.
“Diah…” ucap ku dengan agak berteriak sambil berusaha bangkit.
“Ian, tenang nak, tenang, biar kamu diperiksa dulu, hiks…” ucap Ibuk menenangkan ku sambil menangis.
“Berapa lama aku ndak sadar bu?” tanya ku. Tidak ada jawaban. Semuanya diam.
“BERAPA LAMAAA?” tanya ku lagi dengan keras. Masih tidak ada jawaban.
“KENAPA KALIAN DIAM? JAWAB!! BERAPA LAMA AKU NDAK SADAR? HIKS…HIKS…” tidak terasa aku meneteskan air mata. Terasa sesak sekali di dada ku. Aku mencoba berontak dengan sekuat tenaga. Bapak, dan Mas Rizal semakin kuat memegangi ku. Lalu aku merasakan sebuah jarum menusuk ke lengan kanan ku. Perasaan ku kemudian menjadi sedikit tenang. Badan ku kemudian melemah. Pandangan ku kemudian berangsur menjadi gelap. Dan semakin gelap. Dan aku pun terlelap dalam ketenangan.
***
Takdir memang tidak bisa dirubah. Bahkan ketika kita punya niat dan usaha untuk merubahnya. Sekuat apapun, ketika takdir Tuhan mengatakan lain, kita hanya bisa menjalaninya, dengan sabar. Mungkin itu lah yang terbaik. Seminggu sudah berlalu semenjak siuman ku, atau dua minggu semenjak peristiwa berdarah itu. Ya, aku telah melewatkan satu-satunya kesempatan ku untuk memperjuangkan Diah. Dan semua itu karena, “Argh…”, kembali aku mengerang menyesali semua yang telah terjadi. Diah telah menerima lamaran dari pria pilihan orang tuanya.
Tapi, aku tidak pernah menyalahkannya. Itu semua karena keterpaksaannya yang tidak bisa nenolak permintaan Bapaknya. Terpaksa? Iya, aku yakin. Kami sudah saling tau hati masing-masing. Dan aku tidak meragukannya. Sekarang aku masih terbaring tak berdaya di pembaringan ini. Untungnya, masih ada keluarga dan teman baru ku yang hampir setiap hari datang mengunjungi ku.
“Kok bengong sih?” tanya nya, aku tak menjawab, hanya menggelengkan kepala.
“Pasti mikirin Diah ya?” tanya nya lagi dengan nada sedih.
Sudah hampir satu minggu ini dia selalu menanyai ku kenapa aku sering murung. Pertanyaan yang aku yakin Dia sudah tau jawabannya. Tapi aku tidak pernah mengiyakan karena tidak mau menambah bebannya. Ya, Dia, yang tak lain adalah Gita, merasa sangat bersalah terhadap apa yang menimpa ku. Aku tidak tahu rasa bersalah itu muncul dari dalam hatinya sendiri atau karena Mba Endang. Kok Mba Endang? Iya karena Mba Endang sempat mengamuk padanya waktu itu.
Katanya sih begitu, karena waktu itu aku belum sadar. Jadi ceritanya, aku mendengar cerita ini dari Kiki, saat malam kejadian itu, Mba Endang mengamuk ke Gita setelah mendengar kronologi cerita yang entah dia dengar dari siapa. Mungkin karena kejadian yang dulu pernah terjadi, masih menimbulkan kesan yang buruk bagi Mba Endang hingga membuatnya sangat sensitif terhadap Gita.
Tapi untungnya sekarang Mba Endang sudah bisa mengerti dengan posisi. Itu karena lagi-lagi aku berbohong dengan mengatakan kalau Andre dan kawan-kawan tidak ada hubungannya dengan Gita. Aku dan Gita hanya berada di tempat dan di waktu yang tidak tepat. Lalu kenapa aku harus berbohong? Kalau sampai Andre tertangkap dan buka mulut, maka Gita yang akan kena. Dan rusak lah rencana Pak Weily. Toh sekarang Andre dan kawan-kawannya sudah dibereskan oleh Pak Weily.
Jadi untuk masalah Andre, mereka semua tahunya ini murni kriminal, tanpa ada motif tertentu. Dan yang tahu kalau ini adalah balas dendam itu hanya aku dan Gita. Kiki dan Doni pun tidak tau.
“Semua karena aku. Maafin aku ya,” ucapnya sedih.
“Aku sudah maafin kamu dari awal,” balas ku.
“Tapi, Kamu dua kali hampir kehilangan nyawa, dan sekarang, Diah…” lanjutnya.
“Sudah lah, semua sudah kejadian, mau gimana lagi? Mungkin memang begitu takdirnya. Sekuat apapun kita mencoba merubahnya, kalau Tuhan sudah berkehendak, kita bisa apa?” ucap ku.
“Kamu itu bener-bener ya,” ucapnya sambil tertunduk.
“Hati semua manusia itu sama besarnya, tergantung orangnya saja mau membesarkannya atau tidak. Aku cuma mau pesen sama kamu, kalau kamu memang benar-benar menyesal, rubahlah sedikit sifat mu. Bukan untuk aku saja, tapi untuk orang-orang di sekitar mu. Terutama untuk Papa mu, jangan pernah berfikir dia tidak menyayangi mu, beliau itu sangat menyayangi mu, tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya, masalahnya hanya bagaimana cara mereka memberikannya,” ucap ku.
“I-iya, aku tau, aku akan berusaha merubah sikap ku. Bantu aku ya? Hehehe,” pintanya dengan tersenyum manja. Manis juga pikir ku. Tapi tetap masih kalah jauh bila dibanding dengan Diah.
“Kok aku?”
“Iya, kamu awasin dan ingetin aku kalau aku khilaf lagi, hihihi.”
“Hidup ku udah terlalu banyak masalah Git, ngawasin kamu udah kaya orang ndak ada kerjaan saja,” balas ku cuek.
“Ah kamu mah…”
“Kenapa?” tanya ku.
“Gapapa, hehehe, jadi gimana?”
“Iya-iya, yang penting kamu berubah jadi anak manis nya pak Weily,” jawab ku.
“Kok kamu apa-apa untuk Papa sih? jangan-jangan kalian…”
“Jangan-jangan apa?” tanya ku balik sambil menoyor kepalanya.
“Abis nya ini banget sama Papa, Aku nya kan jadi curiga, hahaha.”
“Papa mu udah banyak berjasa Git.”
“Hah? Berjasa? Untuk?”
“Secara langsung untuk Mas Rizal, secara tidak langsung untuk keluarga ku.”
“Maksudnya gimana sih?”
“Lain kali kalau ada waktu luang Aku jelasin, dan kamu juga harus cerita ke Aku kenapa kamu bersikap seperti ini selama ini?”
“Seperti ini gimana maksutnya?”
“Aku tau kamu itu sebenarnya anak yang baik, hehehe.”
“Sok tau!” protesnya tidak mau mengakui bahwa hatinya sebenarnya baik.
“Akuin saja, anak kecil yang kamu beliin makan sama kamu kasih uang di parkiran mobil itu buktinya, hahaha,” tawa ku.
“Kamu tahu anak itu?”
“Iya lah, hahaha,” tawa ku lagi.
“Jadi kamu selama ini mata-matain aku? Iiihh Ian ngeselin! Sebel ah!” protes nya lagi dengan muka manyun namun lucu dan menggemaskan.
“Enak aja, kebetulan aja waktu itu aku liat kamu. Tapi ndak nyangka ya, pada akhirnya anak itu yang nolongin kita berdua.”
“Iya, ga nyangka aku ternyata kampungnya ada di sekitaran perkemahan itu.”
“Nah itu, aku sudah sering bilang, berbuat baik sama orang itu ndak akan ada ruginya, siapa tau suatu hari kita yang gantian butuh bantuan. Sebaliknya, kalau kita jahat sama orang, bisa jadi suatu hari nanti kita akan kena karmanya.”
“Iya, maaf…”
“Dan satu lagi,” lanjut ku.
“Apalagi?” balasnya dengan gemas. Lucu banget.
“Bagaimana ceritanya mereka berdua bisa akrab denga mu seperti sekarang.”
“Mereka?” tanya nya balik.
“Mba Endang dan Kiki. Aku tanya langsung ke mereka berdua, ndak ada yang mau cerita.”
“Kepo ya? hihi.”
“Menurut mu?”
“Hahaha, iya nanti aku cerita. Tapi syaratnya kamu harus maafin akuuh, deal?” tawarnya dengan bersemangat.
“Kamu ndak punya posisi tawar,” jawab ku tegas, tapi sebenarnya bercanda. Tapi sepertinya dia menanggapinya serius. Terlihat dari raut muka nya. Polos juga nih anak. Di awal kan aku sudah jelas memaafkannya, pake nanya lagi.
“Kedepannya ndak ada yang tau kan akan seperti. Kamu boleh saja berjanji akan berubah, tapi maaf aku tidak perlu janji mu. Cukup diam saja dan buktikan, yang pasti aku udah maafin mu. Tinggal kamu mau berubah atau tidak,” balas ku sambil tersenyum.
“Udah, pokoknya sekarang kita mulai dari awal lagi ya, kita teman sekarang,” lanjut ku lagi sambil mengacak-acak rambutnya.
“Iiihhh jangan digituin, nanti ga cantik lagi,” protesnya sambil merapikan kembali rambutnya. Tapi kemudian dia mengangguk.
“Kita teman sekarang,” ucapnya mengulang kalimat ku tadi. Dia lalu mengulurkan jari kelingkingnya.
“Eh?” aku bingung.
“Sebagai tanda kita teman sekarang,” ucapnya.
“Hehehe,” aku hanya tersenyum. Lalu menyambut kelingkingnya dengan kelingking ku.
“Makasih yah Ian,” ucapnya lalu merebahkan sedikit tubuhnya dan memeluk lengan kanan ku. Ampun, kenyal nya. Bonus! Bonus! Tepok jidad.
“Pak Weily, aku berhasil kan, hehe.” Ucap ku dalam hati. Tidak masalah kalau bayarannya aku harus merasakan seperti ni. Masalah Diah, mungkin aku akan mencoba nya lagi. Begitu ada waktu aku akan langsung pulang untuk menemuinya.
Gita masih merebahkan kepalanya sambil memeluk ku. Tidak enak sebenarnya aku dalam posisi seperti ini, kalau ada yang tiba-tiba masuk dan melihat kami pasti akan berfikir yang macam-macam. Dan benar saja, belum selesai aku memikirkannya, pintu bena-benar terbuka.
Ceklek
“Eh, maaf,” suara dari seorang wanita, Kiki.
Gita langsung bangkit, nampak Gita memberikan senyum kepada Kiki. Sesuatu yang baru kali ini aku lihat selama tinggal di Jakarta. Seorang Gita tersenyum kepada Kiki. Hahaha.
“Kiki?” ucap kami berdua kaget.
“Kok ga bilang mau kesini?” tanya ku. Gita menyikut tangan ku. Ah pertanyaan ku, tepok jidad lagi.
“Emang harus bilang ya? kalau aku mengganggu aku balik aja, hehehe,” balasnya dengan senyum yang agak di paksakan dan hampir menutup kembali pintunya.
“Eh jangan Ki, ayo masuk, Ian emang suka gitu, kalau nanya suka sekenanya, ayo masuk,” ajak Gita ke Kiki sambil bangkit dan meraih lengan Kiki dan menariknya masuk. Lucu juga melihat dua gadis cantik ini sekarang menjadi akrab setelah dulu bermusuhan karena Aku.
“Iya sih, Ian emang terlalu apa adanya, hehehe,” balas Kiki menanggapi.
“Dan terlalu sederhana, kaya kamu Ki, hihihi,” lanjut Gita.
“Iihhh Gita apaan sih?” wajah Kiki nampak memerah.
“Oiya ngomong-ngomong kamu tadi dari jam berapa Git?” lanjut Kiki ke Gita.
“Dari pagi, tadi sama Papa juga kok, tapi Papa ada urusan jadi ga lama. Ditinggal deh aku nya sendirian,” jawab Gita sedih.
“Tenang, kan sekarang ada Aku, hehe. Mba Endang dan yang lainnya?”
“Biasa, kalau siang kan selalu ke sekolah Tiara, Mas Rizal sama kaya Papa, pergi juga.”
“Oiya, ini kan hari selasa ya, hehe.”
“Ehem…” aku sengaja berdehem. Asik sekali mereka pikir ku. Yang dijenguk kan aku. Kenapa aku dicuekin? Dasar wanita. Kalau sudah ngobrol pasti lupa segalanya.
“Ada yang merasa dicuekin kayanya Ki, hihihi,” sindir Gita.
“Iya kayanya Git, hehehe, eh iya, tapi beneran jadi pulang hari ini kan? Aku sengaja ke sini siapa tau aku bisa bantu beres-beres,” jelas Kiki.
“Jadi kok, tapi paling sore, nunggu Mas Rizal, kan pake mobil dia,” jawab ku.
“Oh gitu,” balasnya.
“Oiya, Doni apa kabar Ki?” aku menanyakan kabar Doni karena sudah seminggu ini Dia tidak mengunjungi ku. Kalau sekedar komunikasi, kami masih berhubungan.
“Sehat, tapi lagi sibuk Dia, kan dia sekarang Freelance.”
“Freelance apa?”
“Jadi kru band gitu deh kalau ga salah, jadi kerjanya kalau si band ini mau manggung aja.”
“Oh gitu, sayang sekali, Ada yang nanyain terus padahal,” balas ku lagi sambil tersenyum jahat ke Gita.
“Hah? Serius? Siapa? Kemajuan banget ada yang nyariin Doni, hahaha,” balas Kiki.
“Tuh, di samping kamu orangnya,” canda ku.
“Heh, enak aja, fitnah itu Ki, ga pernah aku nyariin Doni, amit-amit deh,” balas Gita dengan wajah kesal.
“Hahaha,” aku dan Kiki tertawa menanggapi reaksinya.
Tidak lama berselang pintu kamar terbuka kembali. Seorang suster masuk membawa satu nampan makanan yang rasanya…sangat hambar. Tapi ya sukuri saja, dari pada ga makan. Pengennya bisa segera pulang dan makan makanan manusia normal kembali. Pecel ayam, nasi padang, hhmmm…
“Asik bener bercandanya, boleh dong ikutan gabung,” canda suster itu.
“Hahaha, sini sus gabung ama kita-kita,” balas Gita menanggapi.
“Hehehe, mas Ian nya makan dulu yah, terus abis itu minum obatnya yah, biar cepet sembuh,” ucap suster itu.
“Iya sus,” balas ku sambil tersenyum.
“Oiya,” lanjutnya sambil melirik ke Gita dan Kiki.
“Makannya sendiri atau…di suapin? hihihi, tinggal pilih tuh mas, mau disuapin sama yang pakai kerudung atau yang enggak, sama-sama cantik nya kok, hihihi,” oceh suster itu. Kemudian momen ini menjadi sangat awkward.
“Kok pada diem? Salah ngomong ya? Saya permisi dulu aja deh kalau gitu, hehehe. Oiya, kalau bingung, ganti-gantian aja nyuapinnya, hihihi,” lanjut suster itu lalu pergi begitu saja. Sialan, setelah jadi kompor langsung pergi gitu aja. Hahaha, ini sih namanya adu domba. Aku pun memutuskan untuk makan sendiri. Lagi pula belum tentu juga Gita mau nyuapin aku, kalau Kiki sih aku yakin pasti mau.
***
“Enak ya Ian, pulang dari RS dikawal dua cewek cakep, hahaha,” canda Mas Rizal. Aku yakin yang dia maksud adalah Gita dan Kiki.
“Owh… cuma dua ya, okey…” sela Mba Endang dengan intonasi menyindir. Mas Rizal yang menyetir mobil mendadak panik. Aku di sampingnya menahan senyum. Mba Endang dan Tiara ada di tengah. Sedangkan Kiki dan Gita ada di paling belakang.
“Eh, ehmm…maksudnya empat, iya empat,” jawab Mas Rizal gugup.
“Tiara nanti bobo nya bareng Mama aja ya sayang, Papa biarin bobo sendiri di luar,” ucap Mba Endang jutek.
“Asiiik…bobo bareng mama lagi. Eh tapi…kasian Papa ma kalau bobo di luar, ntar papa di gigit nyamuk,” jawab Tiara polos.
“Biarin, papanya nakal soalnya.”
PLAK
Tiba-tiba Tiara memukul bahu kiri papanya.
“Aduh, Papa kok dipukul sih Tiara?” protes Mas Rizal.
“Abisnya Papa nakalin Mama sih, weeek,” jawabnya dengan polos. Membuat aku, Gita dan Kiki tertawa. Mba Endang ikut tersenyum.
“Ampun, Papa janji ga nakal lagi deh, Papa boleh bobo di dalem ya Tiara sayaaang,” rengek mas Rizal.
“Enggak. Sekali enggak pokoknya enggak,” jawab Tiara sambil berkacak pinggang. Sontak jawabannya membuat seisi mobil tertawa. Ni anak bener-bener deh. Haha.
Setelah melewati macetnya kota Jakarta yang tidak kenal waktu, kami sampai juga di rumah. Oiya Gita dan Kiki ikut juga ke rumah. Itu karena Tiara memaksa Kiki untuk ikut. Sedangkan Kiki memaksa Gita untuk menemani. Katanya dia masih sungkan kalau bertamu ke rumah ku seorang diri. Gita sendiri oke-oke aja.
***
“Tante Kiki nanti jadi nginep kan?” tanya Tiara saat kami semua sudah berkumpul di ruang tengah.
“Tiara, ga boleh maksa gitu ah, tantenya besok kuliah, lagian kalau Tante Kiki nginep nanti di cariin Mama nya,” jelas Mba Endang.
“Tiara, kalau Tante ga pulang, mamanya tante sedih, Tiara ga mau kan mama nya Tante sedih?”, Kiki melanjutkan. Dia tentu juga ga mau nginep di rumah ini. Apa kata orang?
“Yaaah, Tiara kan pengen tante Kiki nginep, tapi ya udah deh,” balas Tiara dengan memelas. Sungguh aku tak tega, tapi ga mungkin juga Kiki nginep.
“Tiara, kalau tante Gita aja yang nginep gimana? Hehehe,” ucap Gita tiba-tiba. Aku ga tau itu serius atau bercanda.
“Ga mau, maunya tanti Kiki,” jawab Tiara judes. Waduh…
“Yaaah sedih deh tante Gita nya, Tiara jangan gitu dong” ucap ku membela Gita.
“Kamu kali Ian yang sedih,” sela Mas Rizal.
“Eh, kok aku Mas?” aku berkilah. Kiki dan Mba Endang langsung menengok ke arah ku. Gita hanya menahan senyum.
“Kan yang dari dulu pengen Gita nginep kan kamu? Jangan pura-pura deh…mumpung ada orangnya tuh,” balas Mas Rizal. Sialan, ini fitnah.
“Eh, enggak itu. Bohong Git, suwer deh,” balas ku.
“Halah pake malu-malu,” balas Mas Rizal lagi.
“Sudah-sudah, berantem mulu kalian ini. Jangan-jangan Kamu lagi Pa yang pengen Gita nginep? Ian kamu lihat pisau yang di meja ga? Kemana ya tu pisau?” ucap Mba Endang dengan santainya. Waduh, udah maen pisau nih.
“Eh, ehmm… ga tau Mba, Mas Rizal lihat kali, hehe,” balas ku sambil tersenyum. Sedangkan Gita dan Kiki yang lagi maen sama Tiara ikutan senyum-senyum.
“Kamu lihat pa?” tanya Mba Endang ke Mas Rizal.
“Eh, enggak ma, aku ga lihat,” jawab Mas Rizal dengan gugup. Haha. Aku tertawa dalam hati melihat drama diantara mereka berdua.
“Ya udah, tante Gita nginep aja ama Om Ian, Tante Kiki sama Aku…,” ucap Tiara lagi masih berusaha.
Boleh-boleh, hayuk…teriak setan yang sedari tadi berdiri di samping kiri ku. Sedangkan malaikat di sebelah kanan ku berpesan jangan Ian, ga boleh. Bukan mukhrim. Hadeh.
“Tante Gita juga ga bisa sayang, mama marah nih kalau nakal gitu, ga boleh maksa-maksa ah!” ancam Mba Endang.
“Iya deh, tapi nanti main lagi ya tante,” pinta Tiara.
“Iya, nanti tante main lagi kok, sama Tante Gita juga yah,” jawab Kiki.
“Ga mau, Tante Kiki aja yang main,” jawab Tiara lagi dengan cueknya. Gita nampak agak kecewa dengan jawaban Tiara. Tapi mau gimana, masa ucapan anak kecil mau di sela. Sedangkan Kiki nampak ga enak dengan Gita.
“Iya-iya nanti Tantenya main lagi kok, sekarang semuanya makan dulu ya,” ucap Mba Endang menengahi. Tiara nampak senang. Sedangkan Gita dan Kiki hanya tersenyum.
“Makan ku mana ma?” tanya Mas Rizal minta diambilkan makan seperti biasanya.
“Ambil sendiri! Manja baget!” jawab Mba Endang. Aku, Kiki dan Gita lagi-lagi tertawa cekikikan. Tiara tidak terlalu mengerti dengan maksut dari ucapan mamanya. Justru malah ikut menimpali.
“Iya nih papa manja, udah gede juga masih minta diambilin makan. Kaya aku aja, dasar papa manja,” ucapnya tanpa bersalah. Membuat kami semua tertawa.
“Ian, nanti bis makan kabari bapak sama ibuk ya. Mereka udah tau kamu pulang, tapi pasti pengen denger suara kamu langsung,” pesan Mba Endang sambil menyerahkan piring makan ke Mas Rizal. Di mulut aja galak, hatinya mah tetep sayang banget ama suaminya. Hehehe. Seandainya istri ku nanti kaya Mba Endang. Semoga.
Kami berenam makan bersama. Dengan lauk seadanya tapi rasanya luar biasa enaknya. Gita yang awalnya aku pikir tidak akan suka, nyatanya malah nambah dan berkali-kali memuji masakan Mba Endang. Kalau Kiki sih memang sudah pernah ngerasain, jadi ga terlalu kaget.
“Aku belum pernah ngerasain suasana makan malam dan makanan seenak ini lagi setelah Almarhum mama meninggal, beda aja rasanya,” ucap Gita ditengah-tengah acara makan kami.
“Bedanya?” tanya Kiki.
Betul suasana makan seperti ini memang sangat hangat. Tapi mungkin karena aku sudah terbiasa jadinya sudah biasa saja. Mungkin Gita sudah lama tidak merasakannya.
“Susah dijelasinnya Ki. Pokoknya enak aja. Aku rindu dengan momen seperti ini, yang tidak aku dapat kan lagi semenjak mama meninggal, hiks…eh…ehmm…maaf…jadi baper kan…hiikkss…maaf…,” ucap Gita merasa bersalah karena membuat suasana menjadi sedih. Dia langsung mengusap air matanya.
“Aku boleh sering-sering main kesini yah Mba…,” lanjutnya sedikit merengek. Hmm…manjanya keluar batin ku.
“Iya Git…main aja kalau mau main kesini,” jawab Mba Endang sambil tersenyum.
“Yeeey…asiiik, bakalan sering makan enak nih, hihihi,” soraknya. Mirip banget sama Tiara kalau lagi seneng. Dan, cepat sekali perubahan sikapnya. Dari sedih bisa tiba-tiba menjadi ceria gitu. Aneh.
“Ajak papa mu ya Git kalau mau kesini,” tambah Mas Rizal.
“Siap Mas,” balas Gita sambil mengacungkan jempol.
Acara makan terus berlanjut. Hingga selesai, obrolan masih terus berlanjut ke hal-hal yang ringan. Termasuk jadwal ujian susulan ku. Mba Endang secara khusus meminta bantuan pada dua gadis cantik ini untuk membantu ku mengikuti ujian susulannya. Tentu saja mereka menyanggupi dengan senang hati. Selesai makan, para wanita kecuali Tiara langsung membereskan meja makan. Termasuk mencuci piring kotor. Aku dan Mas Rizal pindah ke ruang tamu.
“Ian,” panggil Mas Rizal membuka pembicaraan.
“Ya mas?”
“Mumpung Mba mu dan yang lain masih di belakang, Aku mau ngomong sesuatu.”
“Apaan tuh?”
“Kamu waktu itu nanya kan tentang biaya rumah sakit selama kamu dirawat.”
“Iya mas.”
“Aku mau jujur, tapi jaga rahasia ya!”
“Oke.”
“Setahu kamu siapa yang menanggung semuanya?”
“M-mas kan?”
“Bukan.”
“Lalu?”
“Pak Weily.”
“Hah? Pak Weily?”
“Sstthhh…”
“Mas ndak sedang bercanda kan?”
“Aku serius, dan aku mau kamu jaga rahasia ini terutama ke Mba Mu. Jangan sampai dia tau. Itu amanah dari Pak Weily, ngerti!” ucap Mas Rizal serius. Lebih serius dari biasanya.
“Ngomongin apaan sih pada bisik-bisik?” tanya Mba Endang yang baru saja datang bergabung. Diikuti dua bidadari cantik dan satu malaikat kecil yang selalu ngintilin di paling belakang.
“Eh, enggak, ga ngobrol apa-apa kok, kamu itu ngagetin aja,” balas Mas Rizal.
“Kalau ga ngobrolin apa-apa kok kaget gitu?” tanya Mba Endang lagi dengan nada curiga.
“Cowok emang gitu Mba, kalau ada apa-apa suka sembunyi-sembunyi, jewer aja Mba, hihihi,” Gita memanas-manasi. Ni anak emang bisa banget. Beda banget dengan Kiki yang lebih kalem.
“Iya ntar Mba jewer. Mereka berdua sama aja tuh Git. Sukanya main rahasiaan,” balas Mba Endang.
“Ntar aku bantuin deh jewer si Ian nya, hehehe,” balas Gita lagi.
“Mba mu udah dapet sekutu tuh Ian, kudu siaga kita sekarang, hahaha,” canda Mas Rizal. Selama ini Aku dan Mas Rizal memang lebih sering jadi satu blok sendiri. Lawannya tentu saja Mba Endang dan si kecil Tiara.
“Haha, iya Mas,” balas ku sambil tertawa.
Semuanya kini telah berkumpul di ruang tamu. Aku dan Mas Rizal di paling ujung. Di tengah ada Mba Endang dan Gita. Sedangka Tiara yang terus-terusan nempel dengam Kiki ada di dekat dengan pintu. Aku sebenarnya masih heran dengan sikap Tiara yang kolokan banget sama Kiki. Tapi karena Kiki nya sepertinya juga seneng-seneng aja, ku pikir biarin aja lah.
“Gita sama Kiki mau pulang jam berapa? maaf bukannya ngusir ya tapi ga enak sama tetangga kalau cewek mainnya kemaleman,” tanya Mas Rizal basa-basi.
“Eh, oh iya, ini juga udah mau pulang kok Mas, iya kan Ki?” jawab Gita agak kaget.
“I-iya, keasikan main jadi lupa waktu Mas, hehe,” jawab Kiki tak kalah kagetnya.
“Dianterin ya Git, Ki, sama Mas Rizal” ucap Mba Endang menawarkan.
“Ah, enggak Mba, kita naik taxi aja, iya kan Ki,” tanya Gita ke Kiki lagi meminta persetujuan.
“Iya, kita naik taxi aja Mba berdua ndak papa,” jawab Kiki.
“Ya udah, hati-hati ya nanti, aku cariin taxi deh kalau gitu,” ucap Mas Rizal lalu bangkit dan melangkah keluar rumah.
“Gita, Kiki, Mba bungkusin lauknya ya, masih banyak tuh,” tawar Mba Endang.
“Ndak usah Mba, nda usah repot-repot,” jawab Kiki menolak dengan sungkan.
“Boleh Mba kalalu ga ngrepotin, hehe,” jawab Gita mengiyakan hampir bersamaan dengan penolakan Kiki.
“Hahaha, kalian ini jawabannya bisa beda gitu. Mba bawain ya buat kalian,” ucap Mba Endang lagi lalu bangkit.
“Gita! malu tau,” protes Kiki berbisik.
“Rejeki ga boleh ditolak, kalau kamu ga mau buat aku aja, hahaha,” balas Gita.
“Enak aja weeek,” protes Kiki lagi.
“Tuh kan, mau juga kan, pakai malu-malu, haha,” ejek Gita.
Aku hanya tersenyum melihat perdebatan kecil di antara mereka berdua. Seandainya yang duduk disitu sekarang adalah Diah, sungguh aku tidak butuh lagi apapun yang lain. Aku hanya butuh kamu Di, maafin aku yang ga bisa nepati janji ku, ucap ku dalam hati.
“Kenapa Ian? Kok murung? Diah lagi?” Kiki membuyarkan lamunan ku.
“Endak kok,” jawab ku berbohong.
“Kok pada bengong?” ucap Mas Rizal yang ternyata sudah balik dan sudah dapat taxi.
“Eh enggak Mas, hehe,” jawab Gita.
“Ga usah galau gitu Ian mau milih yang mana, haha,” ucapnya yang langsung ngeloyor masuk. Sialan ni abang ngeledekin mulu sukanya batin ku. Tapi, apa iya ada nya Gita dan Kiki di sini adalah sebagai pengganti Diah. Ah tidak, tidak mungkin. Terlalu cepat.
Tidak lama kemudian muncul Mba Endang yang sudah membawa dua bungkusan plastik berisi makanan. Di belakangnya ada Mas Rizal yang menggendong Tiara. Tiara nampak sedih melihat Kiki akan segera balik. Ya ampun.
“Dah nih, Mba bungkusin satu-satu buat berdua, seadanya ya. Kalau kapan-kapan mau main lagi, silahkan, Mba seneng kok, jadi ada temennya. Di sini ada dua cowok rese dan nyebelin soalnya, hihihi,” ucap Mba Endang.
“Aku juga termasuk Mba?” tanya ku.
“Iya, kamu juga, sama nyebelinnya” balasnya lagi. Kiki dan Gita ikutan tertawa.
Tidak lama kemudian, setelah berpamitan, dua gadis cantik itu pulang juga. Tinggal kami berempat lagi. Sepi lagi deh. Jam segini Tiara udah siap-siap mau tidur. Aku lalu teringat Ibuk. Oiya, aku harus mengabari keluarga di kampung. Ku ambil HP ku dan langsung ku hubungi HP Binar.
“Halo…Asalamualaikum…de…apa kabar?” sapa ku dengan senyum lewat telepon.
[Bersambung]