Merindukan Kesederhanaan Part 11
Sekali Ini Saja
Untuk kedua kalinya dalam semester ini, aku dan kedua sahabat ku ini membolos kuliah dengan sengaja. Tapi bedanya, ada pada siapa yang berinisiatif. Kalau dulu mereka berdua yang memaksa ku untuk membolos, sekarang aku yang merengek minta mereka berdua menemani ku. Dan tentu saja tempat yang kami gunakan untuk bermalas-malasan kali ini adalah kostan Kiki.
“Dah kan, kita berdua udah nemenin lu di sini, sekarang cerita lu!” ucap Doni saat kita bertiga sudah berkumpul di ‘lobi’ kost Kiki.
“Iya aku cerita…,” aku menghela nafas sebentar lalu meneruskan ucapan ku.
“Jadi gini…” aku lalu menceritakan percakapan ku dengan Diah semalem.
Mereka berdua sekarang menatap ke arah ku dengan tatapan yang aneh.
“Kok liatinnya gitu?” tanya ku sambil mengambil minum yang disediakan Kiki.
“Mesum juga lu, hahaha,” komentar Doni.
“Tapi Aku ke Diah doang,” Balas ku.
“Hahaha, wajar bro namanya juga pria.”
“Sudah-sudah, kalian ini malah keluar dari topik ngobrolnya,” potong Kiki. Doni hanya nyengir.
“Jadi menurut kalian aku tetep harus nemuin bapaknya Diah kan?”
“Iyalah, harus. Lo cowok bro, lo harus berjuang. Apa perlu gue temenin?” tawar Doni.
“Menurut ku juga begitu,” ucap Kiki menambahkan lagi.
“Makasih ya, makasih untuk supportnya.”
“Ya itulah guna nya sahabat, saling berbagi susah maupun senang, iya ga Ki?”
“I-iya, betul itu,” lagi-lagi Kiki menambahkan.
Aku tersenyum pada mereka berdua. Support dan motifasi dari mereka berdua cukup membuat ku semakin yakin untuk memperjuangkan Diah. Ya, aku harus pulang lagi sebelum akhir tahun untuk menemui orang tua Diah.
“Jadi kapan kamu mau pulang?” tanya Kiki.
“Belum tau, sebelum akhir tahun yang pasti, tapi setelah masa pengenalan BEM.”
“Pengenalan?” tanya Doni.
“Iya, mereka menyebutnya gitu.”
“Di kampus atau?”
“Di luar, aku belum tau pasti detail waktu dan tempatnya seperti apa,” jelas ku.
“Owh…,” balas Kiki singkat.
Hari ini kami habiskan hanya dengan bermalas-malasan di kost Kiki. Canda tawa mengiringi kenakalan kami yang membolos kuliah hanya karena kegalauan ku. Gapapa lah, sekali-kali pikir ku. Sekali-kali nakal. Hehe. Nakal bersama sahabat tidak ada salahnya.
***
Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa. Kuliah, hardcase, kuliah, hardcase. Alhamdulillah, meskipun cukup menguras tenaga dan pikirian, tapi hasil yang aku terima sebanding. Aku sudah bisa mengembalikan uang kuliah semester satu yang dulu dibayar Mas Rizal. Rencana awal dulu itu sebenarnya semua biaya kuliah ku akan ditanggung mas Rizal, asal aku mau bantu-bantu kerja. Tapi faktanya, semakin sibuknya Mas Rizal sekarang membuat aku diamanahin bisnis kecilnya ini.
Lumayan lah, sekalian belajar pikir ku. Bonusnya, aku bisa bayar kuliah sendiri. Bapak dan Ibuk seneng banget waktu aku menceritakan ini semua. Gimana kalau aku sudah bisa nyenengin mereka berdua ya? Kapan ya aku bisa kaya gitu? Suatu hari nanti pasti.
***
Dua bulan telah berlalu. Artinya tidak sampai seminggu lagi aku harus pulang. Aku sudah mulai mempersiapkan mental ku untuk ketemu orang tua Diah. Apapun nanti hasilnya, aku harus maju. Menang atau kalah, itu urusan kedua. Tapi aku mau menang. Apapun akan ku lakukan demi Diah.
Hari ini adalah hari dimana masa pengenalan anggota baru BEM akan dilangsungkan. Lokasinya di bumi perkemahan di sebuah kaki gunung di luar kota. Pagi ini, belum ada jam tujuh, aku sudah nongkrong di WC kampus. Biasa nabung harian. Tadi, saat aku berjalan dari gerbang kampus menuju WC, aku melihat sebuah Bus ukuran sedang berlogo kampus sudah terparkir di parkiran mobil. Aku baru tahu kalau kampus punya Bus sendiri.
Di sekitaran Bus itu juga telah datang beberapa anggota baru BEM, yang sebagian aku masih inget wajahnya. Dan tentu saja di antara mereka ada satu wajah yang sangat aku…entahlah. Dibilang benci, enggak juga. Aku cenderung kasihan padanya. Tapi orangnya selalu bikin kesal. Dan tatapannya pada ku itu yang tidak pernah berubah, sinis. Tuhan, apa salah hamba?
Selesai buang hajad, aku lalu ke kantin. Meskipun ini hari sabtu, kantin tetap buka, meskipun hanya sebagian. Kampus ku selalu ada kegiatan setiap harinya. Tujuh hari seminggu. Kalau sabtu minggu gini biasanya untuk yang kelas karyawan. Makanya tak jarang pula aku mendapati mahasiswa yang rata-rata seumuran dengan Mas Rizal atau Mba Endang. Salut aku. Semangat mereka masih tetap membara meski sudah tidak muda lagi. Aku tidak boleh kalah nih pikir ku.
Sesampainya di kantin aku langsung memesan teh manis hangat dan sarapan, nasi rames setengah porsi. Bukan karena ngirit, tapi takut malah jadi ngantuk. Dan, lagi-lagi ada Gita lagi di sini. Haduh.
“Apa lihat-lihat??” tanya nya saat kebetulan aku dan dia memesan makanan di tempat yang sama. Duh Gusti, tobat. Perasaan, aku ga ngapai-ngapain deh. Dan, setelah peristiwa malam itu, seharusnya kan aku yang marah sama dia, kenapa malah sebaliknya? Oke, sepertinya aku harus bermain peran lagi.
“Eh, mata lo ga bisa dijaga ya! Jelalatan banget! Awas ya macem-macem, gue ga akan segan-segan unt…” bentaknya.
“Apa? Kamu pikir aku takut? Jangan mentang-mentang kamu bisa bikin aku babak belur malam itu, trus aku diem aja, trus kamu bisa seenaknya lagi, kalau aku mau aku bisa saja nuntut kamu,” ancam ku pura-pura.
“Eh, maksud lo apa?”
“Ga ada maksud apa-apa, cuma kasian aja ama kamu. Oiya, hati-hati. Orang yang sakit hatinya kadang bisa jadi orang paling kejam! Waspadalah!” ucap ku santai sambil meninggalkannya begitu saja. Sumpah, aku saat ini merasa menjadi cowok paling cool se dunia. haha.
“HEI! MAKSUD LO APA MGOMONG GITU?” teriaknya lumayan keras yang membuat sebagian orang sekitar menengok ke arahnya. Aku hanya berbalik sambil berjalan mundur dan mengangkat setengah tangan ku seolah tidak tau apa-apa.
***
Perjalanan menuju bumi perkemahan membutuhkan waktu sekitar enam jam. Tapi itu sudah termasuk perjalanan dari pintu masuk ke area perkemahan yang harus berjalan kaki sekitar satymu setengah jam. Dan sekarang kami baru saja sampai. Anak-anak yang cowok di instruksikan untuk membangun tenda. Sedangkan yang cewek kebagian jatah untuk mempersiapkan makanan. Jujur, ini adalah pengalaman pertama ku berkemah. Sejujurnya aku tidak terlalu berminat dengan acara seperti ini, tapi ambil sisi positif nya saja, pengalaman baru.
Sore harinya, sekitar pukul lima sore, semua hal telah beres. Segala persiapan untuk kegiatan malam hari pun telah beres semua. Di daerah ini, yang notabene adalah kaki gunung dengan hawa yang cukup dingin, membuat kami tidak perlu mandi, cukup membersihkan diri secukupnya saja.
Aku jadi membayangkan Gita yang terbiasa dengan hidup mewah pasti akan sangat kerepotan jika harus survive di tempat seperti ini. Tapi biarin lah, biar jadi pengalaman juga buat dia. Biar ga cengeng lagi. Good luck Girl, batin ku.
“Gimana Ian? Udah beres semuanya?” tanya seseorang pada ku.
“Beres Mba, anak-anak nya kompak-kompak jadi gampang kerja sama nya,” jawab ku. Ternyata yang menghampiri ku adalah Mba Ayu. Retno Ayu Dewanti. Ketua pelaksana sekaligus penanggung jawab kegiatan ini, yang tak lain adalah president BEM. Semakin kesini aku semakin kagum padanya. Cantik, lembut, tapi bisa tegas juga.
“Bagus lah. Aku minta kerja sama nya ya, semoga kegiatan ini berjalan lancar, hingga selesai dan bisa kembali ke rumah masing-masing dengan selamat.”
“Aamiin Mba. Siap,” balas ku tegas sambil memberi hormat. Mba Ayu lantas tertawa renyah.
“Kamu lucu juga ya, aku pikir kamu itu pendiem banget, hehehe,” ucapnya.
“Hehehe, Mba Ayu bisa aja,” balas ku malu.
“Oiya, kamu lihat Gita? Aku cari-cari dari tadi ga ketemu ya?”
“Dia emang suka gitu Mba, tiba-tiba ngilang, ntar juga muncul sendiri, hehehe,” canda ku ngasal.
“Hiiish, aku serius, lihat enggak?” tanya nya lagi.
“Ehm…endak…” balas ku sambil garuk-garuk kepala. Aku memang tidak melihatnya dari tadi.
“Cepat kamu cari dia! Ajak anak cowok lainnya. Aku mau mastiin yang lainnya lengkap,” ucapnya sambil bangkit.
“I-iya Mba,” balas ku agak gugup. Benar kan, Mba Ayu kalau lagi tegas bisa tegas banget.
Kemana ini anak? Apa jangan-jangan ga kuat trus balik duluan gitu aja? Ga mungkin pikir ku. Jujur aku mulai khawatir. Apalagi dengan rencana jahat dari beberapa orang yang tidak sengaja aku dengar waktu itu. Rencana jahat yang kapan dan di mananya akan di laksanakan aku sendiri tidak tau.
Aku lalu mengajak dua anak cowok dari kelas lain. Aku mulai dengan menyisir ke arah barat dulu. Kemudian nanti memutar ke utara. Beberapa anak cowok lainnya juga mulai menyisir ke arah lain.
***
“GITAAA,” teriak Rudy. Tidak ada respon.
“GIIITAAA,” gantian Indra yang berteriak. Tidak ada respon juga.
Kemana itu anak? Huh, bikin repot saja batin ku.
Kami bertiga terus berjalan. Menyusuri jalan setapak yang hampir tidak terlihat karena lebatnya pepohonan. Ini kalau orang baru, sendirian, sembilan puluh persen pasti akan tersesat nih. Kecuali dia punya insting yang kuat. Sebagai antisipasi aku membuat tanda di sepanjang jalan yang aku lewati.
“Buat tanda aja, biar ndak kesesat,” ucap ku.
“Oke, sip,” balas nya. Kami bertiga lalu meneruskan perjalanan lagi. Cukup jauh. Satu kilo meter mungkin ada. Feeling ku mengatakan Gita tidak akan main sampai sejauh ini. Kecuali ada yang sengaja mengajaknya kesini dengan paksa. Tapi aku mau positive thinking saja deh.
“Ndra, Rud, mungkin ndak sih Gita mainnya sejauh ini?” tanya ku.
“Kayanya sih enggak ya,” jawab Rudy.
“Sama, aku juga mikir gitu, gimana kalau memutar ke kanan saja?” saran ku.
“Setuju, kalau pun tersesat kayanya ga sejauh ini deh,” balas Indra.
Kami bertiga lalu berbelok arah ke kanan. Sekarang bukan lagi jalan setapak yang kami lewati, tapi semak-semak. Untungnya kami membawa pisau lipat yang bisa digunakannya untuk memangkas rimbunnya semak-semak di depan kami.
Jarak antara area perkemahan dengan tempat ku berada sekarang mungkin sekitar satu kilometer. Jika kita terus bersama seperti ini peluang menemukan Gita akan semakin kecil. Satu-satunya jalan adalah berpencar. Asumsi awal tadi Gita tidak akan pergi lebih jauh dari ini.
“Rud, Ndra, sepertinya kita harus berpencar. Semakin luas area pencarian, semakin besar pula peluang kita menemukan bocah itu. Rudy ke arah sana, Indra ke arah sana, Aku tetap lurus,” aku menginstruksikan ke mereka berdua.
“Oke, setuju.”
“Iya, aku pikir juga lebih baik begitu.”
“Sebentar lagi gelap, hati-hati ya. kalau kalian tidak menemukan apa-apa, terus lah bergerak ke arah kanan, pasti akan kembali ke area perkemahan,” pesan ku.
“Iya, hati-hati juga Ian,” balas Rudy.
Indra aku arahkan serong sekitar tiga puluh derajad ke kanan atau sudut siku-siku dibagi tiga, sedang kan Rudy enam puluh derajad, dua kalinya Indra. Dengan begini area antara perkemahan dengan tempat kami sekarang akan tersisir semua. Aku juga berharap pada anak-anak cowok lainnya yang juga menyisir area lain.
Setelah berpisah dengan mereka berdua, aku lalu melanjutkan jalan ku. Hari sudah menjelang malam. Selain sudah mulai gelap, hawa dingin khas pegunungan mulai menusuk tulang. Terakhir aku melihat Gita tadi siang, masih menggunakan baju biasa. Mungkin karena kalau siang hawa belum begitu dingin. Dan mungkin juga memang pada dasarnya anak itu suka menjadi pusat perhatian.
Aku semakin mempercepat jalan ku. Jika terus bergerak, hawa dingin ini tidak akan terlalu terasa karena kalau berhenti sebentar saja, langsung terasa sekali dinginnya. Aku tidak bisa membayangkan apabila Gita masih mengenakan baju yang tadi siang. Seksi sih, tapi…haduuuh…malah mikir yang macem-macem aku.
Aku masih terus berjalan. Sedangkan sang surya saat ini sudah benar-benar tenggelam di ufuk barat. Hanya tinggal menyisakan lembayung senja yang sangat indah. Sebelum kegelapan akan menyelimuti angkasa. Gita, kamu dimana sih? Aku belum pernah merasakan kecemasan yang seperti ini. Meskipun selama ini dia tidak pernah meanggap ku sebagai manusia, tapi jika sudah seperti ini aku tidak bisa untuk tidak khawatir. Aneh. Sangat aneh. Dengan perlakuan yang diberikannya selama ini, seharusnya aku masa bodoh dengan nasibnya. Tapi, aku tidak bisa. Aku tidak bisa untuk tidak mengkhawatirkannya.
Aku masih terus melangkahkan kaki ku. Untung aku tadi masih sempat mengambil sebuah headlamp untuk jaga-jaga kalau pencarian ini sampai malam. Dan sekarang, dengan bermodal penerangan yang seadanya ini aku menyusuri hutan, yang aku sendiri tidak menguasai medannya sama sekali. Hampir putus asa, dan hampir pula aku berbelok ke arah kanan, menuju area perkemahan, tiba-tiba aku mendengar suara tangisan pelan seorang wanita. Gita kah itu? Segera aku mencari lokasi sumber tangisan itu.
Dan akhirnya, setelah berjalan beberapa meter ke arah serong kiri, aku melihat seorang gadis, dengan rambut panjang terurai, duduk meringkuk bersandar di sebuah pohon. Posisinya menunduk memeluk lututnya sendiri. Mendadak aku teringat dengan peristiwa yang terjadi di parkiran mobil dulu itu. Saat dia menolong seorang bocah pemulung. Situasinya sangat mirip. Hanya saja, sekarang dia yang menangis dan aku yang harus menolongnya.
“Gita?” panggil ku pelan agar tidak mengagetkannya.
“Ian? Kamu Ian? HUAAAAA…” tangisnya histeris sambil bangkit dan menghambur ke arah ku. Dia langsung memeluk ku dengan erat. Erat sekali. Hingga aku dapat merasakan bagaimana sintalnya tubuhnya. Bagaimana empuk payudaranya yang menekan ke dada ku. Sadar Ian, sadar. Inget Diah masih menunggu mu di kampung, sebuah bisikan masuk ke telinga ku. Ah elah ganggu aja.
“Git? Git? Iya aku Ian, lepas dulu sebentar, aku ndak bisa napas ini,” ucap ku sambil sedikit mendorong tubuhnya.
Pelukan Gita akhirnya terlepas. Dia nampak salah tingkah dan sedikit menjauh setelah sadar yang dia peluk barusan adalah seorang Alfian. Musuh terbesarnya.
“Eh, ngapain lu di sini?” tanya nya sambil berusaha jaim dan menghapus air mata nya.
“Ya nyariin kamu lah. Aku yang seharusnya nanya, gimana ceritanya Kamu bisa sampai ada di sini?” tanya ku balik. “Ayo balik, Mba Ayu khawatir banget tadi nyariin kamu,” ajak ku lagi sambil mendekat dan berusaha meraih pergelangan tangannya.
“Bukan urusan Lu Gua bisa ada di sini, dan Gue bisa jalan sendiri, ga usah pegang-pegang gue, gue tau lu nyoba cari kesempatan kan?” balasnya. Allahuakbar. Sabar!!! Sabar!!!
“Oke, Aku ndak akan menyentuh mu. Tapi sekarang kita pulang. Mba Ayu udah nungguin. Kamu duluan, nanti aku senterin dari belakang,” ucap ku tetap mencoba sabar.
Tidak ada jawaban dari nya. Hanya sebuah ekspresi yang…campuran antara kesal, marah, malu, jaim, tapi ndak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti arahan ku.
“Kita ke arah sana, tuan putri,” canda ku sambil menunjuk ke arah perkemahan dengan sedikit membungkuk. Aku sengaja melakukannya agar dia tidak malu dan mau mengikuti arahan ku.
Gita lalu berjalan. Lewat tepat di depan ku yang masih membungkuk. Konyolnya, dia masih bisa bersikap tidak ada peristiwa apa-apa yang terjadi sebelumnya. Dia masih dengan ekspresi muka jutek dan galaknya. Manusia macam apa ini?
Kami berdua lalu berjalan beriringan. Aku sekarang baru benar-benar sadar kalau body Gita memang benar-benar aduhay. Postur tubuhnya tinggi untuk ukuran cewek. Pinggangnya ramping banget, sedangkan pinggul dan pantatnya membulat dengan indah. Tapi baru jalan dapat beberapa belas meter, tiba-tiba dia berhenti dan berbalik.
“Yang tadi itu, jangan pernah lu ceritain ke orang lain!!” Perintahnya tegas. Yang tadi? Yang tadi apa nih maksutnya? Ga jelas, batin ku.
“Yang tadi apa?”
“Itu…jangan pura-pura lupa deh, gue sumpahin juga lu jadi amnesia,” balasnya.
“Aku beneran ndak ngerti.”
“Dasar bego, itu yang gue meluk lo tadi, awas kalau sampai ada yang tahu!!” ancamnya.
“Huahaha, kenapa? Malu? Hahaha.”
“Pokoknya awas aja kalau sampai lu ceritain itu ke orang-orang!” ancam nya.
“Kenapa? Orang lain tau atau endak, Aku ndak perduli, ndak ada untungnya. Jadi sekarang lebih baik kamu terusin jalannya, biar kita cepat sampai dan urusan kita selesai,” ucap ku agak kesal. Ga tau diuntung banget pikir ku.
“Jadi lu ga ikhlas?” balasnya dengan berkacak pinggang. Yasalam…
“Ikhlasss!!! udah buru jalan,” perintah ku lagi.
“Ya sabar sih, nama nya juga cewek, disuruh jalan ditempat seperti ini pasti lama lah, emang elu dusun biasa tinggal di hutan,” omelnya namun sudah kembali berjalan.
“Emang situ cewek?” sindir ku pada nenek lampir ini.
Dug!!
“Aduh,” sebuah jitakan tepat mengenai kepala ku.
“Apa lu bilang?” tanya nya kesal.
“Enggak, udah buru jalan!” perintah ku.
Aku mengusap bekas jitakannya di kepala ku. Keras juga pukulannya. Kita berdua lalu melanjutkan jalan. Kalau dikit-dikit berhenti gini bisa besok pagi nih sampainya. Ya Allah, semoga Engkau cepat mengakhiri cobaan ini. Aamiin. Doa ku dalam hati. Kami berjalan dan terus berjalan. Berjalan dengan pemandangan pantat yang aduhai. Halah.
“Ini kemana?” tanya nya tiba-tiba saat kami mendapati jalan setapak yang bercabang.
“Kayanya kanan sih,” jawab ku ragu.
“Kok kayanya? bener enggak? yang yakin dong!” tanya nya lagi agak panik.
“Lah…terus salah aku gitu? aku baru sekali ini kesini, itupun juga karena nyariin kamu,” jawab ku agak kesal. Udah ditolongin masih aja ngelunjak.
“Aku tadi datang dari arah kanan, feeling ku lokasi perkemahan ada di sebelah sana,” lanjut ku sambil menunjuk ke arah serong kanan. Dia masih nampak ragu.
“Mau ikit ayo, ndak juga ndak apa-apa, paling-paling mati kedinginan kamu, aku sih mau cepet-cepet makan indomie rebus plus teh manis hangat,” ucap ku santai.
Dia semakin bingung. Apalagi saat aku mengucapkan ‘mati kedinginan’. Serem juga ya aku ngomongnya, haha. Kami lalu melanjutkan jalan lagi. Sekarang giliran aku yang di depan.
“Ian, eh, Dusun!” panggilnya.
“Hmm…?” jawab ku males.
“Kok lu nyariin gue sih?”
“Bukan pertanyaan yang pas untuk ditanyakan sekarang.”
“Hiisssh…ngeselinnya keluar.”
“Mending, dari pada kamu ngeselin terus, mendingan aku cuma kadang-kadang doang.”
“Iiihh, serius gue nanyanya.”
“Mba Ayu yang nyuruh…” jawab ku malas-malasan. Kami masih terus berjalan.
“Kalau ga disuruh lu ga nyariin dong?”
“Mungkin.”
“Iiihhh, tega banget sih!”
“Ya paling nunggu dua kali dua puluh empat jam dulu.”
“Mati beneran dong Gue!”
“Ya biarin aja! Dengan begitu ndak ada lagi orang yang bakal nggebukin aku tanpa alasan,” jawab ku santai sambil tetap terus berjalan. Sepertinya Gita berhanti sesaat sebelum melanjutkan jalan lagi. Mungkin sindiran ku tadi mengena sekali padanya. Bodo amad lah.
“Ian!”
“Hmmm…?”
“Tungguin!!” teriaknya yang sepertinya kewalahan mengimbangi ritme jalan ku.
Dari ekor mata ku nampak Gita berusaha mendahului ku. Sekarang dia sudah ada di depan ku lagi. Kami kembali berjalan beriringan. Namun, tidak lama kemudian aku merasakan ada sesuatu yang aneh.
“Git, tunggu sebentar,” ucap ku pelan hampir berbisik. Gita langsung berhenti dan berbalik lagi.
“Apaan? Jangan bisik-bisik, ga lucu!” balasnya dengan gemas.
Aku sedikit mengok ke kiri dan kanan. Aku melihat sesuatu, seperti mata yang memantulkan cahaya headlamp ku. Tapi, itu mata siapa? Binatang buas? Masa iya, ga mungkin. Manusia? Kenapa tidak langsung menyapa atau menghampiri kami berdua. Kenapa malah diam dan seperti mengawasi kami?
“Stthh…diem!!!,” ucap ku pelan tapi tegas.
Aku lalu menatap ke sekeliling. Ada empat pasang mata. Satu di kanan, satu di kiri, dan dua di depan agak menyerong. Gita nampak bingung. Dia sepertinya juga mulai merasakan hal yang aneh. Tapi tidak tau apa.
“Siapa kalian? Jangan main-main!” ucap ku dengan lantang.
Gita yang baru sadar kalau sekarang kita tidak hanya berdua langsung berjalan mendekat ke arah ku. Wajahnya nampak ketakutan, dan badannya juga agak gemeteran, entah karena takut atau dingin. Tubuhnya merapat ke tubuh ku. Berlindung di belakang ku. Tidak lama kemudian, pemilik empat pasang matang tadi keluar juga. Mereka berempat berdiri berjajar tepat di depan ku dan Gita.
Karena gelapnya malam, aku hanya bisa melihat samar-samar siluet tubuh mereka tanpa bisa melihat wajah mereka. Gita sendiri masih berdiri merapat dan memeluk lengan ku. Kenyal banget. Sial! Disaat genting seperti ini, ni bocah malah mengganggu konsentrasi ku. Atau aku nya yang emang gagal fokus?
“Siapa kalian?” tanya ku pada orang-orang berbaju serba hitam itu.
“Serahkan wanita itu!” ucap salah seorang dari mereka. Suara itu? Suara yang waktu itu. Apa mungkin mereka? Bagaimana bisa mereka ada di sini? Ditengah kebingungan ku, sekilas aku mendengar nama Andre yang keluar dari mulut Gita. Andre? Ndre? Ah, iya, itu pasti mereka.
“Andre? Maksud lo apa?” teriak Gita.
“Hahaha, maksud gue?, maksud gue ya elo lah non, hahaha,” tawa Andre dibarengi dengan ketiga temannya.
“Lo jangan macem-macem ya Ndre, kita udah ga ada urusan lagi!” balas Gita lagi.
“Enak aja, mana janji lo waktu itu kalau gue bisa bikin ni anak babak belur?” balas Andre. Nah kan, bener. Orang ini pasti yang mukulin aku malam itu. Aku sempat akan langsung menyerang mereka, tapi aku tahan. Tenang Ian, jangan emosi. Kamu harus atur setrategi. Ucap ku dalam batin.
“Weit, tunggu dulu!” aku menyela.
“Kenapa? Lu mau jadi pahlawan? Lu itu babak belur karena ulah wanita di samping lu itu, hahaha,” Andre menertawakan ku.
“Aku sudah tau, ini anak memang selalu membuat ku kesal,” balas ku tetap mencoba tenang. Gita nampak kaget dengan jawaban ku.
“Lu mau lindungin Dia?” tanya nya lagi.
“Tidak juga, makanya tadi aku bilang tunggu dulu. Kalau kalian mau wanita ini, ambil saja, aku tidak peduli. Lakukan apapun yang ingin kalian lakukan, aku hanya ingin balik,” ucap ku santai sambil mengangkat tangan yang membuat pelukan tangan Gita di lengan ku terlepas. Gita semakin kaget.
“Ian…?” ucapnya pelan.
“Apa?” tanya ku balik.
“Hahaha, cari aman lo ya,” ucap Andre sambil tertawa.
“Tolongin gue! please…” mohon Gita.
“Tolong? Bukannya tadi kamu yang bilang kalau kamu ndak perlu pertolongan ku dan bisa balik sendiri? Aku ndak mau kalau harus dipukuli lagi, sakit. Urus saja urusan mu sendiri!” ucap ku. Gita nampak tidak percaya dan menyesali sikapnya ke aku tadi.
Dengan acuh aku meninggalkannya sendiri yang masih berdiri mematung. Aku melihat air mata nya mulai meleleh membasahi pipi nya.
“Selamat bersenang-senang, kawan,” ucap ku ke meraka.
Aku lalu berjalan lagi hingga melewati empat orang ini. Tatapan mata ku dan Andre saling beradu. Dia nampak senang sekali aku meninggalkan Gita begitu aja. Saat aku sudah beberapa langkah di belakang mereka, aku mendengar salah seorang dari mereka berbisik.
“Ndre, lu yakin anak ini ga akan buka mulut?”
“Tenang aja, gue yakin dia juga punya dendam dengan Gita,” ucap Andre yakin.
“Salah!” ucap ku pelan. Tidak lama kemudian mereka menengok kearah ku. Sepertinya mereka sudah menyadari jebakan ku dengan sengaja membuat mereka lengah. Tapi telat. Dengan cepat aku mengambil dua batang potongan ranting kayu berdiameter sekitar lima sentimeter sepanjang sekitar satu meter yang kebetulan terserak di tanah.
Sekonyong-konyong langsung aku pukul mereka semua dengan kayu tadi. Karena lengah, mereka semua tidak siap untuk menghindar dan semua pukulan ku mengenai sasaran. Meskipun ada yang bisa menangkisnya dengan lengan, tetap saja kayu dengan lengan tentu menang kayu di tangan ku.
“BUGH” “BUGH” “BUGH” “BUGH” “BUGH” “BUGH” “BUGH” “BUGH” “BUGH”
“Gita, balik ke perkemahan!! Cepat!!,” teriak ku sambil bergerak maju memberikan perlindungan pada nya. Masih dengan perasaan kaget namun senang, Gita berlari kebelakang ku.
“Ngapain kamu disitu? Cepat pergi!!!” perintah ku lagi dengan sedikit bentakan.
“Ta-tapi E-elo?” tanya nya mengkhawatirkan ku. Tumben, batin ku.
“Kalau kita berdua tetap di sini, kita bisa sama-sama mati. Cepat cari bantuan! Aku akan menahan mereka,” jelas ku.
“Ta-tapi…” balasnya lagi masih dengan ragu.
“Sekali ini saja, tolong denger kata-kata ku. Kamu lari ke arah sana, jangan berbelok!” aku mengarahkan Gita ke arah area perkemahan. Aku hanya berharap Dia akan sampai di perkemahan dan membawa bantuan untuk ku.
“I-iya, hati-hati Ian,” pesannya.
“Kamu juga,” balas ku.
Gita lalu meninggalkan ku. Aku tidak tau ekspresi wajah Gita saat ini, kami tidak sempat saling pandang. Aku fokus pada keempat orang di depan ku yang masih meringis kesakitan karena pukulan ku tadi.
“Bangsat, berani-berani nya lu tipu gua!” umpat salah seorang dari mereka.
“Kalian aja yang terlalu bego,” balas ku santai. Aku harus tetap tenang.
“Bacot lu!!” teriak salah seorang dari mereka lalu menyerang ku. Aku sudah siap dengan kuda-kuda dan dua batang kayu di tangan ku.
Satu orang datang dengan tinju nya, namun dengan mudah aku dapat menyerang nya balik.
‘BUGH’
“Argghhh…”
Orang itu jatuh dan mengerang kesakitan. Setelah itu dua orang maju bersamaan. Lagi-lagi aku bisa memukul balik mereka. Tapi sayang, aku lengah terhadap orang terakhir yang dengan posisi yang sangat menguntungkan baginya memberikan pukulan tepat di punggung ku.
“Argghhh…” aku mengerang menahan rasa sakit.
“Gue masih bingung ama lu, Gita itu otak di balik penganiayaan lu waktu itu, gimana ceritanya lu sekarang mati-matian lindungin Dia?” oceh nya.
“Bukan urusan mu! Ayo cepat selesaikan dan lihat siapa yang akan mati duluan!” balas ku sok berani. Padahal belum tentu juga aku yang akan menang melawan mereka berempat.
Aku sekarang tak ragu lagi untuk melawan mereka. Gita seharusnya sudah jauh dari tempat ini. Paling tidak dia akan lebih aman di sana. Aku pun kembali pada posisi kuda kuda ku.
“Baiklah kalau begitu. Lu udah ganggu kesenangan gue, sekarang lu yang akan jadi bahan mainan gue,” oceh nya lagi.
“BERISIK!!!,” teriak ku sambil menyerang mereka terlebih dahulu. Aku ayun kan batang kayu di tangan ku ke segala arah. Mencari setiap sasaran yang ada di sekitar nya. Dengan posisi sama-sama waspada seperti ini, dengan mudah mereka menghindar dari serangan ku. Bahkan, salah seorang dari mereka selalu berhasil memukul ku saat aku berhasil memukul dua yang lain.
Sial. Kalau kalah jumlah seperti ini, aku pasti akan kalah juga lama-lama. Ya Tuhan, siapapun, segerakan Dia untuk datang dan menolong ku.
Badan ku sudah mulai lemas. Beberapa pukulan telah mengenai tubuh ku. Aku merasakan nyeri di bagian tulang yang terkena pukulan itu. Bibir ku berdarah. Perut ku rasanya mual setelah beberapa kali juga terkena pukulan di sana.
“Si bocah sok pahlawan keok juga, hahaha,” ucap salah seorang dari mereka sambil tertawa.
“Iya, belagu sih. Pake nantang siapa yang akan mati duluan, konyol.”
“Udah, jangan banyak bacot, selesaikan sekarang juga dan kita cabs sebelum Gita balik bawa bantuan.”
“Ndre, gue serahin ke elu,” ucap salah seorang dari mereka dan semuanya diam. Laki-laki yang di panggil Andre itu lantas mendekati ku. Aku masih berlutut dengan tangan kiri ku menjadi salah satu tumpuan. Aku sudah habis. Tidak ada tenaga lagi.
Mendadak aku lalu teringat dengan Diah. Mimpi ku dan mimpinya. Janji-janji ku. Terutama janji menemui orang tuanya akhir tahun ini. Semuanya berputar di kepala ku. Maaf kan aku Di, maaf kalau aku belum bisa menepati janji ku. Maaf.
‘DUGH’
‘BRAGH’
Sekonyong-konyong Andre mengayun kan kaki kanan nya tepat mengenai dagu ku. Saking keras nya hingga membuat ku terlempar kebelakang. Gigi-gigi ku seperti ada yang patah. Darah segar semakin mengucur dari dalam mulut ku.
Andre kembali menghampiri ku. Menarik tangan ku dan membuat ku berdiri. Meskipun terhuyung, aku masih bisa mengingat bagaimana senyum jahatnya.
“Nih! Makan!!,” ucapnya tiba-tiba dengan gerakan tangan mengayun ke depan. Sialan. INI???
“Argghhh…,” aku mengerang keras saat sesuatu yang amat tajam menembus dan membelah kulit perut ku.
“ARGGHHH…,” aku kembali mengerang. Tidak cukup dengan menusukan pisau itu, Andre juga mengoyakannya.
Tidak lama kemudian pandangan ku mulai kabur. Andre lalu mencabut pisaunya dengan paksa, membuat perih di perut ku semakin menjadi. Aku pun jatuh berlutut dengan kedua tangan memegangi luka di perut ku. Berharap darah yang keluar dapat berhenti.
Aku sudah tidak merasakan apa-apa lagi. Semuanya mendadak jadi gelap. Badan ku terjatuh ke samping. Kepala ku menempel ke tanah. Dengan posisi meringkuk, aku masih memegangi perut ku.
“Ce-cepat ke-kembali Git,” ucap ku lirih.
[Bersambung]