Merindukan Kesederhanaan Part 10

Maaf [3]

Dua minggu semenjak insiden penganiayaan ini, kondisi tubuh ku kini sudah berangsur membaik. Meskipun masih belum kembali fit seratus persen, namun aku sudah bisa beraktifitas seperti biasa. Hari ini aku akan mulai masuk kuliah lagi.

Waktu itu, Mas Rizal sempat akan melaporkan tindakan penganiayaan ini ke pihak kepolisian, tapi aku larang. Aku berdalih tidak ada bukti dan saksi. Dan tidak ada petunjuk apapun. Semuanya rapi. Kecuali Gita, yang entah kenapa malah dengan sengaja menunjukkan dirinya. Nantangin banget sih pikir ku. Tapi biar lah. Aku akan mendiamkan saja. Dia pasti merencanakan sesuatu lagi dibalik ini semua. Aku tidak mau masuk ke perangkapnya.

Total, waktu itu aku di rawat inap selama lima hari. Selama lima hari itu pula Mba Endang merawat dan menunggui ku. Aku sampai tidak enak. Bukan apa-apa, tapi tugas dan tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu rumah tangga menjadi sedikit terganggu. Lebih ga enak lagi dengan Mas Rizal dan Tiara. Kasian Tiara, selama lima hari perhatian Mba Endang seperti terbagi menjadi dua. Antara aku, dan keluarga kecilnya. Selain itu, bagi Mba Endang, seminggu sebelumnya dia sudah merawat ibuk waktu beliau sakit, sekarang malah harus merawat ku.

Aku jadi teringat ketika Mba Endang kembali ke ruangan dimana aku di rawat, saat melihat ku telah sadar, dia langsung menghambur ke arah ku. Dan langsung menangis, pasti. Untung ada Kiki yang bantu nenangin. Tiara, nampak bingung dengan kondisi ku.

“Om Ian udah bangun ya dari bobo nya?”

“Iiiih…kok mama nangis ma? ga malu apa?” tanya Tiara polos waktu itu. Yang sontak membuat kami semua termasuk Mba Endang tersenyum menahan geli.

Untungnya, Mas Rizal masih memiliki pengertian yang cukup besar. Waktu itu, saat aku dirawat di hari ke dua, aku yang merasa sudah bisa ditinggal menyuruh mereka pulang saja. Kalau mau, balik besok lagi aja tapi mereka kekeh menunggui ku. Aku benar-benar terharu. Beruntungnya aku memiliki keluarga seperti mereka.

Selain mereka, ada juga teman kuliah ku yang menjenguk ku, tepatnya pas hari ke dua aku dirawat. Kiki, Doni, dan beberapa teman lainnya menjenguk ku. Gita? Mana mungkin. Khusus Doni dan Kiki, hari minggu kemarin menjenguk ku lagi ke rumah. Hampir seharian mereka berdua menjenguk ku.

“Kamu yakin mau kuliah hari ini?” tanya Mba Endang saat menyiapkan sarapan untuk kami semua.

“Iya Mba, sudah dua minggu lho, takutnya makin ketinggalan ntar kuliahnya.”

“Ya udah, atau mau dianter Mas Rizal?” tanya Mba Endang.

“Eh, ndak perlu, ndak usah, bisa sendiri kok,” jawab ku yang langsung menolaknya. Aku paling tidak bisa kalau harus merepotkan orang. Apalagi orang yang kita tua kan. Aku lalu memulai sarapan. Sepiring nasi plus telor dadar dengan kecap. Menu sarapan yang paling aku suka.

“Om Iaaannnnn,” teriak Tiara yang berlari ke arah ku sudah lengkap dengan seragamnya. Manis sekali.

“Aduuuh…cantik banget ini ponakan Om,” puji ku pada Tiara.

“Hehehe, tante Kiki kapan main lagi om?” tanya nya tiba-tiba dengan polos nya.

“Eh, ehmmm…” aku bingung menjawabnya. Kenapa Tiara nanyain Kiki ya? Aku menengok ke arah Mba Endang yang ternyata juga menatap ke arah ku dengan bingung.

***

Begitu tiba di kampus, aku langsung menuju kelas. Oiya, aku sudah mengabari Doni dan Kiki kalau hari ini aku masuk kuliah. Agar mereka tidak terlalu heboh gitu pikir ku.Tapi nyatanya hampir sebagian anak-anak kelas langsung mengerubuti ku ketika melihat ku nongol di pintu kelas.

“Ian, gimana keadaan lo?”

“Udah sehat Ian?”

“Alhamdulillah ya sudah bisa masuk kuliah lagi, kita-kita kangen sama lo Ian.”

Beberapa kalimat yang terucap dari mereka yang menyambut ku.

“Udah sembuh kok. Ini mah luka kecil,” balas ku menyombong dengan sedikit melirik ke arah seorang perempuan, Gita. Dia ada di kelas juga sekarang. Ikut menyambut ku? Tentu saja tidak. Dia membalas pandangan ku dengan sinis.

“Masuk juga lu mas bro, luar biasa jagoan kita ini…,” oceh Doni saat menjabat tangan ku dan merangkul bahu ku.

“Jagoan apaan? Masa jagoan babak belur?” balas ku.

“Lah itu, gue aja yang lu bilang slengekan ini belum pernah lawanin empat orang sekaligus, lu diem-diem preman juga, hahaha.”

“Kamu kalau diem bisa ga sih Don?” protes Kiki tiba-tiba.

“Minggir-minggir!” lanjutnya.

Doni pun minggir, memberi akses kepada Kiki yang ingin menyalami ku.

“Apa kabar Ian? Udah enakan badannya sekarang?” tanya nya lembut, dan teduh. Bikin tentram hati. Andai semua wanita di dunia ini punya tabiat yang sama seperti Kiki, tentu akan jadi sangat indah dunia ini.

“Alhamdulillah Ki, berkat doa kalian,” ucap ku sambil duduk di antara mereka berdua.

Kami akhirnya ngobrol bertiga. Topik pembicaraan tak jauh-jauh dari materi perkuliahan. Mereka berdua secara bergantian memberikan informasi serta update apa saja selama aku tidak masuk dua minggu ini. Mulai dari materi perkuliahan, tugas, kuis, hingga jadwal ujian tengah semester yang akan berlansung sebentar lagi.

Asik-asik mengobrol tiba-tiba kelas kami di kejutkan dengan kehadiran beberapa orang berpakaian rapi. Mahasiswa juga, tapi dilihat dari wajahnya, udah uzur. Hehe, maksutnya mahasiswa tingkat atas. Kalau anak baru biasa nyebutnya udah karatan. Ada-ada saja.

“Hi class…perhatiannya dong sebentar, ini…kelas 1 A2XX ya?” tanya salah seorang dari mereka. Seoramg wanita dengan pembawaan yang dewasa. Berdiri paling depan diantara dua lainnya yang satu langkah di belakangnya. Masing-masing cewek dan cowok.

“Kak Ayuuu…” teriak Gita dengan lebay sambil berlari ke arah wanita itu. Oiya, aku baru inget kalau wanita tadi itu adalah mahasiswa tingkat empat yang tak lain adalah President BEM yang sekarang. Aku inget sekarang dia lah yang mewawancarai ku waktu itu. Ada apa ya dia kesini? Dan…, kok Gita sepertinya akrab betul sama Mba Ayu?

“Hi…apa kabar Gita?” balas Mba Ayu masih dengan pembawaanya yang tenang dan kalem. Sedangkan Gita sendiri lebih ke arah yang heboh, histeris, SKSD, atau sejenisnya. Membuat ku malas melihatnya.

“Baik Ka, Kaka apa kabar?” tanya Gita balik. Masih dengan senyum-senyum ga jelas. Mungkin pikirnya dia mau nyombong di depan anak-anak bisa kenal dekat dengan President BEM.

“Baik juga, oiya selamat ya udah keterima di BEM, kita tunggu partisipasi mu satu tahun ke depan di BEM yah,” balas Mba Ayu.

“Siap Ka, pastinya. Oiya Kaka Ada apa yah ke kelas aku?” tanya Gita dengan sok manis. Ni anak bener-bener bisa banget berubah-ubah karakternya.

“Oiya sampe lupa, Gita sih…hehe. Gini, sorry semuanya! Boleh minta perhatiannya sebentar?” tanya Mba Ayu dengan lantang namun tidak mengurangi sisi kelembutannya.

Semua perhatian anak-anak kelas lalu tertuju padanya. Termasuk Aku, Doni, dan kiki.

“Ehmm…di sini ada yang bernama Alfian Restu Kusuma?” tanya nya.

Hah? Itu kan nama ku, ada apa ya Mba Ayu mencari ku?

“Sa-saya Mba?” jawab ku sambil berdiri. Sedikit gugup. Entah apa yang membuat ku gugup. Karena dulu waktu di interview itu kita ngobrol biasa aja. Layaknya temen.

“Owh, kamu,” balas Mba Ayu.

“Bisa kita bicara sebentar?” ajaknya. Dia mengisyaratkan ku untuk maju kedepan.

“Tentu,” aku lalu bergegas maju. Saat aku berjalan kedepan itu dia sedikit bergeser kearah pintu, yang artinya menjauh dari Gita. Dan ini tentunya harus membuat ku berjalan melewati Gita. Tentu saja momen ini aku manfaatkan untuk menyombong di depannya, karena ternyata yang di cari Mba Ayu adalah aku. Dan sesuai prediksi ku, wajahnya langsung berubah kesal gitu.

“Ada apa ya Mba?” tanya ku sedikit menunduk karena tinggi badan mba Ayu yang tidak terlalu tinggi. Perawakannya memang kecil. Mungkin tingginya hanya sedikit di atas bahu ku.

“Haha, kamu ini masih aja manggil aku Mba, tapi yo wes lah gapopo,” balasnya sambil tertawa renyah. Dia nampaknya mulai inget dengan ku. Mungkin inget orangnya, tapi lupa nama. Makanya tadi dia tidak mengenali siapa Alfian sebenarnya.

“Emang dusun dia Ka, ya gitu deh,” potong Gita yang masih mendengar pembicaraan kami.

“Eh, Gitaaa! ga boleh ngomong gitu, udah balik sana, aku ada perlu sama Alfian dulu,” bela Mba Ayu.

Aku laku menoleh ke arahnya dan mengangkat tangan ku ke samping sebagai tanda aku tidak ada urusan dengannya. Jadi silahkan pergi atau diam saja. Dia terlihat semakin kesal.

“Kalian ini, berantem terus ya?” tanya nya pelan.

“Lah kok tau?” tanya ku bingung.

“Haha, lupakan. Oke, jadi gini, Aku sudah tau musibah apa yang menimpa diri mu,” ucapnya. Berhenti sebentar untuk menarik nafas lalu melanjutkan kalimatnya.

“Aku melihat kamu ada potensi, dan sayang kalau kamu tidak jadi masuk BEM karena suatu hal yang bukan kemauan mu.”

“Tunggu, maksutnya apa ya?” tanya ku bingung.

“Aku, sebagai President BEM atas nama organisasi akan kasih kamu kesempatan untuk coba presentasikan program kerja mu.”

“Beneran Mba?”

“Iya lah, tapi inget, tidak ada pengistimewaan dari kami. Kami hanya memberikan kesempatan saja agar kamu juga bisa menunjukkan apa yang kamu punya, dan apa yang kamu bisa.”

“Siap…waaah makasih Mba kalau gitu,” ucap ku lalu spontan meraih tangannya, menjabatnya, dan mencium punggung tangannya. Beneran aku sungkem padanya. Beberapa temen langsung bersorak. “Modus, Ian Modus.” Untung dia tidak menarik tangannya, pasrah gitu aja saat tangannya aku cium, jadi aku ga malu-malu amad.

“Udah-udah, malu tuh diliatin temen-temen mu,” ucapnya sambil berusaha menarik tangannya. Aku pun lalu melepaskan genggaman tangan ku pada tangannya.

“Hehe, terus tau aku kena musibah itu dari mana?”

“Yang ngasih tau, minta namanya di rahasiain,” jawabnya berbisik. “Tapi, pesen ku kalau kamu nanti tau siapa orangnya, entah dari siapa, berterima kasih lah. Dia perhatian banget sama kamu,” jelasnya.

Perhatian dengan ku? Siapa?

“Siapa Mba?” tanya ku masih penasaran.

“Amanah bukannya harus di jaga kan?”

“Eh, iya sih.”

“Ya sudah kalau gitu, urusan ku sudah selesai. Aku tinggal dulu ya. Semuanya, tinggal dulu ya. Belajar yang rajin biar pinter!” pesan Mba Ayu pada anak-anak yang disambut dengan tawa seisi kelas. Dia pun lalu pergi dengan kedua temannya tadi.

Aku lalu kembali kebelakang bergabung lagi dengan Doni dan Kiki.

“Ada apaan bro?”

“Ada kesempatan ke dua Don, ada yang kasih info ke Mba Ayu tentang pemukulan itu”

“Njir, kesempatan kedua, haha. Eh tapi siapa yang kasih tau?”

Aku hanya mengangkat bahu tanda tidak tahu.

“Siapapun orangnya dia pasti temen deket kita, yang care banget ama lu!” ucap Doni tegas.

Temen deket? Care? Mata ku memicing ke arah Doni, dia pun begitu. Lalu spontan kami berdua menoleh ke arah Kiki yang lagi sibuk menulis. Entah apa yang di tulis nya.

“Apa lihat-lihat?” tanya nya galak saat mendapati kami berdua memperhatikannya.

“Eh, endak Ki endaak…” jawab ku.

“Gapapa Ki, galak banget!” jawab Doni.

“Apa kamu bilang Don?” tanya Kiki lagi.

“Enggaaak,” jawab Doni ketakutan. Haha, kadang suka lucu mereka berdua kalau berantem. Tidak ada tanggapan lagi dari Kiki, hanya sebuah pelototan mata yang di dapat Doni.

Lalu timbul pertanyaan di benak ku. Apa benar Kiki yang memberitahukan insiden itu ke Mba Ayu? Segitu perhatiannya kah dia pada ku? Lalu, kalau iya kenapa dia tidak ingin namanya diketahui? Bingung.

Tidak lama setelah itu perkuliahan dimulai. Semua memperhatikan apa yang disampaikan Dosen dengan khitmat. Semuanya, kecuali satu orang, Gita. Dari sudut mata ku, aku bisa melihat bagaimana bete, kesel dan marahnya dia saat tau aku diberi kesempatan kedua dari BEM. Haha, mang enak!

***

Hari ini, atau tiga hari setelah pemberitahuan itu, waktunya aku mempresentasikan program kerja ku. Alhamdulillah semua berjalan lancar. Tidak ada kendala apapun. Dan aku akan di kabari besok untuk keputusannya. Sekarang aku sedang berjalan menuju kantin di mana dua sahabat ku sedang menunggu.

“Beres bro?” tanya Doni saat aku tiba dan duduk di sampingnya.

“Bereesss, ngomong-ngomong, kalian berdua makin lama makin mesra ya?” canda ku.

“Mesra dari hongkong,” balas Doni agak sewot. Mungkin karena dia selama ini selalu merasa jadi pihak yang tertindas dan teraniaya oleh Kiki.

“Dia mah bukan mesra, tapi mesum,” balas Kiki.

“Hahaha, eh kalian udah pada makan belum? Aku traktir nih,” ucap ku.

“Wuih, ada angin apa nih?” tanya doni.

“Iya, ada apa Ian? Tumben-tumbenan?” tambah Kiki.

“Ndak ada apa-apa, abis dapet rejeki aja, itung-itung sukuran kan aku udah sembuh, hehe,” jawab ku.

“Manteb emang juragan yang satu ini. Lu mau makan apa? Gue yang pesen deh. Lu juga Ki, mau apa?” tanya Doni.

“Pecel ayam Don,” jawab ku.

“Lu Ki?”

“Baso aja Don.”

“Oke deh, bentar yak gue pesenin dulu.”

“Oke!”

“Oke!”

Doni lalu pergi meninggalkan kami berdua.

“Kapan pengumumannya?”

“BEM?”

“He’em.”

“Besok katanya, kan cuma aku aja jadi sehari aja cukuplah buat mereka ambil keputusan.”

“Ya apapun hasilnya mudah-mudahan jadi yang terbaik buat kamu,” ucapnya.

“Aamiin, tapi aku masih penasaran,” balas ku dengan bingung.

“Dengan?”

“Yang kasih info ke BEM, khususnya ke Mba Ayu langsung. Katanya yang kasih info itu ga mau namanya disebutin. Dah kaya beramal aja nama ga mau disebut,” canda ku.

“Uhuuggg…uhhhuggg…,” tiba-tiba Kiki terbatuk mendengar candaan ku.

“Ki, kamu ndak apa-apa?” tanya ku sambil berusaha menepuk pelan tengkuk nya.

“Gapapa Ian, gapapa, hehe, udah-udah,” jawabnya sambil berusaha menjaga jarak dengan ku. Gadis berjilbab lebar seperti Kiki tentu akan menjaga jarak dengan lawan jenis nya. Aku lalu balik ke tempat ku semula.

“Eh Ian, Kiki lo apain?” tanya Doni yang baru saja kembali.

“Apain apanya?” tanya ku balik.

“Lah itu dia ngejauh gitu?”

“Batuk dia Don, jangan mikir yang aneh-aneh deh!”

“Bener gitu Ki?” tanya Doni ke Kiki tidak percaya seolah dia adalah malaikat pelindung temannya.

“Eh, i-iya, he’eh?” jawab Kiki terbata. Nih anak kenapa ya?

“Baso nya mana?” tanya Kiki lagi.

“Entar dianter, udah laper banget lu ya?”

“Iya laper banget nih.”

Entah perasaan ku saja atau bagaimana, aku merasa percakapan setelah ini menjadi sangat kaku dan garing. Doni mencoba mencairkan suasana, tapi tetap saja beda. Garing, tidak serenyah biasanya. Perubahan sangat kentara terlihat dari sikap Kiki. Kenapa ya? Wanita sepertinya memang menyimpan sejuta misteri. Salah, sepuluh pangkat tak terhingga mungkin.

***

“Om Ian…Tiara bobo duluan ya…,” pamit Tiara lembut. Tumben?

“Oh, iya Tiara bobo duluan aja, biar besok bangunnya pagi. Om Ian juga bentar lagi bobo kok.”

“Oke Om, oiya Tiara titip salam buat Tante Kiki yaaa…bilangin Tiara kangen, Tiara pengen Tante Kiki maen lagi kaya waktu itu, ya Om yaaa…,” rengek Tiara dengan muka memelas tidak seperti biasanya yang suka memaksa. Ini serius apa acting? Segitu pengennya kah dia ingin Kiki main? Sedekat itu kah dia dengan Kiki?

“Oh, oke bos…besok pasti om sampein. Sekarang bobo ya…”

“Oke Ommm…hore…tante Kiki maen lagi…yeey yeey yeey…” balasnya dengan sangat riang.

Aku melongo. Ini anak kenapa girang banget ya?

Tidak lama setelah kepergian Tiara menuju kamarnya, HP ku berbunyi. sebuah SMS. Nomer baru.

From: +6281264826XXX said:
Selamat ya, kamu masuk BEM. Officialnya besok lihat di pengumuman

Siapa ini? BEM? Apa Mba Ayu? Masa iya? Niat banget ngabari aku langsung gini? Tapi kalau bukan dia, siapa lagi? Aneh.

Pikiran ku malah mengawang-awang. Hari ini banyak hal aneh terjadi. Dari Kiki yang tiba-tiba sikapnya berubah. Tiara yang merengek-renget minta Kiki maen. Sekarang ada SMS kaya gitu. Padahal aku ngarepinnya SMS dari Diah.

Diah, ngomong-ngomong soal dia, akhir-akhir ini kami jarang komunikasi. Dulu biasanya sehari sekali kita sering berkabar. Menanyakan hal-hal sepele, namun sangat berarti bagi kami. Atau tak jarang kami saling bercerita tentang hal-hal yang kami lakukan sepanjang hari.

Tapi sekarang, sudah seminggu ini kami hanya berkabar dua kali. Dan itu juga yang terakhir sudah tiga hari yang lalu. Aku sudah menanyakannya, dan jawabannya “Tidak ada apa-apa kok, restoran lagi rame-ramenya.”

Kadang muncul berbagai macam pertanyaan. Dan kecurigaan. Tapi aku langsung menepisnya. Aku sudah terbiasa dengan berprasangka baik. Hanya masalah sepele seperti ini harusnya aku tidak berfikir yang macam-macam. Ya, aku yakin semua pasti baik-baik saja.

***

“Cieee…resmi jadi anak BEM nih…, selamat yaah…,” ledek Kiki pada ku saat kami berjalan dari ruang sekretariat BEM menuju kelas. Aku dan Kiki baru saja melihat pengumuman terbaru tentang hasil seleksi penyaringan anggota BEM. Dan ternyata benar, seperti SMS semalem, aku benar-benar diterima menjadi anggota BEM. Berarti kemungkinannya yang mengirim SMS itu cuma satu orang.

“Belum resmi tau, orang belum di lantik.”

“Ah tinggal tunggu waktu aja.”

“Hehehe, iya sih.”

“Oiya Ki, Tiara beberapa hari ini nanyain kamu tuh, kamu apain dia?” lanjut ku.

“Hah? Nanyain gimana?”

“Nanya kapan kamu mau maen lagi, trus katanya kangen, gitu.”

“Masa sih?” tanya nya balik dengan antusias.

“Serius, ngapain bo’ong. Tumben-tumbenan tau. Dia ga pernah kaya gitu ke orang selain saudara.”

“Ya bedalah, kalau aku kan ketahuan baiknya, cantik lagi, hihihi.”

“Wooo narsis,” ucap ku sambil menoyor pelan kepala nya yang berbalut kerudung warna hijau muda itu.

“Iiih…kok aku ditoyor sih?”

“Abisnya narsis, hehe. Jadi gimana? kapan kamu bisa maen ke rumah? Tiara nya udah bawel banget.”

“Ya aku sih tergantung kamu, kapan kamu ajak aku maen ke rumah kamu” jawabnya.

“Kok aku?”

“Iya lah, masa aku yang cewek ini, ujug-ujug maen ketempat cowok, sendirian, apa kata Mba Endang?” jawabnya dengan gemas.

“Oiya ya, hehe,” balas ku sambil garuk-garuk kepala.

“Oiya ya…” balasnya mengulangi ucapan ku dengan nada dibuat-buat.

“Dah yuk ah, dah mau masuk nih,” ucapnya lagi lalu berjalan mendahului ku.

Kami lalu melanjutkan perjalanan menuju ruang kelas. Aku hanya mengekornya dari belakang. Cepat juga dia jalannya. Baru sadar aku. Padahal dia memakai rok panjang.

***

Aku sudah di kelas. Kuliah kali ini sangat membosankan bagi ku. Etika bisnis. Materi yang di bawakan menurut ku sangat nggantung. Tidak ada kepastian jawaban benar atau salah. Semua tergantung argumentasi. Padahal kan aku maunya kepastian. Dari Diah. Keinget lagi kan. Dari semalem tidak ada kabar. Ditelpon juga tidak diangkat. Ada apa ya?

Tapi, meskipun begitu, ada satu hal yang membuat ku geli. Gita, sedari pagi mukannya ditekuuuk mulu. Udah baca pengumuman kali ya? haha. Sukurin. Niatnya jahat sih.

“Aduh,” perut ku tiba-tiba mules banget. Dengan tergesa aku lalu meminta ijin pada dosen untuk ke toilet. Setengah berlari, aku lalu menuju toilet. Sesampainya di toilet aku langsung masuk ke bilik yang di tengah. Ada tiga bilik, aku pilih yang paling tengah karena aku tau di situ yang paling bersih diantara dua lainnya. Aku masuk lalu memasang posisi.

Aku menghidupkan keran air agar saat kotoran ku jatuh, suaranya tidak terlalu kentara. Ah lega rasanya. Tidak lama kemudian aku mendengar samar-samar ada beberapa orang yang masuk ke toilet juga. Mereka seperti bercanda sambil membicarakan sesuatu.

“Ndre, lu serius mau lakuin itu ke Gita?”

“Yoi men, sakit ati gua, gua udah nurutin kemauannya tapi apa yang gua dapet?”

“Iya ngerti sih, gue juga kesel waktu dia nolak lu kemarin. Eh tapi, ajak kita-kita lah! Sisaan juga gua mau kalau dia mah, hahaha.”

“Iya Ndre, bagi-bagi yak ke kita-kita.”

“Hahaha, tenang aja. Kita kasih pelajaran ke anak itu. Pelajaran yang akan membuatnya menyesal karena udah nolak gue.”

“Stthhh…kalian brisik ya, itu di dalem ada orang, bego!”

“Alah cuek aja, dia ga tau kita ini. Belum tentu kenal kita juga kan.”

“Iya sih. Ya udah yuk, kita cabs.”

Aku benar-benar kaget mendengar obrolan mereka. Siapa mereka? Apa yang akan mereka lakukan terhadap Gita? Trus apa yang sudah mereka lakukan untuk Gita? Apa jangan-jangan…?

***

Sore ini, setelah selesai kuliah, aku tidak langsung pulang. Aku bilang ke Mba Endang akan mengerjakan tugas terlebih dahulu. Padahal, aku akan menemui Pak Weily. Jujur aku agak kuatir dengan posisi Gita. Meskipun belum pasti ‘Gita’ yang mereka maksut itu Gita Ratna Puspita atau bukan.

Aku dan Pak Weily janjian di restoran yang dulu pernah kita makan siang bareng. Aku baru tau kalau restoran itu adalah milik Pak Weily sendiri. Kaya banget nih orang pikir ku. Begitu sampai, aku lalu minta di anter oleh dormen ke meja yang sudah diinfokan sebelumnya.

“Hei anak muda, apa kabar? Ayo duduk,” sapa Pak Weily ramah.

“Sehat Pak, Bapak sendiri apa kabar?”

“Ya…masih begini-begini saja. Seorang calon kakek yang kesepian.”

“Calon? kesepian?”

“Oiya kamu belum tau, kakaknya Gita lagi hamil, tapi kan dia di luar negeri tinggal sama suaminya, sama aja aku ga ada temennya.”

“Wah, selamat kalau gitu. Tapi kan ada Gita pak”

“Mana pernah dia nemenin aku, maen terus kan orangnya?”

“Ehmmm…ndak tau pasti saya, kan saya bukan baby sitter nya, hehe.”

“Hahaha, bisa aja kamu. Oiya, tadi katanya ada hal penting yang mau kamu bicarakan, tentang apa itu?”

“Yang pasti tentang Gita.”

“Oke…”

“Tadi siang, pas saya di kampus, ndak sengaja saya denger pembicaraan beberapa orang. Intinya, mereka punya niat jahat ke Gita, tapi saya ndak tau apa itu.”

“Dimana kamu mendengarnya?”

“Toilet kampus.”

“Kamu tau siapa mereka?”

“Tidak, tapi saya denger salah seorang dari mereka memanggil yang lain dengan panggilan Ndre ke yang lainnya.”

“Owh…ya ya, trus apalagi?”

“Apalagi? Pak, anak mu dalam bahaya, kok bapak bisa sesantai itu?” tanya ku dengan agak kesal. Setelah apa yang diperbuat Gita selama ini pada ku, entah mengapa aku masih ada rasa kuatir terhadap keselamatannya.

“Dengan sekali perintah, aku bisa menemukan mereka sekaligus membereskan mereka semua, kamu tenang saja! Trus apa lagi yang kamu dapat? Aku jadi kepikiran untuk memanfaatkan orang-orang itu.”

“Memanfaatkan?”

“Ya, rencana kita.”

“Apa tidak terlalu beresiko?”

“Udah tenang aja, terus kamu denger apa lagi?”

Feeling saya, mereka orang yang di suruh Gita untuk memukuli saya tempo hari. Sepertinya Gita menjanjikan sesuatu kepada mereka namub Gita ingkar, makanya sekarang mau balik berbuat jahat ke Gita.”

“Kamu yakin?”

“Yakin!”

“Anak itu, sukanya main api! Berarti kamu yang harus membereskan mereka,” ucapk Pak Weily santai sambil menyesap kopi di depannya.

“Lah? Saya?”

“Iya, rencana awalnya memang seperti itu kan? Sekarang kita ‘terbantu’ oleh mereka, jadi ga perlu bikin skenario lagi kan?”

“Pak, ini bukan main-main lagi!” suara ku agak meninggi.

“Memang, makanya kamu juga harus serius. Sekarang Gita tanggung jawab mu. Kalau sampai dia kenapa-napa, yang artinya kamu gagal menjaganya, paling…” Pak Weily tidak melanjutkan bicaranya.

“Paling apa?” suara ku makin meninggi.

“Ya kamu yang harus tanggung jawab,” ucapnya santai, tapi terlihat serius.

“Tapi, perjanjian awalnya tidak seperti itu kan!” balas ku tegas. Jujur aku mulai panik mendengar ancamannya.

“Hahaha, jangan panik gitu ah. Aku bercanda.”

“Tapi, rencana orang-orang itu tidak bercanda!”

“Sudah, tenang saja. Percaya saja kamu. Gita itu tanggung jawab ku. Kamu cukup jalankan saja rencana awal. Oke. Sekarang kita makan dulu.”

“I-iya pak.”

Kami pun akhirnya makan bersama lagi dan mengakhiri perdebatan ini. Orang tua yang aneh pikir ku. Anaknya dapet ancaman seperti itu masih bisa tenang-tenang saja. Atau, orang-orang nya di luar sana benar-benar bisa diandalkan? Bisa jadi. Berarti Pak Weily ini bukan orang biasa pikir ku. Aku tidam boleh sembarangan dengannya. Bisa-bisa aku kenapa-napa. Tapi aku juga yakin kalau kita baik padanya, dia akan jauh lebih baik.

***

Cukup lama aku ngobrol bareng dengan Pak Weily. Setelah perdebatan singkat itu obrolan lebih ke arah hal-hal santai. Selepas magrib aku pamit pulang. Sampai di rumah aku langsung di sambut oleh Tiara yang lagi-lagi nanyain tentang Kiki. Aku janjiin aja minggu besok mau ngajak maen ke rumah. Biar ga bawel. Dan Tiara girang bukan main. Sampai lompat-lompat. Dasar anak kecil.

Setelah ngobrol sebentar dengan Tiara tadi, aku lalu menemui Mas Rizal dan Mba Endang. Seperti biasa, cium tangan dulu. Setelah itu baru masuk ke kamar. Istirahat sebentar lalu mandi. Setelah masuk kamar aku memeriksa HP ku. Ada sebuah SMS masuk. Diah. Akhirnya.

From: My Diah said:
Maaf…

Langsung aku membalasnya.

To: My Diah said:
Maaf kenapa? Kok gitu SMS nya?

Tidak lama berselang muncul lagi balesannya.

From: My Diah said:
Nanti malam jam 10 telpon aku!

Ada apa ya? Sekarang baru jam tujuh. Masih tiga jam lagi. Dan ini pasti akan terasa lama. Penasaran kan jadinya. Ya Allah, semoga tidak ada apa-apa.

[Bersambung]

Daftar Part

By Kisah Malam

Kisah Malam adalah sebuah Website yang berisikan Novel Dewasa, Novel Sex, Cerita Sex, Cerita First Time, Cerita Bersambung, Cerina Menarik Lainnya. Dukung Terus KisahMalam.Com Dengan Cara Bookmarks, Dan Nanti Kan Konten Terupdate dari KisahMalam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *