Mengalahkan Gadis Part 8

Operation Underway

POV Mr-X

Kuhisap dalam-dalam asap rokok kretekku, kemudian perlahan kuhembuskan. Aku baru saja selesai melampiaskan nafsuku kepada wanita muda itu. Wanita yang baru saja datang dari Solo ini masih terbaring lemas, kedua lubang di selangkangannya masih menganga, dan dari lubang belakangnya mengalir keluar cairan spermaku. Aku cukup puas dengannya, meskipun lubang analnya sudah diperawani oleh anak buahku, tapi masih terasa sempit untuk penis besarku, yang membuatnya teriak histeris setiap kali aku menusuknya dengan kencang.

Wanita itu, Renata yang tak lain adalah kakak ipar dari anak Wijaya. Suaminya sedang pergi ke Kalimantan untuk mengaudit salah satu perusahaan tambang disana. Boss dari suaminya adalah salah satu anak buahku, dan perusahaan yang sedang diaudit itu adalah salah satu perusahaanku juga, sehingga dengan mudah aku mengatur semuanya agar suami wanita ini bisa pergi untuk seminggu ini, sedangkan aku dan kolegaku menikmati tubuh indah istrinya.

Lewat salah satu anak buahku, siang ini dia datang dari kotanya dan langsung dibawa ke rumahku. Tak menunggu lama aku langsung saja menggarap wanita cantik itu sambil menunggu kedatangan kolegaku. Sebuah kebetulan dia terjebak dalam sebuah pesta seks setelah acara pernikahan adiknya, yang diikuti oleh salah satu anak buahku, yang langsung mengabari Ramon.

Ramon dengan cepat mengabariku, sehingga rencana yang sudah kusiapkan langsung kurubah, dan memerintahnya untuk sekalian menyeret kakak pertamanya dalam permainan ini. Bukan hal yang sulit buat Ramon, yang sudah terbiasa memangsa wanita. Dengan segala kelicikannya dia dengan mudah menaklukan kedua wanita itu, yang selanjutnya akan menjadi budakku.

Ini sebenarnya bukanlah inti dari rencanaku, karena target utamaku adalah Wijaya, sehingga alat utama yang akan kugunakan adalah anaknya. Tapi melibatkan orang-orang terdekat mereka pastinya akan mempermudah rencanaku, sekaligus berpetualang mencari kenikmatan dari wanita-wanita ini.

Kini seorang pria tambun dengan rambut yang sudah mulai memutih di kepalanya mulai mendekati Renata. Pria itu adalah kolegaku, yang juga sebenarnya cukup kenal baik dengan Wijaya. Pria itu sudah tidak memakai apa-apa lagi. Aku meninggalkan ruangan ini, membiarkan kolegaku itu menikmati tubuh Renata.

Aku menuju salah satu ruangan di rumah ini, yang sudah kusulap menjadi layaknya sebuah ruang kontrol dengan banyak layar monitor disini. Dari sini aku mengamati kegiatan beberapa targetku. Aku sudah menyuruh si Marto memasang kamera tersembunyi di beberapa tempat. Cukup cerdik si Marto ini memilih sudut yang pas sehingga aku bisa mendapat gambar yang cukup baik.

Aku bahkan sudah merekam beberapa diantaranya, apalagi kalau adegan percintaan suami istri yang sedang dilakukan para targetku, yang nantinya akan kugunakan sebagai senjata untuk menaklukan mereka, termasuk anak si Wijaya bangsat itu. Aku cukup senang, rencanaku kali ini berjalan cukup mulus, karena Wijaya dan keluarganya belum menyadari apa dan siapa yang sedang mengincar mereka.

Aku juga mengetahui ada orang yang mencoba memperingatkan menantu Wijaya, tapi kubiarkan saja, agar permainan ini lebih seru. Biar saja mereka menjadi khawatir dan lebih waspada, padahal tidak tahu bahwa orang-orang yang mereka kenal lah yang sedang menghancurkan mereka secara perlahan. Dan pada akhirnya, orang yang memberi info kepada menantu Wijaya itu juga akan kusingkirkan.

Sayangnya beberapa hari ini tak ada aktivitas berarti dari anak Wijaya, mungkin dia masih berkabung atas kejadian yang menimpa bossnya. Tapi nanti cepat atau lambat aku pasti bisa mendapatkan rekaman dari wanita cantik itu. Sekarang ini hanya perlu bersabar, sambil bermain-main dengan yang lain untuk mengisi waktu.

Tak lama kemudian kulihat dari salah satu layar monitor sebuah mobil memasuki gerbang rumahku. Ramon, dia baru saja menjemput paket dari Surabaya. Hmm, saatnya bermain-main dengan wanita yang kedua. Akupun segera keluar dari ruangan ini dan menuju ke kamar yang sedang digunakan kolegaku menggarap tubuh Renata. Kulihat wanita itu sedang tengkurap dengan penis besar sedang mengganjal lubang vaginanya.

“Aaargghh pelaann paakk, sakiiitthhh,” rintih wanita itu.

“Aaihh kawan, mantap sekali cewek ini, memeknya masih sempit meskipun sudah kau pakai tadi,” ucap pria yang sedang menindih Renata.

“Haha, nikmatilah bung, paket dari Surabaya sudah datang, kita akan berpesta malam ini,” jawabku.

Tak lama kemudian seorang wanita masuk ke kamar ini diantar oleh Ramon. Wanita itu terlihat cukup terkejut melihat adiknya sedang dikerjai oleh seorang pria. Dia menggelengkan kepalanya tak percaya, dan mungkin sedang membayangkan bahwa sebentar lagi nasibnya akan seperti adiknya itu.

“Selamat datang Mbak Filli, dan selamat bergabung dengan adikmu Renata, haha” sambutku.

Wanita itu diam saja, menatapku dengan tatapan penuh amarah. Aku hanya tersenyum saja melihatnya, lalu menyuruh Ramon untuk meninggalkan kamar ini. Tanpa banyak membantah diapun keluar, karena dia tahu dia tidak boleh mengganggu acara kami, dan nanti dia akan mendapatkan jatahnya sendiri.

Kemudian aku menyuruh Filli mendekat. Aku mengamati tubuhnya, masih seperti seorang gadis, perawakannya tak berbeda jauh dengan adiknya yang kini sedang disetubuhi kolegaku. Dia hanya berdiri mematung di hadapanku. Akupun segera menyuruhnya untuk menelanjangi dirinya sendiri.

Dengan tangan yang sedikit gemetar dan gerakan yang masih terlihat ragu-ragu, dia mulai melepasi kancing bajunya satu persatu, lalu menanggalkan baju itu. Kemudian dia membuka kancing celananya, menurunkan reseletingnya, kemudian menarik hingga lepas celana panjang itu. Kini perempuan beranak dua itu tinggal mengenakan bra dan celana dalamnya saja.

Dia melanjutkan dengan membuka kait bra di belakang punggungnya, lalu dengan gerakan perlahan, yang menurutku itu erotis, menanggalkan penutup dadanya itu. Dia berhenti sejenak, melihatku seolah menanyakan bagaimana nasib celana dalamnya. Akupun mengangguk memberi isyarat untuk melepaskannya juga.

Sesaat menghela nafas, diapun mulai meraih karet pembatas celana dalamnya, lalu menarik turun perlahan. Terpampanglah di hadapanku kini tubuh telanjangannya. Filli sudah telanjang bulat tanpa menutupi dengan kedua tangannya. Berbeda dengan Renata saat tadi pertama kali aku telanjangi yang sempat malu-malu dan menutupi payudara dan selangkangannya dengan kedua tangannya, dia terlihat lebih pasrah. Dia sepertinya sudah berhasil di doktrin oleh Ramon, terlebih dirinya juga sudah melihat apa yang terjadi pada adiknya.

Kuminta Filli mendekat. Dia kini sudah berdiri di depanku. Kuamati dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tubuhnya indah, tidak kalah dengan adiknya. Tubuh Filli sedikit lebih langsing, tapi payudaranya hampir seukuran dengan Renata. Kusuruh dia berputar membelakangiku, dan kembali kuamati tubuhnya. Pantatnya masih kencang, sama seperti adiknya. Benar-benar beruntung aku hari ini, bisa menikmati kedua wanita kakak beradik ini. Meskipun sudah punya suami dan anak, tapi tubuh mereka masih terjaga dan terawat dengan baik.

Aku menyuruhnya berputar kembali menghadapku, lalu menyuruhnya bersimpuh. Kuperintahkan dia untuk menjilati penisku. Tanpa membantah dia menuruti kemauanku. Dipegangnya batang penisku yang masih lemas, lalu dikocoknya perlahan, lembut sekali tangannya. Kemudian perlahan dia mulai menjilati ujung kepala dan turun menyusuri permukaan kulit penisku.

Lembut dia melakukan itu sehingga aku bisa merasakan perlahan batangku mulai mengeras. Kocokannya semakin dipercepat, dan kulumannya semakin dalam, meskipun tidak bisa habis sampai ke pangkalnya. Aku merasakan sangat nikmat, cukup puas dengan kemampuan oralnya, meskipun masih kalah jika dibandingkan dengan adiknya.

Penisku sudah menegang, lalu kuangkat tubuhnya dan kuputar membelakangiku. Kuturunkan tubuhnya hingga kurasakan kepala penisku sudah berada di bibir vaginanya yang masih kering, lalu kutarik tubuhnya ke bawah, membuat penisku menancap hingga menyentuh dasar rahimnya. Dia tersentak dan berteriak kesakitan karena vaginanya yang masih kering dipaksa menerima penisku yang besar ini.

“Aaaaaaarrrgghhh paakk sakiiiit, vaginaku masih kering,” teriaknya.

“Haha, sepertinya kontol suamimu sedikit lebih besar daripada punya adik iparmu, memek kamu sedikit lebih longgar dari punya Renata, tapi masih peret sekali untuk kontolku ini, mungkin sesekali kamu perlu membagi kontol suamimu itu kepada adikmu, hahaha.”

Masih kudiamkan penisku tanpa bergerak, biar vaginanya terbiasa dulu dengan penisku. Tak lama kemudian kurasakan kedutan di vaginanya mulai berkurang, nampaknya lubang sempit itu sudah mulai beradaptasi dengan penisku.

“Sekarang goyangin badan kamu Fil, kasih aku kepuasan, entoti aku sambil melihat adikmu yang lagi dientot disana, ini bukan pertama kalinya kamu lihat adikmu seperti itu kan, haha,” perintahku.

Filli menggerakan pinggulnya naik turun perlahan, mencoba membasahi vaginanya sendiri agar tidak terlalu merasakan sakit. Tangannya bertumpu di kedua lututku. Aku membiarkannya saja, aku ingin membuat dia sendiri yang bergerah memuaskanku. Sementara kulihat kolegaku sedang berbaring dengan Renata berada di atas tubuhnya, menggerakan badannya naik turun.

Entah karena masih kaku atau kenapa, tapi aku merasakan permainan Filli masih kalah dibanding adiknya di posisi seperti ini. Renata yang tadinya malu-malu saat pertama kutelanjangi, berubah menjadi betina liar saat vaginanya dipenuhi oleh penisku dalam posisi persis seperti Filli sekarang. Dan itu terlihat kembali, saat dia sedang menunggangi kolegaku, dia bergerak dengan begitu binalnya.

“Hei, masak kamu kalah dengan adikmu, lihatlah dia, semangat sekali ngentotnya.”

Filli diam saja, tapi pandangannya menuju adiknya, yang kini tengah menunggangi kolegaku. Gerakannya liar, maju mundur, naik turun bahkan diputar-putar.

Sebuah pemandangan yang sangat mengundang birahi, bagiamana dua orang wanita yang masih muda dan cantik, melayani dua orang pria tua seperti kami. Kedua wanita ini mulai menaik turunkan pinggulnya dengan cepat. Kurasakan vagina Filli juga sudah mulai basah, dia mendesah setiap kali penisku menyentuh dasar rahimnya.

Sekitar 10 menit dalam posisi itu, gerakan Filli semakin cepat, nafasnya semakin terengah, desahannya semakin terdengar, vaginanya kurasakan semakin berkedut, hingga akhirnya badannya mengejang dan kurasakan vaginanya banjir oleh cairan orgasmenya. Badan mulus itu kemudian lemas merebah di badanku.

“Nakal kamu ya, bisa-bisanya orgasme sama kontol orang lain, haha.”

Dia diam saja, matanya masih terpejam dan nafasnya memburu, masih menikmati puncak yang baru saja didapatkannya. Aku kemudian mendorong tubuhnya, melepaskan penisku yang tampak mengkilap dibahasi oleh cairan cintanya. Aku menuntunnya ke ranjang, bergabung dengan adiknya yang kini sedang menjerit-jerit karena anusnya sedang dikerjai lagi oleh kolegaku.

“Lihat adikmu Fil, nakal sekali dia, sampai anusnya juga dikasih gitu. Sebagai hukumannya, kakaknya juga harus dientot anusnya,” ucapku mengagetkannya.

Dia memandangku, wajahnya pucat, memintaku untuk tidak melakukannya. Hal yang cukup membuatku yakin bahwa lubangnya yang satu itu masih perawan. Membayangkan itu membuat nafsuku meledak-ledak. Segera kutunggingkan dia di sebelah adiknya, kukorek cairan dari vaginanya untuk melumasi lubang anus itu, kumasukan salah satu jariku membuatnya sedikit meronta.

“Aaah paak jangan disitu, saya belum pernaahh,” ucapnya.

“Boss, panggil aku boss, sekarang kamu itu budakku, ngerti!” bentakku sambil menusukan jariku di lubang pantatnya.

“Aahh,, jangan disituu boss aaahh,” ujarnya.

“Aah boss, jangan boss, pakai punya saya aja boosss, kakak saya jangan,” Renata mencoba membujukku.

“Diam kalian berdua, kalian disini untuk melayaniku, dan menuruti perintahku, nggak ada yang boleh ngelawan!” bentakku lagi.

Merasa sudah siap, akupun segera menempelkan ujung penisku di lubang anal Filli, kumasukan sedikit demi sedikit, susah sekali, masih sangat sempit. Sementara itu Filli berteriak kesakitan, badannya bergerak-gerak menghindariku, sehingga kutahan kuat dengan kedua tanganku.

“Aaaaaaaarrrrrgggggghhhhh,” teriaknya panjang ketika dengan satu sodokan keras kutenggalamkan penis besarku di lubang analnya yang masih sangat sempit. Sangat nikmat sekali meskipun kurasakan penisku agak ngilu saking sempitnya lubang ini.

Badan wanita ini mengejang hingga terlihat melengkung. Kepalanya terdongak ke atas dengan mulutnya terbuka sangat lebar. Air mata mulai keluar dari sudut matanya. Terlihat sekali bagaimana wanita ini merasakan sakit yang teramat karena lubang analnya yang tidak pernah dipakai ini langsung diperawani oleh batang besarku.

Tak berlama-lama akupun segera menggenjot wanita ini, seirama dengan kolegaku yang menggenjot Renata di sampingku. Kedua wanita ini masih berteriak kesakitan, air mata tak henti keluar dari kedua mata mereka. Sementara kami berdua semakin bersemangat mengerjai kedua wanita muda ini.

Kami terus menggenjot mereka dari belakang sambil meremasi kedua buah dadanya. Teriakan mereka berangsur menghilang, mungkin karena sudah mulai kehabisan tenaga dan serak di tenggorokannya. Namun dari ekpresinya yang meringis itu, kami bisa tahu kalau rasa sakit masih mereka rasakan di lubang anusnya itu. Aku dan kolegaku semakin mempercepat goyangan kami, dan secara hampir bersamaan menyemprotkan air mani kami di dalam anus mereka.

Permainan kami ini berlangsung hingga hampir 2 jam. Kami bergantian menggarap ketiga lubang Filli dan Renata hingga mereka berdua lemas tak berdaya. Lubang-lubang kenikmatan itu masih menganga, penuh dengan cairan sperma kami, bahkan kulihat ada bekas bercak darah di sekitar anus Filli. Kami sudah cukup puas hari ini, lalu meninggalkan kedua wanita itu di kamar. Sebelumnya aku memanggil Ramon, Marto dan 2 orang lagi anak buahku yang masih menunggu di luar, menyuruh mereka mengambil bagiannya.

Dengan wajah sumringah keempat anak buahku itu masuk ke dalam kamar, sedangkan aku masuk kembali ke ruang kontrol, menonton bagaimana keempat anak buahku menggarap Filli dan Renata habis-habisan. Aku tersenyum puas melihatnya. Satu langkah maju untuk misi balas dendamku. Aku melihat ke arah monitor yang lain. Dua buah monitor menampilkan adegan persetubuhan dua pasang suami istri, sedangkan satu monitor lagi gambarnya buram. Ah sialan sepertinya ada masalah di kamera itu, harus segera dibereskan. Besok aku akan menyuruh Marto ke rumah anak Wijaya, agar aku bisa cepat mendapat rekaman persetubuhannya.

Entah sudah berapa wanita yang menjadi korban kami, dan selalu kami menikmati saat mereka berteriak kesakitan menerima penis besar kami di lubang-lubang sempit mereka, karena hampir semua korban kami, kamilah yang memerawani anusnya. Kami sudah sering menculik dan memaksa korban-korban kami untuk melayani kami. Tak peduli masih perawan atau tidak, masih gadis atau istri orang, wanita binal atau yang paling alim sekalipun. Semua wanita itu kini menjadi budak kami, yang selalu siap kapan saja kami panggil. Tentunya karena di setiap aksi kami, kami selalu merekam mereka sebagai alat agar mereka tunduk kepada kami.

Terdengan jahat? Yah memang beginilah yang kami lakukan. Dibalik bisnis dan profesi kami yang terlihat wajar di mata khalayak, kami sebenarnya juga terlibat dalam industri gelap di negeri ini. Dan sampai saat ini, kami selalu bisa mendapatkan apa yang kami inginkan, entah dengan berbagai macam cara, kami tidak peduli.

***

POV Ara

Sudah tiga hari ini suasana di kantor berkabung. Kami kehilangan atasan kami dalam sebuah kecelakaan tunggal. Aku yang saat itu mengetahui peristiwa itu langsung menghubungi teman-temanku, dan nggak lama kemudian Riko dan Eko sudah sampai di lokasi. Aku juga menghubungi ayahku, meminta anggotanya untuk segera kesini mengamankan lokasi dan korban. Aku juga nggak lupa mengabari suamiku yang masih training di Surabaya. Dia terkejut dan menanyakan kabarku, kujawab aku baik-baik saja.

Setelah polisi dan petugas medis datang dan mengevakuasi korban, kerumunan pun bubar satu persatu. Aku pulang diantar oleh Riko dan Eko karena masih terlihat syok, dan mereka berdua khawatir jika aku mengemudikan sendiri kendaraanku. Aku jelas sangat terkejut dengan kejadian ini, meskipun jauh di lubuk hatiku ada sedikit perasaan lega, bahwa dengan kejadian ini aku batal pergi dengan Pak Dede yang mungkin akan menjamah tubuhku lebih jauh lagi.

Malam harinya kuputuskan untuk mencari makan di luar karena aku masih malas untuk memasak, dan kebetulan pembantuku sedang pulang ke kampungnya, sekaligus untuk memenuhi janji bertemu dengan seseorang. Hampir dua jam lamanya baru aku pulang ke rumahku.

Keesokan harinya suasana di kantor terasa hening. Semua orang masih syok dengan kepergian atasan kami yang mendadak. Di luar perbuatan mesumnya terhadapku dan teman-temanku dia adalah sosok pemimpin yang baik, tegas, dekat dengan bawahannya, dan selalu siap membantu bawahan yang kesulitan tanpa membeda-bedakan siapa yang dibantu, karena itulah kami begitu sedih dan kehilangan.

Entah siapa yang akan menggantikannya nanti, tapi desas desus di kantor mengarah kepada Pak Hamid, yang merupakan salah satu pegawai senior disini. Ah aku nggak terlalu peduli, siapapun pemimpinnya semoga dia bisa menjadi figur atasan yang bijaksana untuk kami semua. Dan yang terpenting lagi, tidak seperti Pak Dede yang mengincar para pegawai perempuannya.

Siang harinya aku ijin pulang duluan karena akan menjemput suamiku ke bandara. Kemarin malam dia sudah menyelesaikan trainingnya dan siang ini bersama Mas Ramon pulang ke Jogja. Di bandara aku bertemu dengan Mbak Beti, istri Mas Ramon. Ternyata dia sudah datang duluan. Kamipun ngobrol sambil menunggu kedatangan suami kami.

Tak lama kemudian pesawat yang ditumpangi suamiku mendarat. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya suamiku dan Mas Ramon keluar bersamaan. Aku segera menghampirinya, lalu memeluk dan mencium tangannya, begitu pula dengan Mbak Beti. Setelah itu kamipun pulang ke rumah masing-masing.

“Kamu sehat-sehat aja kan dek?”

“Alhamdulillah sehat mas, mas sendiri gimana?”

“Ya seperti yang kamu lihat, mas sehat-sehat aja kok, cuma masih agak capek aja. Gimana suasana kantor hari ini?”

“Masih berkabung mas, tadi masih pada kelihatan sedih semua, masih syok soalnya Pak Dede perginya mendadak kayak gitu.”

“Sayang yah, padahal Pak Dede orangnya baik gitu, kok pergi secepat ini,” ujar suamiku.

Aku membuang wajahku menatap ke luar, melengos. Merasa malu waktu suamiku bilang Pak Dede orang yang baik. Memang benar sih, orangnya memang baik. Tapi suamiku nggak tahu apa yang sudah diperbuat orang itu ke aku, dan teman-temanku lainnya di kantor. Aku merasa bersalah kepada suamiku ini, telah membiarkan tubuhku terbuka di hadapan orang lain, bahkan dijamahnya, meskipun baru di bagian atas saja. Kalau saja peristiwa itu nggak terjadi, mungkin tubuh istrimu ini sudah dijamah habis-habisan oleh pria itu mas, bahkan mungkin lebih, batinku. Maafin aku mas, setelah ini aku akan benar-benar menjaga diriku untukmu.

Kamipun sampai di rumah, dan suamiku langsung beristirahat, sepertinya dia masih sangat lelah. Akupun menyiapkan makan untuknya. Kumasakkan makanan kesukaan suamiku untuk menyambut kedatangannya, sekaligus menebus rasa bersalahku padanya, yang saat ini nggak mungkin kuceritakan padanya.

Malam itu kami makan malam bersama. Kami bertukar cerita soal kegiatan kami. Dia menceritakan kegiatan trainingnya, banyak ilmu yang dia dapatkan katanya. Sedangkan aku menceritakan bagaimana kegiatanku selama di Kaliurang, tentu saja tanpa menceritakan apa yang aku lihat saat Pak Dede bersama Nadya. Aku merasa semakin banyak berbohong ke suamiku, tapi nggak papalah, demi kebaikan kami juga.

Malam itu kami tidur cepat setelah makan malam, nggak melakukan apapun selain itu. Mungkin suamiku masih lelah, dan aku juga masih syok dengan kejadian Pak Dede kemarin, jadi belum siap untuk melayani suamiku, meskipun jika dia minta aku juga nggak bakalan nolak sih, mungkin dia juga bisa ngerti kondisiku sekarang.

Hari ini aku berangkat ke kantor seperti biasanya, sedangkan suamiku nggak masuk kerja, katanya dia dan Mas Ramon dapat dispensasi hari ini. Enak sekali, ini sih namanya beneran long weekend, hehe. Sesampainya di kantor baru ada Nadya di ruangan, yang lain belum datang. Kamipun ngobrol tentang Pak Dede. Ya obrolan di kantor dari kemarin memang tak lepas dari kepergian Pak Dede, banyak yang dibahas terutama bagaimana kinerjanya selama memimpin kami. Sampai pada akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya pada Nadya tentang kejadian malam itu.

“Nad, sorry, ada yang mau aku tanyain,” ujarku membuat Nadya menatapku.

“Soal Pak Dede?” tebaknya.

“Iya Nad,” jawabku mengangguk.

“Soal kejadian malam itu?”

Deg! Aku terkejut, tampaknya Nadya tahu arah pembicaraanku. Aku mengangguk dan dia hanya tersenyum. Kemudian dia celingukan memastikan tidak ada orang lain disini, barulah dia bercerita kepadaku.

“Aku tahu sebenarnya malam itu kamu ngintip Ra. Pak Dede memang sengaja nggak menutup rapat pintu itu, dengan harapan kamu kebangun dan melihat persetubuhan kami,” Nadya mulai menceritakan kejadian malam itu.

“Waktu aku mau balik ke kamar, dia maksa buat ikutan. Aku tahu sebenarnya waktu itu kamu nggak tidur, dan pasti risih waktu rambut kamu dibelai sama dia, makanya aku langsung menariknya dan memintanya keluar.”

“Aku tahu apa yang udah Pak Dede lakuin ke kamu Ra, dia sudah cerita semua ke aku. Tempat itu memang tempat favoritnya, di tempat itu pula aku, Lia, Wulan dan Tika mendapat perlakuan seperti yang kamu dapetin. Dan sama seperti kamu, kami sama sekali nggak bisa menolak Ra, entah kenapa kami sendiri juga bingung, dia seperti punya sesuatu, entah pesona entah apa, yang nggak bisa ditolak, kamu mungkin udah ngerasain sendiri kan Ra?” aku hanya mengangguk.

“Dari situ dia menelanjangi dan mencumbui kami. Mungkin kamu baru tahap pertama Ra, baru ditelanjangi tubuh atasmu dan diminta bra kamu, iya kan?” sekali lagi aku hanya mengangguk.

“Memang seperti itu yang dia lakukan ke kami juga. Tahap kedua, yang aku yakin kemarin kamu diajak itu, itu giliran tubuh bawah kami yang ditelanjangi, dan kamipun pulang tanpa memakai celana dalam kami. Dia mencumbui daerah kemaluan kami hingga orgasme di tempat itu. Di tahap kedua ini kami juga mulai diminta menyentuh kemaluannya, dengan tangan dan bibir kami, sampai dipaksa menelan cairan maninya.”

“Dan tahap selanjutnya di rumahnya Ra, kami disetubuhi disana. Dan kamipun terpaksa pulang tanpa memakai pakaian dalam kami. Akupun baru tahu kalau Lia, Wulan dan Tika mengalami itu juga dari cerita Pak Dede sendiri, kemarin waktu malam pertama kita menginap di villa. Kami diperlakukan seperti itu tanpa bisa menolak sama sekali. Entah nggak bisa atau nggak mau menolak, yang jelas sejak disetubuhi olehnya kami sudah jadi semacam budak seksnya, harus siap kapanpun dia mau, termasuk malam itu di pernikahan kamu Ra,” aku terkejut dengan pengakuan ini.

“Jadi, yang di toilet waktu itu, kalian?” tanyaku.

“Kamu lihat kami Ra?” Nadya terkejut

“Nggak sih, tapi aku denger suara bisik-bisik, aku nggak tahu itu kalian, pantes aja waktu itu aku lihat kerudungmu agak basah-basah gitu Nad,” jawabku.

“Ya itu memang kami Ra, dan dia menyetubuhiku itu sambil ngebayangin kamu. Kamu itu target dia selanjutnya Ra, setelah kami berempat sudah berhasil dia kuasai. Aku dan yang lain sebernarnya nggak setuju, karena aku tahu kamu dasarnya wanita yang baik dan polos, beda dengan kami-kami ini Ra.”

“Beda gimana maksudmu Nad?” tanyaku penasaran.

“Yah, kamu mungkin belum terlalu mengenal kami. Aku lah contohnya, dulu sebelum menikah aku sudah beberapa kali berhubungan badan dengan mantan-mantanku, begitu juga Lia, dia bahkan punya affair dengan teman suaminya sebelum sama Pak Dede. Kalau Wulan dan Tika aku kurang tahu, tapi mereka kurang lebih saja denganku.”

“Sedangkan kamu kan beda Ra, aku memang nggak tahu persis sih, tapi melihat sifat kamu, aku yakin kamu adalah gadis baik-baik dan suamimu adalah pria pertama yang menyentuh tubuh kamu, bener kan Ra?” sekali lagi aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan Nadya.

“Karena itulah kami nggak setuju kamu jadi target selanjutnya. Tapi kami juga nggak bisa ngelawan dia Ra. Dan terus terang, ada sedikit perasaan lega dalam hatiku Ra dengan kepergiannya, karena kamu nggak akan jatuh ke lubang yang sama seperti kami.”

“Kalian, kenapa nggak bisa ngelawan dia Nad?” tanyaku penasaran.

“Ya salah satunya, mungkin karena pesonanya. Tapi yang paling membuat kami nggak bisa melawan adalah rekaman persetubuhan kami. Waktu pertama kali dia menyetubuhi kami, dia merekam semuanya, dia nyimpan semua rekaman itu di ponsel dan laptopnya.”

“Tapi ponsel itu sekarang hilang entah kemana, kami jadi was-was. Setahuku memang video itu disimpan di sebuah folder yang dipassword sama dia, tapi kalau yang nemuin itu orang yang jago kayak gitu, bisa-bisa kebuka dan video kami bisa kesebar Ra. Sampai sekarang kami masih cemas, dan berharap ponsel itu dibawa sama orang yang nggak terlalu ngerti teknologi jadi video itu bakal tetep aman,” pungkasnya.

“Apa nggak sebaiknya kita minta bantuan polisi buat ngelacak ponsel itu Nad?” tanyaku.

“Aduh jangan Ra, entar kita malah dicurigai kalau nyari ponselnya, dikira ada apa-apanya Ra, jangan deh, biarin aja,” jawabnya.

“Tapi kan Nad, daripada ponsel itu jatuh ke tangan orang yang salah, dan video kalian kesebar, apa nggak makin bahaya?”

“Iya sih Ra, tapi entar polisi pasti jadi curiga sama kita, gimana Ra aku bingung nih,” ucapnya terdengar putus asa.

Disaat itu datanglah Lia dan Tika, ikut nimbrung ngobrol dengan kami. Awalnya mereka agak kikuk karena mengetahui aku dan Nadya sedang membahas masalah skandal Pak Dede, tapi lama kelamaan mereka biasa saja dan ikut menyampaikan kegelisahannya soal ponsel Pak Dede yang hilang itu.

“Gini aja, nanti aku bakal minta tolong ke ayahku, biar dia yang minta tolong ke salah satu anak buahnya yang bisa dipercaya, jadi kalau nanti ponselnya ketemu, bisa cepet diambil dan video itu biar langsung dihapus aja, kalau perlu kalian yang ngehapus, gimana?” tawarku ke mereka.

Mereka masih terlihat bimbang, memandang satu sama lain. Setelah itu mereka menghela nafas, pasrah, karena memang sepertinya ini adalah pilihan terbaik yang bisa mereka ambil.

“Ya udah deh Ra, kita ngikut aja, tapi kita beneran minta tolong ke kamu ya Ra, jangan sampai video itu nyebar,” ujar Lia.

“Iya, coba kuusahakan, semoga ayah bisa bantu.”

“Makasih ya Araaa,” mereka bertiga merangkulku bersamaan. Semoga saja masalah ini nggak sampai berlarut-larut, aku harus segera menghubunginya untuk meminta tolong.

“Terus, kalau laptop Pak Dede dimana?” tanyaku, membuat mereka bertiga saling pandang.

“Kita juga nggak tahu sih Ra,” jawab Lia.

“Setahuku Pak Dede nggak bawa laptop pas ke Kaliurang, mungkin ditinggal di rumahnya. Kalau emang di rumah, berarti sekarang udah dibawa sama istrinya, karena kemarin barang-barang Pak Dede di rumah itu udah dibawa semua ke Bogor,” ujar Nadya.

Yah, semoga saja laptop itu terbawa ke Bogor dan video mereka nggak sampai ketahuan sama orang lain. Dan semoga ponsel Pak Dede juga bisa segerea ditemukan.

***

3[SUP]rd[/SUP] POV

“Apa, Marto sudah tidak disana lagi?”

“Siap, benar komandan, menurut informasi dia sudah diberhentikan dengan tidak hormat beberapa bulan lalu karena tertangkap basah memperkosa seorang gadis, calon istri dari anak bupati disana. Dari hasil pemeriksaan juga menyebutkan bahwa ternyata sebelumnya Marto juga sudah memperkosa beberapa wanita lagi. Begitu info yang saya terima komandan.”

“Lalu, dimana dia sekarang?”

“Siap, kami belum tahu komandan.”

“Kalau begitu segera cari tahu, selidiki dimana keberadaannya sekarang! Apakah dia sudah berada di Jogja atau belum!”

“Siap, laksanakan komandan.”

Wijaya menghela nafasnya. Baru saja dia mendapat laporan dari anak buahnya bahwa Marto sudah dipecat, apalagi sebabnya kalau bukan masalah wanita. Dia harus segera memperingatkan Safitri, karena pasti cepat atau lambat Marto akan mencari Safitri. Dia tahu persis kalau Marto ini tergila-gila pada perempuan itu, sampai-sampai memperkosanya, bahkan saat suaminya masih hidup dulu.

Dia sendiri merasa harus semakin waspada. Pasti Marto menyimpan dendam padanya akibat pengusirannya dulu. Dia berharap dengan mengasingkan Marto, bisa membuat pria itu berubah, nyatanya bukan berubah malah menjadi semakin parah dan harus dipecat karena tindakan bodohnya itu.

Wijaya patut waspada, bagaimanapun Marto adalah seorang mantan pasukan elit kepolisian yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata polisi kebanyakan. Bahkan kemampuannya setara, atau bahkan mungkin sedikit lebih baik daripada kopasus. Keahlian utamanya adalah menyamar, menyusup dan menembak jarak jauh. Memasuki sebuah rumah yang terkunci rapatpun masalah sepele untuk seorang Marto. Dia juga sangat brilian di bidang IT. Benar-benar pria yang harus diwaspadai jika berada di pihak yang berseberangan.

Hanya sayang tabiatnya berubah sejak ditinggal mati oleh istrinya, yang diduga menjadi korban penculikan dan pemerkosaan. Istrinya yang saat itu sedang hamil muda dianiaya hingga tewas. Membuat Marto begitu terpukul dan berubah menjadi pria yang sangat tertutup. Kemudian dia terlibat kasus asusila dengan salah seorang polwan yang membuatnya harus dikeluarkan dari satuan khusus dan dimutasikan ke kepolisian daerah Jogja.

Tidak banyak yang mengetahui latar belakang dan kemampuan Marto yang sebenarnya. Wijaya sempat memberitahu sedikit kepada Safitri dulu sewaktu dia memergoki Marto sedang memperkosanya, tapi tak dijelaskan lebih lanjut saat Safitri bertanya, karena pikirnya setelah ini Marto akan dia asingkan ke luar pulau. Dia tak punya pilihan lain. Dia memang ditugasi secara khusus untuk memantau dan merubah Marto agar bisa kembali seperti yang sebelumnya, namun dia merasa gagal dan akhirnya harus mengasingkan Marto.

Dia tak menyangka bahwa di tempat barunya kelakuan Marto malah semakin parah. Dia yakin Marto pasti akan kembali ke Jogja, entah untuk membalas dendam kepadanya, atau kembali mengejar Safitri. Kalau hanya mengejar Safitri, dia hanya harus memperingatkannya saja, tapi kalau ingin membalas dendam kepadanya, itu artinya keluarganya kemungkinan juga dalam bahaya.

“Hallo Fit, bisa ke ruangan saya sekarang, penting!”

“Siap komandan,” jawab Safitri.

Tak lama kemudian perempuan cantik itu masuk ke ruangannya. Melihat Safitri, membuat Wijaya melamun sejenak. Dia sebenarnya merindukan wanita ini, merindukan saat-saat percintaan mereka. Namun dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk mengakhiri semua itu, mengingat kini anaknya sudah menikah, dia tidak ingin anaknya menerima karma atas perbuatannya selama ini jika tak segera dihentikannya.

“Duduk Fit!”

“Siap komandan.”

“Aku cuma mau memberi tahu satu hal padamu. Marto sudah dipecat beberapa bulan yang lalu. Perkiraanku, dia akan segera kesini, entah mencari kamu atau aku, tapi aku minta sekarang kamu harus lebih waspada,” terang Wijaya.

Wajah Safitri mendadak berubah, memucat, seperti mengkhawatirkan sesuatu.

“Siap komandan, apakah sekarang dia sudah disini?”

“Aku juga belum tahu, aku masih menyelidikinya, kamu akan segera kuberi tahu kalau sudah ada kabar. Dan kalau kamu punya informasi apapun, atau melihat dia, segera sampaikan padaku!”

“Siap komandan.”

“Baiklah, itu saja, silahkan kembali bertugas!”

“Siap komandan.”

Safitripun keluar dari ruangan Wijaya. Entah kenapa dia cukup lega karena Wijaya belum mengetahui kalau Marto sebenarnya sudah ada disini, dan sudah beberapa kali mendatangi rumahnya, bahkan disetiap kunjungannya itu selalu berakhir dengan hubungan badan yang menggelora. Dia masih ragu untuk memberi tahu Wijaya, karena dia sendiri masih mengorek informasi kenapa Marto kembali lagi kesini, dan dia juga mulai merasakan sesuatu kepada Marto, sebuah perasaan yang sudah lama tak dirasakannya, sebuah rasa, sayang.

Sementara itu, di salah satu sudur ruangan di kantor itu, polisi yang tadi menghadap Wijaya dan memberitahu informasi tentang Marto nampak sedang sibuk dengan ponselnya, dia sedang menelepon seseorang.

“Hallo bang.”

“Hallo, gimana

“Udah kusampaiakan pesan abang ke Wijaya, persis seperti yang abang bilang, dia kelihatan panik, dan menyuruhku untuk menyelidiki keberadaan abang.”

“Haha, bagus kalau dia panik. Permainan ini akan semakin seru

“Iya bang, bener. Lalu, tentang yang abang janjikan kemarin, gimana bang?”

“Haha, dasar otakmu di kontol, baiklah besok kau ijin saja, bilang saja mau menyelidikiku. Kebetulan besok aku ke Solo, akan kukenalkan kau dengan seseorang, garap saja dia sepuasmu

“Haha, okelah bang kalau begitu, sampai besok.”

Orang yang ditelepon tadi tak lain adalah Marto. Dia sengaja memberikan info terkait dirinya, untuk membuat Wijaya panik dan makin waspada. Hal ini yang memang direncanakan oleh bossnya, membuat kepanikan di kubu lawan. Orang-orang seperti Marto dan komplotannya tentu akan lebih tertantang menjalankan misinya dengan lawan yang lebih waspada, tapi mereka tahu mereka masih memegang kendali permainan. Mempermainkan lawan seperti itu akan memberi kepuasan lebih diakhir misinya nanti.

Marto segera mengabari bossnya yang kini sudah kembali ke Jakarta, dan kolega bossnya yang juga sudah kembali ke Semarang. Kini daerah Jogja dan sekitarnya ada dalam kendali dirinya dan Ramon. Mereka yang kini menjalankan bisnis gelap sang boss, dan juga memastikan rencana sang boss berjalan dengan lancar.

Sementara itu di kantornya, Wijaya sedang memeriksa beberapa berkas terkait Marto. Dia juga membuka beberapa berkas lain selama Marto bertugas disini. Kali ini firasatnya mengatakan Marto akan datang untuk sesuatu yang lebih besar daripada seorang Safitri. Yang artinya, pembalasan dendam kepada dirinya, yang mungkin akan melibatkan keluarganya. Dia harus bisa menjaga keluarganya tanpa membuat mereka panik. Untuk itulah dia tidak akan memberi tahu keluarganya, tapi dia akan menjaga mereka dengan menempatkan orang-orang terlatih di sekitar mereka.

Mengingat kapasitas dan kemampuan yang dimiliki Marto, dia harus memilih orang-orang yang juga memiliki kemampuan khusus juga. Dia tidak ingin kecolongan, karena itulah dia bergerak cepat meminta bantuan dari beberapa rekannya. Sampai sore hari dia masih berada di ruangannya, berpikir bagaimana dia harus melindungi dan menjaga keluarganya, serta mencari tahu dimana keberadaan Marto.

Dia sadar, menyuruh anak buahnya tadi untuk mencari Marto seperti menyuruh seekor kelinci untuk memburu macan. Bukannya mendapatkan macan itu, bisa-bisa si kelincilah yang akan jadi santapan si macan. Wijaya berpikir, Marto pasti tahu jika dia mendengar kabar pemecatannya dia pasti akan mencari Marto, dan pasti Marto sudah mengantisipasi itu. Apalagi ini sudah beberapa bulan Marto dipecat, dia sadar dia sudah ketinggalan beberapa langkah dari Marto.

Sementara itu, hari ini Marto bertugas untuk mengikuti seorang wanita, yang tak lain adalah Lia, rekan kerja Ara. Dia berbagi tugas dengan Ramon, karena kebetulan dia adalah sahabat dari Hendri, suami Nadya. Mereka bersahabat sejak bangku kuliah, hal ini akan lebih memudahkan Ramon untuk mendekati Nadya, berbekal foto dan video persetubuhan dengan suaminya hasil dari penyusupan Marto.

Dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan hal yang sulit bagi Marto untuk menggali informasi tentang Lia. Dia bahkan sudah memasang kamera pengintai kecil di rumah Ara, Nadya dan Lia, dan itu hanya dia dan sang boss yang tahu, Ramonpun tidak tahu masalah itu. Yang dia heran adalah kenapa kamera di rumah Ara yang bermasalah, padahal dia sudah yakin tidak ada yang salah dengan instalasinya, buktinya gambar dari kamera di rumah Nadya dan Lia hasilnya bagus dan jelas.

Dia sudah diperintahkan untuk memperbaiki kamera itu sebenarnya, tapi belum sempat dilakukannya. Kini pasti lebih sulit lagi melakukannya, pasti rumah itu akan mendapatkan penjagaan khusus dari anak buah Wijaya, meskipun yang punya rumah tak sadar bahwa rumahnya sedang dijaga.

Karena itulah kini dia lebih fokus kepada Lia. Wanita yang sudah memiliki dua orang anak ini cukup menarik perhatiannya. Selain parasnya yang cantik dan badannya yang seksi, nafsu wanita ini juga cukup besar. Dia mengetahui itu dari rekaman kamera pengintainya. Sang boss memang tidak mengijinkan siapapun masuk ke dalam ruang kontrol di rumah itu, termasuk dirinya. Tapi Marto tak kehilangan akal, dia sambungkan rekaman kamera itu ke gadget miliknya, sekali lagi, ini bukanlah hal yang sulit untuknya.

Marto tidak selalu membawa gadget itu kemana-mana, dia menaruhnya di suatu tempat. Hal ini tentu saja untuk menghindari kecurigaan dari bossnya dan rekan-rekannya yang lain. Kalau sampai mereka tahu akan hal itu, bisa-bisa hidupnya berada dalam bahaya. Meskipun memiliki berbagai kemampuan yang hebat, tapi dia tak mau mengambil resiko.

Kali ini dia sudah sampai di depan rumah Lia. Kebetulan sekali di seberang rumah itu ada angkringan, pas sekali untuk membuat alibi. Diapun mampir ke angkringan itu, sekalian makan pikirnya. Sambil ngobrol dengan pemilik angkringan, seorang pria yang kira-kira seusia dengannya. Tak lama kemudian muncul seorang pria ke angkringan itu, pria itu tak lain adalah suami Lia.

“Mas, kopinya ya, yang biasa.”

“Iya Pak Erwin, ngerokok di luar lagi ini pak?” tanya sang penjual angkringan.

“Haha, biasa mas, kalau istri di rumah, bisa diamuk saya kalau ngerokok disana,” jawab suami Lia.

“Wah, nggak boleh ngerokok ya mas sama istrinya?” Marto menimpali.

“Iya mas, istri saya anti banget sama orang ngerokok, apalagi sejak punya anak, pokoknya rumah jadi area bebas rokok, haha,” jawab Erwin.

Merekapun akhirnya terlibat obrolan ringan. Marto memperkenalkan dirinya sebagai Trisno. Setelah secangkir kopi dan beberapa batang rokok habis, Erwin berpamitan kepada mereka berdua. Diapun kembali ke rumahnya. Sementara Marto masih disitu bersama penjual angkringan.

“Pak Erwin itu istrinya cantik lho mas, tapi kayaknya punya selingkuhan deh,” ujar si penjual.

“Ah masak mas, kok mas tahu?” timpal Marto.

“Iya saya beberapa kali lihat istrinya diantar pulang sama lak-laki lain.”

“Ya kan bisa jadi cuma temen kerjanya tho mas,” jawab marto.

“Ya awalnya saya mikir gitu mas, tapi saya pernah lihat, mobilnya laki-laki itu berhenti di depan rumah, lha saya lihat kok cuma sendiri, eh nggak lama muncul Mbak Lia sambil ngelap bibirnya pake tissu, kayaknya posisi kepala Mbak Lia tu dari selangkangan laki-laki itu mas, kayak abis nyepongin gitu.”

“Ah masak sih mas? Di depan rumahnya gini?” tanya Marto memastikan.

“Iya bener mas, malah saya nggak cuma sekali lho lihatnya, tapi ya saya diem aja, wong nggak punya bukti apa-apa mas.”

“Walah, gitu ya mas? Beberapa kali ngelihatin gitu apa nggak pengen mas? Haha,” pancing Marto.

“Wah ya kalo saya sih pengen mas, Mbak Lia cantik gitu, pasti enak disepongin cewek secantik itu mas, haha.”

“Cuma pengen disepong aja mas?” pancing Marto lagi.

“Haha, bisa disepongin aja udah syukur mas. Kalo dapat lebih ya jelas nggak bakalan saya tolak, haha.”

“Mas tahu siapa laki-laki yang jadi selingkuhan istri Mas Erwin itu?”

“Saya nggak kenal sih mas, kabarnya sih itu bossnya, tapi beberapa waktu yang lalu udah meninggal mas, gara-gara kecelakaan di Kaliurang.”

“Oh gitu ya,” jawab Marto.

Merekapun melanjutkan obrolan seputar Lia yang ternyata sudah menjadi gosip dikalangan pelanggan angkringan itu. Tak lama kemudian Marto pergi meninggalkan tempat itu. Dia hendak menuju rumah Safitri, sudah beberapa hari ini tidak minta jatah padanya karena sibuk dengan urusan dan tugas dari bossnya.

Tapi tak berapa lama kemudian dia mendapat sms untuk menemui Ramon di suatu tempat, katanya ada info dari boss mereka yang harus segera disampaikan. Terpaksa Marto menunda menemui Safitri dan menuju ke tempat yang diberi tahu oleh Ramon.

Sesampainya di tempat itu ternyata sudah menunggu Ramon dan 2 orang rekan mereka. Segera Marto mendatanginya.

“Ada info apa Mon? Kok harus kesini buat ngomonginnya?” tanya Marto.

“Gini To, ada informasi penting. Aku ngajak kesini buat memastikan nggak ada orang yang ngikutin kita,” jawab Ramon.

“Ngikutin kita? Siapa Mon?” tanya Marto.

“Aku juga belum tahu pasti. Boss bilang, dia dapat info ada orang yang ngikutin kita,” jawab Ramon.

“Trus gimana petunjuk dari boss?” tanya Marto lagi.

Belum sempat Ramon menjawab, saat Marto sedang lengah dan menyalakan rokoknya, dia merasakan seseorang menusukkan sesuatu ke lehernya, menyuntikkan lebih tepatnya. Marto yang terkejut langsung bereaksi menepis tangan itu, namun terlambat, dia merasakan sesuatu yang dingin menjalar dengan cepat menuju kepalanya, membuatnya pusing, padangannya mulai buram.

“Anjingg, apa-apaan ini Mon?” ucap Marto memegangi lehernya.

Buukk, Marto merasakan sebuah benda keras menghantam tengkuknya, membuatnya limbung dan terjatuh ke tanah. Sekali lagi dia merasakan kepalanya dipukul dengan benda keras. Bertubi-tubi dia merasakan pukulan dan tendangan mendarat di wajah dan tubuhnya. Dia sempat melawan, kebetulan dia mendapatkan batu yang cukup besar, lalu diambil dan dilemparkannya batu itu ke salah satu dari mereka.

“Aaarggh, j*nc*k kowe To, rasakno iki,” pria yang terkena batu tadi kalap, dan langsung menghajar kepala Marto dengan kayu yang dibawanya.

Marto masih berusaha melawan, dengan pandangan mata yang semakin kabur, ditambah lagi beberapa kali kepalanya terkena pukulan. Dia menyerang membabi buta, beberapa kali mengenai lawannya. Tapi kemudian sekali lagi sebuah kayu melayang keras menghantam tengkuknya membuat Marto jatuh terkapar. Melihat itu ketiga lawannya dengan segera menghajar Marto membabi buta. Kepala, dada dan perutnya menjadi sasaran ketiga pria itu, membuat perlawanannya berakhir.

“Ini petunjuk dari boss To, menghabisi kamu, haha,” ujar Ramon sambil menendang dada Marto.

Marto dihajar habis-habisan oleh ketiga orang itu tanpa bisa melawan. Tubuhnya lemas, syarafnya kaku akibat suntikan itu. Dia tahu itu adalah obat penenang dosis tinggi. Marto mulai kehilangan kesadarannya. Dia hanya bisa merintih menerima pukulan dan tendangan di sekujur tubuhnya.

Kemudian dia merasa badannya diangkat oleh mereka bertiga, lalu dilemparkan begitu saja. Di dalam sisa kesadarannya, Marto merasakan tubuhnya berkali-kali terguling, kepala dan badannya berkali-kali menghempas benda-benda keras, entah pohon atau batu. Dia meluncur terus ke bawah. Gelap sekali tak terlihat apapun, sepertinya dia dibuang ke jurang.

Kesadarannya semakin menipis, dia merasakan sekujur badannya sakit sekali akibat benturan dengan benda-benda keras tadi. Hingga akhirnya dirasakan badannya terbentur sesuatu yang sangat keras hingga tubuhnya terhenti berguling. Serasa ada yang patah di dalam tubuhnya, serasa ada yang mengalir di kepalanya, dan tak lama kemudian kesadarannya benar-benar hilang.

“Boss, Marto sudah kami bereskan.”

“Bagus, berarti rencana kita udah bisa dimulai

Ramon tersenyum menerima instruksi dari sang boss. Kini wilayah Jogja sepenuhnya dalam kendali Ramon. Dan untuk melanjutkan rencana dari bossnya, dialah nahkodanya sekarang. Mereka bertigapun pergi meninggalkan tempat itu. Kedua anak buah Ramon membawa mobil Marto, sedangkan Ramon membawa mobilnya sendiri, menuju rumah Nadya.

***

Bersambung

Pembaca setia Kisah Malam, Terima Kasih sudah membaca cerita kita dan sabar menunggu updatenya setiap hari. Maafkan admin yang kadang telat Update (Admin juga manusia :D)
BTW yang mau jadi member VIP kisah malam dan dapat cerita full langsung sampai Tamat.
Info Lebih Lanjut Hubungin di Kontak
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂

Daftar Part

By Kisah Malam

Kisah Malam adalah sebuah Website yang berisikan Novel Dewasa, Novel Sex, Cerita Sex, Cerita First Time, Cerita Bersambung, Cerina Menarik Lainnya. Dukung Terus KisahMalam.Com Dengan Cara Bookmarks, Dan Nanti Kan Konten Terupdate dari KisahMalam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *