Mengalahkan Gadis Part 24

The Bloody New Year

Sudah hampir 15 menit Rio, Doni dan Karim meninggalkan Marto untuk menuju ke gudang itu, namun dalam pengamatan Marto melalui teleskopnya belum ada tanda-tanda ketiga orang itu berada di tempat yang sudah mereka rencanakan tadi.

“Hei, dimana kalian kok belum kelihatan?” tanya Marto melalui alat komunikasinya.

“Masih jalan ini bang,” jawab Rio terdengar di telinga Marto.

“Haduh kok lama sekali?” tanya Marto lagi.

“Ah elah, gelap kali bang, susah ini, mana si Rio nggak nyiapin jalurnya lagi,” jawab Karim.

“Eh kampret, lu kira jalan-jalan dibuatin jalurKalau ada jalurnya ya ketahuan lah kita, gimana sih,” sahut Rio sewot.

“Haha, udah udah, kalian ini malah ribut aja, ayo buruan jalan,” ujar Doni.

“Ini lagi, lu enak banget dari tadi ngekor mulu di belakang,” jawab Karim, ikut-ikutan sewot.

“Yaa kan emang gue nggak tahu tempatnya, Onta,” jawab Doni tak kalah sewot.

“Hahaha,” Marto tertawa geli dengan tingkah ketiga rekannya itu.

“Diem bang!” bentak ketiganya bersamaan, yang tentu saja membuat tawa Marto semakin keras, meskipun tidak terlalu keras, karena dia juga tahu harus menjaga ketenangan di markasnya sekarang agar tak diketahui oleh musuh.

Ketiga teman Marto ini memang kalau sudah berkumpul ada-ada saja kelakuannya, meskipun sedang dalam menjalankan misi berbahaya sekalipun, mereka tak pernah lepas dari perdebatan konyol yang pada akhirnya selalu membawa tawa bagi yang melihat ataupun mendengarnya. Entah untuk mengurangi ketegangan yang mereka rasakan, atau apapun sebabnya Marto tak tahu, tapi yang jelas dia sudah sangat lama sekali tidak melihat dan mendengar tingkah aneh teman-temannya itu.

“Nah, itu dia, bentar lagi sampai,” terdengar suara Rio membuyarkan lamunan Marto.

“Cihuiii, tangan gua udah gatel banget ini, iya nggak Don?” tanya Karim.

“Yoi bro, kita sikat mereka, head shot ya Rim,” jawab Doni.

“Ooo jelas itu,” sahut Karim.

“Inget, tetep hati-hati, jangan sampai kalian kenapa-napa,” ujar Marto memperingatkan ketiga temannya, yang beberapa saat lalu masih berdebat konyol.

“Oke bang bro,” jawab ketiganya serentak.

Marto yang lebih tua dibanding ketiganya memang sudah dianggap seperti kakak sendiri oleh mereka sehingga bagaimana pun baik Rio, Doni maupun Karim begitu menghormati Marto. Kali ini pun mereka bertiga menggantungkan keberhasilan misi ini kepada Marto yang mereka percayai akan melindungi mereka dari jauh, tanpa mereka sadari bahwa bahaya yang lebih besar mengancam mereka, bahaya yang juga tidak diketahui oleh Marto.

***

Satu jam sebelumnya

Tok.. Tok.. Tok..

“Yak masuk!”

“Lapor komandan.”

“Oh Fadli, ada apa?” tanya Kompol Arjuna.

“Intel yang kita kirim untuk mengamati gudang yang kemungkinan menjadi lokasi penculikan Pak Wijaya dan keluarganya belum memberikan laporan ndan, bahkan sudah coba kami hubungi, tapi ponsel mereka tidak aktif,” lapor Fadli kepada komandannya.

“Jangan-jangan mereka ketahuan, dan terjadi hal buruk kepada mereka,” ujar Kompol Arjuna.

“Saya juga takutnya gitu ndan, tapi semoga saja tidak. Jadi gimana selanjutnya ndan?” tanya Fadli meminta instruksi.

“Tim sudah siap?” tanya Kompol Arjuna.

“Mereka sudah siap, tapi kita tidak tahu kondisi disana dan seberapa besar kekuatan lawan, jadi belum bisa memastikan berapa yang harus diberangkatkan,” jawab Fadli.

“Berangkatkan semuanya!” perintah Kompol Arjuna.

“Semua ndan?” tanya Fadli memastikan.

“Ya, kita belum tahu kekuatan mereka sebesar apa. Untuk jaga-jaga saja, karena saya yakin kalau sudah menyangkut Toro, ini bukan urusan main-main,” jawab Kompol Arjuna.

“Siap ndan, mohon ijin untuk berangkat.”

“Silahkan, saya tunggu kabarnya.”

“Oh iya, ada satu lagi ndan, kelupaan,” ujar Fadli sebelum sempat keluar dari ruangan.

“Ada apa?” tanya Kompol Arjuna.

“Mengenai saksi, kedua orang rekan Budi yang tadi siang ikut dikeroyok,” jawab Fadli.

“Oh iya, ada informasi apa?” tanya Kompol Arjuna lagi.

“Kebetulan tadi keduanya sudah sadar. Kami sudah bertanya kepada mereka, dan mereka bilang satu orang lagi yang diculik selain Budi adalah temannya yang bernama Sakti,” jawab Fadli.

“Sakti? Sakti siapa?” Kompol Arjuna mengernyitkan keningnya.

“Kami sudah selidiki, Sakti yang dimaksud kemungkinan besar adalah Saktiawan Mahendra, anak dari Baktiawan Mahendra,” jawab Fadli.

“Baktiawan Mahendra? Pengusaha properti itu?” tanya Kompol Arjuna lagi.

“Benar ndan. Sebenarnya bukan hanya properti tapi punya bisnis di bidang lain juga. Yang jelas dia salah satu pengusaha terkaya di negeri ini. Itu yang semakin membuat kami bingung. Kalau korban penculikan yang lain adalah keluarga dari Pak Wijaya, kenapa ada orang lain yang harus ikut diculik, rasanya tidak mungkin kalau motifnya adalah uang,” terang Fadli.

“Apa si Sakti atau Baktiawan ini ada hubungannya sama Pak Wijaya?” tanya Kompol Arjuna.

“Kami belum tahu ndan, hanya kalau Sakti memang teman kuliah Budi. Lalu apakah kita juga harus menghubungi Baktiawan untuk mengabarkan penculikan putranya ini?” tanya Fadli.

“Nanti biar aku saja. Sekarang kamu berangkat saja ke lokasi penculikan, lakukan penyelamatan secepatnya, dan bila diperlukan habisi mereka semua, kalian diijinkan untuk melepaskan tembakan,” perintah Kompol Arjuna.

“Siap ndan.”

Tak lama setelah Fadli meninggalkan ruangannya, pria paruh baya ini merenung memikirkan apa yang sedang terjadi. Nasib anak buahnya yang tadi dikirim untuk mengintai belum diketahui, lalu ada pula korban penculikan yang tak lain adalah anak salah satu pengusaha tersukses di negeri ini. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang sebenarnya diincar oleh Toro dan komplotannya itu sampai-sampai anak Baktiawan juga mereka culik?

Hari sudah gelap, tapi Kompol Arjuna belum meninggalkan kantornya. Dia masih ingin menunggu kabar dari Fadli tentang operasi kali ini, juga mengenai nasib Wijaya dan keluarganya, serta anak dari Baktiawan. Jika operasi kali ini berhasil, selain menyelamatkan atasannya dia juga sekaligus membersihkan para preman dan mafia yang saat ini sudah sangat meresahkan jajarannya.

Dia benar-benar tak menyangka bahwa Toro terlibat dengan semua ini, meskipun dia belum tahu pasti, namun keterangan dari Safitri tadi tampaknya memang sangat menyakinkan tentang keterlibatan boss preman di kota itu. Mengingat Toro membuat Kompol Arjuna kembali teringat Safitri. Ada rasa iba pada anak buahnya yang sudah lama menjanda itu. Nasibnya buruk sekali, disaat sedang berjuang membesarkan anaknya seorang diri, dia justru harus jatuh pada pelukan anak buah Toro, dan kemungkinan nanti akan jatuh pada pelukan Toro juga.

Dia sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Safitri bila benar-benar jatuh ke dalam pelukan Toro, karena dulu pernah ada dua orang anak buahnya yang bernasib seperti itu akibat ulah Marto. Hal yang kemudian menjadikan Kompol Arjuna begitu mendendam kepada Marto dan Toro, karena salah satu dari kedua anak buahnya yang mereka kuasai itu masih memiliki hubungan saudara dengannya.

Namun diantara rasa ibanya itu, terselip rasa iri dalam hati Arjuna. Dia sendiri juga memiliki kekaguman kepada sosok Safitri, kekaguman secara fisik lebih tepatnya. Memang bukan wanita tercantik yang pernah dia kenal, namun entah kenapa Arjuna merasa ada sesuatu yang menarik dalam diri Safitri yang membuatnya cukup penasaran. Namun tak pernah berani untuk lebih dari sekedar mengagumi mengingat status dan posisi keduanya.

Akan tetapi mendengarkan cerita dari Safitri tadi mengenai bagaimana dia jatuh dalam pelukan anak buah Toro, membuat rasa penasarannya kepada Safitri yang sempat bisa dia tekan kini muncul lagi. Akhirnya dia pun mengambil ponselnya untuk menghubungi Safitri, siapa tahu wanita itu masih ada di kantor.

“Hallo selamat malam komandan
“Selamat malam. Kamu udah pulang Fit?”

“Belum komandan, saya masih di kantor
“Kalau begitu tolong ke ruangan saya sekarang, saya tunggu.”

“Siap komandan

Sambungan telepon pun terputus. Safitri tentu saja heran kenapa atasannya itu menyuruhnya untuk menemuinya. Namun Safitri mencoba untuk berpikir positif saja, mungkin ini ada hubungannya dengan penculikan Wijaya. Safitri pun bergegas menuju ruangan Arjuna. Dia mengetuk pintu kemudian membukanya setelah mendengar jawaban dari dalam untuk menyuruhnya masuk.

“Selamat malam komandan.”

“Malam. Duduk Fit.”

“Ada apa ya komandan?” tanya Safitri setelah duduk di kursi di hadapan Kompol Arjuna.

“Udah jam segini kamu belum pulang masih ngapain?” tanya Kompol Arjuna sambil memandang Safitri yang masih memakai seragam dinasnya, dia belum pulang juga seharian ini.

“Hmm, saya juga masih menunggu kabar Pak Wijaya dan keluarganya ndan,” jawab Safitri.

“Kamu kenal sama yang namanya Sakti?” tanya Kompol Arjuna.

“Sakti? Sakti siapa ya ndan? Saya kurang familiar dengan nama itu,” jawab Safitri.

“Saktiawan Mahendra, anaknya Baktiawan Mahendra. Dia temannya Budi, yang ikut diculik tadi siang.”

Safitri hanya mengernyit, lalu menggelengkan kepala. Dari ekspresi dan tatapan matanya Kompol Arjuna tahu kalau Safitri benar-benar tidak mengetahui pemuda yang dia sebutkan namanya tadi. Tentu saja karena Safitri juga tidak terlalu mengenal dan dekat dengan keluarga dari Wijaya.

“Hmm, ada keperluan lain nggak ndan?” tanya Safitri, setelah agak lama komandannya itu terdiam.

“Ada. Ada yang mau saya bicarakan sama kamu, tentang yang tadi,” jawab Kompol Arjuna.

“Tentang yang tadi? Maksudnya yang mana komandan?” tanya Safitri kebingungan, namun sudah bisa menduga-duga.

“Tentang yang terjadi antara kamu dengan seseorang yang bernama Ramon itu.”

DEG. Jantung Safitri seolah terhenti, dia menelan ludahnya. Ini yang dia takutkan jika sampai menceritakan aibnya kepada orang lain. Namun dengan keadaan yang sangat terpaksa seperti tadi, dan juga berhadapan dengan Kompol Arjuna yang memiliki banyak pengalaman soal interogasi, membuat dia mau tak mau harus menceritakan aibnya, meskipun tidak semuanya.

“Saya kan tadi sudah janji sama kamu saya akan jaga rahasia ini,” ujar Kompol Arjuna melihat Safitri terdiam.

“Ii, iyaa komandan,” jawabnya singkat menganggukan kepala, karena memang benar-benar tak tahu apa yang harus dikatakan lagi. Pikirannya berkecamuk.

“Saya akan tepati janji saya, tapi saya ingin kamu melakukan sesuatu untuk saya, malam ini, saat ini,” lanjut Kompol Arjuna.

“Mme, melakukan apa ndan?” tanya Safitri, dia mulai gugup. Pikirannya sudah dipenuhi dengan dugaan-dugaan kira-kira apa yang diinginkan oleh komandannya itu.

Tak segera menjawab, Kompol Arjuna hanya tersenyum, lalu berdiri dan berjalan ke arah pintu, kemudian menguncinya. Mengetahui hal itu dada Safitri makin berdebar tak karuan, dia bingung, tak tahu apa yang harus dilakukan.

“Sambil menunggu kabar Pak Wijaya dari Fadli nanti, kita isi waktu dulu. Dan untuk mengisi waktu ini, saya minta kamu untuk…” Kompol Arjuna tak menyelesaikan perkataannya, menunggu reaksi dari Safitri.

Safitri sendiri hanya bisa menunggu kata-kata selanjutnya yang akan keluar dari mulut Kompol Arjuna. Benaknya menduga-duga apa yang akan diminta oleh atasannya. Banyak hal buruk berseliweran di kepalanya. Apakah Kompol Arjuna ingin mengambil keuntungan dari situasi ini? Apakah Kompol Arjuna akan berbuat hal-hal tak senonoh pada dirinya? Atau jangan-jangan?

***

Present
Di dalam gudang

“Papa, apa yang papa lakukan?! Hentikan semua ini!” bentak Sakti dengan emosi.

“Diam saja kamu Sak, dan nikmatilah bagaimana adikmu itu akan diajari oleh Om Fuadi menjadi wanita dewasa, haha,” ujar Baktiawan.

“Aa, apa? Adik?” tanya Sakti tak mengerti.

“Ya, kamu harus melihat apa yang akan kami lakukan terhadap adikmu Ara, Saktiawan Wijaya.”

Semua yang berada di ruangan itu kecuali Fuadi terkejut mendengar perkataan Baktiawan barusan. Dia dengan jelas menyebut nama Saktiawan Wijaya, bukan Saktiawan Mahendra. Nama Mahendra adalah nama belakangnya yang berarti bahwa Sakti adalah anaknya, namun dengan menyebut nama Wijaya, apakah berarti Sakti adalah anak dari, Wijaya?

“Apa maksudnya semua ini Pa?” tanya Sakti dengan nada tinggi.

“Mulai saat ini berhentilah memanggilku papa, karena yang harusnya kamu panggil papa adalah orang itu,” ujar Baktiawan sambil menunjuk Wijaya.

“Apa maksudmu Bakti? Kenapa menyuruh anakmu untuk memanggilku papa?” tanya Wijaya.

“Haha, Wijaya Wijaya. Kamu mau tahu? Kalian semua mau tahu? Baiklah, akan aku ceritakan semua sebelum kalian bersama-sama aku habisi, jadi lebih baik pasang kuping kalian dan dengar baik-baik setiap perkataanku,” ujar Bakti.

Semuanya kecuali Fuadi terdiam menunggu penjelasan dari Baktiawan. Semua ini terlalu mengejutkan dan tidak masuk akal. Apa yang sebenarnya terjadi? Itulah pertanyaan yang muncul di benak setiap orang di ruangan ini.

“Kamu tahu Wijaya, kenapa aku repot-repot mempersiapkan semua ini hah? Dendam Wijaya, dendam! Dendam yang meskipun sudah sangat lama berlalu tapi masih tersimpan semuanya di dalam hatiku,” bentak Baktiawan dengan gusar.

“Kamu tentu masih ingat dengan Marini kan?” tanya Baktiawan kepada Wijaya.

“Marini?” Wijaya terkejut, begitu pula dengan istrinya, dan juga Sakti.

Sakti memang mengenal nama itu. Baktiawan memberi tahu dia bahwa ibunya bernama Marini, dia sering diajak oleh Bakti untuk mengunjungi peristirahatan terakhir ibunya ketika masih kecil.

“Ya, Marini, wanita yang dulu pernah kamu perdaya,” ujar Baktiawan.

Semakin terkejutlah Aini mendengar suaminya pernah memperdaya Marini, karena Marini dulu adalah sahabatnya, yang tiba-tiba hilang entah kemana setelah setahun pernikahannya dengan Wijaya.

“Kamu dari dulu selalu merebut apa yang seharusnya menjadi milkku Wijaya. Kamu tahu dulu betapa aku begitu mencintai Aini. Aku selalu menceritakan semuanya ke kamu, tapi kamu malah merebutnya dan bahkan menjadi istrimu sampai sekarang. Saat aku mencoba untuk melupakan Aini, dan mulai mendekati Marini, hingga aku jatuh cinta padanya, kamu kembali berusaha untuk merebutnya, bahkan kamu berhasil menodainya hingga hamil,” terang Baktiawan menceritakan masa lalu mereka.

Wijaya tertegun mendengar penjelasan Baktiawan. Apa yang dikatakan oleh Baktiawan memang sepenuhnya benar. Mereka dulu sama-sama menyukai Aini meskipun Wijaya tak pernah menceritakannya pada Bakti, justru Bakti yang sering bercerita kepada Wijaya tentang perasaannya itu. Namun dengan licik saat itu Wijaya menceritakan betapa buruknya reputasi Bakti sebagai seorang penjahat kelamin yang suka berburu wanita kepada Aini, sehingga Aini menjadi benci pada Bakti dan justru semakin dekat dan semakin menyukai Wijaya, hingga sampai saat ini mereka menjalin rumah tangga selama puluhan tahun.

Aini yang mendengar penjelasan dari Bakti juga tak kalah terkejutnya. Dia tidak bisa percaya apa yang dikatakan oleh Bakti bahwa suaminya telah menodai dan bahkan menghamili sahabatnya. Namun saat melihat tak ada bantahan sama sekali dari suaminya, hatinya merasa terisis dan sangat sakit. Padahal dulu suaminya yang bilang kalau Baktilah yang seorang pemburu wanita, tapi ternyata suaminya pun tak ada bedanya.

“Aku sempat kebingungan saat itu karena Marini tiba-tiba saja menghilang dan sama sekali tidak bisa dihubungi. Aku baru bertemu dengannya secara kebetulan saat dia sudah hamil 5 bulan, beberapa minggu setelah kamu berhasil membongkar bisnis narkoba yang baru saja aku rintis. Aku memaksanya untuk menceritakan apa yang telah terjadi, dan dari situlah dendamku kepadamu semakin terpupuk hingga saat ini,” lanjut Baktiawan.

“Aku yang masih mencintainya memutuskan untuk membesarkan anak hasil perbuatanmu itu. Namun saat Sakti lahir, melihatnya tersenyum selalu mengingatkanku dengan semua yang sudah kamu perbuat padaku, hingga dendamku semakin lama semakin membesar,” pungkas Bakti.

“Jadi, Marini sudah menikah denganmu?” tanya Wijaya lirih.

“Siapa bilang aku menikahinya? Haha, tidak Wijaya, aku tidak menikahinya, meskipun kemudian aku juga punya anak dengannya, yang Sakti saja tidak tahu kalau dia memiliki adik, karena sejak kecil aku sudah memisahkan mereka, mengirim Marini dan anakku keluar negeri,” jawab Wijaya.

“Tapi, makam itu?” tanya Sakti.

“Entahlah, itu makam siapa, aku hanya mengganti nisannya dengan menulis nama Marini disitu, karena kamu tak pernah berhenti menanyakan siapa ibumu, haha,” jawab Baktiawan.

“Bangsat kau Baktiawan!” maki Sakti, yang untuk pertama kalinya dia memanggil langsung nama Bakti tanpa menyebut papa.

“Hahaha, sekarang kamu tahu kan Sakti, siapa sebenarnya kamu dan juga keluargamu. Tapi sayang beberapa tahun lalu ibu kandungmu sudah meniggal di Inggris sana,” ujar Bakti.

Apa yang baru saja disampaikan oleh Baktiawan ini tentu saja begitu mengejutkan semua orang di ruangan ini, kecuali Fuadi yang memang sudah beberapa tahun lalu mengetahuinya sehingga menerima permintaan Baktiawan untuk membantunya membalas dendam kepada Wijaya.

Ramon pun akhirnya memahami kenapa dia disuruh untuk menculik Sakti, tak lain adalah agar Sakti bisa bereuni dengan keluarga kandungnya, meskipun tak akan lama, karena mungkin sebentar lagi mereka akan dihabisi satu persatu. Namun ada satu hal yang mengganjal di pikiran Ramon. Dibalik keterkejutan semua orang, dia melihat ekspresi dari Budi, nampak biasa saja, nampak tak terlalu terkejut seperti halnya Wijaya, Aini, Ara dan bahkan Sakti.

Ramon yang sedari tadi memperhatikan semua sanderanya ini, belum melihat ekspresi keterkejutan dari Budi, dari sejak dia sadar tadi hingga saat ini mendengar penjelasan dari Baktiawan. Seolah-olah Budi seperti orang yang sudah mengetahui apa yang akan dia alami sehingga reaksinya biasa-biasa saja. Ataukah memang Budi memang setenang ini orangnya? Rasanya tidak, setenang apapun, menyadari bahwa dirinya diculik, dan terlibat dalam suatu permasalahan seperti ini, terlalu aneh untuk bersikap biasa-biasa saja.

“Jadi Aini, itulah sosok suamimu yang sebenarnya. Dia adalah seorang penjahat kelamin juga, nggak ada bedanya dengan aku, yang dulu menjadikan alasan bagimu untuk menolak pinanganku. Bahkan sampai sebelum pernikahan anakmu pun, dia masih suka main perempuan, terutama para anak buahnya yang cantik-cantik itu,” ujar Baktiawan kepada Aini, yang sudah mulai mengalir air matanya.

“Bangsat, bicara apa kau Bakti?” hardik Wijaya.

“Haha, jangan munafik Wijaya. Aku sudah tahu semuanya, apa yang kamu lakukan dengan Safitri anak buahmu. Nggak rugi aku punya anak buah seperti Marto, haha,” jawab Baktiawan santai.

“Apa, Marto? Jadi dia anak buahmu juga hah?” tanya Wijaya.

“Hmm, lebih tepatnya dia anak buah Fuadi. Aku sudah dari lama mengajak Fuadi untuk membalas dendam padamu, karena aku tahu dia juga memiliki dendam kepadamu, karena kamu yang selalu keuntungan dan penghargaan dari setiap apa yang kamu lakukan. Setiap usaha dan pekerjaan yang kalian lakukan bersama selalu kami yang mengakui kalau itu adalah hasil kerja kamu, sehingga kamu semakin berjaya dan Fuadi tersisih, begitu kan Wijaya?”

“Tapi tenang saja, Marto yang hebat itu sudah aku habisi, dia nggak akan mengganggu pesta kita malam ini, haha,” tawa Baktiawan.

“Hey, sudah belum nostalgianya? Kapan kita mulai pestanya ini?” Fuadi yang sedari tadi diam sambil tangannya tak berhenti meremas payudara Ara mulai angkat bicara.

“Sudah nggak tahan kamu rupanya Ad?” tanya Baktiawan.

“Siapa juga yang tahan kalau ceweknya secantik ini, haha,” jawab Fuadi sambil tangannya meremas payudara Ara semakin kencang.

“Nggaaaak, lepasin, Ara nggak mauuuu, lepasiiiiin,” Ara mencoba melawan dan meronta, namun tangan dan kakinya yang terikat membuatnya tak bisa berbuat banyak.

“Nggak ada yang mau kamu sampaikan dulu sama Wijaya bangsat ini?” tanya Baktiawan.

Dorrrr Dorrrr Dorrrr..

Belum sempat Fuadi menjawab, tiba-tiba terdengar suara tembakan bersahut-sahutan yang diikuti dengan suara teriakan orang-orang di luar gudang. Sedikit terkejut, namun kemudian Fuadi dan Baktiawan hanya tertawa saja, menyadari bala bantuan dari Wijaya sudah datang. Mereka tak khawatir, karena sudah mempersiapkan untuk mengantisipasi adanya serangan seperti ini.

“Rupanya anak buahmu sudah mulai datang Wijaya. Tapi tenang saja, berapa pun orang yang membantu kamu malam ini, hanya akan berakhir sebagai mayat saja, haha,” ujar Baktiawan.

“Nah Fuad, silahkan mulai pestanya, aku mau nonton dulu aja,” lanjut Baktiawan.

“Haha, okelah kalau begitu. Ramon, lepasin ikatan di kaki dan tangan Ara,” perintahnya.

Ramon pun segera melepas ikatan di tangan dan kaki Ara seperti yang diminta oleh bossnya itu. Merasa bisa bergerak lebih bebas Ara mencoba untuk melawan dan menyerang Ramon. Namun baru saja hendak memukulkan tangannya di kepala Ramon, tiba-tiba gerakan Ara terhenti melihat apa yang dilakukan oleh Fuadi.

“Eits, anak manis nggak boleh nakal ya, atau kamu mau kepala ayah kamu ini berlubang?” ujar Fuadi dengan santainya sambil menodongkan sebuah pistol persis di kepala Wijaya.

“Nggak usah peduliin ayah nak, lawan mereka, cepat lari,” perintah Wijaya.

“Mau lari kemana Wijaya? Lebih baik Ara disini, daripada keluar dari gudang. Disana banyak preman lho, daripada anakmu diperkosa habis-habisan sama preman-preman itu, mending bersenang-senang dengan kita disini, haha,” ujar Baktiawan, diikuti oleh tawa Fuadi dan Ramon.

Ara cepat menyadari situasi yang sama sekali tidak menguntungkan ini. Jika benar yang dikatakan Bakti kalau di luar banyak preman, sudah bisa dipastikan nasibnya akan jauh lebih buruk kalau sampai memaksakan diri lari dari gudang ini. Tapi jika bertahan disini, dia pasti juga akan mengalami pelecehan oleh Fuadi dan Bakti, bahkan mungkin Ramon juga. Dan dia akan dilecehkan di depan orang-orang yang sangat dia cintai.

Dilema besar memenuhi pikirannya. Apa yang harus dia lakukan. Dia tentu saja tak rela jika harus dilecehkan terlebih di depan orang tua, suami, dan juga Sakti, yang ternyata adalah kakak kandungnya. Namun dia juga tidak ingin sampai harus diperkosa bergiliran oleh preman-preman itu. Mendengar suara tembakan dari luar gudang, dia benar-benar berharap siapapun mereka bisa mengalahkan preman-preman itu dan segera menolongnya.

Kini Ara terduduk dengan tangan dan kaki sudah bebas dari ikatan. Fuadi berjalan mendekatinya, memberikan pistolnya kepada Ramon. Kini Ramon yang bertugas untuk berdiri di dekat Wijaya, menempelkan pistol itu di kepala Wijaya.

Ara sempat melihat ke ruangan sebelah, dimana empat orang wanita yang semuanya sudah telanjang bulat, sedang berteriak histeris karena disetubuhi dengan kasar oleh empat orang pria yang dia tidak kenali. Keempat wanita itu tentu saja sangat dikenal Ara, dua orang adalah sahabatnya, dan dua orang lagi adalah kakak iparnya. Menyaksikan pemandangan seperti itu tentu saja membuat Ara bergidik ngeri, karena mungkin saja sebentar lagi dia akan mengalaminya.

Ramon mengikuti arah pandangan Ara, lalu kembali melihat Budi yang ternyata juga memandang ke arah itu. Sekali lagi dia heran, karena Budi masih bersikap biasa saja padahal dua orang kakak kandungnya sedang diperkosa habis-habisan, dan sebentar lagi istrinya pun akan mengalami hal itu. Tangannya memang terlihat mengepal, namun ekspresi wajahnya tidak berubah, masih cukup tenang.

Ramon berpikir mungkin Budi sekarang lebih tenang karena bala bantuannya sudah tiba. Pasti yang sedang bertempur dengan anak buahnya itu adalah bala bantuan dari Budi, bukan Wijaya, tak mungkin para polisi itu dapat dengan cepat menemukan tempat ini, pikir Ramon.

Kini Fuadi sudah berdiri tepat di hadapan Ara, memandang wanita itu sambil tersenyum mesum. Ara sendiri tahu apa yang dimaui oleh pria yang seumuran dengan ayahnya itu. Dalam kondisi normal tentu saja dia akan menolak, namun kini situasinya berbeda, dia berada di bawah ancaman, dengan Ramon masih mengacungkan pistol di kepala ayahnya.

“Nah gadis cantik, sekarang waktunya kamu untuk belajar menjadi wanita dewasa sepenuhnya, haha. Sekarang, buka celanaku!” perintah Fuadi.

“Nggak, Ara nggak mau,” tolak Ara.

“Kamu bicara seolah kamu punya pilihan saja, ayo cepat sebelum habis kesabaranku!” hardik Fuadi.

Ara menggelengkan kepalanya. Dia masih tidak rela untuk melakukan hal ini, di depan keluarganya. Melihat penolakan Ara tentu saja membuat Fuadi geram. Dia kemudian melirik ke arah Ramon, dan kemudian, Dorrr..

“Aaaarrrgghhh.”

Terdengar teriakan dari Wijaya. Ramon baru saja menembak kaki kanan pria itu. Darah pun terlihat membasahi celana yang membungkus paha Wijaya.

“Ayaaaahh, hiks,” Ara berteriak dan menangis mendapati ayahnya di tembak karena dia menolak permintaan Fuadi. Dia hendak menghampiri ayahnya namun ditahan oleh tangan Fuadi.

“Itu akibatnya kalau kamu menolakku. Kamu mengerti kan sekarang sayang?”

“Hiks Hiks, bajingan,” ujar Ara lirih di sela tangisnya, namun masih cukup terdengar oleh Fuadi. Tangannya mengepal keras menahan emosi yang meluap-luap di dalam dirinya.

“Haha, terserah kamu mau manggil apa, yang jelas kamu jangan macam-macam lagi sayang. Dan jangan lagi menolak apa yang aku perintahkan, karena penolakanmu selanjutnya, akan membuat peluru yang ada di pistol Ramon bersarang di kepala ayahmu.”

Ara tahu itu bukan sekedar gertakan. Dia tak rela melakukannya, tapi dia lebih tidak ingin orang yang dia cintai menderita, sehingga mau tak mau dia harus benar-benar mengikuti perintah dari Fuadi. Ara kemudian melihat ke arah suaminya. Budi menatapnya tajam, namun tatapan itu terasa damai, seolah memberikan ketenganan kepada Ara. Ada sedikit anggukan halus dari Budi. Entah apa maksudnya, namun dia percaya pada suaminya itu, percaya kepada orang di luar gudang yang sedang berusaha untuk menyelamatkan mereka.

“Ayo sayang, cepat buka celanaku!” Fuadi mengulang kembali perintahnya.

Dengan tangan yang begitu gemetar, Ara meraih kepala gesper Fuadi dan membukanya. Lalu tangan Ara perlahan membuka kancing celana Fuadi, kemudian menarik turun resletingnya. Ara menghentikan kegiatannya, membiarkan celana itu turun dengan sendirinya. Nampak oleh Ara sesuatu yang cukup besar mengembung di balik celana dalam Fuadi. Dengan jengah ia lalu menatap ke Fuadi. Pria itu tersenyum, lalu memberikan kode kepada Ara untuk melanjutkan melepaskan celana dalamnya.

Sekali lagi Ara menatap kepada suaminya. Tatapan Budi masih belum berubah, tajam namun serasa menenangkan baginya. Lalu kembali terlihat anggukan lembut dari Budi. Ara masih belum memahami maksud Budi, namun sekali lagi dia memutuskan untuk mempercayai suaminya itu.

Tangan Ara semakin gemetar saat memegang karet celana dalam Fuadi. Dengan sangat perlahan dia menarik turun celana dalam itu, hingga nampaklah kemaluan Fuadi yang sudah setengah tegang. Ara begitu terkejut melihatnya, melihat penis lain selain milik suaminya, di hadapan suami dan keluarganya. Ara pun segera memalingkan wajahnya namun justru melihat ke arah pada sahabat dan kakak iparnya yang tengah berjuang menahan sakit dari setiap hujaman kemaluan pemerkosa mereka.

Ara merasakan kepalanya dibelai dengan lembut oleh Fuadi, lalu dengan tangannya Fuadi menggerakkan kepala Ara untuk kembali menghadap penisnya. Menolak untuk menatapnya, Ara pun memejamkan matanya. Melihat reaksi wanita itu tentu saja membuat senyum Fuadi semakin terkembang. Ara ternyata memang benar-benar wanita yang baik, setia dan selalu menjaga dirinya, benar-benar menolak untuk menikmati pelecehan ini, terlebih di depan keluarganya sendiri.

“Buka mata kamu sayang, dan segera manjakan kontolku. Kamu tahu caranya kan? Haha.”

Ara masih tak mau membuka matanya, justru air matanya terlihat semakin deras mengalir dari sudut matanya. Dia benar-benar tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi dalam hidupnya, dilecehkan sedemikian rupa, di depan semua keluarganya. Dan dia tahu, ini baru saja permulaan dari pelecehan-pelecehan selanjutnya, bila tidak ada yang menolongnya nanti.

“Ayo cepat sayang, sebelum kepala ayah kamu tertembus peluru,” ujar Fuadi mengingatkan posisi Ara.

Ara lalu menoleh ke arah ayahnya. Wijaya sudah tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia menahan sakit di pahanya yang ditembak oleh Ramon. Namun rasa sakit itu tak seberapa dibandingkan dengan sakit hatinya melihat anak kesayangannya dilecehkan seperti itu. Sementara Aini juga tak bisa berkata apa-apa lagi, sedari tadi hanya menangis yang bisa dia lakukan. Sakti yang masih syok juga seperti kehabisan kata-kata. Dia sendiri juga tidak rela Ara diperlakukan seperti itu, terlebih setelah tahu ternyata Ara adalah adik kandungnya. Ketiga orang itu hanya bisa menggelengkan kepalanya meminta Ara untuk tidak melakukannya.

Pandangan Ara beralih ke Budi, dan sekali lagi dia mendapatkan reaksi yang sama seperti sebelumnya. Ara memang tak bisa mengharapkan lebih, karena melihat kondisi suaminya yang terikat begitu kuat di tangan dan kakinya sehingga tak bisa bergerak sama sekali. Ara menatap Budi seolah meminta ijin untuk melakukan perintah Fuadi, dan kemudian dijawab dengan anggukan ringan oleh Budi.

Ara kemudian menatap Fuadi yang tersenyum kepadanya. Jijik sekali Ara melihat senyuman itu, namun dia juga sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ara menghirup nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan, memantapkan dirinya untuk melakukan hal yang sangat-sangat tidak ingin dia lakukan itu.

Tangan halus Ara yang masih gemetar mulai menggenggam penis itu. Ara mulai menggerakkan tangannya mengocok pelan penis Fuadi hingga penis itu semakin membesar. Beberapa saat mendapat kocokan dari tangan Ara yang terasa begitu halus membuat Fuadi tak tahan hingga kini penisnya benar-benar sudah tegang.

“Pakai mulut kamu sayang!” perintah Fuadi yang sudah tak tahan ingin merasakan servis dari mulut Ara.

Ara pasrah. Berada di bawah ancaman membuatnya tak bisa berbuat apapun untuk melawan. Perlahan Ara mendekatkan kepalanya ke penis Fuadi. Jarak antara wajah Ara dan penis Fuadi hanya tinggal beberapa senti saja. Tercium oleh Ara aroma khas yang dikeluarkan dari pangkal paha Fuadi. Diiringi dengan suara tangis ibunya yang kian terdengar, Ara mulai membuka bibir mungilnya, bergerak ke depan hingga kepala penis besar itu berada di ambang mulutnya.

***

“Aaaarrrggghhhh ampuuun, sakiiiitttt.”

“Ooohh nikmat sekali bool cewek ini, masih perawan, sempit banget,” ujar Toro yang sedang menyodomi Nadya.

Badan wanita yang kini hanya tinggal mengenakan kerudungnya itu terlonjak-lonjak saat Toro dengan kasar menyodok-nyodokkan penis besarnya di lubang anusnya yang masih sempit. Teriakan kesakitannya dari tadi sama sekali tak membuat Toro menjadi iba, namun semakin bersemangat untuk mengerjainya. Hentakan penisnya semakin lama justru semakin cepat.

Plok Plok Plok Plok.

Tepat berada di samping Toro, Ali juga sama saja, sedang memasukkan penisnya yang cukup besar ke dalam lubang anus Lia yang belum pernah dimasuki oleh siapapun. Sama seperti Nadya, posisinya sedang menungging, pakaiannya pun telah terlepas semua. Teriakan-teriakan yang keluar dari mulut Lia pun semakin membuat Ali kesetanan menyodomi wanita cantik itu.

Nadya dan Lia yang sebelumnya pingsan, tersadar akibat rasa sakit yang teramat di anus mereka. Tangis dan teriakan meledak saat menyadari tubuh mereka tak lagi tertutup apapun kecuali kerudung di kepala Nadya. Terlebih saat ini anus keduanya, yang selama ini selalu terjaga sedang dimasuki oleh orang yang sama sekali tidak mereka kenali. Rasa sakit yang luar biasa mereka rasakan hingga tak memperhatikan keadaan di sekitar mereka.

Filli dan Renata, yang juga sudah ditelanjangi oleh Joni dan Markus juga sedang disetubuhi habis-habisan oleh kedua preman itu. Meskipun sudah pernah disodomi sebelumnya, namun perlakuan kasar dari Markus akibat keinginannya untuk menyetubuhi Nadya harus tertunda gara-gara Toro, membuat Renata begitu menderita merasakan sakit yang luar biasa di lubang anusnya.

Berbeda dengan Filli yang bisa lebih rileks, karena saat ini penis Joni yang memasuki anusnya sudah cukup basah oleh cairan cintanya, setelah sebelumnya dia menggenjot vagina Filli. Meskipun begitu bukan berarti Filli menikmatinya. Filli melihat ke kanan kirinya, tiga orang wanita yang sedang berteriak kesakitan saat anus mereka disodok.

Ali kini merubah posisi Lia, dia mencabut penisnya dari lubang anus Lia, membuat wanita itu bisa sedikit bernafas lega. Tubuh Lia kemudian dibaringkan menghadap Ali. Kedua kaki Lia dibuka lebar-lebar sehingga terlihat lubang anus yang masih menganga lebar. Ali kemudian memegang penisnya yang masih sangat tegang, kemudian digesek-gesekkan ke bibir vagina Lia.

Mendapat perlakuan demikian, tanpa sadar badan Lia menggelinjang, ada rasa geli disana. Ali tak ingin berlama-lama, dia kemudian menekan penisnya hingga kepala penisnya masuk menyeruak ke vagina Lia.

“Hhmmmpphh.”

Lia terpekik perlahan. Kali ini bukan sakit yang dia rasakan, tapi ada sedikit rasa nikmat disana. Meskipun liang vaginanya masih cukup kering, namun Ali yang hanya memasukkan sebatas kepala penisnya, lalu menggoyangnya pelan mau tak mau membuat birahi Lia perlahan naik.

Ali bahkan tak lagi memegangi kedua kaki Lia. Kini tangannya bermain di kedua payudara Lia, di kedua putingnya. Jemarinya dengan perlahan memilin-milin kedua puting itu, membuatnya semakin mengeras. Lia sendiri tak mengerti dengan keadaan ini. Sudah jelas dia disetubuhi oleh pria yang sama sekali tidak dikenalnya. Seharusnya dia menolak, terlebih pria itu baru saja menyakiti lubang belakangnya, namun nyatanya perlakuan Ali yang kali ini berubah lembut justru membuainya.

Kepala penis Ali masih bergoyang pelan di kemaluan Lia, yang terasa mulai basah. Bibir Ali kini sudah berada di dada Lia, lidahnya memainkan puting Lia yang semakin mengeras. Rangsangan yang diberikan Ali rupanya membuat gairah dalam tubuh Lia semakin tak terkendali, hingga tanpa sadar dia menggerakan pinggulnya. Tangan Lia bahkan juga mulai memeluk pinggang Ali.

Gerakan yang dibuat Lia ini diimbangi oleh Ali, yang akhirnya membuat penis Ali sedikit demi sedikit semakin dalam memasuki liang vagina Lia. Lia sudah tak sadar penis siapa yang sedang memasuki tubuhnya, yang dia tahu adalah penis ini begitu besar dan nikmat, dia ingin lebih nikmat lagi saat ujung kepala penis ini menyentuh dinding rahimnya.

Cumbuan lidah Ali kini menyusuri leher Lia yang sudah basah oleh keringat. Sesekali dicium dan dijilati telinga Lia, membuat wanita itu semakin menggelinjang dan mempercepat gerakan pinggulnya. Lia tak lagi menangis. Matanya terpejam dan mulutnya tertutup erat, dia menahan untuk tidak mendesah, karena Lia sadar pasti lelaki ini tahu kalau dia sedang menikmati penisnya.

“Aaaaaggggghhhh.”

Mata Lia terbelalak, mulutnya terbuka membentuk huruf O saat dirasakan Ali menyentak penisnya hingga masuk sepenuhnya di vagina Lia.

‘Oh Tuhan, ini nikmat sekali’ batin Lia.

Dia tak dapat memungkiri penis pria ini begitu nikmat jika dibandingkan milik suaminya, dan beberapa pria yang pernah menikmatinya. Namun sesaat kemudian Lia kembali menutup matanya, dia tak ingin melihat wajah pemerkosanya itu. Pemerkosa? Ya, Lia masih berpikir kalau lelaki itu adalah pemerkosa, meskipun saat ini dia sangat menikmati setiap sodokan dari pria itu.

“Eempphh.. Emmphhh.. Eeemphh.”

Lia mengerang tertahan karena memang saat ini mulutnya kembali tertutup rapat. Ali yang melihat itu tersenyum saja, dan semakin semangat untuk mengayuh kenikmatan di atas tubuh Lia. Lia yang saat ini memejamkan matanya, semakin menikmati permainan Ali karena dia membayangkan tubuhnya sedang disetubuhi oleh pria yang dia sukai. Bukan suaminya, tapi Lia sedang membayangkan tubuhnya sedang disenggamai oleh suami dari sahabatnya sendiri.

Sementara itu di sebelah mereka nampak Nadya sudah tidak lagi mengeluarkan teriakannya. Bukan karena menikmati, namun dirinya sudah terlalu lelah berteriak, tenggorokannya sudah sangat serak. Tubuhnya kini hanya pasrah menerima setiap sodokan dari Toro di anusnya. Dia masih menungging, kepalanya yang masih tertutup kerudung menempel di kasur menghadap ke arah Lia yang sedang disetubuhi oleh Ali.

Tangan Toro begitu kasar meremasi payudara Nadya yang kini semakin memerah. Air matanya belum berhenti mengalir, namun dia sudah tak punya tenaga lagi untuk melakukan apapun sehingga hanya pasrah saja. Sesekali erangan lirih masih terdengar dari mulutnya saat tusukan penis Toro dirasa begitu menyakiti tubuhnya.

Toro memang begitu terobsesi untuk menyetubuhi, atau lebih tepatnya menyodomi wanita seperti Nadya. Seorang wanita alim yang senantiasa berpenampilan tertutup. Dia tak peduli wanita itu sudah menikah atau masih perawan ting-ting, namun yang penting baginya adalah lubang anus wanita itu masih sempit.

Entah sudah berapa wanita yang menjadi korban kebiadaban Toro ini. Mulai dari gadis SMP hingga seorang istri pejabat yang masih sangat cantik pun pernah menjadi korban sodominya. Toro memang pilih-pilih untuk menikmati mangsanya. Dia lebih memilih wanita yang berpenampilan tertutup, namun dalam kasus-kasus tertentu, wanita yang tak berkerudung pun dia sikat juga. Biasanya wanita tak berkerudung yang dimangsa Toro bukanlah anak sekolah atau ibu rumah tangga, tapi lebih kepada wanita-wanita karir, entah itu pegawai kantoran, atau penegak hukum.

Dan kini dia mendapatkan lagi seorang mangsa yang berkerudung, yang berprofesi sebagai pegawai negeri, dan merupakan istri dari seorang pria. Dan lagi, wanita ini memiliki lubang anus yang masih sangat sempit. Karena itulah Toro benar-benar ingin menikmati sepuasnya tubuh Nadya, sehingga cenderung menyodominya dengan brutal.

Toro tak memikirkan apa yang dirasakan oleh wanita yang dia sodomi. Selama ini dia hanya mengejar kenikmatannya sendiri. Bahkan semakin menderita wanita itu semakin nikmat yang dirasakan oleh Toro. Memang tak pernah dia menyiksa secara berlebihan seperti mencambuk atau memukuli, namun dengan kemaluannya yang besar itu sudah cukup untuk menyakiti lubang belakang wanita manapun.

Di samping mereka lagi, Filli dan Joni pun sudah berubah posisi. Filli saat ini sedang menduduki penis Joni. Penis itu kini sudah berpindah kembali ke vagina Filli. Kedua tangan Filli bertumpu pada dada Joni yang berbulu lebat. Pinggul wanita itu sudah bergerak naik turun perlahan, wajahnya menyiratkan sebersit kenikmatan.

Kedua tangan Joni pun tak mau tinggal diam dengan meremasi kedua payudara Filli yang masih sekal. Jari-jarinya pun tak lupa memilin kedua puting Filli, membuat wanita itu menggigit bibir bawahnya menahan kenikmatan. Joni tak menggerakan pinggulnya sama sekali, dia ingin Filli yang bergerak mengikuti luapan birahinya.

Joni paham bahwa sedari sadar dari pingsannya tadi, meskipun mulutnya menolak, berteriak dan menangis namun tubuh wanita ini tak bisa membohonginya. Vagina Filli yang kini sudah sangat basah menjadi bukti bahwa wanita ini sedang menikmati tubuhnya yang dilecehkan.

Penis Joni kini sudah bersarang di vagina Filli. Tidak adanya gerakan dari Joni membuat vagina Filli semakin gatal saja rasanya, hingga mau tak mau dia sedikit menggerakkan pinggulnya untuk sedikit mengurangi rasa gatal itu, dan memancing Joni untuk ikut bergerak juga. Namun Joni sama sekali tak tergoda untuk bergerak, bukannya dia tidak menikmati vagina Filli yang sedang meremasi penisnya, namun karena dia ingin Filli benar-benar total menggerakkan badanya menikmati persetubuhan ini.

Begitulah Joni jika menaklukan wanita. Banyak wanita yang jatuh ke dalam pelukannya, akhirnya total menyerahkan dirinya karena sudah tak bisa lagi lepas dari kenikmatan yang diberikan oleh Joni. Memang pada awalnya mereka dipaksa dan diperkosa, tapi itu hanya awal saja, setelahnya beberapa dari wanita itu bahkan dengan sadar mendatangi Joni, dan meminta untuk disetubuhi.

Kali ini Joni ingin melakukan hal yang sama kepada Filli, dan nampaknya sebentar lagi akan berhasil. Filli terlihat begitu kikuk karena pancingannya tak termakan oleh Joni, malah tangan Joni yang semakin intens membelai dan merangsang payudaranya. Filli semakin blingsatan, hingga akhirnya dia menggerakkan pinggulnya semakin kencang. Filli menatap wajah Joni yang tersenyum penuh kemenangan, kemudian mendekat dan membisikan sesuatu kepada Joni.

“Brengsek kamu mas, apa yang kamu mau hah?” bisik Filli di telinga Joni, sambil pinggulnya bergoyang semakin cepat.

“Haha, jadilah binal mbak, ayo puaskan dirimu,” jawab Joni sambil tangan kirinya memeluk kepala Filli dan lidahnya menjilati telinga wanita itu.

Joni terus menerus merangsang Filli namun pinggulnya masih sama sekali tak bergerak, membuat Filli sangat jengkel, dan akhirnya menghentakkan pinggulnya semakin keras karena diakui olehnya, vaginanya semakin gatal akibat rangsangan dari Joni. Liang vaginanya menginginkan untuk lebih digaruk lagi, hingga rasa gatal itu berubah menjadi kepuasan, itulah yang saat ini sedang dikejar oleh Filli.

Dia sudah tidak peduli lagi dengan keadaan di sekitarnya. Saat ini Lia sedang berusaha menutup erat mulutnya menahan desahan kenikmatan yang diperolehnya dari Ali, sedangkan Nadya sudah tak mampu lagi berteriak meskipun sampai saat ini masih disodomi dengan sedemikian kasar oleh Toro. Sementara itu adiknya Renata, saat inipun juga masih berteriak kesakitan akibat permainan kasar dari Markus.

Filli sudah tak memperhatikan yang lainnya. Dia kembali menegakkan badannya, menumpukan kedua tangannya di dada Joni, kemudian pinggulnya bergerak maju mundur, naik turun dan sesekali memutar. Tangan Joni kembali meraih kedua puting Filli dan memilinnya, membuat Filli semakin liar gerakannya.

“Aahh aahhhh ahhhh.”

Tak malu lagi Filli mengungkapkan kenikmatan yang dia peroleh dengan desahannya, terlebih saat ini dia rasakan pinggul Joni sudah mulai bergerak, membuat penis panjang itu beberapa kali menyentung dinding rahimnya. Kenikmatan yang didapatkan Filli seolah bertambah, membuatnya mempercepat gerakannya.

Joni tak lagi memegangi payudara Filli, namun kini kedua tangannya sudah berada di pinggul Filli. Dia memang sengaja melepaskan kedua payudara itu karena ingin melihat bagaimana indahnya kedua payudara itu bergerak naik turun seirama dengan gerakan tubuh Filli.

Sementara itu, di samping mereka Renata masih begitu menderita. Tak hanya lubang anusnya yang disodoki dengan sangat kasar oleh Markus, namun Renata juga mendapatkan perlakuan kasar lainnya. Kedua pantatnya sudah sangat memerah akibat beberapa kali dipukul oleh Markus. Kepalanya pun kini terdongak karena rambut panjangnya dijambak dengan kasar oleh tangan kanan Markus, sedangkan tangan kiri pria itu berada di leher Renata dengan sedikit gerakan mencekik.

Hal ini tentu saja merupakan suatu penderitaan yang luar biasa bagi Renata. Markus memang suka menyiksa korban-korbannya. Hampir sama seperti Toro, semakin korbannya kesakitan, semakin puas lah dia. Tak jarang, ketika sedang menikmati korbannya dia menampar, memukul dan melakukan hal-hal lain untuk menyakiti korbannya, meskipun sang korban sudah pasrah tak memberikan perlawanan apapun karena takut dengan siksaan Markus.

Dan kali ini Renata yang menjadi korban. Lebih sial lagi sebab Markus menyetubuhinya dalam kondisi emosi karena targetnya dari awal tadi kini direbut oleh Toro. Markus tidak pernah suka apa yang menjadi kesenangannya diganggu orang lain, tapi kali ini dia tak bisa berbuat apa-apa karena dia sangat segan kepada Toro, orang yang dulu mengangkatnya dari jalanan sampai saat ini menjadi salah satu dari 4 pimpinan bandit yang disegani di kota ini.

Karena rasa segan itulah yang membuat Markus melampiaskan semua kemarahannya pada Renata. Tubuh telanjang Renata tersentak setiap kali penis Markus terbenam di lubang anusnya. Rambutnya yang dijambak dan lehernya yang dicekik membuatnya tak bisa berbuat banyak. Teriakannya juga sudah mulai berkurang karena kehabisan tenaga.

Sesaat kemudian melepaskan cengkraman tangannya dari leher Renata dan berpindah ke payudara yang menggantung indah. Diremas dengan sangat kasar payudara itu sehingga menimbulkan bekas merah. Teriakan Renata tak tertahan lagi mendapat perlakuan seperti itu.

Penis Markus masih dengan kasarnya menjelajahi tiap inchi permukaan liang anus Renata yang sebenarnya sudah berkali-kali dimasuki oleh pria selain suaminya. Namun sekali lagi, perlakuan kasar Markus padanya membuat semuanya serasa berbeda.

“Aahh anjiiiiiiing, enak banget boolmu pelacuurr, aaahhh.”

Markus pun mendesah dan mengeluarkan kata-kata kotor yang membuat Renata semakin jijik. Namun dia tak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa pasrah. Sejak pertama tersadar dari pingsannya Renata sudah langsung merasakan sakit yang luar biasa di lubang anusnya. Tangisnya langsung meledah, dan hingga saat ini air matanya pun belum bisa berhenti.

Dorrrr Dorrrr Dorrrr..

Keempat pria itu sempat berhenti dari aktivitas mereka, membuat keempat wanita yang sedang mereka gumuli bisa sedikit bernafas lega. Terdengar oleh mereka ada baku tembak dari luar gudang. Keempat wanita yang sedang digumuli ini berucap syukur, semoga itu adalah bantuan yang datang untuk menyelamatkan mereka.

“Bang, ada tembakan. Jangan-jangan ada polisi?” kata Ali yang sedang menindih Lia.

“Iya bang, gimana ini?” tanya Joni yang sedang berbaring diduduki oleh Filli.

“Tenang aja, anak buah kita kan udah banyak, dan lagian kalau anak buah kita kalah, kita masih punya senjata rahasia,” jawab Toro tenang, sambil pinggulnya mulai bergerak lagi menyodomi Nadya.

“Senjata rahasia apa?” tanya Markus yang sedari tadi terdiam.

“Boss kita udah nyiapin dua orang sniper. Mereka yang akan menghabisi polisi-polisi itu, haha,” jawab Toro yang semakin mempercepat gerakannya di pantat Nadya.

Ketiga orang lainnya nampak lebih lega sekarang, sehingga mereka melanjutkan kembali permainan mereka dengan para wanita itu.

***

Di luar gudang

Dorrrr Dorrrr Dorrrr..

Tiba-tiba saja Rio, Doni dan Karim menembakkan senapan serbu mereka ke arah preman-preman yang sedang berjaga di belakang gudang. Karena di bagian belakang ini tidak banyak yang menjaga, hanya sekitar 10 orang saja, maka dengan cepat mereka bertiga bisa mengatasinya.

“Cihuiiii, mampus kalian, cuma segitu doang? Haha,” ujar Karim kesenangan.

“Awal yang bagus bro, kena kepala semua, haha,” timpal Doni.

“Ada serangan di belakang, ada serangan di belakang,” teriak beberapa preman yang berada di kanan kiri gudang, membuat ketiga orang ini kembali waspada.

“Sekarang bang!” ujar Rio kepada Marto.

“Roger that,” jawab Marto, dan sesaat kemudian, dsiiiiing, sebuah peluru keluar dari senapan runduk Marto tanpa mengeluarkan suara.

Di detik yang sama, seorang yang berjaga di depan gudang, terhempas dengan kepala tertembus peluru. Sontak kawan-kawan di sekitarnya panik. Lalu tak lama kemudian seorang lagi yang berdiri tak jauh dari situ mengalami nasib yang sama.

“Di depan juga ada serangan!” teriak beberapa orang yang berada di dekat situ, membuat para preman itu kebingungan, mau ke depan atau ke belakang.

Para preman yang berada di depan gudang bersikap waspada. Mereka mencari-cari dimana lokasi penembak yang telah menewaskan kedua rekannya itu. Namun sesaat kemudian seorang lagi tertembak kepalanya dan jatuh tersungkur.

“Sniper, ada sniper, cepat cari tempat sembunyi,” teriak seseorang yang menyadari bahwa yang menyerang mereka adalah sniper.

Mendengar teriakan itu membuat para preman kocar kacir mencari tempat persembunyian. Sebagian langsung berlari untuk bersembunyi di balik mobil-mobil yang terparkir di area itu. Sebagian lagi berlari ke samping kiri dan kanan gudang, sekaligus menembaki para penyerang mereka yang muncul dari belakang gudang.

Marto yang melihat itu tersenyum, kemudian membidik tangki sebuah mobil di sebelah utara gudang yang digunakan untuk bersembunyi. Tak lama kemudian, BLAAAAMMM. Mobil itu meledak membuat orang-orang yang bersembunyi dibaliknya terlempar ke belakang, dan tewas. Belum sempat para preman itu bereaksi sebuah mobil lagi kembali meledak akibat tembakan dari Marto. Para preman yang bersembunyi di baliknya pun bernasib sama seperti sebelumnya.

Sementara itu Rio, Doni dan Karim bergerak ke sisi selatan gudang. Mereka bersembunyi di balik sebuah batu besar sambil terus menembaki para preman yang mulai mendekat ke arah mereka. Sasaran mereka adalah kepala dari preman-preman itu, sehingga langsung mati tanpa sempat memberikan perlawanan.

Dorrr Dorrr Dorrr

Para preman menyerang balik dengan menembak membabi buta karena tidak mengetahui posisi orang yang menyerang mereka, berbeda dengan Rio dan kawan-kawan karena menggunakan alat bantu pengelihatan di malam hari membuat membuat mereka bisa dengan tepat membidik lawannya.

Dorrr Dorrr Dorrr

“Aaaarrgggg.”

Dorrr Dorrr Dorrr

Beberapa saat baku tembak terjadi. Puluhan mayat preman bergelimpangan dengan kepala mereka berlubang tertembus peluru. Sementara di sisi utara gudang, selain mayat-mayat yang terkena ledakan mobil tadi, beberapa mayat preman juga tergeletak dengan kepala tertembus peluru yang dimuntahkan oleh senapan runduk Marto.

Para preman itu semakin kebingungan hingga asal menembakan senjatanya, tanpa hasil sama sekali. Sedangkan bagi Rio, Doni, Karim dan Marto sendiri, mereka justru semakin bersemangat untuk menghabisi kawanan preman ini. Hanya dalam waktu 15 menit, lebih dari 40 mayat tergeletak di sekitar gudang. Masih ada beberapa preman yang bersembunyi, menunggu saat untuk membalas serangan ini.

Preman-preman itu bersembunyi di tempat yang cukup menyulitkan bagi Rio, Doni dan Karim sehingga mereka tak bisa dengan mudah menembak. Namun beda dengan Marto, dia masih bisa melihat dengan jelas keberadaan preman-preman itu. Marto lebih santai sekarang, setelah mengganti magazine senapannya, dia kembali membidik para preman itu, dan menembakinya satu persatu.

“Kalian bisa bergerak maju sekarang. Ada 4 preman yang bersembunyi di balik mobil di depan kalian, tapi aku sulit membidik karena terhalang mobil lainnya, itu jatah kalian ya,” ujar Marto.

“Oke bang,” jawab Rio, kemudian mengajak Doni dan Karim bergerak perlahan.

Perlahan tapi pasti langkah ketiganya mendekati posisi yang diberitahukan oleh Marto tadi. Setelah mengatur strategi singkat, ketiga orang ini lalu bergerak cepat menyerbu 4 orang preman yang sedang ketakutan yang bersembunyi di balik mobil. Tanpa sempat memberikan perlawanan keempat pria itu pun diberondong peluru oleh Karim dan Doni, sementara Rio mengawasi keadaan sekitar.

Zleebbb, Craaasshhhhh.

“Aaaargghh”

BUG.

“Anjing! Rim, Kariiim!” teriak Doni saat tiba-tiba Karim tersungkur jatuh dengan kepala belakangnya berlubang. Darah mengucur deras dari lubang itu.

“Ada apa?” tanya Marto mendengar teriakan Doni.

“Karim kena tembak,” jawab Doni.

“Anjing, ada sniper. Bang Marto, cepat cari orang itu!” perintah Rio menyadari apa yang terjadi, kemudian buru-buru menarik tangan Doni untuk kembali bersembunyi.

Marto kebingungan, dia mengarahkan teleskop senapannya ke arah yang memungkinkan seseorang menembak mati rekannya itu. Dia kesulitan untuk mencari dan menemukan siapa yang menembak Karim. Saat dia masih kebingungan mencari, tiba-tiba saja, TAAANGG.

Ujung senapan Marto seperti terhantam sesuatu. Tidak sampai merusak, namun tentu saja hal itu sangat mengejutkan Marto. Hantaman itu cukup keras, seperti sebuah peluru yang ditembakan. Jangan-jangan itu sniper? Pikir Marto. Tapi sniper itu menembak dari arah utara, sedangkan Karim ditembak dari arah selatan. Berarti minimal ada dua orang sniper dari dua arah yang berlawanan.

Ini gawat. Lokasinya telah ditemukan. 10 menit rupanya menjadi waktu yang cukup bagi sniper lawan untuk menemukan lokasinya. Sial, hal ini sama sekali tak disangka olehnya. Bagaimana ini? Dia harus melawan dua orang sniper dari dua arah yang berbeda, sementara di area gudang sana masih ada sekitar 15 orang preman lagi, sedangkan Rio dan Doni masih syok, terutama Doni karena tewasnya Karim tepat di depan matanya.

“Asuuu bajingaaann!” maki Marto.

“Kenapa bang?” tanya Rio terkejut mendengar Marto tiba-tiba memaki.

“Ada dua sniper Yo, satu yang menembak Karim dari selatan. Satu lagi dari utara, baru saja dia menembak dan mengenai senapanku,” jawab Marto.

“Apa? Menembak senapan abang? Berarti mereka sudah tahu lokasi abang?” tanya Rio.

“Sepertinya begitu,” jawab Marto singkat.

“Shiit!” giliran Rio yang memaki.

Rencana mereka kini menjadi berantakan. Memang sudah hampir 60 orang yang berhasil mereka habisi, dan hanya tersisa sekitar 15-20 orang lagi. Tapi kehadiran sniper ini sama sekali tak diduga. Mengatasi 15 orang lagi bukan perkara sulit bagi mereka, tapi dengan dua sniper ini? Bagaimana mereka harus mengatasinya?

***

Beberapa menit sebelumnya
Sekitar 10 km dari lokasi gudang

“Ah sial, itu para wartawan pake ngikut segala.”

“Mau gimana lagi ndan, mereka punya sumber orang dalam. Berita besar kayak gini kan yang mereka tunggu.”

Fadli sangat gusar karena sedari keluar dari halaman kantornya tadi iring-iringan mobilnya melewati beberapa mobil yang berlogo dan bertuliskan beberapa stasiun TV nasional. Entah siapa sumber orang dalam kepolisian yang mereka punya sehingga bisa dengan cepatnya mereka mengetahui perihal penculikan keluarga Wijaya ini.

Hal yang membuat Fadli gusar tentu saja sudah menjadi rahasia umum bahwa meskipun sudah dilarang dan diberikan batasan-batasan tertentu, wartawan kerap kali bertindak jauh melampaui batasan dan kewenangan mereka untuk mendapatkan berita yang eksklusif.

Meski membahayakan nyawa namun mereka seolah tak peduli, dan ketika diperingatkan lebih keras mereka malah menuding aparat menghalang-halangi mereka dalam menghimpun berita, dan pada akhirnya mereka mengarahkan opini publik sehingga masyarakan menilai aparat penegak hukum sengaja menghambat kerja wartawan.

Namun bila sesuatu yang buruk menimpa mereka kembali aparat hukumlah yang kena getahnya. Masyarakat tidak mau tahu dan menyalahkan aparat kenapa sampai tidak bisa melindungi para wartawan yang notabene adalah anggota warga negara yang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perlindungan dari polisi.

Sudah berkali-kali Fadli menghadapi wartawan yang seperti itu. Dan berkali-kali pula dia dibuat jengkel oleh para wartawan tersebut. Tapi mau bagaimana lagi, asalkan mereka bisa menjaga diri dan tidak mengganggu anggotanya selama bertugas dia masih bisa memberikan toleransi.

Fadli kembali memeriksa layar monitor tabletnya yang memperlihatkan peta GPS yang sudah ditandai dengan sinyal ponsel milik Ramon. Sekitar 10 km lagi mereka akan sampai di tempat itu. Fadli sudah berdiskusi singkat dengan anak buahnya, bahwa sepertiga dari pasukannya akan berada di titik 5 km dari lokasi gudang untuk menahan para wartawan agar tak bisa lebih mendekat ke gudang, dan sisanya bergerak ke gudang tempat diculiknya keluarga Wijaya.

BLAAAAMMM.. BLAAAAMMM..

Mereka semua terkejut. Terdengar dua kali ledakan yang cukup keras, dan sumber suara ledakan itu berasal dari arah gudang yang akan mereka tuju. Fadli dan rekan-rekannya dalam mobil saling berpandangan. Jika suaranya terdengar sampai sejauh itu, lalu bagaimana kondisi disana? Apa yang sebenarnya terjadi di tempat itu?

Benak mereka, terutama Fadli, dipenuhi oleh berbagai kemungkinan yang terjadi disana. Apakah sesuatu yang buruk telah terjadi kepada para sandera? Ataukah ada yang sudah mendahului mereka dan memulai pertempuran? Tapi siapa? Bukankan tidak ada bagian lain yang terlibat dengan misi ini? Bukankan mereka satu-satunya tim yang dikirim untuk melakukan misi ini? Kalau begitu, apa yang terjadi disana sehingga menyebabkan ledakan bahkan sampai dua kali?

“Iptu Danang, Iptu Darto, rencana berubah. Kalian berhenti dan tahan mereka disini. Nampaknya situasi di lokasi di luar perkiraan kita.”

Fadli menghubungi dua mobil paling belakang untuk memberikan instruksi kepada anak buahnya agar menahan para wartawan yang mengikuti mereka di titik itu, bukan di tempat yang sudah direncanakan sebelumnya.

“Siap komandan!” jawab Iptu Danang dan Iptu Darto.

“Yang lain segera menuju lokasi, tambah kecepatan!” perintah Fadli.

“Siap!”

Dua mobil paling belakang berhenti secara tiba-tiba membuat mobil-mobil yang membawa awak media itu pun ikut berhenti. Saat melihat empat mobil lainnya masih berjalan bahkan dengan kecepatan yang semakin tinggi sebenarnya para wartawan ini menyusul namun terhenti karena melihat para polisi berseragam dan bersenjata lengkap keluar dari kedua mobil itu membentuk barikade.

“Tahan posisi kalian disini. Kalian tidak diijinkan untuk lebih mendekat lagi, kondisi di lokasi sangat tidak kondusif.”

Iptu Danang memberikan penjelasan kepada wartawan tentang alasan mereka harus ditahan disini, yang tentu saja direspon dengan penuh kekecewaan oleh para wartawan itu. Mereka yang menginginkan mendapat berita eksklusif pun memutar otak dan mencari informasi kira-kira jalan lain yang bisa mengantarkan mereka untuk lebih mendekat ke lokasi ledakan tadi, namun sia-sia karena jalan ini merupakan akses satu-satunya menuju gudang itu.

Sementara itu rombongan mobil yang melanjutkan perjalanan akhirnya berhenti sekitar dua kilometer dari lokasi gudang. Fadli tidak ingin mengambil resiko dengan membawa mobil lebih mendekat, siapa tahu pihak musuh punya alat pelontar granat yang bisa membahayakan mereka semua. Mendekati gudang dengan berjalan dan menyebar rasanya akan lebih aman bagi mereka.

Setelah membagi tim, Fadli pun menginstruksikan anak buahnya untuk bergerak perlahan dan hati-hati. Dia yang tadinya terburu-buru, saat tiba disini dan mendengar suara baku tembak, meyakini bahwa benar-benar ada yang telah mendahului mereka dan memulai pertempuran. Siapa itu Fadli tidak peduli, tapi yang pasti dia berharap mereka adalah memang orang-orang yang akan membantunya menyelamatkan keluarga Wijaya.

***

“Marto, dengar baik-baik dan jangan bersuara, jangan dijawab

DEG. Tiba-tiba saja alat komunikasi yang terpasang di telinga Marto mengeluarkan suara. Suara ini asing baginya, bukan Rio, Doni apalagi Karim. Tapi siapa ini? Yang bisa masuk ke frekuensi mereka.

“Kamu tenang saja. Aku hanya bicara sama kamu, Rio dan Doni nggak akan dengar, karena aku sudah merekayasa frekuensinya. Mereka cuma bisa mendengar kamu, tapi nggak bisa mendengarku,” lanjut suara itu.

“Dengar baik-baik. Posisimu sudah diketahui, ada dua orang sniper yang sedang mengincar kamu. Jangan bergerak sedikit pun karena mereka sudah siap menarik pelatuknya jika ada gerakan dari kamu, jadi diam saja disitu. Aku sudah tahu dimana mereka, akan aku habisi sekarang. Dan nanti kamu bilang saja ke Rio dan Doni kalau kamu yang menemukan mereka dan sudah menghabisinya

Kemudian hening. Marto tak bisa berkata apa-apa. Dia masih bingung dengan apa yang terjadi. Siapa orang ini sebenarnya? Bagaimana bisa dia merekayasa frekuensi radio mereka dan membuatnya menjadi seperti ini? Marto tidak ingat dulu pernah mendapat pelatihan seperti ini, kalaupun mengacak sinyal, membajak dan menyadap perangkat komunikasi dia bisa, tapi merekayasa frekuensi radio seperti ini? Dia belum pernah tahu sebelumnya. Dalam keheningan itu, dalam waktu kurang dari semenit dari earphone yang terpasang di telingannya Marto seperti mendengar dua kali suara, seperti sebuah senapan berperedam yang sedang memuntahkan peluru.

“Oke beres, mereka berdua sudah aku habisi. Kamu sudah aman. Katakan juga pada Rio dan Doni mereka aman untuk beraksi lagi. Setelah ini, bersamaan dengan mereka masuk gudang, aku akan menghabisi empat orang pimpinan preman yang ada di dalam gudang. Soal Fuadi, Baktiawan dan Ramon, itu urusan kamu, silahkan kalau mau membalas dendam

Kembali Marto terkejut. Bagaimana orang ini bisa mengetahui sampai sedetail itu. Berapa orang yang sedang berada di gudang itu, siapa saja mereka, dan bahkan, orang itu tahu tentang dendam Marto. Tapi Marto segera menyadari untuk tak terlalu lama berpikir. Orang yang menolongnya itu pasti punya maksud baik, entah siapapun dia. Mereka harus bergerak cepat, agar tak sampai terjadi apa-apa pada para korban yang ada di dalam gudang.

Sementara itu di tempat persembuyiannya Rio dan Doni menunggu aba-aba dari Marto. Mereka belum bisa bergerak karena ada sniper yang mengincar mereka. Namun saat itu terlihat nafas Doni nampak berat, seperti orang yang kelelahan. Namun dia sama sekali tidak lelah, tetapi sedang menahan emosi karena sahabatnya sejak beberapa tahun ini tewas tertembak persis di hadapannya.

Dendam membuncah di dada Doni. Amarahnya tak terbendung, hanya dengan satu kata dari Marto dia akan bertidak, dia akan habisi semua musuh-musuhnya itu. Doni tak lagi bisa berpikir jernih, tak bisa lagi mengira-ngira berapa sisa musuh yang harus mereka habisi. Dia segera mengganti magazine senapan serbunya yang sebenarnya belum habis dengan magazine baru.

Rio terlihat tak menyadari perubahan pada diri rekannya itu. Dia masih bisa bersikap tenang, sikap yang telah menjadikannya terpilih untuk memimpin Vanquish. Saat ini Rio pun sedang menunggu kabar dari Marto, namun sekaligus dia sedang mengkalkulasi kira-kira berapa lawan yang tersisa dan dimana letak persembunyian mereka sehingga bisa melakukan serangan dengan lebih efektif lagi.

“Rio, Doni. Sniper mereka sudah disingkirkan. Kalian bisa lanjut sekarang, aku akan lindungi kalian dari sini,” ujar Marto, menyiapkan kembali senapannya.

“Oke bang, makasih. Ayo Don, hey Don, mau ngapain lu? Tungguin woy,” Rio menjadi panik karena tiba-tiba Doni bergerak keluar dari persembunyiannya dan berlari ke arah pada preman yang bersembunyi sambil menembakan senapan serbunya dengan membabi buta.

“Keluar kalian semuaaa anjiiiiing!. Kalian harus bayar kematian Karim!” teriak Doni sambil menembakkan senapannya dengan membabi buta.

Tindakan sembrono Doni yang begitu terpancing emosinya akibat kematian sahabatnya itu membuat Rio dan Marto memaki-maki sendiri. Teriakan Doni memang memancing para preman itu untuk keluar dan melakukan baku tembak secara terbuka sehingga lebih memudahkan bagi Rio dan Marto. Beberapa preman berhasil ditembak mati oleh Doni, sebagian ditembak oleh Marto dan Rio. Namun karena tindakannya yang ceroboh ini membuat Doni pun terkena tembakan di beberapa bagian tubuhnya, hingga akhirnya tak mampu lagi berdiri dan kemudian tersungkur, saat sebuah peluru menembus kepala, bagian belakangnya.

***

“Aaaahhh Ara, sepongan kamu enak banget sayang. Mulut kamu aja udah nikmat gini, gimana memek kamu, aaahhh.”

Fuadi nampak begitu menikmati saat penis besarnya keluar masuk di dalam mulut Ara. Kedua tangannya memegangi erat kepala Ara, dan pinggulnya bergerak maju mundur. Mulut mungil Ara benar-benar dipaksa untuk menerima penis Fuadi yang sedikit lebih besar daripada penis Budi suaminya.

“Hhaakkhhh Oohkkkhh kkkkhhhh.”

Sementara iyu terlihat sekali Ara sangat kesulitan bernafas. Matanya tertutup namun air mata deras turun dari sudut matanya. Tangannya berusaha untuk menahan gerakan pinggul Fuadi namun pria itu justru semakin mempercepat goyangannya. Berkali-kali Ara ingin muntah akibat rasa mualnya yang tidak tahan dengan bau dari pangkal paha Fuadi, namun karena kepalanya terus dipegang dengan erat membuatnya tak bisa bergerak lagi sehingga air liurnya yang terus keluar membasahi dagu hingga ke kerudungnya.

Dari telinga Ara terdengar tangisan ibunya kian kencang terdengar, membuat air matanya tak berhenti mengalir. Aini tak sanggup melihat putrinya diperlakukan seperti itu membuang muka ke aral lain, namun tangisnya justru semakin keras. Wijaya yang masih menahan rasa sakit di pahanya tak kuasa melihat anaknya dilecehkan oleh rekan seprofesinya itu.

Sakti yang sedari awal sudah terpesona oleh Ara, dan kini mengetahui bahwa Ara adalah adik kandungnya, semakin tak terima dengan perlakuan Fuadi. Berkali-kali dia mengumpat dan memaki pria itu yang justru mendapat hadiah pukulan dari Ramon di kepalanya. Budi yang semula bersikap tenang pun tangannya semakin keras mengepal. Ekspresi wajahnya sudah menegang menandakan emosinya sudah semakin meningggi, meskipun tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.

Setelah tadi terdengar suara baku tembak dan bahkan beberapa kali ledakan, kini suasana di luar nampak lebih tenang. Ada apa ini? Apakah bala bantuan mereka berhasil dikalahkan? Sepertinya sesuatu yang kurang baik sedang terjadi di luar, dan ini tentu saja diluar harapan Budi. Namun sekitar 5 menit kemudian, setelah cukup sunyi dan hanya terdengar suara desahan dari ruangan sebelah tempat keempat anak buah Bakti memperkosa empat wanita yang dikenal Budi, dan juga terdengar desah kenikmatan dari Fuadi karena sedang menodai mulut istrinya, kini suara baku tembak kembali terdengar, membuat dirinya kembali sedikit lebih tenang.

Suara baku tembak yang terjadi di luar gudang sudah tak sebanyak sebelumnya. Dia berasumsi bahwa jumlah para preman sudah berkurang sangat banyak, mungkin mereka semua sudah berhasil dihabisi oleh bala bantuan itu. Saat suara baku tembak semakin sedikit, tiba-tiba saja terdengar teriakan dari ruangan sebelah.

“Aaarrrhhhhh”

“Bang Torooo!” teriak Ali.

Semua terkejut dan melihat ke arah ruangan sebelah. Toro yang sedang asyik menyodomi Nadya tiba-tiba saja roboh, dan dari kepalanya mengalir darah dengan derasnya. Ali yang melihat itu segera mencabut penisnya dari vagina Lia untuk melihat Toro lebih dekat lagi. Namun belum juga sampai menyentuh tubuh Toro, tubuh Ali tiba-tiba tersentak, matanya melotot, dan kemudian dia roboh tak jauh dari tubuh Toro. Kepala bagian belakangnya berlubang tertembus peluru.

Melihat itu Joni dan Markus segera mencabut penisnya dari vagina dan anus Filli dan Renata, kemudian mengambil senjata mereka. Joni dan Markus nampak waspada, melihat tembok gudang yang terbuat dari beton itu berlubang, ada dua lubang. Tembok ini sangat tertutup, tapi bagaimana ada orang yang bisa menembak dengan sangat akurat, sangat tepat sasaran yaitu persis di kepala Toro dan Ali.

Joni dan Markus sempat melihat ke ruangan sebelah, menatap Fuadi, Baktiawan dan Ramon yang juga sama terkejutnya dengan mereka. Baktiawan bahkan sempat bergerak mendekat untuk melihat kondisi Toro dan Ali, namun baru dua langkah, tiba-tiba saja Markus terhempas ke belakang, lagi-lagi dengan kepala tertembus oleh timah panas.

Joni yang menyadari situasi berbahaya sedang mengancam nyawanya langsung menarik Filli dan menjadikannya tameng untuk melindunginya. Joni juga mengarahkan pistolnya ke arah kepala Filli, yang tentu saja membuat wanita itu begitu ketakutan. Namun karena tidak tahu dari arah mana orang yang akan menyerangnya, Joni hanya berpatokan pada tiga buah lubang yang ada di dinding, dan memposisikan tubuh Filli benar-benar menutupi badannya.

Cara itu sepertinya cukup berhasil untuk menahan orang yang mengincarnya. Hanya saja Joni benar-benar tak bisa bergerak karena takut akan menimbulkan celah sehingga dirinya akan mengalami nasib seperti ketiga orang rekannya. Lia yang ketakutan segera menghambur ke arah Nadya yang masih lemas dan memeluknya. Sementara itu Renata pun dengan sisa-sisa tenaganya bergerak ke sudut ruangan dan meringkuk disana.

Fuadi masih terdiam tak bergerak meskipun sebagian penisnya masih berada di dalam mulut Ara. Ramon pun bertindak waspada dengan tetap menodongkan pistolnya di kepala Wijaya. Dia heran, siapa yang menembak ketiga orang pimpinan bandit itu. Tembok gudang ini tentu saja tidak tembus pandang, tapi bagaimana bisa tembakan itu tepat mengenai kepala Toro, Ali dan juga Markus.

Filli yang begitu ketakutan badannya sangat gemetar dalam dekapan Joni. Pistol yang menempel di kepalanya bisa meledak sewaktu-waktu jika dia bergerak. Lia masih mendekap tubuh Nadya yang syok dengan adanya darah Toro yang sedikit memercik di tubuhnya. Lia pun tak kalah syoknya karena dia benar-benar melihat bagaimana kepala Ali tertembus oleh peluru dan darah muncrat dari lubang di kepalanya itu.

Di saat Joni sedang fokus mendekap tubuh Filli yang menjadi tamengnya, Baktiawan dan Fuadi yang juga terdiam menunggu apa yang akan terjadi, dan Ramon yang fokus memegang pistolnya meskipun tangannya mulai gemetar, Renata bergerak dengan perlahan ke arah Markus yang sudah terkapar untuk mengambil pistolnya, lalu mengarahkan ke punggung Joni yang berdiri beberapa langkah di depannya.

Dorrrr Dorrrr.

“Aaarrgggghhh.”

Dua kali tembakan telak bersarang di punggung Joni membuat dekapan tangannya di tubuh Filli terlepas dan Filli pun langsung ambruk. Joni sempat berbalik ke arah dan melihat Renata yang memegang pistol ke arahnya dengan tangan gemetar. Joni lalu mengarahkan pistolnya ke Renata.

“Anjiiing kau pecun, mati kauu!”

Zlebbb Zlebbb

“Aaarrgggghhh.”

Dorrrr Dorrrr.

“Aaarrgggghhh.”

“Renaaaaaaaaaaa!”

Joni yang hendak menembak Renata mengerang saat terlebih dahulu kepalanya tertembus peluru hingga dua kali. Meski begitu dia masih sempat menarik pelatuknya dan menembakkan pistolnya ke arah Renata. Beruntung Renata hanya tertembak di bagian kakunya, kondisi Joni yang limbung membuat tembakannya tidak mengenai bagian vital waniat itu.

Filli segera menghambur ke arah adiknya yang tertembak itu. Dia langsung memeluk Renata yang langsung tak sadarkan diri. Kondisi yang begitu letih serta rasa sakit di kakinya akibat tembakan Joni membuat Renata tak lagi mampu mempertahankan kesadarannya.

Baktiawan, Fuadi yang kini sudah melepaskan Ara serta memakai lagi celananya, dan Ramon tak bisa mempercayai apa yang mereka saksikan. Keempat orang anak buahnya kini mati mengenaskan. Wijaya, Aini, Sakti dan Ara juga terkejut dan bertanya-tanya apa yang terjadi. Hanya Budi yang ekspresinya berbeda. Meskipun kakak perempuannya tertembak di kaki, namun senyum tipis terkembang dari bibirnya. ‘Permainan selesai saudara-saudara, kalian kalah’ batin Budi.

BRAAAAKKK

Tiba-tiba saja pintu gudang terbuka bersamaan dengan sesosok tubuh yang bermandikan darah terlempar ke dalamnya. Nampak dari luar masuk seorang pria dengan pakaian serba hitam, rompi anti peluru dan penutup kepala yang juga berwarna hitam. Tangannya kini memegang sebuah G2 Combat Kal 9 mm dan menodongkan ke arah Baktiawan. Fuadi dan Wijaya mengenali seragam itu, seragam satuan rahasia kepolisian yang terbentuk atas usul dari Wijaya, seragam dari Vanquish.

Ramon yang saat itu memegang senjata langsung menodongkan pistolnya dan hendak pria itu, namun belum sempat menembakkan pistolnya, tiba-tiba saja PRAAKK.

“Aaaarrgghhhh.”

Pistol yang dipegangnya tiba-tiba saja terlempar hancur berantakan, begitu juga tangannya yang bersimbah darah. Ramon mengerang kesakitan memegangi tangan kanannya yang sudah tidak utuh lagi jarinya. Melihat itu semua terkejut, bahkan pria berseragam Vanquish itupun ikut terkejut. Pria itu kemudian membuka penutup kepalanya sehingga terlihatlah siapa dia sebenarnya.

“RIO???” pekik Wijaya.

“Hai om, maaf Rio kelamaan,” jawab Rio.

“Bang Rio, kok lama sih?” tiba-tiba terdengar suara Ara.

“Hehe, maaf ya dek abang telat, dua temen abang mati ditembak bandit-bandit itu, makanya agak lama. Kamu nggak papa kan dek?” tanya Rio yang dijawab Ara dengan anggukan kepala.

“Om? Abang?” ujar Fuadi kebingungan.

“Maaf ya komandan Fuadi Suseno, saya kesini untuk menjemput Om dan sepupu saya,” jawab Rio dengan santainya.

Belum sempat bereaksi dengan kejadian ini, tiba-tiba saja tubuh Fuadi yang masih menghadap ke arah Rio menerima tarikan di pundaknya, yang membuat tubuhnya berputar, lalu sesaat kemudian sebuah pukulan telak mendarat di rahang Fuadi.

Tak siap menerima pukulan itu membuatnya tersungkur. Dia mengerang kesakitan, tak disangka Ara yang dia pikir begitu lemah lembut bisa memukulnya setelak dan sekeras ini. Baktiawan melihat kejadian ini ternganga tak bisa berkata apa-apa lagi. Semua rencananya telah gagal. Semua anak buahnya telah mati, empat diantaranya bahkan mati di depan matanya. Ramon yang masih mengerang menahan sakit memegangi tangannya tak bisa berbuat apa-apa saat Ara bergerak mendekati keluarganya untuk membebaskan mereka.

Rio kemudian melihat ke arah ruangan sebelah dimana disana sudah tergeletak empat mayat pimpinan bandit yang dari dulu menjadi target polisi. Keempat mayat itu mati dalam keadaan tanpa busana, dengan kepala berlubang tertembus peluru, kecuali Joni yang di punggungnya terlihat dua bekas tembakan.

“Wuiih, hebat juga ya bang Marto,” ujar Rio.

“Apa? Marto?” tanya Ramon.

“Oh iya, Ramon, dapat salam dari Marto,” ujar Rio tiba-tiba.

“Apa maksudmu? Marto sudah mati!” jawab Ramon

“Oh ya? Lihat saja dada kamu itu,” jawab Rio sambil menunjuk ke dada Ramon.

Nampak sebuah sinar laser berwarna merah bergerak-gerak disana. Sinar itu datang dari senapan Marto yang sedari tadi memang tidak dia gunakan. Namun karena kini semua musuh sudah berhasil dihabisi, kini dia menyalakan sinar itu untuk menyapa Ramon. Perlahan sinar itupun bergerak naik dari dada Ramon menuju kepalanya, dan berhenti tepat dikeningnya. Badan Ramon membeku, tak bisa bergerak sama sekali.

Dia tak menyangka Marto masih hidup. Dia menyesal, harusnya dulu dia benar-benar memastikan bahwa orang itu benar-benar sudah mati. Namun tak disangkanya, setelah dihajar habis-habisan dan dilemparkan ke jurang, ternyata Marto masih hidup. Dan kini, meskipun tak bisa melihatnya, Ramon tahu Marto sedang membidikkan senapan ke arah kepalanya.

“Kata Marto, ini balasan untuk kamu yang udah ngelempar dia ke jurang, dan juga karena kamu sudah mengganggu Safitri,” ujar Rio tersenyum, sambil menempelkan dua buah jari tangan kanan di keningnya, seperti orang menghormat, lalu,

“Adios

Zleeebbbbbsssss.

Bersamaan dengan itu, sesuatu yang terasa sangat panas menembus kening Ramon, lalu dirasakannya wajahnya dilumuri cairan kental yang keluar dari lubang yang tercipta di keningnya itu. Tak lama kemudian dia roboh, nyawanya melayang.

“Baktiawan nggak sekalian bang?” ujar Rio melalui alat komunikasinya.

Baktiawan yang disebut namanya tiba-tiba menjadi tegang. Dia tahu apa maksud perkataan Rio itu. Tak lama lagi dia akan bernasib sama dengan Ramon, karena pasti Marto juga menyimpan dendam padanya karena telah mendepak dan menyingkirkannya dari tim. Seharusnya dia mengikuti saran Fuadi dulu, untuk menyingkirkan Marto setelah rencana ini berhasil. Kini Marto yang ternyata masih hidup justru berbalik melawannya, menghabisi semua anak buahnya dari jarak jauh, dan kini akan menghabisinya juga.

“Oh gitu, oke deh aku ngikut aja,” kembali Rio berbicara sendiri dengan alat komunikasinya, lalu menodongkan pistolnya ke Baktiawan.

Dorrrr Dorrrr

Dua kali tembakan dari Rio mengarah di paha Baktiawan membuatnya tersungkur berteriak menahan sakit. Rio kemudian mendekati Fuadi yang masih belum bangkit akibat pukulan telak dari Ara tadi, dan dengan dinginnya menembak kaki Fuadi. Kini kedua boss besar yang mengotaki kejadiaan ini tersungkur berteriak menahan sakit di kakinya.

“Ara, abang pergi dulu yaa. Om Wijaya, Rio pamit dulu, mau ngurus jasad Doni dan Karim. Bentar lagi polisi datang kok, nggak perlu dikasih tahu siapa yang melakukan ini ya, kalau ada media yang mau bikin berita, Om tahu lah apa yang harus dikatakan. Baktiawan dan Fuadi sengaja nggak kami bunuh, karena masih banyak yang harus mereka pertanggung jawabkan. Dan setelah ini saya serahkan semuanya sama om.”

Tanpa menunggu jawaban dari Wijaya Rio pun segera pergi.

“Rio tunggu dulu, Rioooo!”

Wijaya berteriak memanggil Rio, namun tak ada jawaban dan Rio tak muncul lagi. Bahkan beberapa saat kemudian terdengar suara ledakan lagi dari luar gudang. Rupanya Rio sengaja meledakkan sebuah mobil untuk mengalihkan perhatian polisi yang ternyata sudah mulai mendekati ke gudang itu, agar dia bisa pergi tanpa diketahui.

***

15 menit kemudian

Fadli yang memimpin pasukan Densus 88 anti teror untuk yang ditugaskan untuk menyelamatkan atasannya itu terbengong-bengong melihat kondisi di sekitar gudang. Begitu pula dengan para anggotanya. Bagaimana tidak, saat mereka datang begitu banyak mayat bergelimpangan disini, hampir semua dengan luka tembak di kepala mereka, beberapa sepertinya mati karena terkena ledakan.

Darah menggenang dimana-mana. Tubuh-tubuh yang terkena ledakan pun beberapa hancur tak karuan, terpisah antar bagian dan terbakar. Bau anyir darah sangat menyengat, bahkan untuk mereka yang sudah terbiasa dengan darah sekali pun. Tempat itu benar-benar dipenuhi dengan darah.

Beberapa saat mereka terdiam sebelum Fadli memerintahkan anak buahnya untuk memeriksa mayat-mayat itu. Semua mayat itu berpakaian biasa dengan penampilan yang urakan. Dia yakin kalau mayat-mayat itu adalah anak buah Toro yang sebenarnya menjadi sasaran mereka.

Melihat pintu gudang yang sudah terbuka, Fadli mengambil pistolnya dan berjalan mengendap-endap. Dia nampak waspada kalau saja di dalam masih ada yang membawa senjata dan mengancam keselamatan para sandera.

Namun saat masuk ke dalam gudang, kembali Fadli dan anak buahnya dibuat tercengang. Satu mayat lagi tergeletak disana dengan kepala berlubang tertembus peluru dan telapak tangan kanannya hancur. Dia melihat Wijaya sedang memeluk istrinya, sedangkan Budi dan Sakti meringkus dua orang yang sudah tak berdaya karena pahanya tertembak.

Dia melihat ke ruangan di sebelahnya, nampak Ara dan Filli sedang membantu Renata membalut lukanya, sedangkan Lia memapah Nadya untuk berjalan ke luar. Mereka semua sudah memakai pakaiannya lagi meskipun ala kadarnya. Di ruangan itu juga nampak empat mayat yang tentu saja dikenali oleh Fadli sebagai keempat mata angin. Empat orang pimpinan bandit di kota ini, sudah tak bernyawa dengan kondisi bersimbah darah dari kepala mereka. Fadli kemudian meminta anggotanya untuk memeriksa keadaan sekitar dan membantu para wanita itu.

“Komandan, anda tidak apa-apa?” tanya Fadli saat mendekati Wijaya, melihat paha atasannya itu terluka.

“Tidak apa-apa, tapi tolong panggilkan ambulan, cepat ya, ada satu orang lagi kena tembakan,” jawab Wijaya, yang langsung direspon oleh anak buah Fadli.

“Bagaimana keadaan di luar?” tanya Wijaya.

“Sangat kacau komandan, puluhan mayat bergelimpangan, darah menggenang dimana-mana. Siapa yang melakukan ini semua komandan?” tanya Fadli.

“Nanti aku ceritakan, tapi kalau ada media dan masyarakat yang ingin mengetahui, bilang saja ini adalah hasil kerja keras kalian,” jawab Wijaya.

“Lalu, dua orang ini? Pak Fuadi dan, Baktiawan?” tanya Fadli lagi.

“Mereka otak di balik semua ini. Tangkap mereka dan segera jebloskan ke penjara,” perintah Wijaya.

“Siap komandan.”

Kemudian dengan cepat anak buah Fadli menangkap dan membawa Fuadi dan Baktiawan. Ara juga terlihat keluar dari ruangan sebelah bersama Filli membantu Renata berjalan, sedangkan Lia memapah Nadya. Saat terdengar suara mobil mendekat mereka pun saling membantu memapah yang tak bisa berjalan kemudian segera keluar.

Ternyata selain polisi, ternyata wartawan dan juga warga masyarakat sekitar sudah sampai di area gudang ini. Awak media semula bisa ditahan oleh Iptu Danang dan Iptu Darto beserta anggotanya. Namun suara ledakan yang cukup keras ternyata juga mengundang perhatian warga sekitar sehingga mereka kesulitan untuk menahan. Akhirnya mereka pun mengalah dan mengijinkan wartawan dan warga mendekat dengan syarat tetap berada di belakang barisan kepolisian.

Namun sesampainya di tempat ini mereka begitu terkejut melihat pemandangan yang sangat mengerikan. Tentu saja beberapa orang tak melewatkan kesempatan ini untuk merekam dan mengambil foto-foto di sekitar gudang. Ini akan menjadi berita yang sangat menggemparkan. Disaat sebagian besar orang merayakan tahun baru, disini, di gudang ini, juga ada perayaan tahun baru, yang mereka sebut malam tahun baru berdarah.

Sebagian besar orang lainnya yang tidak tahan menyaksikan pemandangan itu segera menyingkir dengan menahan rasa mual di perut mereka, beberapa malah sudah muntah-muntah. Beberapa wartawan mencoba mendekat saat terlihat beberapa orang keluar dari gudang dengan dikawal oleh Densus 88, namun mereka segera dicegah sebelum bisa benar-benar dekat dengan orang-orang itu, sehingga hanya sempat mengambil beberapa foto saja.

Fadli yang menjadi pimpinan operasi ini kemudian menjadi sasaran wartawan. Berbagai pertanyaan yang diajukan oleh wartawan membuatnya sedikit gelagapan. Namun dia teringat pesan Wijaya kemudian segera memberikan keterangan agar tidak terjadi kesimpang siuran.

“Pak, apa yang terjadi di gudang ini pak? Mohon konfirmasinya,” tanya seorang wartawan kepadanya.

“Baiklah, akan saya jelaskan. Ini adalah peristiwa penculikan yang dilakukan kepada seorang anggota senior kepolisian beserta keluarga dan sahabat-sahabat mereka. Penculikan ini melibatkan keempat mata angin beserta anak buahnya, yang pada malam ini berhasil kami lumpuhkan semuanya,” terang Fadli pada para wartawan.

“Otak pelakunya siapa pak? Apakah tertangkap atau ikut terbunuh?” tanya wartawan.

“Ada dua orang yang menjadi otak peristiwa ini sudah kami tangkap dan akan kami mintai keterangan terlebih dahulu. Untuk siapa dan motifnya belum bisa kami jelaskan sampai kami mendapat keterangan dari keduanya,” terang Fadli pada para wartawan.

“Jadi motifnya belum diketahui pak? Bagaimana dengan para korban sendiri?” tanya seorang wartawan lainnya.

“Jelasnya seperti apa motif mereka kami belum tahu, kemungkinan ini adalah ancaman pada pihak kepolisian. Tapi semua sudah kami netralisir dengan kekuatan kami malam ini seperti yang saudara-saudara bisa lihat sendiri. Untuk korban ada dua orang terkena luka tembak, 7 orang lainnya selamat tanpa mengalami luka sedikit pun. Itu dulu yang dapat saya sampaikan, nanti kalau ada informasi yang lebih mendalam akan kami lakukan konferensi pers di Polda, terima kasih.”

Meskipun masih diberondong dengan pertanyaan-pertanyaan oleh para wartawan, Fadli segera pergi meninggalkan tempat itu setelah berpesan kepada anak buahnya untuk tidak membuat pernyataan apapun kepada siapapun terkait peristiwa malam ini.

***

Keesokan harinya

Di sebuah rumah sakit yang terletak bersebelahan dengan kantor kepolisian daerah di ring road utara Yogyakarta. Hari ini di rumah sakit itu ada kegiatan yang tidak biasanya. Semalam mereka menerima beberapa pasien. Tiga orang pria paruh baya dan seorang wanita dengan luka tembak di paha mereka masing-masing, dan juga tiga orang wanita yang dua diantaranya memakai pakaian dinas pegawai negeri sipil.

Tiga pasien perempuan itu mengalami traumatik akibat tindak pemerkosaan. Itulah yang diketahui oleh pihak rumah sakit, padahal yang sebenarnya mereka lebih trauma melihat bagaimana empat orang pria yang memperkosa mereka semalam mati dengan kepala mereka tertembus timah panas.

Ketujuh pasien itu kini dirawat intensif di ruang VVIP dan dijaga dengan ketat oleh pihak kepolisian yang bersenjata lengkap. Awalnya para dokter dan perawat tak tahu apa yang menyebabkan orang-orang ini masuk rumah sakit ini, namun setelah menonton berita di TV pagi ini baru mereka menyadari bahwa para pasien ini adalah korban-korban dari peristiwa malam tahun baru berdarah di sebuah gudang di kawasan Kulonprogo.

Berita ini pun dengan cepat menyebar dan menjadi buah bibir tak hanya di Jogja, namun sudah menyebar di seluruh negeri karena disiarkan oleh stasiun TV nasional. Terlebih peristiwa ini menyeret dua nama polisi senior dan juga seorang pengusaha sukses. Dan yang lebih mencengangkan lagi bahwa peristiwa ini diotaki oleh pengusaha sukses tersebut dan salah satu polisi senior yang saat ini sedang dirawat di rumah sakit internasional ini.

Siang ini nampak Ara dan Aini sedang menunggui Wijaya yang masih tertidur di ranjangnya. Budi sedang menjenguk Candra dan Dipta, dua orang rekannya yang ikut menjadi korban penganiayaan saat dirinya dan Sakti diculik. Budi bersyukur kedua rekan kerjanya ini tidak sampai mengalami hal yang fatal.

Sedangkan Sakti juga sedang berada di rumah sakit yang sama dengan Wijaya, namun saat ini dia sedang berada di sebuah ruangan untuk melakukan sebuah tes. Tes DNA, untuk benar-benar menyakinkan apa yang dikatakan oleh Baktiawan semalam. Sakti benar-benar syok menerima kenyataan ini, bahwa selama ini dirinya dibesarkan oleh seseorang yang menyimpan dendam kesumat kepada ayah kandungnya, dan berencana untuk membunuh mereka semua tadi malam. Beruntung semua itu urung terjadi karena adanya bantuan dari Rio dan teman-temannya, meskipun harus menelan dua orang korban jiwa.

Sementara itu, keempat wanita yang juga dirawat di rumah sakit ini, saat ini sudah ditunggui oleh suaminya masing-masing. Erwin sudah dari semalam berada disini menunggui Lia, tak lama kemudian Hendri menyusul untuk menunggui Nadya. Wildan baru tiba tadi pagi dan kini sudah berada di kamar Renata, sedangkan Taufik baru beberapa saat yang lalu tiba dari Surabaya dan saat ini sudah menemani Filli.

Belum banyak yang bisa dibahas karena keempat wanita ini memang masih syok. Hanya saja baik Budi, Ara dan Aini sudah memberi pengertian dan juga menceritakan secara garis besar apa yang dialami oleh keempat wanita ini. Reaksi Erwin, Hendri, Wildan dan juga Taufik tentu saja marah besar dan ingin langsung melabrak Fuadi dan Baktiawan yang kebetulan juga sedang berada di rumah sakit ini, namun tentu saja mereka jeri melihat polisi bersenjata lengkap yang menjaga kamar keduanya. Budi dan Ara pun hanya bisa menenangkan mereka dan mengatakan untuk bersabar, dan menyerahkan semua ini pada pihak yang berwajib.

***

Marto saat ini sudah berada di rumah Yani, rumah yang selama sebulan lebih menjadi tempatnya tinggal memulihkan diri dan berlatih. Rio sudah dari tadi pagi pergi. Setelah semalam mengemasi peralatan mereka dan mengantar Marto ke rumah Yani, mereka sempat beristirahat. Lalu pagi-pagi sekali Rio yang sudah bangun berpamitan kepada Marto karena harus segera mengurus jasad Doni dan Karim. Rio menitipkan semua perlengkapan tempur mereka semalam kepada Marto, dan memintanya untuk menyimpan terlebih dahulu, karena setelah ini mungkin Rio akan pergi dari Jogja dan nanti akan menghubungi Marto kapan dia akan kembali lagi kesini.

Rio sempat memuji-muji Marto karena semalam dengan luar biasa bisa melumpuhkan sniper yang telah disiapkan oleh Fuadi, dan juga dari tempat persembunyiannya bisa menembak mati Toro dan teman-temannya yang berada di dalam gudang. Rio tak bertanya bagaimana bisa Marto melakukan itu, mungkin karena dia terlalu senang karena misi mereka berhasil. Marto sendiri hanya menjawab semua itu dengan tersenyum.

Marto kini sedang beristirahat ditemani oleh Zainal. Sejak kepulangan Marto anak itu memang tak pernah lepas darinya. Meskipun tak menderita luka apapun namun terlihat keletihan dan rasa kantuk luar biasa dari mata Marto, sehingga segera setelah Rio pergi Marto segera saja menuju kamarnya untuk beristirahat ditemani Zainal, sedangkan Yani pergi ke dapur untuk menyiapkan makan siang untuk mereka.

***

Jam menunjukkan pukul 15.30 saat seorang dokter didampingi tiga orang suster dan seorang polisi bersenjata lengkap keluar dari kamar Fuadi untuk melakukan pemeriksaan. Kini mereka menuju kamar Baktiawan juga untuk melakukan pemeriksaan rutin. Setelah sempat diperiksa oleh polisi yang berjaga di pintu kamar, memastikan mereka tidak membawa benda-benda yang mencurigakan, mereka pun memasuki kamar.

“Kyaaaaaaaaaaaaa!”

Baru saja masuk tiba-tiba saja ketiga suster ini berteriak histeris mengejutkan semua orang termasuk Budi yang sedang berada di ruangan Wijaya. Budi pun segera berlari menuju sumber suara. Polisi yang berjaga di kamar Baktiawan terlihat tegang, seseorang diantaranya terlihat sedang menghubungi seseorang. Mereka yang mengenali Budi pun segera mempersilahkannya masuk.

Betapa terkejutnya Budi mendapati apa yang terjadi di ruangan Baktiawan. Pria itu tertidur di ranjangnya dengan mata terbelalak dan kening berlubang tertembus timah panas. Darah membasahi bantal dan kasur di sekitar kepalanya. Seseorang, entah siapa dan bagaimana, telah masuk ke kamar ini dan membunuh Baktiawan, tanpa seorang pun menyadarinya.

**

Bersambung

Pembaca setia Kisah Malam, Terima Kasih sudah membaca cerita kita dan sabar menunggu updatenya setiap hari. Maafkan admin yang kadang telat Update (Admin juga manusia :D)
BTW yang mau jadi member VIP kisah malam dan dapat cerita full langsung sampai Tamat.
Info Lebih Lanjut Hubungin di Kontak
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂

Daftar Part

By Kisah Malam

Kisah Malam adalah sebuah Website yang berisikan Novel Dewasa, Novel Sex, Cerita Sex, Cerita First Time, Cerita Bersambung, Cerina Menarik Lainnya. Dukung Terus KisahMalam.Com Dengan Cara Bookmarks, Dan Nanti Kan Konten Terupdate dari KisahMalam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *