Mengalahkan Gadis Part 14

Happiness And Resentment

POV Ara

Kami sedang bersantai di ruang keluarga, saat kulihat suamiku menerima telepon dari seseorang. Sepertinya dari seorang temannya, karena pembicaraannya terdengar cukup akrab dan asyik, bahkan sampai suamiku tertawa-tawa, aku sendiri jadi tersenyum melihatnya. Aku dengar juga suamiku seperti janjian mau ketemu dengan orang itu. Setelah menutup teleponnya, baru aku menanyakan kepada suamiku.

“Siapa mas?”

“Oh ini dek, si Sakti, dia ngabarin lagi ada di Jogja, baru nyampai katanya.”

“Sakti?” aku mengernyit, Sakti siapa ya? Apakah Sakti yang ‘itu’?

“Iya, Sakti, Saktiawan Mahendra, temenku kuliah, yang sekost sama aku dulu, empat sekawanku itu lho dek.”

Ternyata benar, Sakti yang itu, yang datang ke pernikahanku, dan dikenalkan oleh suamiku sebagai empat sekawan, bersama teman-teman suamiku yang lain yaitu Mas Ihsan dan Mas Dimas.

“Oalah Sakti yang itu tho, ya diajak ketemuan aja mas mumpung lagi di Jogja kan.”

“Iya dek, tadi udah kuajak kok, katanya sih besok mau ngabarin lagi, soalnya dia kesini kan karena ada urusan kerjaan.”

“Ya kalau sampai dia hubungi mas gitu kan berarti ada waktu kosong paling nggak, minta diajak main mungkin itu mas, hehe.”

“Haha iya dek bener juga kamu, entar sama kamu sekalian ya temenin mas.”

“Iya boleh aja kok,” jawabku tersenyum.

Aku mengingat-ingat kembali Mas Sakti, sahabat dari suamiku itu. Aku memang baru bertemu dan mengenalnya, beserta kedua sahabatnya yang lain saat mereka datang ke pernikahanku. Sebelumnya suamiku memang sudah pernah cerita tentang sahabat-sahabatnya itu, tapi aku belum pernah ketemu sebelumnya, ya baru pas pernikahanku itu saja, aku bertemu dan berkenalan dengan mereka ini.

Dari perkenalanku memang aku memiliki kesan yang baik pada mereka. Mereka terlihat seperti sahabat yang asyik. Mungkin samalah seperti aku sahabatan sama Marisa, sahabatku semasa kuliah yang dulu pernah bersamaku ketika untuk pertama kalinya aku ketemu dengan Mas Budi di foodcourt kampusku. Sekarang Marisa juga sudah pergi dari Jogja, dia kebetulan diterima bekerja di kota kelahirannya di Manado.

Kembali aku mengingat para sahabat suamiku, terutama Mas Sakti. Orangnya cakep, ya jujur saja lebih tampan dari suamiku. Kalau tinggi mereka hampir sama, perawakan tubuhnya pun begitu, tapi penampilan Mas Sakti ini boleh dibilang sangat menarik, flamboyan. Gayanya yang luwes dan murah senyum membuat semua orang sepertinya mudah sekali untuk bergaul dengannya, atau mungkin buat cewek-cewek, bisa mudah jatuh hati pada pria itu. Pesonanya itu, gimana ya, agak-agak menggetarkan gitu. Eh aduh, aku kok malah jadi kepikiran Mas Sakti ya?

Tapi memang, entah kenapa saat pertama kali bertemu dengan Mas Sakti, saat tak sengaja mata kami saling bertatapan, aku merasakan sesuatu, seperti ada sesuatu yang terasa bergetar di dalam diriku. Entah apa itu, aku nggak tahu. Tapi terasa sekali, ada getaran yang terasa aneh, yang tiba-tiba muncul dalam diriku. Nggak bertahan lama sih, setelah selesai pesta pernikahanku dan Mas Sakti pulang nggak lagi kerasa atau kepikiran, meskipun saat masih di pestaku sempat beberapa kali aku curi-curi pandang ke arah Mas Sakti, dan sepertinya dia juga begitu kepadaku.

Dan kini setelah beberapa bulan aku mendengar namanya lagi, apalagi kata suamiku dia ada di Jogja dan ingin bertemu, tiba-tiba getaran aneh itu muncul lagi. Terasa sedikit debaran yang nggak biasanya di dadaku. Ini apaan sih ya? Apa mungkin? Ah nggak lah, aku nggak boleh mikir macam-macam, karena memang ada sesuatu yang sangat penting yang mau aku sampaikan ke suamiku. Aku melihatnya juga sepertinya dia lagi melamun.

“Mas,,” kupanggil dia pelan tapi tak menyahut.

“Mas,,” kuulangi lagi dengan suara agak keras.

“Eh kenapa dek?” dia nampak terkejut, beneran melamun rupanya.

“Yee dipanggil-panggil malah ngelamun. Lagi mikirin apa sih mas?”

“Hehe, nggak kok dek, lagi mikirin kerjaan aja, kenapa dek?” jawab sambil nyengir.

“Eemm mas, aku, aku mau kasih tahu sesuatu ke Mas Budi, tapi mas jangan marah ya,” ujarku dengan hati-hati.

“Marah? Emangnya kenapa dek?” tanya suamiku penasaran.

Dia terlihat mengernyit heran ketika aku berkata seperti itu. Dia menatap tajam mataku penuh selidik, membuatku langsung menundukan wajahku menghindari pandangannya. Aku tak ingin dia membaca ekspresi wajahku, karena aku memang tak terlalu pandai berekspresi, terutama kalau sudah di depan suamiku ini. Biar saja dia menerka-nerka terlebih dahulu, apa yang kira-kira mau aku sampaikan.

“Iya, mas jangan marah, adek, mau bikin pengakuan,” ucapku dengan terbata-bata, dan wajahku semakin menunduk.

Aku sudah beberapa kali memilih kata-kata sebelumnya tadi, dan akhirnya itulah yang terucap dari bibirku. Suamiku terdiam tak menyahut perkataanku barusan. Entah bagaimana ekspresinya karena aku masih menunduk, menyembunyikan ekspresi wajahku sendiri.

“Pengakuan apa dek? Heh sini lihat mas, jangan nunduk gitu.”

Sepertinya dia udah makin nggak sabar. Diangkatnya daguku, namun aku segera menatap ke arah lain. Aku suka luluh dengan tatapan suamiku itu, makanya aku nggak ingin melihat ke matanya.

“Adek, adek mau ngaku, kalau adek,,,” kutahan kembali ucapanku.

“Kalau adek kenapa dek?” dia nampak semakin tak sabar.

“Adek mau ngaku, kalau,, kalau adek …..”

Kembali tak kulanjutkan ucapanku. Tapi tanganku meraih sesuatu dan aku serahkan benda kecil itu ke suamiku. Dia mengambilnya, memandangi sesaat, lalu memandangku. Kembali dilihatnya benda itu dengan tatapan tak percaya, lalu melihatku lagi. Aku tak kuasa menahan senyum dibibirku melihat ekspresinya yang seperti orang kebingungan, lucu sekali. Tapi tak lama kemudian senyumanku membuat diapun menjadi tersenyum lebar, menampakan deretan giginya yang rapi. Kembali dilihatnya benda itu, terlihat disitu ada dua garis yang nampak jelas.

“Ara, kamu hamil sayang?”

Aku hanya mengangguk, dan seketika terkaget ketika tiba-tiba saja suamiku ini melompat-lompat kegirangan sambil berteriak-teriak. Aku cukup sukses memberikan kejutan kepada suamiku. Kelakuannya ini lucu sekali, sampai aku tak kuat menahan tawa, hihi.

“Waaaa Alhamdulillaaaaaah, Alhamdulillaaaah.”

Kelakuan suamiku ini membuat pembantuku yang ada di kamar belakang tergopoh-gopoh menghampiri kami, namun melihat Mas Budi yang sedang melompat dan berteriak itu memegangi testpack, pembantuku hanya tersenyum melihatku. Dia memang sudah tahu sebelumnya karena sempat aku tanya-tanya padanya, namun kuminta untuk merahasiakannya dari suamiku dahulu, biarlah menjadi sebuah kejutan yang menggembirakan untuknya. Tak lama setelah itu pembantuku kembali ke kamarnya.

“Akhirnya kita dikasih kepercayaan sayang, aku akan jadi ayah, kamu akan jadi ibu,” matanya berbinar-binar.

“Iya mas, akhirnya doa kita terjawab, kita dikasih kepercayaan ini, alhamdulillah.”

Kami tak henti-hentinya berucap syukur. Doa dan usaha kami selama beberapa bulan ini telah terjawab. Setelah dua minggu aku telat datang bulan, aku mencoba untuk memeriksa diriku sendiri dengan testpack, yang sekarang dipegang suamiku. Sebelum yakin dengan itu, tadi siang tanpa sepengetahuan suamiku aku telah pergi ke dokter kandungan dan hasilnya memang positif aku hamil.

Suamiku sangat kegirangan, sambil melompat-lompat, sesekali dipeluknya diriku dengan erat, lalu dikecupinya keningku berkali-kali. Dia lalu mengambil ponselnya untuk menghubungi orang tuanya, dan kemudian orang tuaku juga. Kami benar-benar bahagia malam ini. Kabar yang sudah kami tunggu-tunggu akhirnya malam ini datang juga. Aku sampai tak sadar menitikan air mata melihat bagaimana girangnya suamiku.

Setelah selesai dengan kegirangannya yang agak berlebihan itu, dia kembali memeluk tubuhku, kali ini dengan sangat erat, namun terasa sekali penuh dengan kasih sayang. Dipandanginya wajahku dengan tatapan lembut namun hangat, yang selama ini selalu meneduhkan bagiku. Senyum kembali terkembang di bibir kami, lalu sesaat kemudian bibirnya bertemu dengan bibirku. Kami berciuman lembut sekali. Terasa sekali ungkapan kasih sayang dan kebahagiaan dari ciuman suamiku ini.

“Mulai hari ini, kamu harus lebih menjaga diri kamu ya sayang, demi janin di dalam perutmu ini,” ujar Mas Budi sambil mengelusi perutku.

“Iya mas, pasti.”

“Kamu jangan capek-capek lho dek, kalau kerja nggak usah diforsir ya, banyakin istirahat dan makanan-makanan yang baik nutrisinya buat kamu dan calon anak kita.”

“Hihihi, mas sekarang jadi cerewet ya, hehe.”

“Hehe, iya ya? Habis aku excited banget dek dengar kabar ini, hehe.”

“He’em masku sayang, pasti kok adek bakal jagain ini, mas juga jagain kami kan?” tanyaku.

“Pasti dong, pasti aku jagain kalian.”

Suamiku kembali mendekap mesra tubuhku. Dikecupnya keningku, lama sekali. Terasa kehangatan menjalar ke seluruh tubuhku. Bibirnya berlahan turun melalui mataku, hidungku, lalu terhenti ketika bibir kami bertaut. Bibir kami saling melumat dengan lembut. Saling membasahi permukaan masing-masing dengan air liur kami. Selama berciuman, tangan kami hanya saling memeluk tanpa melakukan gerakan lainnya, namun lama kelamaan pelukan kami semakin erat dan kedua tubuh kami semakin menempel menjadi satu.

Saat di luar sana sedang turun hujan dengan begitu lebatnya, dan petir yang ikut-ikutan menyambar, kami bercumbu mesra di ruang keluarga ini. Ciuman kami semakin panas. Tak hanya bibir yang bertaut, lidah kami juga kini telah saling membelit. Aku kini sudah mulai bisa mengimbangi permainan lidah suamiku. Aku yang masih benar-benar lugu di malam pertama kami dulu, sudah berkali-kali diajari oleh suamiku ini, hingga kini tak kalah panasnya membalas ciuman dari suamiku. Dan hal ini sangat membuat dia senang, katanya.

Dia sangat menyukai ketika ku makinkan lidahku mengait lidahnya sambil menari-nari, dan aku menyukainya ketika dia berhasil menangkap lidahku dan menghisapnya dengan kuat, seperti yang kami lakukan sekarang ini. Permainan bibir kami semakin basah, birahi kami semakin membuncah. Ada yang sedikit berbeda dengan ciuman suamiku malam ini, sepertinya birahi yang menguasai dirinya kini lebih besar, mungkin terpengaruh dari kabar yang baru saja dia dapatkan tadi. Akupun membalasnya semampu yang aku bisa, aku ingin memuaskan suamiku ini bagaimanapun caranya.

“Dek, kita lanjutin di kamar yuk?” ajak suamiku, dengan nafas yang mulai terengah.

Tanpa menjawab, aku hanya tersenyum sambil mengangguk. Kemudian suamiku menarik tanganku dan menuntun ke kamar kami. Sesampainya di kamar dia langsung menutup pintu dan dia menyergap tubuhku, sambil kembali melumat bibirku. Pelukannya kini hanya dilakukan oleh tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya mulai merabai bagian depan tubuhku. Sedangkan kedua tanganku sendiri masih melingkar di tubuhnya dan sesekali mengelusi punggung suamiku yang cukup kekar ini. Semua yang kami lakukan ini memang begitu panas penuh birahi, namun tetap dengan penuh kelembutan.

Masih dengan posisi berdiri dan saling berpelukan, lidah kami kembali bertaut dan saling membelit. Cumbuan panas di ruang keluarga tadi kami ulangi lagi disini. Ludah kami sudah bercampur tak karuan, membasahi daerah sekitar bibir kami. Tangan Mas Budi mulai aktif meremasi buah dadaku yang masih tertutup piyama dan bra. Dia meremasinya dengan lembut, membuat badanku menggigil kegelian, dan keenakan.

Tangan Mas Budi mulai bergerak meraih kerudungku. Dengan sangat perlahan dia mengangkatnya hingga terlepas dari kepalaku membuat rambutku terurai dengan bebasnya. Ciumannya berpindah ke telingaku, dikecupnya dengan pelan, kadang digigit kecil, membuat tubuhku semakin menggelinjang menahan geli. Desahan dari bibirku mulai terdengar seiring cumbuan suamiku di telingaku. Lidahnya ikut merangsek ke lubang telingaku, dan sesekali mengusap bagian belakangnya. Duh, aku nggak tahan kalau sudah diperlakukan begini, hingga tanganku semakin erat memeluk tubuhnya.

Gerakan tangannya kembali mengarah ke dadaku. Begitu sampai di bukit kembarku, kurasakan kembali remasan-remasan lembut disana. Bra yang aku pakai memang cukup tipis sehingga setiap gerakan tangan suamiku begitu terasa di tubuhku. Di saat tangannya meremasi buah dadaku, cumbuan lidah Mas Budi berpindah ke leherku. Dijilati dan diciuminya leher putihku membuat tubuhku semakin menggelinjang tak karuan. Beberapa kali bagian leherku digigit kecil oleh suamiku membuat beberapa tanda merah disana.

Aku memang nggak pernah keberatan dan mempermasalahkan Mas Budi yang suka membuat cupangan-cupangan di daerah dada maupun leherku, karena toh bakal tertutup oleh kerudungku sehingga nggak ada orang lain yang bakal tahu. Dan buatku sendiri itu justru menambah kenikmatan yang diberikan oleh Mas Budi. Aku sendiri sering membalas perlakuan suamiku itu, tapi tentu saja hanya di bagian dadanya yang tertutup oleh bajunya saja yang kubuat tanda. Aku juga tak ingin suamiku diledek oleh teman-temannya kalau saja terlihat bekas cupangan di lehernya.

Suasanya yang dingin akibat hujan deras di luar tak terasa di kamar ini. Kami membuat suasana di kamar pengantin kami ini menghangat dengan permainan lidah kami. Terlebih kini tangan suamiku mulai melepas kancing kemeja piyamaku satu persatu, hingga kini terlepas semua. Dengan sedikit gerakan aku membantunya hingga piyamaku tergeletak di lantai. Mas Budi juga dengan cepat memelorotkan celana panjang tipis yang kupakai, hingga kini aku hanya tinggal tertutup oleh bra dan celana dalam saja. Setelah itu Mas Budi juga dengan cepat melepaskan kaos dan celananya sehingga dia hanya tinggal memakai celana dalam saja.

“Udah siap untuk menu berikutnya dek?” tanya suamiku mengerlingkan matanya.

“Ihh dasar mas nakal, weeek,” kubalas dengan juluran lidahku, yang kemudian langsung disergap oleh Mas Budi.

***

POV Marto

Uuuuggh, rasanya berat sekali mataku untuk terbuka. Samar-samar terlihat cahaya putih di atasku. Tidak terlalu jelas, pandanganku masih kabur. Apakah aku sudah mati? Apakah aku sudah ada di surga? Atau neraka? Tapi ya masak neraka putih begini? Saat sudah mulai semakin jelas, kuedarkan pandanganku ke sebelah kiri. Aku tak mengenali pemandangan ini, entah sedang berada dimana aku ini, yang jelas aku sedang terbaring di sebuah ranjang tua. Dinding ruangan ini terlihat terbuat dari kayu dengan warna putih yang mulai kusam.

Terdengar suara hujan yang cukup lebat, dan petir yang juga ikut menyambar. Dari tirai yang sedikit tersibak di antara dinding kayu itu terlihat gelap di luar sana. Hari sudah malam sepertinya. Lalu perlahan kudengar ada suara, seperti suara anak kecil.

“Mak, mak e, mas e wes tangi iki mak. (Bu, ibu, masnya udah bangun ini.) ”

“Iyo le, omongono Mas Yo, pisan iki wedhange gawanen rono. (Iya nak, kasih tahu Mas Yo, sekalian ini minumannya bawa kesitu.)” sahut seorang wanita dari luar kamar.

Sekilas kulihat anak itu pergi keluar meninggalkan kamar ini. Aku tak sempat melihat wajah anak itu, tapi sepertinya bukanlah orang yang kukenal. Dari logat mereka sepertinya mereka orang Jogja. Berarti aku masih di Jogja, aku masih hidup. Tapi bagaimana aku bisa berada disini? Dan siapa ‘Mas Yo’ yang disebut wanita tadi?

Aku coba gerakkan badanku, aargh tapi rasanya sakit sekali, dan tak bisa kugerakkan. Kulihat kedua tanganku penuh perban dan plester, sepertinya cukup banyak luka disana. Dan kedua kakiku juga dibalut perban, tapi sepertinya balutan perbannya lebih tebal, dan seperti ada sesuatu yang keras menopang disana, apa jangan-jangan kedua kakiku patah? Sial, sama sekali tak bisa kugerakkan, malah hanya menimbulkan rasa sakit saja.

Selain rasa sakit di sekujur tubuh, rasanya tubuhku juga lemas sekali. Aku kembali mengingat-ingat lagi apa yang terjadi. Yang terakhir kali kuingat adalah tubuhku dilemparkan oleh Ramon dan anak buahnya ke jurang setelah aku dihajar habis-habisan oleh mereka. Aku berpikir itu adalah akhir dari hidupku, dan akan segera bertemu dengan mendiang istriku di akhirat sana. Ternyata aku belum mati, aku masih hidup.

Tak lama kemudian seorang anak kecil kembali masuk ke kamar membawakan segelas minuman dan meletakkannya di meja di dekat ranjang. Dia menatapku dan mengatakan, “monggo mas,” lalu kubalas dengan senyuman saja. Belum sempat aku berkata apa-apa anak itu segera berbalik dan pergi meninggalkanku. Tapi tak lama kemudian masuk lagi seseorang. Seorang lelaki berbadan tegap, dengan wajah cukup tampan dengan berewok tipis menutupi wajahnya. Sepertinya aku familiar dengan wajah ini, apakah dia ‘Mas Yo’ yang dimaksud oleh wanita tadi? Tunggu dulu, sepertinya aku memang mengenal wajah itu.

Pria itu hanya tersenyum, lalu mengambil kursi dan duduk di samping ranjangku. Dia terlihat membawa tas yang cukup besar, lalu diletakkan di sampingnya. Bukan tas, tapi lebih seperti kotak senjata yang familiar buatku. Pria itu membuka jaketnya sehingga tampak badannya yang kekar hanya menggunakan kaos singlet tanpa lengan. Ada sebuah tattoo yang sangat kukenali di lengan atasnya, karena aku juga memiliki tattoo yang sama, mungkinkah dia?

“Rio?” tanyaku.

“Baguslah, abang masih inget aku, bisa repot kalau kamu sampai ilang ingatan bang,” jawabnya.

“Jadi benar kamu Rio ya? Kamu sedikit berubah.”

“Hahaha jelas saja, udah 10 tahun kan, udah bukan ABG lagi aku bang,” tawanya.

“Gimana aku bisa disini? Apa yang terjadi terjadi Yo? Dan kamu sendiri, kenapa bisa ada disini?” tanyaku penasaran.

“Abang nggak ingat apa yang udah menimpa abang?” tanyanya.

“Ingat sih, aku dihajar sama orang dan dilempar ke jurang, tapi gimana ceritanya aku bisa ada disini?” tanyaku lagi.

“Aku yang bawa abang kesini, ini rumah terdekat dari tempat abang aku temuin bang. Nih minum dulu,” jawabnya sambil menyodorkan gelas yang dibawa anak kecil tadi.

“Ini kan tempat terpencil Yo, gimana kamu bisa sampai sini?” aku masih belum mengerti kenapa Rio sampai bisa menemukanku disini.

“Ceritanya panjang. Awalnya ada seseorang yang minta tolong sama aku, sepertinya sesuatu yang gawat. Karena masih ada hubungan saudara sama aku, akhirnya aku bantuin. Mulanya aku kira itu cuma ulah orang iseng aja, tapi setelah aku telusuri ternyata sesuatu yang lebih besar lagi, sampai akhirnya penelusuran aku ngebawa aku bisa nemuin abang.”

“Maksudmu apa sih Yo? Jangan bikin aku bingung lah,” aku terus terang malah bingung, penjelasannya ruwet sekali.

“Haha, dengerin dulu makanya. Setelah aku dimintain bantuan, aku sadap semua jaringan komunikasi keluarga orang itu, sampai akhirnya aku bisa lacak komunikasi dan keberadaan abang, dan juga aku bisa tahu abang bekerja sama siapa aja. Dan terus terang aku kaget, karena ternyata aku nemuin kasus yang lebih besar lagi, dan itu melibatkan seorang pengusaha besar sekelas Baktiawan Mahendra dan seorang perwira polisi seperti Fuadi Suseno,” terangnya.

“Dari situ aku mulai menyelidiki lebih dalam lagi. Baru aku tahu kalau ternyata mereka berdua menjalankan bisnis ilegal selama bertahun-tahun. Dan abang terlibat di dalamnya, sampai-sampai abang ikut ngebantuin mereka buat nyelakain Wijaya dan keluarganya. Sampai akhirnya abang sendiri mau mereka habisi setelah peran abang di kelompok mereka selesai. Yah, terus terang aja aku kecewa sama abang,” lanjutnya.

“Yah, emang beginilah aku sekarang Yo, bukan jadi polisi yang baik malah jadi bajingan,” jawabku.

“Bukan cuma itu aja yang bikin aku kecewa, tapi kok abang bisa-bisanya semudah itu dicelakai sama mereka, mana sadarnya lama banget lagi. Abang kan anggota Vanquish yang paling tangguh bang, masak mau mati segampang ini?” jawabnya.

“Ooo wuasu kowe Yo. Jadi kamu kesini karena dimintai tolong sama Wijaya?” tebakku.

“Haha, Wijaya aja belum tahu kalau aku ada disini,” jawabnya tergelak.

“Lalu, siapa? Anaknya? Atau menantunya?” tanyaku makin penasaran.

“Entar juga abang tahu sendiri.”

Sialan, Rio tak mau memberi tahuku. Kalau Wijaya saja belum tahu dia disini, pasti ini semua ada hubungannya sama Budi, menantu Wijaya. Padahal aku sempat memperingatkan Baktiawan agar berhati-hati dengan Budi, dan aku sempat berniat untuk menyelidikinya lebih jauh lagi. Tapi karena sibuk dengan Safitri aku justru lupa akan hal itu, dan kini malah dia sudah mendapat bantuan dari seorang polisi hebat sekelas Rio.

Di Vanquish dulu, Rio adalah seorang yang brilian. Dia adalah anggota terbaik kami. Dia menguasai banyak hal, kecuali ketahanan dalam survival dan menembak jarak jauh. Untuk kedua hal itu aku masih lebih unggul di banding Rio, namun di bidang lainnya, dia lebih baik dari kami semua. Aku tak menyangka bahwa Rio ternyata masih memiliki hubungan kerabat dengan Budi, hal yang benar-benar diluar perkiraanku ketika mulai merencanakan ini bersama Baktiawan.

Ah tapi aku tak peduli lagi sekarang. Sudah jelas Baktiawan ingin menyingkirkanku saat rencananya hampir terwujud. Aku ingin sekali membalas dendam padanya. Tapi dengan kondisiku sekarang, apa mungkin? Apa sebaiknya aku meminta bantuan pada Rio? Terlebih dia sepertinya berada di pihak yang berseberangan dengan Baktiawan. Selain untuk mencegah rencana buruk Baktiawan kepada Wijaya, jika kedok Baktiawan dan Fuadi terungkap pasti akan menjadi prestasi hebat buat Rio.

“Kenapa ngelamun bang? Pengen balas dendam sama Bakti?” tanyanya seolah bisa membaca pikiranku.

“Ya kamu tahu sendiri lah. Tapi dengan kondisiku ini mana mungkin aku bisa balas dendam sendirian.”

“Haha, tenang aja, aku bakalan bantuin abang, seperti janjiku ke abang 10 tahun yang lalu,” tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah menjadi serius.

Janji 10 tahun yang lalu. Aku mencoba mengingat-ingatnya lagi. Oh iya benar, 10 tahun yang lalu dia pernah menjanjikan sesuatu padaku. Tapi itu adalah janji untuk menghabisi orang-orang yang telah membunuh istriku. Tapi kenapa sekarang dia berbicara seperti itu? Apakah kematian dan penderitaan istriku dulu ada hubungannya dengan mereka? Atau mungkin, malah mereka sendiri yang menyiksa dan membunuh istriku? Tapi, bagaimana bisa?

“Apa maksud kamu Yo?” tanyaku, sedikit gelisah.

“Abang ingat janjiku 10 tahun yang lalu kan?”

“Iya, kamu janji akan membantuku menghabisi orang-orang yang telah menyiksa istriku hingga tewas, lalu apa hubungannya dengan semua ini?” tanyaku dengan bibir sedikit tergetar, mengingat kembali peristiwa itu.

“Aku akan penuhi sekarang bang. Bakti dan Fuadi adalah orang-orang yang bertanggung jawab atas kematian Mbak Astri!”

DEG! Jadi itu benar? Tapi bagaimana Rio bisa tahu? Dan kenapa pula mereka berdua yang menjadi dalang dari semua ini? Semua masih terasa membingungkan buatku, apalagi kepalaku yang memang masih sakit akibat ulah Ramon dan anak buahnya, membuatku makin pusing memikirkan semua ini.

“Dari mana kamu tahu itu?” tanyaku.

“Setelah aku tahu kalau abang kerja sama dengan mereka berdua, aku juga menyadap semua sarana komunikasi mereka. Mungkin abang nggak tahu kalau mereka punya ponsel lain lagi yang cuma mereka pakai untuk berkomunikasi berdua, merencanakan semuanya tanpa diketahui sama anak buahnya, termasuk rencana buat nyingkirin abang.”

“Dari pembicaraan mereka yang aku sadap, ternyata mereka sudah dari jauh-jauh hari merencanakan ini semua. Semua rencana ini berlatar belakang pada dendam masa lalu Baktiawan kepada Wijaya. Dendamnya udah bertumpuk, dari dendam ngerebutin cewek, sampai dendam karena Wijaya pernah berandil dalam penggerebekan salah satu bandar besar yang merupakan anak buah Bakti.”

“Bakti yang sedari awal berkomplot dengan Fuadi, yang menjalankan bisnis haram di Jawa Tengah itu, kemudian merencanakan untuk membalas dendam dan menghancurkan Wijaya. Fuadi sendiri sebenarnya juga punya dendam kepada Wijaya, tapi mungkin lebih kepada rasa iri, karena karir Wijaya yang lebih bagus daripada karirnya.”

“Namun mereka nggak bisa begitu aja melakukan itu. Posisi Wijaya yang sangat kuat disini membuat mereka harus merencanakan sesuatu yang lebih lagi, yang sifatnya perlahan dan berjangka panjang, agar nggak sampai kecium dan dicurigai pihak kepolisian, dan oleh Wijaya sendiri.”

“Rencana mereka makin berat ketika Wijaya mengusulkan kepada Kapolri waktu itu untuk membuat sebuah satuan khusus yang bersifat rahasia dijajaran kepolisian, dan akhirnya terkumpullah kita membentuk Vanquish. Bakti dan Fuadi beranggapan itu adalah akal-akalan Wijaya agar posisinya lebih aman dan ada yang akan melindungi dia.”

“Tapi rencana mereka harus tetap jalan, karena itulah pertama-tama yang harus mereka lakuin adalah memecah Vanquish. Abang yang dianggap adalah anggota paling tangguh oleh mereka bakal merepotkan jika berada di pihak lawan, tetapi akan sangat berguna bila berada dipihak yang sama. Karena itulah akhirnya mereka merencanakan untuk menculik Mbak Astri. Niat awal mereka hanya menculik dan memberikan tekanan kepada abang, tapi melihat paras Mbak Astri membuat Bakti yang pada dasarnya seorang penjahat kelamin menjadi tak tahan, dan kemudian, yah abang tahulah, meskipun saat itu Mbak Astri sedang hamil.”

Semua kini semakin terungkap. Jadi semua ini memang akal-akalan mereka berdua, dan sialnya sedikitpun aku tak pernah mencurigainya. Rio tak melanjutkan detail cerita selanjutnya, karena dia tahu itu akan membuatku semakin emosi, tapi aku seperti tahu, pasti Bakti dan Fuadi yang memperkosa dan menyiksa istriku hingga tewas.

“Mbak Astri jadi keguguran karena ulah mereka bang. Itu memang diluar rencana awal mereka, tapi justru menjadi awal dari rencana baru mereka. Membuat mental abang hancur, lalu mempengaruhi secara perlahan. Abang tentu ingat kan siapa pimpinan abang waktu itu disana? Fuadi. Dia juga yang membuat abang akhirnya menjadi pemerkosa juga dengan selalu memberikan tugas berdua saja dengan Ami. Itu semua sudah diseting sama mereka bang, untuk membuat abang menjadi orang yang sama sekali berbeda.”

Begitu rupanya? Bodoh sekali aku sama sekali tak menyadarinya. Yah, mereka benar-benar berhasil menghancurkan aku. Bahkan membuatku menjadi anak buahnya yang setia. Tapi, bagaimana Rio bisa mengetahui itu semua? Apa semua itu memang berasal dari hasil penyadapannya?

“Lalu, apa lagi Yo? Tolong kasih tahu aku semuanya.”

“Ya selanjutnya seperti yang abang tahu lah, merencanakan sesuatu yang jahat kepada keluarga Wijaya. Sampai kedua kakak perempuan dari menantunya pun kebawa juga. Sayangnya aku nggak sempat untuk mencegah itu semua, karena saat aku tahu ini mereka berdua sudah jatuh ke dalam jerat Bakti dan Fuadi.”

Ah iya, akupun bahkan sempat menikmati kedua kakak perempuan Budi. Sebersit penyesalan muncul di dalam benakku. Disusul dengan berbagai penyesalan-penyesalan lainnya, akibat dari kebodohan dan kerapuhanku selama ini, yang dengan begitu saja dimanfaatkan oleh Bakti dan Fuadi. Aku harus mencegah rencana mereka berdua terwujud, tapi bagaimana caranya?

“Rasanya aku udah jadi orang yang buruk sekali ya Yo? Aku harus menghentikan mereka, sekaligus membalas kematian Astri!” ujarku penuh emosi.

“Abang tenang aja, aku pasti bantuin abang. Tapi aku juga perlu bantuan abang sekarang.”

“Bantuan apa?” tanyaku.

“Aku mendengar dari hasil sadapanku, mereka sepertinya menyiapkan tempat khusus untuk pesta tahun baru, apa abang tahu tempat yang dimaksud itu?” tanyanya.

“Aku belum tahu, karena Ramon yang disuruh untuk mencari tempat pesta itu. Bukan pesta sebenarnya, tapi itu adalah sebuah acara untuk membalas dendam pada Wijaya. Pada hari itu mereka akan membawa Wijaya dan semua keluarganya, untuk melakukan pemerkosaan terhadap anak Wijaya dan juga kedua kakak perempuan Budi, di depan mata mereka, sebelum membunuhnya satu persatu,” jelasku mengenai rencana Bakti dan Fuadi.

“Jadi mereka semua akan dibunuh?”

“Ya, tapi mungkin untuk para wanita itu tidak akan dibunuh saat itu, mungkin akan dijadikan budak seks atau bahkan pelacur oleh mereka.”

“Hmm, kalau begitu kita harus segera mencegahnya ya,” ujar Rio.

“Iya, tapi kita harus segera menemukan lokasinya Yo, karena rencananya, Ramon akan mengerahkan banyak anak buahnya yang preman itu untuk mengamankan pesta mereka, dan itu pasti akan menyulitkan kita untuk menyelamatkan keluarga Wijaya.”

“Waduh, melibatkan preman juga ya? Jangan-jangan preman-preman itu juga bakal ikut memperkosa wanita-wanita itu bang?”

“Yaa, bisa jadi, karena itulah kita harus cepat bergerak.”

“Hmm, tapi kayaknya bakal seru kalau kita hadapi mereka pas hari H aja bang, udah lama ni aku nggak bertempur habis-habisan.”

“Apa maksudmu? Kamu pikir preman yang bakal mereka turunkan itu cuma sedikit, banyak Yo. Kamu mau menghadapi mereka sendirian?”

“Ya nggak lah bang, emangnya film India sendirian bisa ngalahin puluhan preman? Apalagi kaki abang patah gitu,” jawabnya.

“Lalu siapa lagi yang akan ngebantuin kita? Anak buah Wijaya?” tanyaku lagi.

“Nggak bang, ngelibatin mereka malah ribet nanti. Tenang aja, Doni dan Karim udah dalam perjalanan kesini kok.”

“Cuma mereka berdua aja?” tanyaku lagi.

“Yaah cukuplah bang, lagian anggota kita yang lain lagi ditugaskan buat hancurin tu pabrik sabu-sabu yang abang bikin di Timur dulu itu.”

“Loh, kok kalian tahu soal pabrik itu?”

“Ya dari penyadapanku. Tenang aja, aku yang nugasin mereka. Ini semua rahasia kok, pihak kepolisian belum tahu operasi ini. Mereka semua aku suruh ambil cuti, tapi sebenarnya untuk melaksanakan misi ini.”

Hmm, jadi Rio yang sekarang memegang kendali Vanquish. Ya baguslah kalau kepolisian tidak mengetahuinya, bisa rame ini nanti, dan malah bisa menggagalkan semuanya. Rasanya dengan bantuan dari Doni dan Karim, kami berempat bisa mengatasi anak buah Bakti. Doni dan Karim adalah anggota Vanquish yang paling hebat dalam pertempuran jarak dekat. Mereka ini maniak berkelahi, nggak akan berhenti berkelahi sebelum kehabisan darah. Rio ahli siasat, sedangkan aku akan melindungi mereka dengan keahlian menembak jarak jauhku. Tapi membutuhkan senjataku, dan tentu saja latihan, karena sudah terlalu lama aku tak menggunakan keahlianku ini.

“Aku butuh senjata dan latihan Yo, waktu kita nggak banyak, dan aku sudah terlalu lama nggak menembak jarak jauh.”

“Haha, tenang aja bang, semua udah aku siapkan. Kotak ini milik abang yang dulu abang tinggalin waktu pergi dari Jakarta, tapi isinya udah aku ganti dengan yang paling baru. Dan tempat latihan, selama abang pingsan, semua udah aku siapin. Mulai besok abang bisa latihan, tempat ini bagus kok buat latihan. Aku bakal kembali ke kota, mantau situasi.”

Aku melihat kotak yang ada di samping Rio. Rupanya dia sudah mempersiapkan semuanya. Baiklah kalau begitu, Baktiawan dan Fuadi, tunggu saja, kepala kalian pasti akan aku pecahkan.

“Okelah bang, istirahat dulu, biar aku minta ibu itu buat nyiapkan makanan buat abang. Si anak kecil tadi yang akan bantuin abang latihan besok. Aku tinggal dulu ya bang,” pamit Rio, kemudian memakai kembali jaketnya dan beranjak dari kursinya hendak meninggalkan kamarku.

“Tunggu sebentar,” sergahku.

“Ada apa?” tanyanya.

“Tolong kamu kasih tahu aku, siapa yang meminta bantuan sama kamu?” tanyaku penasaran, dan membuat Rio tersenyum simpul.

“Kenapa emangnya bang?” tanyanya lagi.

“Aku pengen tahu aja, secara nggak langsung dia udah nyelametin hidupku.”

Sekali lagi dia hanya tersenyum, tanpa menjawab. Makin kuat dugaanku kalau kemunculannya adalah karena Budi.

Ah iya Safitri, bagaimana kabarnya dia ya?

“Hey tunggu,” ujarku saat Rio hendak melangkah.

“Apa lagi bang? Safitri?” tanyanya. Sial, dia bisa menebak pikiranku.

“Iya, kamu tahu keadaannya?”

“Maaf bang, aku nggak sempat melindunginya,” jawabnya.

“Maksudmu?”

“Ramon. Abang tahu lah kelakuan Ramon seperti apa. Aku telat menyadari keberadaan Safitri dan nggak sempat melindunginya. Aku baru tahu keesokan harinya setelah Safitri pulang ke rumahnya. Sekali lagi maaf bang,” pungkasnya, lalu benar-benar pergi dari kamar ini. Bangsat kau Ramon, bahkan Safitri kau ambil juga, aku nggak bisa biarin ini.

Tapi masih ada yang mengganjal di pikiranku. Bagaimana Rio bisa tahu rencana Bakti dan Fuadi sampai sedetail itu. Bagaimana dia bisa tahu rencana yang bahkan dibuat sekitar 10 tahun yang lalu? Bagaimana dia tahu tentang detail penculikan istriku? Apakah Bakti dan Fuadi membahas itu sekarang? Rasanya tak mungkin. Entah mengapa, tapi sesuatu dalam diriku mengatakan masih ada hal yang janggal. Naluriku sebagai seorang mantan polisi mengatakan ada sesuatu yang masih disembunyikan oleh Rio, tapi apa?

***

POV Ara

“Ouuggh masssshh,” lenguhku saat lidah basah suamiku menyusuri kedua buah dadaku. Kini posisiku sudah terlentang di ranjang dengan kondisi polos tanpa busana, pun dengan suamiku.

Lidah suamiku mulai memainkan puting payudaraku yang sudah semakin keras akibat rangsangan-rangsangan yang dia berikan. Beberapa titik di leher dan dadaku juga sudah nampak tanda-tanda merah berkat cupangan Mas Budi, sementara aku hanya bisa membalas dengan dua tanda merah di dadanya.

Kini bibir dan lidahnya memainkan putingku kiri dan kanan bergantian. Dihisapi dan dijilatinya, kadang dalam gigitan lembutnya ditarik pelan putingku hingga aku semakin tak kuasa menahan setiap desahanku. Kedua tanganku hanya bisa meremas dan mengacak-acak rambutnya. Hisapannya kurasakan kadang lembut, kadang kuat, tapi tidak kasar. Suamiku memang tak pernah memperlakukanku dengan kasar ketika kami berhubungan, dan itu benar-benar nikmat sekali buatku.

Tangannya masih aktif meremasi kedua payudaraku saat mulutnya mencucupi putingku. Tubuhku semakin menggelinjang tak karuan. Perlahan cumbuannya turun ke perutku, dan berhenti di pusarku. Lidahnya menjilat-jilat disana. Oh Tuhan, geli sekali, sampai-sampai terasa aku ingin pipis. Namun tak lama gerakan kepalanya semakin turun, dan kini telah sampai di belahan sempit di pangkal selangkanganku. Tak menunggu waktu lama hingga lidah itu mengusap bibir vaginaku. Terasa begitu hangat, dan geli.

“Aaaaahhhh sayaaaangg, geliiiii masssss,” desahku makin keras.

“Sluuuurp, sluuuurrp,” hanya itu yang terdengar dari bibir suamiku.

Lidahnya mencoba menerobos bibir vaginaku, sementara kedua tangannya masih meremas kedua buah dadaku. Kurasakan cairan cinta di vaginaku semakin membanjir saja mendapatkan rangsangan darinya. Belum lagi sewaktu lidahnya menemukan bulatan kecil di antara bibir vaginaku dan kemudian menjilatinya, menghisapnya pelan membuat birahiku makin naik dan naik.

“Maaaasshhh udaaahhh, masukin maaass, adek nggak tahaaaannn,” pintaku.

“Hehe, udah nggak tahan ya sayang, basahin dulu dong punya mas,” jawab suamiku.

Aku segera beranjak bangun, namun masih terduduk di ranjangku. Suamiku berdiri tepat di depanku, dengan penisnya kini tegak mengacung di depan wajahku. Satu-satunya penis yang pernah kupegang dan menjelajahi setiap sudut rongga kewanitaanku.

“Heh, Budi cilik, kamu kok nakal banget sih,” ujarku sambil menyentil gemas batang itu.

“Auuh dek, kok disentil sayang?” protes suamiku.

“Hehe, habisnya nggemesin banget sih mas,” jawabku.

“Kamu suka sayang?” tanya suamiku.

Tak kujawab, hanya tersenyum tersipu aku menatapnya. Lalu segera kuraih penis itu dengan tanganku, dan mengocoknya perlahan, membuah suamiku melenguh. Tak lama kemudian kujilati kepala penisnya yang cukup besar itu. Kumainkan lidahku berputar-putar di sekujur permukaan kepala penis yang membuat si empunya makin blingsatan. Aku sangat menyukai ekspresi suamiku ketika kuperlakukan seperti ini, lucu sekali wajahnya menahan geli, hehe.

Tak lama kemudian kumasukkan batang itu ke dalam mulut mungilku. Memang tak pernah bisa masuk semua saking besarnya batang itu, dan suamikupun tak pernah memaksaku untuk mengulum lebih dalam dari ini. Kumaju mundurkan kepalaku perlahan, sambil pandanganku tetap ke arah wajah suamiku, melihat bagaimana ekspresi kepuasannya ketika kukulum penisnya seperti ini.

Sesekali kukeluarkan penis itu dari mulutku untuk bisa menjilati seluruh permukaannya, lalu kumasukan lagi dan kudiamkan. Kepalaku tak bergerak maju mundur tapi lidahku bergerak mengusap kepala penisnya yang berada di dalam mulutku. Mas Budi bilang dia suka sekali dengan permainan mulutku ini, yang katanya semakin hari semakin nikmat saja. Entahlah, aku hanya berusaha sebaik mungkin, berusaha semakin hari semakin baik dalam melayani kebutuhan biologis suamiku ini.

“Aaah udah sayang, nanti aku malah keluar duluan. Sini mas masukin sayang,” ujar suamiku sambil menarik penisnya dari mulutku.

Dia kemudian merebahkan tubuhku, dan membuka lebar kedua kakiku. Digesek-gesekannya kepala penis itu di belahan bibir kemaluanku. Mas Budi suka sekali menggodaku dengan lamanya dia menggesekkan kepala penisnya, dan menunda-nunda untuk melakukan penetrasi. Dia sengaja melakukan itu untuk memancingku agar aku memohon untuk segera disetubuhi. Namun malam ini beda, mungkin nafsunya sudah di ubun-ubun, sehingga tak berlama-lama menggesek bibir vaginaku, dia langsung memasukkan penisnya, perlahan-lahan hingga akhirnya masuk semua memenuhi rongga kemaluanku.

Aaaahh, penuh sekali rasanya, nikmat sekali, hingga membuatku memejamkan mata untuk meresapi betapa kenikmatan yang diberikan suamiku ini. Tak lama kemudian dia menggerakan pinggulnya dengan irama yang cukup cepat. Tak biasanya Mas Budi begini, biasanya dia gerakkan dulu perlahan, namun kini tempo genjotannya langsung cepat. Mungkin pengaruh rasa excited-nya tadi hingga libidonya meningkat lebih cepat daripada biasanya. Aku tak mempermasalahkannya sama sekali, karena aku juga menikmatinya.

“Aaahhh maasss terus maaass, enaaaak masss.”

“Aaahh,, uuhhh kamu suka dek?”

“Shhuuukaa masssss.”

Genjotan suamiku semakin cepat, bahkan cenderung agak kasar. Entah mengapa suamiku nampak berbeda malam ini. Belum pernah dia menyetubuhiku sekasar ini. Tidak terlalu kasar sebenarnya, tapi kebiasaan suamiku yang memperlakukanku dengan lembut membuat permainannya kali ini terasa begitu beda. Tumbukan kelamin kami juga lebih keras dari biasanya.

Aku yang cukup terkaget membuka mataku, menatap wajahnya. Matanya tertutup, tapi mulutnya terus mengeluarkan desahan sambil terus menggenjotku. Kedua tangannya berada di buah dadaku dan meremasinya sedikit lebih kasar dari biasanya. Namun aku justru merasakan kenikmatan yang lain diperlakukan seperti ini, hingga tanpa kusadari pinggulku bergerak liar mengikuti irama genjotan suamiku.

“Aaaahhh deek, memek kamu enaaakk banget deeeeeekk,” desah suamiku sambil terus menggenjotku.

“Aaaaah iyaa masss, kontol mass juga enaaaakkhh,” balasku.

Duh Ara, nakal banget sih mulutnya, hehe. Tapi suamiku juga gitu kok, nggak masalah, biar kami semakin menikmati persetubuhan ini.

Gerakan liar dari suamiku ini mau tak mau mengusik sisi-sisi birahiku, membuatnya semakin naik dan naik. Kurasakan pergesekan antara permukaan kulit penisnya dengan dinding vaginaku membuatnya semakin basah. Goyangan pinggulku yang mencoba mengimbangi suamiku juga membuat puncak orgasmeku seperti akan datang. Ya ampun, cepat sekali, aku tak pernah orgasme secepat ini sebelumnya. Apa karena aku ikut menikmati permainan suamiku yang lebih liar dari biasanya?

Tak berapa lama kemudian kurasakan seperti ada yang mau meledak di bawah sana. Ya, orgasmeku akan segera datang. Kuberikan kode kepada suamiku dengan semakin cepat menggerakkan pinggulku. Mas Budi membuka matanya, menatapku yang sedang sayu memandangnya. Dia menatapku seolah bertanya apakah aku sudah akan orgasme, dan aku hanya mengangguk saja, membuat goyangan suamiku semakin kencang, dan tiba pada satu titik dimana tiba-tiba dia memperlambat gerakannya, menjadi sangat lambat.

Namun libidoku yang sudah berada diujung tak bisa ditahan lagi. Sehingga dengan goyangannya yang perlahan ini, puncak orgasmeku justru semakin datang, dan semakin mendekat.

“Aaahhh mass, adeeekk keluaarrrr.” Ssrrrrtt.. Ssrrrrtt.. Ssrrrrtt..

Terasa cairan orgasmeku keluar menghangatkan batang pejal yang masih bergerak dengan lembut sekali. Aku terengah-engah, sementara suamiku menatapku sambil tersenyum.

“Baru bentar kok udah nyampe dek?” ledek suamiku.

“Ihh mas sih, mainnya kok beda banget sih mas, adek kan jadi nggak tahan,” jawabku tersipu, tanpa memalingkan wajah darinya.

“Hehe, suka nggak sayang?”

“Suka kok mas, enak, hehe,” jawabku makin tersipu.

“Gantian kamu di atas ya sayang?” pinta suamiku.

Aku mengangguk ringan, kemudian penis itu dicabut dari vaginaku. Dengan cepat kemudian kami bergerak, Mas Budi sudah tidur terlentang sementara aku duduk di selangkangannya. Kupegangi penisnya, lalu mengarahkan si ‘Budi cilik’ ini ke bibir vaginaku. Setelah kurasa pas, akupun menurunkan pinggulku perlahan, sangat pelan, sambil meresapi pertemuan kedua permukaan kelamin kami, hingga akhirnya masuk semua si ‘Budi cilik’ ke ‘Ara cilik’. Duh, ini istilah apa sih? Hehe.

Kugoyangkan pelan saja pinggulku ini. Aku ingin menikmatinya inchi demi inchi, gesekan demi gesekan di kelamin kami. Sementara itu Mas Budi menatapku nanar, tapi di bibirnya tersungging senyuman kecil. Dia tahu, selama aku berada di atas tubuhnya, akulah yang memegang kendali dan menentukan arah permainan. Memang seperti ini biasanya, selalu aku mulai dengan tempo yang sangat pelan.

Tapi sensasi persetubuhan tadi ketika suamiku terasa lebih kasar dari sebelum-sebelumnya, membuatku membayangkan, apakah saat aku di atas seperti ini, lalu bergerak sangat liar, akan menambah sensasi dalam permainan kami? Ah, sepertinya aku ingin mencoba. Lalu dengan sangat tiba-tiba kuangkat pinggulku, tanpa melepas si ‘Budi cilik’, lalu menurunkan kembali dengan cepat. Kuulangi sekali lagi, lalu kuulangi lagi, dan kuulangi lagi, hingga terlihat kini gerakanku semakin cepat dan liar menyetubuhi suamiku sendiri.

Dan ternyata memang rasanya lebih nikmat. Ini benar-benar nikmat, dan aku sangat menikmatinya. Kutunjukkan itu pada suamiku dengan gerakanku yang semakin liar lagi. Terlihat ekspresi kaget dari wajah suamiku, namun tak lama, dia kemudian tersenyum, dan menikmatinya. Aku mengetahui itu dari gerakan pinggulnya yang juga mengikuti irama gerakanku. Selama ini aku sudah belajar banyak untuk memuaskan suamiku, aku juga menanyakan apa yang menjadi kesukaannya, agar bisa memenuhi keinginan dan kebutuhan biologis suamiku ini.

Dengan tempo gerakan yang secepat ini, tanpa bisa kucegah gelombang orgasmeku kembali datang dengan cepatnya. Ini belum 5 menit sejak suamiku memasukan penisnya ke dalam vaginaku saat berbaring tadi, dan aku sudah orgasme dua kali. Libidoku yang belum turun, terlebih suamiku yang belum orgasme membuatku kembali bergerak memompa penis suamiku yang masih tegak memenuhi rongga liang kemaluanku. Kali ini aku bisa bertahan lebih lama, meskipun gerakanku lebih liar dari yang sebelumnya.

Desahan kami keluar cukup keras, meskipun hujan deras meredamnya, sehingga membuat suara ini tak terdengar sampai ke luar kamar. Eranganku semakin menjadi tatkala orgasmeku sudah berada di ujung vaginaku. Kedua bukit payudaraku diremas oleh Mas Budi dengan agak kasar, terasa sakit namun masih kalah dengan kenikmatan yang menjalar ke seluruh tubuh yang berasal dari pangkal selangkanganku.

Kurasakan remasan suamiku pada buah dadaku semakin kencang, mungkin akan membekas disana. Tapi gerakanku sendiri semakin liar, menjemput orgasmeku sendiri, dan berusaha memuaskan pria yang sedang kutunggangi ini. Sesaat terlupa oleh kami bahwa ada calon penerus kami yang sudah berada di dalam rahimku. Saat ini kami hanya ingin saling menuntaskan birahi kami yang sudah berkobar-kobar ini. Pinggulku kuhentakkan naik turun, hingga pada akhirnya sebuah gelombang besar menghantamku penuh kenikmatan.

“Aaaaaahhhh masssssssss.”

Tubuhku menegang dan melengkung ke depan, mataku terpejam dengan bibir yang terbuka, mungkin membuat sebuah ekspresi kenikmatan yang teramat, entahlah aku nggak bisa melihat wajahku sendiri. Tak berselang lama aku ambruk, dan dipeluk dengan lembut oleh suamiku. Dia membelai lembut keningku, sambi mengecupinya ringan. Dia membiarkanku untuk istirahat sejenak mengatur nafasku.

“Capek sayang?” tanyanya.

“Hhhh, hhhh, iya mas, mas belum keluar ya?” tanyaku balik.

“Belum, nggak papa, kamu istirahat dulu aja bentar, nanti aku genjot lagi, hehe,” kelakar suamiku.

“Hehe, maaf ya mas, bentaar aja, nanti adek layani lagi.”

Kami terlibat obrolan ringan selama aku mengatur nafasku. Namun kurasakan penis Mas Budi yang masih tegang berada di dalam vaginaku bergerak dengan tempo yang sangat halus, yang kemudian kubalas dengan menggerakkan otot-otot di sepanjang dinding vaginaku. Hal itu rupanya membuat suamiku kembali ON. Dia mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur, masih perlahan, namun sudah mulai terasa. Sedangkan aku yang masih lemas hanya membalasnya dengan otot-otot vaginaku saja.

Tak tahan dengan itu, dengan gerakan yang cekatan, Mas Budi membalikkan tubuh kami yang masih berpelukan tanpa mengeluarkan penisnya dari dalam vaginaku. Kini aku berada di bawah dekapan tubuh kekarnya. Kedua kakiku terkatup erat, sementara penis Mas Budi masih terjejal disana. Kata suamiku dengan posisi seperti ini lubang vaginaku yang memang sempit akan terasa semakin sempit. Akupun merasakan penis suamiku yang memang sudah besar itu semakin penuh di liang senggamaku.

Dalam posisi ini kembali suamiku mengayuh pinggulnya menyodoki vaginaku. Kali ini sodokan suamiku langsung dengan tempo yang cepat, bahkan cenderung seperti saat pertama penetrasi tadi, terasa sedikit kasar. Aku nggak bisa bergerak lagi karena kedua kakiku yang tertutup rapat terkunci oleh kedua pahanya yang semakin menekanku. Kedua tangannya juga merangkul erat tubuhku, begitupun aku juga merangkul erat tubuhnya. Bibir kami saling berpagutan dengan ganas.

Karena gerakanku yang sangat terbatas akibat kuncian suamiku, aku hanya bisa membalasnya dengan gerakan otot di vaginaku saja, dan ternyata itu sudah cukup membuat Mas Budi semakin merem melek menikmati permainan kami.

“Hhmmpp, sluuurrpp, hhmmpp.”

Hanya itu suara yang dapat keluar dari mulut kami yang masih berpagut erat. Kurasakan gerakan suamiku semakin cepat, sepertinya puncak orgasme akan segera dia dapatkan. Akupun merasakan hal yang sama. Sebuah dorongan dari dalam tubuhku seperti ingin mengantarkanku bersama-sama menjemput kenikmatan kami.

“Aaahh sayangkuu, memek kamu enaak banget deeeekk,” erang Mas Budi begitu bibir kami terlepas.

“Aaahh masss teruuss, adeekk mau keluarrr masss.”

“Ttuu, tungguu dek, kita aahh sama samaaa.”

“Aaaahh masss, adeek nggak tahaaaann,” ssrrrrtt, kurasakan pertahananku jebol, aku sudah mencapai puncak, namun suamiku belum. Dia masih berjuang mendaki kenikmatannya. Aku yang sudah lemas tetap berusaha membantunya dengan semua gerakan yang aku bisa, hingga akhirnya..

“Aaahh adeeekk, mass keluaaaaarrhhhh.”

Crot.. Crot.. Crot..

Entah berapa kali suamiku menyemprotkan spermanya ke dalam rahimku. Semprotannya yang deras begitu terasa hangat, dan memancing orgasme susulan buatku. Tubuh kami mengejang bersamaan, dengan pelukan yang semakin erat. Nafas kami memburu, kedua mata kami terpejam. Tak lama kemudian tubuhnya mulai melemas, begitu pula dengan tubuhku.

Pelukan kami mengendur, namun tubuhnya masih mendekap tubuhku. Tubuh kami basah oleh keringat yang sudah bercampur. Suamiku mengecup mesra keningku, membuatku tersenyum dalam pejam mataku. Belum ada suara yang keluar dari mulut kami. Kami masih asyik meresapi setiap kenikmatan yang baru saja kami dapatkan. Hanya helaan nafas yang masih sedikit berat yang terdengar.

Perlahan kurasakan penis suamiku mulai melemas dan mengecil, lalu dengan gerakan ringan dia cabut penisnya dari dalam vaginaku. Bersamaan dengan itu kurasakan ada cairan yang ikut mengalir keluar membasahi selangkanganku, mengalir turun hingga ke kasurku. Kemudian suamiku merebahkan diri di sampingku, lalu meraih tubuhku dan memeluknya. Aku menyandarkan kepalaku di dada bidangnya. Dengan lembut dibelai dan dikecupinya kepalaku.

“Yang barusan nikmat banget ya dek,” suamiku membuka suara.

“Iya mas, mas kok lain sih malem ini?” tanyaku.

“Mas juga nggak tahu dek, kayaknya kabar tadi bikin mas makin excited deh, hehe.”

“Iya sih boleh excited, tapi mulai sekarang lebih hati-hati ya mas, kan di dalam perutku ada Budi junior,” jawabku pelan sambil tersenyum menatap wajahnya.

“Emang belum berpengaruh sih mas, tapi mas mulai hati-hati ya?” lanjutku.

“Iya sayang, lain kali kalau mas kayak gitu lagi ingetin yaa,” ujar suamiku.

“Iya mas. I love You, cup.”

Love you too, cup.”

Kami kembali berpelukan, menikmati sisa-sisa permainan kami ini. Aku merasa ini adalah pergumulan kami yang paling tidak biasa. Ya, biasanya kami selalu melakukannya penuh dengan kelembutan, tapi kali ini gerakan suamiku terkesan lebih kasar dan liar, dan anehnya aku justru terbawa oleh permainan dan kenikmatan yang dia berikan. Aku sendiri merasa diriku tadi, sedikit agak, ehm, liar. Apa mungkin kami sesekali memang membutuhkan variasi seperti ini?

Seperti yang pernah aku dengar dari temanku Nadya dan Lia. Mereka kadang melakukan variasi hubungan dengan suaminya agar tidak bosan. Katanya mereka sudah pernah melakukan itu di semua sudut rumahnya, mungkin hanya halaman depan rumah saja yang belum, karena memang tak tertutup oleh pagar yang tinggi. Hmm, tapi aku masih belum berani untuk melakukan hal itu. Semua urusan ranjangku biarlah tetap berada di kamar ini. Ataupun kalau kami pergi-pergi seperti saat bulan madu dulu, permainan birahi kami biarlah tetap berlangsung di kamar saja.

Aku rasa aku nggak sampai seberani itu untuk melakukannya di luar kamar. Meskipun dengan suamiku sendiri, biarlah berlangsung dengan normal-normal begini saja. Dengan orang lain? Biarlah kekhilafanku dulu menjadi hal tergila yang pernah aku lakukan. Cukup itu saja, tak perlu ada yang lain lagi, aku nggak ingin memberikan tubuhku lagi ke orang lainx, terlebih kini aku tengah mengandung janin dari suamiku tercinta.

“Sayang, masih capek?” tanya suamiku.

“Kenapa mass? Mas mau nambah lagi yah?” jawabku dengan suara yang kubuat mendesah manja.

“Hehe, yuk lagi, kita tempur sampai pagi,” ujar suamiku sambil jemarinya memilin puting payudaraku.

“Aiih, emang kuat gitu sampai pagi?” ejekku sambil menjulurkan lidahku.

“Oooo, awas ya, nggak bisa jalan kamu besok dek, haha,” jawabnya, kini sambil meremas buah dadaku.

“Aaahh, coba aja mas kalau bisa, hihi,” tantangku.

***

Bersambung

Pembaca setia Kisah Malam, Terima Kasih sudah membaca cerita kita dan sabar menunggu updatenya setiap hari. Maafkan admin yang kadang telat Update (Admin juga manusia :D)
BTW yang mau jadi member VIP kisah malam dan dapat cerita full langsung sampai Tamat.
Info Lebih Lanjut Hubungin di Kontak
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂

Daftar part

By Kisah Malam

Kisah Malam adalah sebuah Website yang berisikan Novel Dewasa, Novel Sex, Cerita Sex, Cerita First Time, Cerita Bersambung, Cerina Menarik Lainnya. Dukung Terus KisahMalam.Com Dengan Cara Bookmarks, Dan Nanti Kan Konten Terupdate dari KisahMalam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *