Love Tamarind Part 30
Kembali
Terima kasih untuk segalanya…..
#Pov Rian#
Dua hari kemudian aku keluar dari rumah sakit, setelah perjumpaan dengan Anik waktu itu. Tulang rusukku masih terasa sakit. Tapi aku sudah pulang aja. Dan akhirnya aku tahu kebenarannya. Istriku telah tiada. Awalnya mereka menyembunyikannya dariku, tapi akhirnya mereka tak menutupinya lagi. Dan kini aku berada di depan makam istriku. Aku menangis di sana.
Rahma, kenapa kamu pergi? Bukankah kamu berjanji akan menemaniku selamanya? Rahma, kenapa perjumpaan kepadamu begitu singkat? Rahmaku, sayangku, cintaku….kenapa kamu pergi?
Aku kemudian berbaring di sisi kuburan Rahma dan aku peluk liang lahatnya. Mas Yogi yang mendampingiku pun tak kuasa menahan tangis. Ia menepuk-nepuk pundakku.
“Udah Yan, udahlah. Ikhlaskan! Kita juga semuanya kehilangan. Pulang yuk!” ajaknya.
“Aku ingin nemani Rahma mas, Rahma sendirian di sini,” kataku.
“Udah dong, Rahma udah bahagia di alam sana, Yan. Dia sudah ditemani ama bapaknya, kamu nggak usah khawatir lagi,” kata Mas Yogi.
“Tapi kenapa begitu cepat mas? Kenapa begitu cepat?” aku masih sesenggukan.
“Sudah Yan, pulang yuk! Kasihan anakmu di rumah sendirian. Dia adalah hadiah yang diberikan Rahma buatmu. Kamu harusnya menjaganya. Jangan bersedih!” kata Mas Yogi.
Aku baru ingat kalau aku sudah punya anak. Anak pemberian Rahma. Sebuah anugrah yang tidak akan ternilai. Aku ciumi kuburan Rahma lalu aku berdiri.
“Aku janji Ma, aku akan jaga anak kita. Aku akan didik anak kita agar jadi anak yang baik, berbakti ama orang tua, jadi anak yang sholih sebagaimana cita-citamu. Selamat tinggal sayangku, cintaku, aku tak pernah menyangka kisah kita hanya sampai di sini saja,” aku pun berbalik dengan dirangkul oleh Mas Yogi.
***
Dua bulan kemudian aku sudah kembali bekerja. Aku tak bisa terus-terusan bersedih. Anakku aku beri nama Rangga Ramadhani. Dia menjadi permata bagi kami. Mertuaku yang sekarang merawat Rangga. Bahkan di Kediri sana dia jadi rebutan buat diasuh oleh ibuku atau mertuaku. Aku geli sendiri melihat mereka yang rebutin Rangga. Emang Rangga lucu, imut, menggemaskan. Aku kembali sibuk. Dan hanya seminggu sekali pulang ke Kediri nengok anak. Senin sampai Sabtu ada di Surabaya. Capek? Iya. Tapi mau gimana lagi? Demi anakku.
Untuk sebulan ini aku nggak pernah mikirin tentang Anik. Tentang bagaimana ia terus menemaniku sampai aku sadar dari koma. Namun, entah kenapa dalam diriku ada sesuatu yang hilang.
Hari Jum’at, aku duduk di ruang tamu sendirian. Rumah jadi sepi tanpa kehadiran Rahma. Biasanya sekarang ia sudah menyiapkan makan malam. Dan dia pasti ngamplok aku sambil tangannya usil megangin si otong. Atau kadang juga aku berciuman ama dia sampai klomoh. Kalau sudah begitu pasti lanjut. Duh, jadi inget almarhum. Fotonya masih aku pajang di dinding, foto kami berdua tepatnya. Foto kami yang mana aku memeluk dia dari belakang dan dia tersenyum. Rahma memakai kerudung putih, gamis putih. Senyumnya sangat khas.
Aku jadi kangen ama dia. Aku kemudian membuka laptopku dan mulai online. Aku sudah lama nggak buka facebook, di sana ada banyak sekali ucapan dukacita ke aku. Aku hanya bisa membalas terima kasih atas ucapan mereka. Kemudian aku buka akun facebook Rahma dan kemudian aku laporkan bahwa dia telah tiada di facebook. Agar tak ada orang yang iseng pake akun dia.
TUNG! Tiba-tiba ada BBM masuk. Aku ambil ponselku. Eh dari Anik?
Aku kemudian mencari nomor telepon Anik dan menelponnya.
“Halo?” sapa Anik.
“Nik, aku ingin ngomong ini secara langsung ama kamu,” kataku.
“Apaan?”
“Aku ingin berterima kasih kepadamu. Atas segalanya.”
“Iya, aku ngerti. Sama-sama Rian.”
“Maukah kamu kembali kepadaku, Nik?”
Aku tak mendengar suara Anik untuk beberapa saat. Ia sepertinya diam. Nafasnya terdengar berat di telepon.
“Apa kamu bilang?” tanya Anik.
“Maukah kamu kembali kepadaku? Aku ingin kamu kembali kepadaku, Nik. Aku ingin menulis kisah cinta kita bersama lagi. Aku tak ingin menyia-nyiakan waktuku lagi, aku ingin bersamamu Nik. Aku ingin kembali bersamamu.”
“Kenapa kamu ingin kembali?”
“Aku memang orang yang bodoh, menyukai dua kakak beradik sekaligus. Tapi aku harus memilih salah satunya. Dan kini satu orang sudah menungguku di surga sana. Aku ingin yang satu lagi menemaniku agar kita bisa bertemu bersama-sama lagi di surga. Aku masih mencintaimu sampai sekarang.”
Anik agak lama menjawab, “Aku tahu itu Rian. Aku tahu. Tapi, apa mungkin kita bisa bersama lagi? Aku di sini kamu di sana?”
“Kalau kamu tak bisa ke sini aku yang akan ke sana. Kamu masih cinta ama aku kan?”
“Aku tak tahu Rian.”
“Kalau kamu tak mencintaiku kenapa kamu berada di rumah sakit menemaniku?”
“Itu wajar kan aku iparmu.”
“Lalu kenapa kamu menghubungiku sekarang?”
“Aku ingin tahu kabarmu. Itu aja.”
“Aku rindu ama kamu, aku juga rindu ama Rahma. Setidaknya aku ingin salah satu dari kalian datang kemari. Menemaniku.”
Anik terlihat bernafas berat. “Kamu itu….bodoh, begooo banget… entah kenapa karena begomu itu aku jadi suka ama kamu.” Anik aku dengar menangis di telepon.
“Kamu masih ingat kita dulu teleponan sampai salah satu dari kita ketiduran?”
“Iya, aku masih ingat.”
“Kamu masih ingat aku ucapkan perasaanku kepadamu di atas Gua Selomangleng?”
“Iya, aku masih ingat.”
“Kamu masih ingat first kiss kita di Sumber Podang dulu?”
“Iya, aku masih ingat. Aku masih ingat Rian. Ingat semuanya.”
“Kamu masih ingat kita di lantai dua rumahmu itu?”
“Aku masih ingat,” Anik tertawa. “Aku masih ingat waktu itu.”
“Aku tak ingin setiap memori itu terhapus begitu saja. Maukah kamu kembali kepadaku?”
“Aku……hiks…aku mau….aku mauu….hiks….aku mau Rian. Aku mau kembali kepadamu.”
Bersambung