Kesempurnaan Cinta Part 12
Sebagai seorang suami yang baik, aku mengetahui kesehatan istriku. Sebenarnya aku tahu bahwa Iskha menyembunyikannya dariku dan ingin memberiku kejutan. Ia telah hamil. Tapi aku perlu menahan diri karena justru kehamilannya inilah satu-satunya kesempatan aku mau melakukan hal ini. Sebuah rencana tergila di dalam hidupku. Rencana yang seharusnya tidak aku lakukan. Tapi kamu tahu bukan, seseorang pecinta akan melakukan apapun demi orang yang dicintainya.
Aku menemui Iskha di tahanan. Dia tampak shock. Wajahnya lesu ketika aku menjenguknya.
“Kamu tak apa-apa?” tanyaku.
“Iya, tak apa-apa,” jawabnya.
Aku tahu hal ini tidak mudah baginya. Tapi aku tetap berusaha membesarkan hatinya. “Bagaimana keadaan di sini?”
“Mengerikan Mas, mengerikan. Aku satu sel dengan pembunuh, pemalak, begal, mengerikan. Kamu tahukan? Mereka semua berbuat yang tidak senonoh kepadaku,” katanya.
“Tapi mereka perempuan semua bukan?” tanyaku.
“Iya, sekalipun begitu, mereka kriminal Mas, kriminal!”
“Iskha, aku mencintaimu,” kataku sambil mengusap pipinya.
“Aku juga Mas, aku juga”
“Kamu percaya kepadaku kan?”
“Iya, aku percaya kepada Mas.”
“Aku akan membebaskanmu secepatnya, aku akan berusaha. Tapi kamu perlu kuat, kamu perlu kuat bertahan.”
“Siapa yang melaporkan diriku? Siapa?”
“Viki, Viki yang melaporkannya. Ia mendapatkan rekaman pembunuhan itu dan melaporkannya ke pihak yang berwajib,” aku berbohong.
“Oh, iya jelas. Dia tahu tentang rumah,” katanya sambil menghela nafas. “Dia pasti mencurinya”
“Iskha, aku ingin kamu meminum ini,” kataku sambil menyodorkan sebutir obat.
“Apa ini?” tanyanya.
“Jangan sampai ada yang tahu. Kamu percaya kepadaku bukan?”
“Iya, tapi ini apa?”
“Lakukan saja!”
“Tapi Ci,…”
“Just do it!”
“Ini air mineral. Minum ini!” aku menyerahkan sebotol air mineral kepadanya.
Dia menyembunyikan pil itu dan langsung memasukkannya ke mulut. Ia kemudian minum air mineral yang aku bawa. Sipir tidak curiga dengan hal itu.
“Kamu hamil kan?” tanyaku.
“Hah? Mas tahu?”
“Iya dong, emangnya kamu bisa nyembunyiin test packnya?”
Iskha tersenyum. Ia mengelus-elus perutnya. “Bentar lagi kamu jadi ayah”
Aku mengusap-usap perutnya. Tentu saja aku bahagia, “Iya, aku sangat bahagia sekarang ini, beib”
“Kira-kira cewek apa cowok ya?” gumam Iskha.
“Aku ingin kembar,” kataku.
“Ihh…kepengennya. Ntar kalau kembar bapaknya nggak dapat jatah susu dong,” godanya.
“Hahahaha, yang penting kamu bahagia,” kataku sambil mengusap rambutnya.
“Mas, baik-baik ya di luar. Aku nggak bisa masak lagi buatmu sementara ini, nggak bisa ngepel lantai lagi, nggak bisa nyetrikain bajumu”
“Tenanglah, tak perlu kamu risaukan hal itu. Hei, Hello Kitty, dengarlah!” Iskha menatapku lekat-lekat. Kuambil tangannya, aku ciumi tangannya lalu aku letakkan di dadaku. “Aku akan lakukan apapun untuk kebahagiaanmu, aku akan lakukan apapun, kamu tak perlu khawatir. Aku sangat mencintaimu, saat dunia ini sudah tidak mencintaimu lagi ketahuilah aku adalah manusia, satu-satunya manusia yang akan mencintaimu. Apapun yang ada pada dirimu aku menyukainya. Aku orang yang akan terus menyayangimu, orang yang akan terus mengucapkan kata cinta untukmu. Orang yang akan terus menciumimu walaupun kamu sudah jenuh dengan ciuman-ciumanku.
“Iskha, tak ada yang bisa menenangkanku selain senyumanmu. Tak ada yang bisa menenangkanku selain tatapan matamu itu. Aku ingat setiap bau tubuhmu, setiap lekuk tubuhmu, setiap rasa bibirmu, aku mencintai semua itu. Kamulah sesuatu terindah yang diberikan tuhan kepadaku. Sayangku, aku sangat mencintaimu”
Iskha berkaca-kaca mendengarkan itu semua. Ia pun menangis, “Aku juga sayangku, aku juga… aku percaya kepadamu, aku percaya kepadamu.”
Apa yang bisa aku lakukan setelah itu? Menunggu. Menunggu sampai esok hari.
Apa yang aku lakukan sebenarnya pada waktu 6 bulan itu selain yang telah aku ceritakan? Aku melakukan hal yang gila. Sebelum Iskha datang ke apartemenku seluruh tembok aku penuhi dengan catatan-catatan untuk melarikan diri dari kejaran polisi. Aku sudah merancang semua bagaimana Iskha dan aku bisa melarikan diri. Selama enam bulan aku mengunjungi Doni di tahanan, aku menyadari bahwa tak mudah untuk melarikan diri dari tahanan karena sekuritinya sangat ketat. Satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah Iskha harus keluar dari tahanan itu. Dan salah satu caranya adalah membuat perutnya kejang, tapi itu bukan hal yang mudah hingga aku harus memesan sebuah obat yang membuat perut kejang. Terlebih para dokter tahu bahwa Iskha hamil.
Reaksi perut kejang itu sangat kuat hingga Iskha tak akan sanggup menahannya hingga berteriak-teriak. So pasti hal itu akan membuat ia dibawa ke rumah sakit. Aku sudah merencanakan itu dengan matang. Aku membeli obat itu dari seorang yang sangat memahami obat ini. Ia meyakinkanku bahwa obat itu aman buat ibu hamil. Karena rasa sakit itu hanya menipu, bukan karena gangguan pada rahimnya.
Aku menulis mencoret-coret peta yang aku beberkan di dinding apartemenku. Aku gambar rute mana yang paling aman untukku bisa melarikan diri. Aku pun memilih banyak negara sebagai pelarian terakhirku. Aku jadi teringat sebuah film yang dibintangi oleh Russel Crow “The Next Three Day” di mana seorang suami berusaha menyelamatkan istrinya yang tertuduh sebagai seorang pembunuh. Berangkat dari sanalah aku mendapatkan ide ini. Bodoh ya? Tidak, ini masuk akal.
Pernahkah kamu melakukan apapun untuk orang yang cintai? Kalau belum maka bagaimana kamu bisa dikatakan mencintai dia? Itulah yang aku rasakan kepada Iskha. Aku ingin melakukan apapun demi dia.
Aku benar-benar mematangkan rencanaku untuk melarikan diri bersama dengan Iskha. Hanya aku, mama, papa, Doni dan Yuyun yang tahu tentang rencanaku untuk melarikan diri. Setelah aku benar-benar memantabkan rencanaku hingga aku membersihkan apartemenku. Membersihkan agar polisi nanti tak tahu tujuanku kemana.
Begitu aku keluar dari tahanan aku menyadap telepon mereka. Aku menuju ke luar gedung lebih tepat ke sebuah jaringan telepon yang ada di luar gedung. Dari sana aku kemudian mendengarkan percakapan mereka. Tentang siapa yang menghubungi dan kemana. Saat itulah dari dalam tahanan mereka menelpon ke rumah sakit.
“Halo, rumah sakit?” sapa orang yang ada di telepon.
Aku langsung memotong saluran itu sehingga akulah yang mereka tuju, “Ya?”
“Tolong ada tahanan yang mengalami kontraksi, dia hamil,” kata petugas sipir.
“Oke, kami segera berangkat,” jawabku lalu menutup telepon.
Aku menutup kembali gardu jaringan yang aku buka untuk menyadap jaringan teleponnya. Aku tunggu lima menit lamanya. Setelah itu aku menghubungi Doni.
“Don, bergerak!” kataku.
Kenapa aku menelpon Doni? Karena Donilah yang menyupir ambulance itu. Ia aku suruh untuk menyamar sebagai petugas rumah sakit yang menyupir ambulance. Yuyun berada di dalam ambulance. Aku kemudian melihat ambulance milik Doni dari kejauhan. Mobil ambulance yang sirinenya meraung-raung itu pun berhenti ketika melihatku ada di tepi jalan. Aku segera membuka pintu belakang dan masuk ke dalamnya. Di dalam Yuyun segera memberiku baju perawat. Aku segera memakai baju itu. Kami semua memakai masker agar tak ada yang mengenali.
Mobil ambulance itu terus masuk ke dalam halaman Rutan. Setelah Ambulance berhenti aku segera membuka pintu dan menurunkan tempat tidur lipat. Segera aku dan Yuyun mendorongnya masuk ke rutan. Saat itulah dua orang sipir wanita mengantar Iskha yang meringis kesakitan. Dia dipapah dengan menggunakan kursi roda. Aku dan Yuyun segera membantunya untuk berbaring di atas tempat tidur. Setelah itu ia pun aku dorong untuk masuk ke dalam ambulance. Satu orang sipir penjara ikut kami masuk ke dalam ambulance.
Aku sudah mengantisipasi ini. Aku sudah siapkan sapu tangan berkloroform untuk membekapnya. Tapi aku tunggu waktu yang pas. Aku pura-pura memeriksa pupil mata Iskha. Iskha melihat ke arahku. Ia terbelalak melihatku. Aku mengisyaratkan agar ia diam saja. Aku mengedipkan mata kepadanya.
“Ayo cepat! Cepat! Pasien kritis!” seruku.
Mobil Ambulance ini pun kembali sirinenya meraung-raung. Kami pun melaju di atas aspal tapi karena raungan sirine ini jalanan jadi lancar. Saat sipir wanita itu lengah aku lalu membekap mulutnya dengan sapu tangan berkloroform. Sang sipir hampir saja melawan tapi ia langsung lemas tak sadarkan diri.
Mobil Ambulance terus melaju. Iskha langsung bangun. Rasa sakitnya sudah hilang tiba-tiba. Memang karena rasa sakit itu cuma sementara. Reaksinya akan hilang setelah dua puluh menit.
“Mas!? Apa yang mas lakukan?!” teriaknya.
“Kamu tenang dulu!” aku membuka maskerku. Yuyun juga.
“Yuyun? Berarti yang nyupir??” Iskha menunjuk ke sopir Ambulance.
“Doni,” jawabku.
“Hai Iskha, apa kabar?!” sapa Doni.
“Kamu konsen nyopir saja yet!” kataku.
“Mas, mas tahu ini semua berbahaya? Kalau sampai ketangkap kita semua kena!” seru Iskha.
“Iskha, kamu ingat apa yang aku katakan tadi di tahanan?” tanyaku.
“Iya mas, ingat. Tapi….apakah harus seperti ini?”
“Percayalah kepadaku!” kataku.
Iskha bingung, bingung sekali. Ia memegang kepalanya. Ia mungkin sekarang sangat pusing sekali. Aku kemudian menyerahkan sepasang baju.
“Pakailah! Lepas baju tahananmu, setelah ini kita berpisah dengan Doni dan Yuyun,” kataku.
Iskha tak tahu harus bagaimana. Tapi dia akhirnya menurut. Setelah dia mengganti bajunya, Doni memberhentikan mobil ambulance itu di pinggir jalan. Tak jauh dari tempat berhentinya ada mobilku terparkir di sana. Kami semua keluar dari mobil ambulance tersebut.
“Jadi ini perpisahan kita nyet?” tanya Doni.
Aku mengangguk.
“Lo sinting Ci, lo temen gue yang paling sinting yang pernah gue kenal,” sambung dia.
“Hahaha, kamu tahu aku adalah pemeran utamanya. Aku nggak ingin peran utamanya dapat kamu semua. Ibumu udah mendingan, bukan? Yuyun juga selamat. Arthur Darmawan nggak bakal mengganggu kalian lagi. Ia sudah bangkrut,” kataku sambil menepuk pundak Doni.
“Ci, lo nggak harus ngelakuin ini semua,” kata Yuyun.
“Aku perlu, demi orang yang aku cinta aku perlu,” kataku sambil mendekap Iskha.
Yuyun lalu memeluk Iskha. “Jaga diri baik-baik yah, lo lagi hamil soalnya”
“Iya Yun, kita bisa ketemu nggak nanti?” tanya Iskha.
“Kapan-kapan deh, kalo punya duit,” jawab Yuyun sambil sedikit tersenyum. Tapi yang jelas keduanya menangis setelah itu.
“Ada kata-kata terakhir sebelum kita pergi?” kataku.
“Lo jaga diri deh nyet. Kudo’akan lo sukses di sana,” kata Doni. “Jadi ini terakhir kali kita kontak?”
“Yah, mau gimana lagi? Habis ini pasti polisi bakal ngawasi kalian, kontak-kontak kalian juga bakal dicek. Aku nggak mau kalian nanti terlibat dengan mereka lagi. Cukup sampai di sini saja kegilaan ini,” kataku.
“Arci!” Doni lalu memelukku, ia menepuk-nepuk pundakku. “Brengsek lo, maafin gua nyet. Maafin gua”
“Kamu nggak salah, kita impas sekarang. Good luck!” kataku.
“Yun, jaga diri yah,” kata Iskha.
Setelah itu aku menggandeng Iskha masuk ke mobil. Kami masih melambai untuk yang terakhir kali sebelum pergi dari tempat itu. Tujuan kami adalah bandara. Aku sudah mempersiapkan pasport yang kupersiapkan untuk Iskha. Pasport ini terpaksa memakai nama palsu. Karena kami tak ingin dikenal sebagai Arci ataupun Iskha. Namaku agak aneh sih tapi lebih baik daripada nggak. Aku memakai nama Ridwan Yuswanto, sedangkan Iskha memakai nama Erika Farsya Adhelia.
Aku mencoba tenang ketika memasuki bandara. Tenang dan slow. Aku membawa barang bawaan seadanya. Semuanya berisi baju. Tentu saja tak lupa uang yang telah aku persiapkan selama perjalanan aku simpan di ransel. Semuanya adalah uang dari hasil keuntungan saham yang aku beli dari perusahaanku. Aku membawa yang kurang lebih 75.000 US dollar. Nggak usah banyak-banyak karena memang aku tak ingin terlihat mencolok.
Ketika masuk bandara tangan Iskha gemetar. Keringat dingin mulai keluar dari telapak tangannya. Itu bisa kurasakan ketika kedua tangan kami saling berpegangan.
“Mas, aku tak bisa melakukan ini, aku tak bisa,” katanya.
“Yang, tenanglah. Kita pasti bisa. Kamu percaya kepadaku kan?” tanyaku.
“Mas, kita balik yuk, aku takut kita tertangkap. Aku … aku takut kamu celaka nantinya karena aku,” katanya.
“Sayang, sayang! Dengar!” aku memegang kedua bahunya.
Iskha matanya berkaca-kaca. Aku tahu ketakutan yang sekarang dia rasakan. Ketakutan yang sangat beralasan.
“Aku mencintaimu dan inilah pengorbanan yang aku lakukan. Kumohon menurutlah kepadaku. Aku melakukan ini semua untukmu. Untuk kita. Maka dari itu sejak awal aku ingin kamu percaya kepadaku. Aku komitmen mencintaimu sampai akhir. Lakukanlah bersamaku sampai akhir. Ayolah!”
“Tapi Mas, nanti…nanti…”
“Belum terjadi kan?”
“Eh?”
“Kita belum ditangkap bukan?”
“Tapi aku takut….”
“Takutmu itu wajar. Aku bisa memahami, tapi jangan kau kecewakan aku. Jangan kamu anggap apa yang aku lakukan ini sia-sia. Ini untukmu, untuk kita”
Aku lalu memeluk Iskha yang mulai menangis. Butuh waktu agak lama untuk menenangkannya. Aku tepuk-tepuk pundaknya dan kuelus-elus. Ia membenamkan wajahnya di dadaku. Aku sungguh tak tega melihat air mata di pipinya lagi. Ayo sayangku, percayalah kepadaku.
“Baiklah Mas, aku percaya kepadamu,” kata Iskha.
Ia melihat ke arahku. Matanya menatap tajam ke arahku. Aku menghapus air matanya. Ia mencoba tersenyum. Kami berciuman sejenak, lalu kembali melangkah. Menuju terminal 4 Bandara Soekarno Hatta.
Di tanganku sudah ada tiket yang aku beli dengan harga 30 juta, perjalanan Indonesia ke Ceko. Kami nanti akan berhenti di beberapa negara sebelum nantinya mendarat di sana. Pengecekan di Bandara kami lewati dengan mudah, bahkan sampai masuk ke pesawat Jumbo Jet pun kami masuk dengan mudah. Sepertinya polisi belum sadar kami sudah berada di pesawat. Bahkan ketika pemeriksaan pasport tadi tak ada kecurigaan sama sekali. Syukurlah kalau begitu.
Sebelum masuk ke pesawat. Aku hancurkan ponselku. Berikut juga SIMcardnya. Sejak dari perjalanan menuju Bandara aku sudah matikan ponselku. Jadi total tak ada lagi yang menghubungiku. Papa, mama, anakmu ini akan pergi untuk selamanya. Jaga diri kalian. Terima kasih atas doa dan restu yang telah kalian berikan. Kini aku akan menjaga orang yang aku cintai.
Pesawat pun akhirnya tinggal landas. Meninggalkan negeri yang kucintai selama ini, Indonesia. Sampai bertemu lagi suatu saat nanti. Aku akan merindukanmu. Sangat merindukanmu. Di dalam pesawat, Iskha tak henti-hentinya menggenggam tanganku. Aku pun tak henti-hentinya menciumi tangannya, berusaha agar ia tenang.
Bersambung