Guru Kami Part 12
WILLIAM
Ketika aku selesai menutup pintu keluar. Aku membalik. Aku memegang pisau di tangan kiriku, yang kuposisikan menopang tangan kananku yang memegang pistol. Tampaknya Miss Tania memanggil lebih banyak pasukannya. 10 orang berpakaian hitam-hitam keluar dari balik tirai di belakang kursi batu. Miss Tania dan beberapa orang yang tadi sudah berada di ruangan, sudah selesai mematikan kebakaran akibat ulahku tadi. Kini mereka sibuk menggotong kakaknya Miss Tania yang tadi terluka masuk ke belakang tirai.
Sebelum 10 orang itu mendekat, aku sudah menembak dua orang di kepala. Begitu melihat dua rekan mereka tewas. Mereka baru mulai bergerak memencar. Ada 3 makhluk yang tetap berdiri di tengah berjalan ke arahku. Tunggu, ada satu yang berdiri di belakang mereka. Aku bisa melihat ujung pedangnya yang terhunus. Dua makhluk bergerak lincah di sebelah kiri, lalu dua lagi bergerak di sebelah kanan. Ketika aku membidik dua makhluk yang bergerak di sebelah kiriku, dan sempat menembak satu kepala dari mereka, tiba-tiba makhluk yang bersembunyi dibelakang itu melompat tinggi ke arahku dan tiga yang ditengah berlari cepat ke arahku. Semuanya menghunus pedang mereka. Tiga makhluk yang di tengah tiba-tiba berpencar, Lalu kulihat satu yang masih hidup dari sebelah kiri melempar pedangnya ke arahku, dan dua yang di sebelah kanan, mengayunkan pedang-pedang mereka ke atas, siap menebas tubuhku. Maen keroyokan nih. Aku nyengir. Lalu kuangkat pistolku menembak satu yang tadi bersembunyi di belakang tiga makhluk di tengah, karena posisinya sedang meloncat ke arah aku, kutembak bawah dagunya. Lalu dengan gerakan cepat aku menggulingkan tubuhku ke arah depan, bersiap menyerang satu yang ditengah yang ditinggal temannya berpencar tadi, sekalian menghindari serangan 4 makhluk lainnya dan lemparan pedang, sehingga serangan mereka meleset. Makhluk di tengah yang aku serang, menebaskan pisaunya mengarah ke kepalaku yang posisinya masih di bawah sehabis aku berguling. Sebelum pedangnya mengenai kepalaku. Aku melompat ke atas melewati kepalanya sambil aku bersalto di atas kepalanya dengan kepalaku di bawah dan kedua kakiku melayang di atas. Ketika aku sedang melayang di atas kepalanya, Kutembak ubun-ubun kepalanya, menembus otaknya. Ketika tubuhku sudah kembali menapak di lantai, tubuhnya yang masih berdiri tegak meskipun uda tewas, kudorong kuat-kuat sehingga terpelanting ke depan, membentur tiga dari lima makhluk yang tadi menyerangku bersamaan, sehingga mereka terdorong jatuh, lalu aku menembak ke arah makhluk yang tadi melempar pedangnya, sehingga dia terjengkang ke belakang. Tinggal satu orang paling kiri dari arahku, yang lolos dan menusukkan pedangnya ke arah mataku. Kugunakan pisauku, yang bagiannya membengkok ke dalam untuk berbenturan dengan pedangnya, menggeseknya sehingga menimbulkan percikan api, dan mendorong pedangnya sehingga menjauh dari sasarannya. Lalu kutembak kepalanya dari jarak dekat.
Tinggal sisa tiga yang tadi terdorong jatuh, Mereka masih tertindih jasad teman mereka yang kudorong tadi, aku langsung melompat menginjak tubuh yang menindih mereka bertiga. Langsung kutembak dengan cepat kepala mereka bertiga. Semua terjadi dengan cepat. Aku kembali ke posisi tangan kiriku yang memegang pisau menahan tangan kananku yang memegang pistol. Sambil memperhatikan sekeliling. Dua wanita telanjang bulat yang tadi ngentot dengan Angga dan Blacky sudah menghilang. Pandanganku tertuju pada satu tubuh yang terkapar di lantai. Aku mengenal wajahnya, tadi dia yang membawa kunci lift. Aku menyimpan pisauku pada tempatnya di pinggang, sementara tangan kananku masih memegang pistol untuk berjaga-jaga. Kurogoh saku kanan celananya, mengambil kunci lift. Lalu aku berlari ke arah Angga, yang matanya seakan-akan terpukau melihat aksiku tadi.
“Lu siapa sih, Will?” tanyanya ketika aku membuka ikatan talinya.
“A friend,” jawabku sambil nyengir. Lalu ketika aku menghampiri Blacky. Ternyata Blacky sudah tewas juga. Aku sempat memejamkan mataku sesaat. Maaf Blacky dan Toni, aku tidak sempat menyelamatkan kalian. Mata Angga pun sempat kulihat berkaca-kaca. Aku berdiri menepuk bahunya. Lalu aku berlari ke arah tiga wanita bugil yang diikat di sebelah kiri. Dua sudah mati juga. Satu yang masih terlihat agak lemas, tapi masih hidup. Dia Anna, PSK yang di lobi. Aku menghela napas lega.
“Aku kan sudah bilang tadi untuk pergi menjauh dari gedung,” aku tersenyum, berusaha menenangkan Anna yang pasti masih shock akibat kejadian ini. Ketika ikatannya sudah dibuka, Anna langsung memelukku. Menangis terisak-isak. Aku merasakan payudaranya yang terbuka menyentuh dadaku, terasa hangat. Aku menepuk punggungnya dan membelai rambutnya, berusaha menenangkan dia. Aku melihat pakaian Anna masih utuh di bawah sebelah kiri.
“Pakai bajumu dulu, Anna,” perintahku sambil melepaskan pelukannya. Kalo dalam posisi normal, pasti Angga akan langsung mengeksekusi nih cewe karena kulihat dia cukup cantik. Tapi Angga hanya berdiri termangu-mangu melihat kami.
“Nga, lu bawa Anna ya ke apartemen 709, disana ada Fatty dan Thomas,” Sengaja aku tidak menyuruh mereka menemani Sandi dan Sisca. Entah kenapa.
Kulihat Anna sudah selesai berpakaian dan Angga masih termangu-mangu bingung.
Aku menepuk pelan pipi kanan Angga.
“Nga,” ucapku.
Seperti baru tersadar. Aku ulangi lagi ucapanku tadi.
“Hati-hati Nga. Jangan lewat lift ya, lewat tangga aja,” lanjutku sambil aku menyerahkan kunci pintu berdaun ganda tadi pada Angga.
“Hati-hati, Nga,” ucapku. “lu pasti aman sampe disana.” Aku tidak menemani mereka karena aku harus masuk ke dalam tirai. Aku pengen tau ujungnya dimana, kalo aku bersama Angga dan Anna, aku sulit untuk fokus melawan mereka. Siapa tau ujungnya menuju tempat Miss Tania. Tapi aku sangsi sih. Tapi tidak ada salahnya dicoba.
Aku mendekati Anna
“Anna, kamu ikut temenku Angga ya ke tempat aman,” Anna mengangguk dan kembali dia memelukku dengan erat.
“Terima kasih. Nama kamu Will ya?” tanyanya dengan mulutnya yang dekat dengan telingaku. Membuatku sedikit geli. Aku masih belum terbiasa dekat dengan wanita.
“Kok kamu tau?” tanyaku agak heran.
“Tadi kan waktu di lobi kamu dipanggil ama cowo ganteng itu. Will panggilnya waktu itu,” lanjutnya.
“Ooh,” aku masih dipeluknya.
“Ayo cepetan ikut temenku,” ucapku, sekali lagi melepaskan pelukannya.
“Hati-hati,” lanjutku. Lalu kulihat mereka berdua berlari menuju pintu keluar. Kulihat Anna masih sempat melirik ke belakang ke arahku sebentar. Aku tersenyum padanya. Dia pun membalas senyumanku dengan pandangan yang terlihat mesra. Aku segera mengeluarkan lagi pisau dan pistolku dan berpose seperti tadi. Lalu aku berlari masuk ke tirai. Ketika aku sudah masuk ke dalam. Seperti sebuah lorong. Gelap sekali. Sialan, pasti mereka mematikan lampunya. Sambil masih memegang pisauku, aku mengeluarkan kacamata hitam dari kantong dalam jaketku. Kupakai dan kupencet tombol dekat gagang kanan. Seketika pandangan mataku seperti berwarna hijau. Yup. Aku bisa melihat dalam kegelapan.
Aku berjalan dengan pelan dan hati-hati. Waspada siapa tau aku disergap dalam kegelapan. Dan benar saja, kulihat dengan sudut mataku, ada satu yang sedang menempel di tembok sebelah kananku agak depan, menunggu aku mendekat dengan pedang di tangannya. Aku pura-pura berjalan dengan tidak melihat ke arahnya. By the way, mata mereka lebih bisa melihat dalam gelap dibanding kita. Begitu aku sudah agak dekat, dengan pandanganku masih ke depan, tiba-tiba aku mengarahkan pistolku ke arahnya. Menembak tepat di kepalanya. Dan tubuhnya pun terjatuh di depanku. Aku melepas tombol off magazine peluruku dan gagang pistol kuarahkan ke pinggang dimana sudah terpasang clip yang menahan magazineku yang sudah terisi penuh peluru, yang langsung masuk ke lubang magazine di pistolku. Praktis. Aku ada 10 batang clip magazine yang tertempel di ikat pinggang khususku. Sengaja aku memakai jaket hitam panjang, untuk menutupi semuanya. Aku tidak pernah membawa lebih dari 10 magazine, selama ini cukup, asal aku tidak menghamburkan peluruku dan berselingan aku menggunakan pisauku untuk menghemat peluru.
Lorong masih panjang ternyata dan terasa jalanan menurun. Kini kulihat ada dua sosok yang menempel di tembok atas, kiri dan kanan. Hmmm aku harus menembak dari sini, kalo sudah dekat tidak akan keburu. Masih dengan pura-pura menatap ke depan bukan ke atas. Aku menembak kepala yang sebelah kanan. Begitu yang kanan jatuh ke bawah, yang kiri langsung melompat turun, mengarahkan pedangnya ke kepalaku. Aku menghindar ke kiri, menempel tembok lorong. Lalu kukeluarkan pisauku dengan tangan kiri. Mengayunkan pisauku, menusuk kepala belakangnya sebelah kiri, hingga tembus ke otaknya, dan sosok itu pun terjatuh.
Untung tidak ada kejutan lagi setelah itu, lorong terus agak menurun, dan akhirnya ada sebuah pintu di depanku. Kubuka pintu, ada di sebelah lift. Ini lantai berapa ya? Kulihat salah satu nomor di pintu, 804. Oh lantai 8, jadi ruangan ritual di lantai 10 bisa nyambung ke lantai 8, pantesan ketika aku dan Sandi tadi berada di apartemen Sisca. Tiba-tiba muncul 4 orang berbaju hitam begitu cepat. Ternyata mereka keluar dari sini. Sialan. Seakan-akan sebagian gedung apartemen ini milik mereka. Bangsat.
Kubuka kacamataku, menyimpannya di saku dalam jaketku. Mumpung lagi di lantai 8, coba aku melihat keadaan Sandi dan Sisca. Ingin memastikan apakah keadaan mereka aman. Aku kembali ke pose bersiagaku, pelan-pelan aku berjalan menuju apartemen Sisca. Ketika sudah di depan pintu, ketika aku hendak memencet bel. Kulihat posisi pintunya tidak tertutup sempurna. Aku tidak jadi memencet bel. Aku waspada. Takut terjadi sesuatu di dalam. Aku menyimpan pisauku. Tangan kananku masih memegang pistol. Pistol itu kuacungkan ke depan, siap-siap menembak bila ada musuh. Pelan-pelan kubuka sedikit pintunya. Dari celah yang terbuka sedikit, aku tidak melihat ada sesuatu yang mencurigakan. Kubuka sedikit lebih lebar, dengan tetap waspada. Tidak ada orang atau mereka. Tidak ada apapun. Kubuka lebih lebar lagi. Tidak ada siapapun sejauh ini. Ketika aku bisa masuk melewati celah pintu, aku langsung berpose siaga, melihat sekeliling. Tidak ada orang. Kemana Sandi dan Sisca? Apakah mereka tidak sempet sampai ke sini, atau mereka sudah sampai kesini lalu didatangi mereka dan dibawa pergi? Hatiku mulai tidak tenang. Aku tambah waspada. Aku berjalan pelan ke arah kamar mandi. Kosong. Lalu aku pelan-pelan berjalan ke arah kamar tidur utama. Tidak ada siapapun. Lalu aku berjalan ke kamar satu lagi. Aku pikir ini pasti kamar tidur satu lagi. Ketika seperti ada gerakan di dalam, aku cepat-cepat menempel ke tembok dekat situ, untuk mengintai. Pelan-pelan kugeser badanku, dengan pistol aku simpen di dada dan pisauku di samping tubuhku, siap-siap menusuk musuh yang tiba-tiba muncul.
Dengan sudut mataku yang berusaha mengintai ke dalam, aku melihat dua orang yang sedang berdekatan. Aku berusaha mendekat sedikit untuk melihat lebih jelas. Dan jantungku berhenti berdetak. Aku melihat Sandi dan Sisca sedang berpelukan. Sisca duduk di atas kedua paha Sandi yang kakinya terjulur ke depan. Aku segera mundur agar mereka tidak bisa melihatku. Aku memejamkan mataku. Aku merasakan jantungku berdetak cepat. Terasa semakin panas. Dan panas itu menjalar cepat di sekitar dadaku.
Bersambung
Pembaca setia Kisah Malam, Terima Kasih sudah membaca cerita kita dan sabar menunggu updatenya setiap hari. Maafkan admin yang kadang telat Update (Admin juga manusia :D)
BTW yang mau jadi member VIP kisah malam dan dapat cerita full langsung sampai Tamat.
Info Lebih Lanjut Hubungin di Kontak
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂