one shotone shot

Guru Kami Part 11

MISS TANIA
SISCA
WILLIAM

“Woiii, bangun, bangsat!” Aku langsung membuka mata dan melihat sebuah lutut yang hendak menghantam wajahku.

Aku langsung menggeser badanku ke kiri, bersandar dengan lutut kananku dan tangan kananku. Kaki kiriku menekuk. Lutut itu menghantam bantalku. Aku mengangkat kaki kananku menggunakannya sebagai dorongan untuk melompat.. Dan menggunakan lutut kiri aku mengincar wajah penyerangku. Dia mundur beberapa langkah. Serangan balikku luput.

Kemudian dia giliran menendangku dengan kaki kanannya. Aku menggeser badanku dan memutar berlawanan dengan arah jarum jam. Lalu menggunakan siku kiriku mengincar belakang kepalanya. Dia bukannya menghindar malah mendorong bahu kirinya, mengincar perut atau dadaku bagian kiriku yang terbuka karena sikuku yang terangkat. Bakal kena deh aku. Buru-buru aku mengganti gerakan sikuku, langsung menghantam bagian punggungnya sebelum bahunya mengenai dadaku. Terlambat. Bahunya sempet mendorong dadaku sebelum siku ku mengenai punggungnya. Aku terdorong ke belakang. Sedangkan lawanku terjatuh ke lantai kena serangan sikuku.

“Sialan lu, bang!” teriaknya sambil berdiri, mengusap dadanya yang membentur lantai.

“Gila lu juga, de,” Aku pun mengusap dadaku.

“Pagi-pagi bangunin orang dengan cara begini,” aku mengacak-acak rambutnya.

“Kan kata papa juga, kita harus selalu waspada,” jawabnya nyengir.

“Ayo bang, dipanggil makan ama mama tadi,” Matthew merangkul pundakku dan menariku ke lantai bawah.

Begitulah permainan sehari-hari antara adikku dan aku. Kami hanya berbeda dua tahun. Papa sudah melatih berbagai macam ilmu bela diri sejak aku berumur 6 atau 7 tahun. Matt, panggilan akrabku pada adikku, tentu saja sering merengek kalo dia tidak diajak. Jadi dengan terpaksa Papa mengajarkan juga ilmu bela diri pada Matt. Dan buktinya, sialan. Ilmu bela dirinya setara denganku. Kalo aku tidak hati-hati, bisa-bisa aku babak belur dihajarnya tiap pagi.

Kami mempunya nama yang terdiri dari satu kata. Jadi Wijaya itu hanya nama karangan aku. Sedangkan aku sekarang sudah berumur 22, hanya tampangku memang masih terlihat boyish, jadi tidak masalah bila aku menyamar jadi anak SMA. Masih cocoklah.

Entah kenapa Papa mengajari kami ilmu bela diri sejak kami masih dini. Aku tidak pernah menanyakannya dulu. Tapi ketika Papa mengajarkan kami cara menembak dengan menggunakan pistol, barulah aku menanyakan pada Papa, apa tujuannya. Waktu itu aku sudah berumur 17 tahun. Tadinya Papa hanya ingin mengajarkan cara menembak padaku saja. Tapi tentu saja meskipun sudah berumur 15 tahun, Matt masih bisa merengek juga. Dia juga mau diajarkan. Mungkin Papa melihat kemampuan Matt tidak kalah denganku, akhirnya dia mengalah. Hanya Papa berpesan pada Matt, harus pintar mengatur emosi. Karena memang Matt orangnya lebih berangasan. Bertindak dulu baru berpikir.

Kembali ke alasan yang aku tanyakan pada Papa tadi.

“Gini Will dan Matt, sebenarnya kita ini termasuk keturunan. Ga ada nama khusus sebenarnya, tapi kita ini dari dulu merupakan keturunan yang suka berburu sesuatu,” jelas Papaku pelan, memperhatikan ekspresi kami berdua.

“Pemburu yang suka berburu binatang, Pa?,” sahut Matt.

“Bukan,” Papa mungkin agak bingung menjelaskan pada Matt.

“Kalian mungkin pernah nonton film yang bercerita tentang Vampir atau Drakula?” lanjut Papaku.

Kami berdua mengangguk, terutama Matt. Dia seneng banget nonton film begituan. Matt mengangguk kencang.

“Maksudnya, Pa?” aku bertanya demikian pasti ada hubungannya dengan yang Papa sebutin tadi.

“Mereka itu bener-bener ada,” jawab Papaku.

Matt melongo, aku pun kaget mendengarnya.

“Kenapa kita ga pernah liat, Pa?” tanyaku lagi.

“Hmmm, semua di dunia ini berevolusi, Will. Bayangkan kalo mereka bentuknya sekarang seperti wujud mereka di film. Bagaimana mereka bisa menjalani hidup dengan tenang?” papar Papaku.

“Jadi?” aku penasaran.

“Seperti kita tahu, mereka terutama vampir atau drakula kan wujudnya, wajahnya pucat, gigi taringnya panjang, tidak boleh kena matahari, dan mereka pengisap darah. Kalo mereka tidak bisa berevolusi. Mereka akan punah dengan sendirinya,” lanjut Papa.

“Jadi setelah ratusan tahun. Wujud mereka sekarang persis seperti manusia. Tidak ada bedanya. Wajah mereka tidak pucat. Mereka pun tidak selalu mengisap darah untuk bertahan hidup,” Aku termenung mendengar penjelasan Papa. Berarti mereka bisa saja salah satu dari teman kita atau siapapun di sekitar kita. Sulit dibedakan.

“Jadi apa yang membedakan mereka (Them) dengan kita (Us), Pa?” tanya Matt, ternyata melongonya sudah berhenti, dan mendengarkan penjelasan Papa.

“Ciri yang paling utama, agak sulit kita mengetahuinya. Ada tanda merah di dada sebelah kanan. Kenapa? Karena mereka mempunyai letak jantung yang berbeda dengan manusia. Mereka itu mempunyai ukuran jantung yang lebih besar dan lebih kuat dari kita. Makanya kulit bagian dadanya menonjol karena ukuran jantung mereka dan tekanan denyut jantung mereka lebih kuat dan cepat makanya menimbulkan tanda merah di dada mereka. Dan hal ini juga membuat mereka lebih cepat dan lebih kuat dari kita,” lanjut Papa.

“Jadi kalo ingin membuktikan bahwa seseorang bagian dari mereka, harus membuka baju mereka ya, Pa?” tanya Matt polos.

“Iya,” jawab Papa seakan-akan menunggu pertanyaanku. Karena Papa tau, aku orangnya pendiam tapi skeptis.

“Kalo perempuan, gimana Pa?” tanyaku.

“Nah itu sulitnya, Will. Kita harus benar-benar mengobservasi, menyelidiki dan membuktikan dulu. Dan yang membuat lebih sulit. Mereka itu biasanya hidup berkoloni, hidup berkelompok. Bisa terdiri dari minimal 30 orang bahkan bisa lebih banyak dari itu. Mereka tentu saja punya pemimpin. Nah pemimpinnya ini jenis kelaminnya wanita. Bisa dibilang wanita ini Ratu mereka. Yang memegang peranan atau yang paling berkuasa adalah Sang Ratu, bahkan suami Sang Ratu merupakan bawahan Sang Ratu. Hebatnya Sang Ratu, dia bisa bertelepati dengan sesama kaumnya,” Papa berhenti sesaat, melihat ekspresi kami, apakah kami bisa menyerap informasi mengejutkan ini.

“Lanjut, Pa,” ucap Matt.

“Ingat mereka itu seperti kita dasarnya. Tadi Papa bilang Ratu punya suami kan. Mereka bisa berkeluarga seperti kita, punya anak. Tapi selain berevolusi mereka tetap mempunyai gen dasar yang sama dari dulu. Yaitu keabadian. Setelah menginjak umur tertentu, sama seperti kita. Antara 17 dan 18 tahun, wajah dan tubuh mereka tidak berubah. Tidak akan menua. Itu yang menyebabkan mereka masih ada sampai sekarang. Tapi bukan berarti mereka (Them) tidak bisa dibunuh oleh kita (Us). Kalo kita melukai bagian tubuh mereka seperti tangan atau kaki. Mereka bisa cepat pulih. Butuh waktu tapi waktu pulih mereka jauh lebih cepat dari kita. Karena gen mereka itu. Jadi kalo ingin membunuh mereka (Them), kita harus langsung mengincar otak mereka di bagian belakang kepala. Jadi lupakan tentang film dimana cara membunuh mereka harus pakai alat-alat yang terbuat dari perak,” jelas Papa.

“Kalo dipenggal terus baru kita bacok otaknya, gimana Pa?” tanya Matt sambil nyengir.

“Sadis lu, de,” aku melirik nyengir padanya. Matt terkekeh.

“Ya kalo dipenggal dan kepalanya disatuin lagi dengan badannya, masih bisa hidup, ingat mereka bisa cepet pulih, jadi intinya otak mereka yang harus dihabisin dulu,” jawab Papa dengan serius.

“Kalo mereka (Them) sudah persis seperti kita (Us), kenapa kita harus membunuh mereka, Pa?” tanyaku lagi.

“Nah itu Will, seperti yang Papa bilang. Meskipun mereka berevolusi, gen dasar mereka tetap sama. Mereka membutuhkan sesuatu yang beda dengan kita,” jawab Papa.

“Mereka butuh darah ya, Pa? Kayak di film-film,” jawab Matt berantusias.

“Dulu iya, tapi sekarang mereka tidak mengincar darah manusia. Mereka mengincar intisari manusia untuk bertahan hidup. Itu lebih mujarab buat mereka. Nah makanya kadang yang jadi korban itu adalah para kaum manusia. Makanya kenapa kita harus membunuh mereka,” Papa melanjutkan.

“Intisari manusia, Pa? Seperti apa?” tanya Matt bingung.

Papa seperti kebingungan untuk menjelaskan.

“Ya, salah satunya cairan otak manusia, Matt. Untuk yang lainnya, nanti kamu akan tau kok, Matt. Kalo kamu sudah cukup umur,” akhirnya Papa menjawab sambil menggaruk kepalanya.

Aku tau apa yang Papa maksud lainnya, aku menanyakan sesuatu untuk mengalihkan pertanyaan Matt.

“Kalo mereka seperti kita bisa mempunyai keturunan. Kan sulit untuk mempunyai keturunan dan dipelihara sampai besar. Tentu jumlah mereka harusnya tidak banyak kan, Pa?” tanyaku.

“Seperti di film, Will. Kalo di film, seseorang yang digigit oleh mereka di leher, maka seseorang itu akan menjadi salah satu dari mereka. Tapi ga sembarangan yang menggigitnya, harus Ratu mereka yang menggigitnya. Dan biasa orang yang terpilih yang akan dijadikan salah satu dari mereka. Nah untuk makhluk yang dijadikan ama mereka, letak tanda merah di sebelah kiri layaknya letak jantung manusia normal. Kekuatan dan kecepatan mereka tidak seperti keturunan asli mereka, tapi tetap lebih cepat dan lebih kuat dari manusia biasa. Biasanya mereka mengadakan ritual untuk hal seperti itu. Jadi mereka mengadakan ritual untuk “Penobatan” atau untuk seseorang dari mereka yang sudah cukup umurnya,” jelas Papa.

Jadi mereka bisa saja menjadikan salah satu dari kami (Us) sebagai bagian dari mereka (them).

“Jadi makanya kita harus belajar menembak Pa? Apakah mereka tidak menggunakan pistol juga kan?” tanyaku kemudian.

“Nah ini ego mereka. Mereka merasa mereka lebih di atas kita. Jadi mereka tidak mau menggunakan pistol. Mereka hanya menggunakan benda berbahaya seperti pisau, pedang atau pipa besi dan lainnya. Itu satu keuntungan kita. Mereka masih old fashioned dan kita yang inferior mau ga mau menggunakan alat bantu untuk membasmi mereka,” jelas Papa.

“Tapi bisa aja ada kemungkinan mereka menggunakan senjata api juga kan, Pa?” tanyaku.

“Bisa saja, Will. Tapi sejauh yang Papa tau sampai saat ini, belum. Kita harus berterima kasih karena ego mereka,” jawab Papa sambil tersenyum.

Setelah mendengarkan penjelasan Papa, aku dan Matt mulai hari itu berlatih menembak. Kami bersemangat untuk membasmi mereka. Maklum darah muda. Tapi Papa tau perbedaan karakteristik antara aku dan Matt. Matt orangnya berangasan dan berandalan, bertindak dulu baru berpikir, ngomong jujur apa adanya alias blak-blakan tapi dia itu lebih mementingkan perasaan daripada logika. Sedangkan aku lebih pendiam, lebih skeptis dan lebih mementingkan logika daripada perasaan.

Pernah suatu malam, Papa dan aku hanya berbicara berdua saja.

“Will, ada sesuatu yang papa tidak bisa bilang di depan Matt. Papa tau, mungkin ini beban berat buat kalian berdua, menjadi keturunan dari seorang pemburu. Tapi ini kewajiban kita dari leluhur kita untuk mengemban tugas ini. Papa sudah berjanji pada Mamamu, untuk tidak melanjutkan tugas ini setelah kami menikah tapi dengan syarat. Karena ini menyangkut leluhur kita dan kemanusiaan, Papa bilang sama Mama, kalo kita punya anak, setelah dewasa, terserah keputusan mereka untuk mengemban tugas ini atau tidak. Dan dengan berat hati, Mama setuju. Makanya untuuk mengantisipasi hal tersebut, entah kalian berminat atau tidak, Papa melatih kalian dari kecil. Minimal kalian bisa menjaga diri meskipun kalian tidak mau melanjutkan tugas dari leluhur kalian. Jadi ini kembali kepada keputusan kalian berdua. Kamu sudah berumur 17 tahun, Will. Jadi kamu yang memutuskan sendiri. Bagaimana?” tanya Papa.

Aku yang sudah bertekad setelah mendengar cerita Papa waktu itu, jelas aku ingin mengemban tugas ini.

“Aku bersedia, Pa,” jawabku tegas.

Papa merangkul bahuku sambil tersenyum hangat.

“Papa ucapin terima kasih padamu Will, atas nama leluhur kita,” Papa meremas pundakku dengan hangat.

“Tapi papa ada pesan buat kamu, Will. Kehidupan manusia ada di tangan kita, jadi apabila ada saatnya kita harus memilih untuk mengorbankan beberapa gelintir orang tapi untuk tujuan yang lebih mulia, kamu harus kuat melakukannya. Kamu harus berani mengambil resiko seperti itu,” Papa menatapku tajam.

“Seperti apa contohnya, Pa?” tanyaku, balas menatap tatapan Papa.

“Kamu akan tau nanti bila saatnya tiba. Tapi kamu harus mengorbankan perasaan kamu sendiri, demi tujuan yang lebih mulia. Keselamatan umat manusia,” Papa kembali tersenyum. “Papa yakin kamu bisa, kamu berbeda dengan Matt.”

Tiba-tiba terbersit sesuatu di kepalaku.

“Pa, apakah hanya leluhur kita yang mengemban tugas ini?” tanyaku.

“Tidak. Ada kok keluarga-keluarga lain yang mempunyai leluhur seorang pemburu. Tapi kami tidak saling berhubungan. Karena itu untuk menjaga keamanan masing-masing. Jadi apabila seseorang dari kita tertangkap. Bila disiksa untuk membocorkan siapa saja keturunan pemburu. Hanya satu keluarga yang menjadi korban. Keluarga-keluarga lain tetap bisa menjalankan tugas mereka,” jawab Papa.

Aku menganggukkan kepala.

“Ingat satu lagi pesan Papa, Will. Kalo kamu ingin membasmi satu koloni. Kamu jangan mengincar anak buahnya. Karena kalo hanya anak buahnya saja yang tewas, Sang Ratu bisa melarikan diri dan membuat koloni di tempat lain. Pekerjaanmu akan sia-sia. Jadi pastikan siapa Ratu di sebuah koloni baru kamu bertindak, membasmi mereka semua. Jadi beres tuntas, tugas kamu, menghancurkan satu koloni demi satu koloni. Paham, Will?” Papa menatapku lagi.

“Paham, Pa,” jawabku.

Setelah aku berumur 18 tahun, aku memulai tugas pertamaku. Sangat sulit awalnya melakukannya. Mungkin belum berpengalaman, tapi Papa sudah melatihku dengan baik, aku yakin Matt pun sama. Sulit awalnya untuk menembak mereka langsung di kepala karena gerakan mereka cepat dan tenaga mereka kuat. Mereka bisa melompat dengan lincah layaknya seekor harimau. Apalagi kita membunuh makhluk yang bentuknya sama seperti manusia. Awalnya tidak tega. Tapi jika melihat betapa ganasnya mereka, aku yakin kalian pun akan berpikiran untuk membasmi mereka sampai ke akar-akarnya. Tadi yang tidak dijelaskan Papa di depan Matt. Intisari manusia itu tentu saja otak manusia. Cairan otak manusia yang mereka incar. Tapi bukan itu saja, intinya yang berbentuk cairan di dalam tubuh manusia mereka incar. Seperti darah, ludah, keringat, bahkan sperma dan cairan lendir di vagina wanita ketika mereka orgasme. Bayangkan sperma itu adalah cikal bakal suatu kehidupan terlahir. Jadi bukan sesuatu yang mesum ini ya. Maka sperma itu merupakan intisari manusia yang luar biasa. Jadi sperma merupakan asupan favorit mereka. Seperti kata papa, mereka berevolusi agar bisa hidup diantara kita. Sex itu merupakan salah satu kegiatan yang digemari oleh manusia. Jadi wajar, mereka menggunakan kesempatan itu. Mereka memanfaatkan kelemahan manusia yang tergila-gila dengan sex. Makanya ketika mereka melakukan seks dengan kita. Seakan-akan kita mengalami kenikmatan “dihisap” oleh mereka. Padahal mereka itu sedang “makan” dari kita. Sedangkan kita merasa nikmat, padahal “intisari” kita lagi dihisap oleh mereka. Itulah yang dialami oleh Sandi dan teman-temannya. Setelah manusia dihisap semua intisarinya sampai kita lemah atau mati, barulah proses berikutnya mereka menghisap cairan otak kita. Bayangkan betapa ganasnya mereka.

Mengenai Sandi dan gengnya, aku orangnya skeptis. Aku sudah mencurigai Miss Tania awalnya, karena banyak berita orang hilang berasal dari daerah dekat sini. Contohnya Pak Rahmat, guru yang digantikan oleh Miss Tania. Hanya saja aku tidak tahu apakah benar Miss Tania adalah salah satu dari mereka. Aku tidak bisa sembarangan membuka bajunya, melihat dadanya. Tapi bisa saja aku lakukan itu. Setelah aku tau pun, aku tidak tau Miss Tania mempunyai posisi apa di koloninya. Tapi seperti kata Papa, aku harus mengincar Ratunya untuk membasmi sebuah koloni. Nah biasanya mereka akan melakukan ritual apabila ada sebuah “Penobatan” anggota baru. Maksudnya pihak manusia ada yang ingin mereka jadikan kaum mereka atau keturunan mereka yang sudah berusia dewasa.

Dan untuk melakukan ritual, mereka membutuhkan banyak korban. Aku tau Sandi dan beberapa temannya mempunyai popularitas sebagai orang brengsek. Perusak kehormatan perempuan. Gila sex. Dan aku memperhatikan Miss Tania mempunyai perhatian khusus pada Sandi lewat tatapannya. Wajar, karena Sandi memang tampan sekali. Mungkin Miss Tania ingin menjadikan Sandi salah satu dari kaum mereka. Jadi dari awal, aku sudah memberi umpan pada Sandi untuk mengerjai Miss Tania.

Apakah aku jahat? Mungkin. Tapi demi kelangsungan hidup manusia, aku terpaksa melakukannya. Tapi bukan berarti aku tidak ingin mereka semua selamat. Tentu saja aku akan berusaha agar mereka semua tetap hidup. Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk menyelamatkan umat manusia. Misalnya ketika Anna si PSK merangkulku. Bisa kulihat dia tidak mempunyai tanda merah di dadanya, ketika aku dirangkulnya, terdorong ke sofa. Aku sudah berbicara pelan padanya, untuk meninggalkan gedung apartemen ini, tapi sayang dia tidak mendengarkan. Tapi kalo misalkan ada seseorang yang tidak berhasi kuselamatkan, mau tidak mau aku harus kuat menghadapinya. Aku harus bersikap tega. Dan mungkin kalian bingung kenapa aku tidak langsung saja membunuh Miss Tania sebelum Toni jadi korban. Ya itu tadi, aku harus memastikan bahwa siapa Ratu di sebuah koloni. Baru aku bertindak, membasmi mereka.

Dan satu lagi yang tidak kusangka. Munculnya Sisca dalam kehidupanku, apalagi dia ternyata tinggal di tempat apartemen Miss Tania. Aku sempet curiga tadinya tapi ketika melihat Sisca berpakaian seksi dengan memperlihatkan dadanya yang putih. Ternyata tidak ada tanda merah disitu. Membuat aku lega. Tapi membuat bebanku semakin berat, aku harus bisa menyelamatkan Sisca. Apalagi ternyata aku mencintainya sejak pandangan pertama.

Bersambung

By Kisah Malam

Kisah Malam adalah sebuah Website yang berisikan Novel Dewasa, Novel Sex, Cerita Sex, Cerita First Time, Cerita Bersambung, Cerina Menarik Lainnya. Dukung Terus KisahMalam.Com Dengan Cara Bookmarks, Dan Nanti Kan Konten Terupdate dari KisahMalam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *