Cinta yang Liar Part 50

Sebuah pemandangan yang sebenarnya tidak ingin dilihat arya. sebuah pemandangan yang sebenarnya tidak ingin dilihat oleh koplak. Namun sosok tubuh itu melayang dihadapanku menghalangi sebuah peluru yang terbang ke arahku. Sesosok tubuh itu adalah tubuh yang entah dari mana datangnya. Aku mengenal tubuh itu, aku mengenal setiap nano meter tubuh itu. Tubuh itu terjatuh dihadapanku. Aku berlari mencoba menangkap tubuh itu, tapi terlambat tubuh itu telah jatuh ke lantai gedung. Bebarengan dengan aku berlari ke arah tubuh yang tergeletak di lantai, kulihat dira mengarahkan pistolnya ke arah ayah.

Dhuar …

Walau aku tidak bisa melihatnya dengan jelas, tangan ayah melepaskan pistol itu dan mengaduh kesakitan. Kuraih tubuh perempuan yang berada di lantai, Kubalikan tubuhnya dan Kuangkat tubuhnya kepangkuanku, dia tetap tersenyum memandangku.

“cepat kejar dia mas” ucap dian yang masih aku dengar jelas

“ta.. ta.. pi” ucapku dengan air mata menetes, melihat darah disebagian dada dian

“cepat! Jika dia lolos banyak yang akan menderita ergh…” ucap dian

“argh…” geramku. Seketika itu aku mengarahkan pandanganku ke ayah.

“sialan kamu banci!” ucap ayah kepada Dira

“ayo cepa mahesa” ucap om nico yang menarik ayah untuk segera kabur dari gedung ini.

Ayah dan om nico kemudian berlari menuju ke pintu yang menghubungkan bagian 1 gedung dengan jalur 2. Aku letakan tubuh dian.

“Aku mohon bertahanlah…” ucapku dengan mata sedikit berkaca-kaca

“he’em…” ucap dian sambil menganggukan kepalanya

Aku kemudian bangkit dan berlari mengejar dua bajingan yang sudah menghilang dari pandanganku. Berlari ke mengejar mereka berdua dengan penuh kemarahan, penuh dengan emosi. Penuh dengan dendam yang ingin aku luapkan kepada mereka.

“KALIAN SEMUA JANGAN ADA YANG BERGERAK! ATAU MATI!” teriak anton dari lantai 2 dengan mengarahkan senapan laras panjangnya menyapu ke kanan dan kiri membuat semua anak buah ayah arya mengangkat tangan mereka semua. Ya, mereka sadar tak akan menang sekalipun berkelahi kembali tetap saja mereka akan mati oleh penembak jitu di atas gedung.

“Hei kamu jangan bergerak! Berlutut!” teriak tugiyo dan udin yang mengarah pistolnya ke arah beberapa lelaki yang masih tersisa

Delapan orang telah menyerah kepada koplak, mereka semua berlutut dengan kedua tangan mereka berada dibelakang kepala masing-masing. Dengan sangat kasar dan buas, koplak mengikat mereka sesekali menjejak kepala mereka satu per satu. Anton kemudian turun dari lantai 2 dan berlari ke arah dian, begitupula dengan dira. Didekat dian sudah ada wardani yang memangku kepala dian. Koplak yang lain tampak tak berani mendekati dian. Kondisi gedung kini sudah aman.

Aku berlari menyusuri jalan dijalur dua ini, sendiri tanpa satu pun koplak yang menemaniku. Aku yakin bisa menghentikan mereka. aku mengira mereka akan sedikit tertatih dengan kondisi mereka tetapi ternyata tidak, mereka berlari lebih cepat dari yang aku kira. Hingga aku berbelok tepat ketika di jalur utama untuk keluar gedung ini, kulihat mereka sedang berlari.

“Bajingan berhenti!” teriakku

Ayah dan om nico hanya menoleh dan tetap terus berlari menuju pintu keluar. Hingga akhirnya mereka dapat keluar dari gedung dan hilang dari hadapan mataku. Pintu itu masih terbuka terakhir aku melihat mereka dari dalam gedung ini, mereka berlari ke arah mobil mereka yang diparkir. Aku terus berlari mengejar mereka, pintu yang hendak tertutup dengan sendirinya ku tendang. Diluar gedung aku melihat mereka menaiki mobilnya.

Segera aku berlari kembali ke arah mereka yang sudah menyalakan mesin mobil. Ketika mobil itu berjalan aku kemudian melompat terbang. Tepat ketika mobil itu berjalan aku berhasil menarik kawat yang telah aku hubungkan dengan penyumbat pada lubang tangki bensin mobil itu. ya, sebelum aku masuk aku melubangi tangki bensin mobil ayahku, aku sudah persiapkan semuanya sebelum berangkat ke gedung ini. mencoba mempelajari mobil yang dikendarai ayah dan letak tangki bensin mobilnya. Aku melubangi tangki tersebut dan kemudian menyumbatnya. Sumbat kemudian aku hubungkan dengan sebuah kawat yang aku ikatkan pada sebuah paku dibelakang mobil. Kelemahannya hanya pada kawat tersebut, kawat terlalu pendek jika tidak aku pegang pasti tidak akan melepaskan penyumbat bensin tersebut.

Kawat yang aku tarik juga ikut menarik penyumbat karet hingga terlepas. Aku yang berada dibelakang mobil dalam kondisi tengkurap tersenyum. Aku berdiri melihat mobil yang mengalirkan bensin tersebut berjalan.

“HEI!” teriakku dengan senyum sembari mengeluarkan sebatang dunhill mild dan korek api

Mungkin aneh bagi mereka melihat orang yang mengejarnya berhenti mengejar. Mobil tersebut sempat berhenti dan tampak ayah mengacungkan jari tengah ke arahku.

“this is my theater…” ucapku lirih, setelah aku menyulut dunhill mild, aku dekatkan korek api itu ke arah bensin yang tercecer

Whugggg…. sebuah kobaran api langsung menyala dan berlari ke arah mobil ayah yang hendak kembali berjalan …

“Wherever you will go, fire always love you” ucapku sembari mengeluarkan asap melihat api yang semakin mendekat ke arah mobil itu

Mobil bergerak namun baru beberapa meter mobil tersebut berhenti. tampak dua pintu depan mobil terbuka, ayah dan om nico sudah berada diluar dan berusaha menjauhi mobil yang ditungganginya. Baru saja mereka berlari kurang lebih 5 meter dari mobil tapi sayang api terlalu mencintai mereka.

“Avra ka davra…” ucapku lirih dan …

DHUAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAR …

Sebuah ledakan besar tak jauh dari hadapanku mungkin sekitar 15 meter dari tempatku berdiri. Dua tanganku menutupi wajahku, tubuhku sedikit terhempas kebelakang. Dari sela-sela kedua tanganku aku melihat bayangan dua orang terpental. Satu orang terpental ke arah kanan dan seorang lagi terpental ke arah kiri. Mereka berdua terpental jauh, yang aku harapkan hanya satu mereka masih hidup. Beberapa saat setelah ledakan pertama masih terjadi ledakan kedua dan ketiga namun ledakan kedua dan ketiga hanya ledakan kecil dari mobil tersebut.

Walau tubuhku terhempas kebelakang aku masih bisa menjaga keseimbanganku. Aku buka kedua tanganku yang menutupi pandanganku ini, dengan sebatang dunhill mild masih terselip diantara kedua jari tangakan kiriku. Aku melihat api itu tampak tersenyum, berkobar-kobar mencoba menggapai langit malam. Walau terangnya api ini tidak seterang mentari yang bersinar kala siang tapi cukup membuat sekitar tempat itu terlihat sangat jelas. Panasnya lebih panas dari terik matahai di siang hari, karena api yang berkobar lebih dekat dari mentari. Aku langkahkan kakiku mendekati mobil itu, sebuah pintu depan mobil terlihat sudah tidak tergeletak tak jauh dari mobil tersebut.

“ughh… tolonghhh…..” sayup-sayup rintih seorang lelaki, aku mendengarnya, sedikit rasa iba tapi aku tak mempedulikan rasa iba itu.

Aku kemudian berjalan ke kiri mobil tak jauh dari mobil tersebut ku temukan seorang lelaki yang sering aku sebut sebagai om nico. Tampak dia mengaduh kesakitan tapi aku tidak mempedulikannya. Aku tarik kerah bagian belakang lehernya, kutarik dengan kasar. Kuseret tubuhnya ke arah satu orang lagi yang sebelumnya aku lihat mencoba untuk bergerak. Dengan langkah sedikit berat sisi batinku merasa sedikit lebih senang malam ini. rasa senang karena telah mengakhiri perjalanan dari seorang maestro kejahatan di daerahku. Berjalan melewat belakang mobil yang terbakar dengan rintihan minta tlong dari om nico. kebenaran adalah akhir dari sebuah kekejaman, tapi entahlah apakah yang aku lakukan ini benar atau salah. Yang jelas aku hanya ingin mengakhiri perjalanan dari para maestro kejahatan ini. kulihat tubuh ayah yang mencoba menyeret tubuhnya dari tempat dia terjatuh. Aku menghempaskan tubuh om nico didekat tubu ayah. Suatu pemandangan yang aneh emang ketika aku melihat itu semua.

Dua orang lelaki yang kesehariannya hanya menebar ancaman kesana-kesini. Sekarang sedang tergolek lemas dan hancur dihadapanku.

“Arya tolonghhhh ayah… ughh… ayo nak tolonghhh ayah nak…” ucap ayahku

“kenapa? kamu takut ya? tenang saja aku tidak akan membunuhmu…” ucapku sembari melangkah dan mendekati mereka berdua

Tanganku masuk kedalam saku rompi yang aku pakai. Dengan posisi setengah berjongkok ditengah-tengah mereka, aku tersenyum.

“Kalian bunuh KS, kepala pembantu di Rumah Eri, kalian juga kan yang membunuh kakek Tian…” ucapku dengan pandangan penuh amarah

“aghh… tolonglah nakhhh ayah khilaf…” ucap ayahku

“Khilaf? Itu juga kan yang kalian katakan kepada Ibu dan tante ima ketika kalian memperkosa mereka di hotel? Dan tanpa kalian sadari, salah satu dari kalian telah menghadirkan seorang lelaki yang menghentikan langkah kalian sekarang ini bukan?” ucapku

“erghh… dasar kamu bajingan!” ucap ayah

“bunuh saja kami! erghhh…” ucap om nico

“Ha ha ha ha ha biasanya kalian tertawa seperti itu kan? Kenapa sekarang menyerah pada kematian?”

“membunuh kalian ya? hmmm…. tidak, aku tidak ingin membunuh kalian… terlalu dini membunuh kalian sedangkan banyak yang kalian buat menderita hingga bertahun-tahun lamanya” ucapku

“apa maumu sebenarnya? Segera habisi kami!” ucap ayah

“Ayah… ayah… masih ingat ini?” ucapku sambil memegang kalung berbandul giok dengan seekor kerbau didalamnya

Mata mereka berdua terkejut ketika melihat benda itu. ketakutan mereka terpancar dari wajah mereka yang dihiasi ileh karbon-karbon dan juga darah.

“erghh.. itu…” ucap ayah

“ya, ini milik nenekku dan kakekku, kakek Wicaksono dan nenek mahesawati. Kalian pasti terkejut karena aku mendapatkan ini kan? Kalian tahu apa yang telah kalian perbuat kepada mereka? hingga mereka harus tinggal di gubuk tua tanpa ada yang merawat? KALIAN HARUS MERASAKAN HAL YANG SAMA DAN HARUS LEBIH SAKIT LAGI DARI MEREKA!” uacpku diakhiri dengan bentakan, air mataku mengalir dipipiku mengingat bagaimana kakek dan nenekku meninggal dipelukanku

“kalian kan hiks yang membuat mereka menderita, ini belum seberapa dibandingkan apa yang mereka rasakan karena ulah kalian!” ucapku

“oh ya ayah… aku akan tetap memanggilmu ayah tenang saja, aku hanya ingin mengatakan satu hal. Di daerah ini hanya akan ada satu kerbau dan itu adalah aku! Ingat baik-baik! Ha ha ha ha…”ucapku sambil tertawa

“kalian membuat semua orang menderita ibu, tante ima, KS, mbak erlina, eri, rani, kakek, nenek dan dian.. ah dian…” ucapku tiba-tiba teringat kembali dengan dian

Kalung yang aku genggam langsung aku pakai leherku, aku tarik baju mereka dan aku seret. Langkahku semakin cepat menuju ke dalam gedung, dian… aku mohon jangan sampai dia pergi. Dian, tunggu dian…

“Argh… lepaskan kamihhh…. “ ucap ayah

“bunuh saja kami…” ucap om nico

“DASAR BAJINGAN! KALIAN DIAM!” bentakku

Semakin cepat langkahku ketika berada didalam gedung, ingin segera menemui dian. tapi jika mereka aku tinggalkan, bisa saja ada orang yang membawa mereka. aku harus cepat dan cepat. Jantungku berdebar, pikiran kacau tak kupedulikan rasa sakit yang mereka terima ketika aku menyeret mereka. meleati jalur 2, hingga akhirnya aku berdiri melihat tante wardani memangku kepala dian. aku melihat seluruh koplak, tapi mereka menggelengkan kepala denga wajah ng sedih. Kulihat nenek dan tanteku juga sam memandangku dengan perasaan sedih. Matanya tidak terbuka, kenapa? Jantungku berdetak dengan kencang. Kulempar tubuh om nico adn juga ayah kelantai. Aku segera berlari, air mataku teruurai. Koplak menyaksikan itu semua tampak terdiam.

Aku berlari dan mendekati tante wardani, dan langsung duduk bersimpuh dihadapan tante wardani. Kulihat matanya terpejam, aku menangis, air mataku semakin deras lebih deras dari air hujan badai. Tangan kananku meraih lehernya sedangkan tangan kananku meraih tubuhnya. Terlihat darah yang menempel pada tubuh itu. Kupeluk tubuh dian…

“Ade… hiks hiks hiks bangun… bangun… maafkan mas dek hiks hiks hiks hiks..”

“AYO BANGUN!… hiks hiks hiks hiks… aku mohon bangun!”

“Jangan pergi hiks hiks hiks hiks hiks… aku mohon hiks hiks hiks jangan pergi hiks hiks…”

“bangun sayang… bangun… hiks hiks hiks… aku mencintaimu, aku mohon bangun hiks hiks…” tangisku meledak

“DIAN BANGUN! Hiks hiks hiks hiks…” ucapku dengan kepala terbenam diantara leher dan pundak kanannya

Semua hening…

Tak ada suara sedikitpun…

Hanya tangisku yang terdengar masih menderu…

Dan semuanya telah…

“iiih… cengeng!” ucap dian

Aku terkejut… dan mengangkat wajahku…

“Eh… ade… ade?!” ucapku terkejut melihat wajah dian yang tersenyum kepadaku, aku pun tersenyum kepadanya

“HA HA HA HA HA HA…. Woi ada preman cengeng! Ha ha ha ha ha” teriak wongso diikuti tawa semua koplak yang ada didalam gedung, tapi aku tidak mempedulikannya

“Apa?!” ucapnya kembali, judesnya tetap saja tidak hilang dalam situasi seperti ini

“mas kira ade… ah hiks hiks hiks” ucapku dan kembali memeluknya

“aduh mas, mas, aduh sakiiiit pelan… pundak kanan ade itu tadi yang kena peluru…” ucapnya sambil tangan kirinya memukul pelan punggungku

“Ade… sih…. hiks hiks hiks…” ucapku, menganngkat wajahku dan memandang wajahnya

“I Love you…” ucapku lirih tepat di depan wajahnya

“I Love you too…” ucapnya

Wajahku semakin dekat, bibir kami bersentuhan dan …

“E… e… e…. e….. main cium anak orang saja!” ucap tante wardani yang kelihatan habis menangis

“Eh tante, he he he…”

“mmm.. tan jadi, dian itu anak…” ucapku dan tante wardani mengangguk. Terkejut aku mendengarnya walau sebenarnya aku sudah tahu sejak dian memasuki gedung ini. jelas aku terkejut mengingat aku pernah…

“Auch….” aku mengaduh, tangan kiri dian masuk dan menari kuping kiriku. Matanya melotot tajam ke arahku

“eh.. itu anu de, eh… aduh…” ucapku mengingat aku pernah bersetubuh dengan ibunya

“Ndak boleh lagi, awas!” ucapnya pelan

“Maaf…” ucapku kembali menyentuhkan keningku ke keningnya

“Arda, maafkan mama ya… mama tidak tahu…” ucap tante wardani

“he’em ma, sekarang mama bisa kumpul lagi bareng papa kan?” ucap dian, dan tante wardani mengangguk

Bugh…

“Gila kamu benar-benar gila, aku jadi ikut nangis dasar sialan lu cat hiks hiks hiks…” ucap dewo

“romatis bener sih kamu cat, dasar kampret!” ucap wongso

“iiiih arya romantis bangeeeeeeet….” ucap sudira

“niatnya mau ngerjain kamu, malah bikin orang nangis kamu, asu! (Anjing)” ucap karyo

Aku tersenyum…

“koplak, terima kasih…” ucapku memandang semua koplak

“celeng, gawe nangis… rokok’e su! (babi hutan, buat nangis… rokoknya njing)” ucap aris meminta rokok kepada anton

Kulihat semua koplak menitikan air mata…

“Arya…” panggil seorang wanita

“Eh… iya nek…” ucapku menengok ke arah nenek laila

“sebentar…” ucapku mengembalikan dian ke tante wardani, dian mengangguk pelan

Aku melangkah mendekati nenek laila dan nenek ifah yang memeluk mbak alya dan mbak alsa. Kudekati mereka berempat tepat ditengah-tengah nenek laila dan nenek ifah.

“Apa kamu benar, arya anaknya mahesa?” ucap nenek ifah

“bukan…” ucapku sambil tersenyum dan membuat mereka terkejut

“aku arya, anak dari diah ayu pitaloka” ucapku, mereka berdua kembali tersenyum dan memelukku

“Arya… hiks terima kasih nak, kamu memang anak yang baik hiks hiks hiks terima kasih…” ucap nenek laila

“nenek senang kamu ada disini hiks hiks hiks” ucap nenek ifah yang terisak

Kupeluk erat tubuh mereka berdua…

“mbak alya, mbak alsa…” panggilku kepada mereka berdua yang nampak masih asing denganku. Kulepaskan pelukanku dan menarik tangan mereka berdua

“nanti beli es krim bareng-bareng lagi yuk…” ucapku tersenyum, tiba-tiba saja air mata mereka keluar sangat deras. Mereka melompat memelukku, hingga aku jatuh kebelakang

“dasar kamu cengeng! Hiks hiks hiks” ucap mbak alsa

“cengeng, cowok cengeng!” ucap mbak alya

“Ha ha ha ha… ternyata kita sama-sama cengeng ya mbak hiks hiks…” ucapku

“he’em… terima kasih ar…” ucap mbak alsa dan mbak alya bebarengan

“iya mbak sama-sama…” ucapku

Tak berlama-lama, koplak kemudian melepas semua pakaian dari anak buah ayah. Dipakaikannya ke nenek alya, nenek ifah, mbak alya dan mbak alsa. Kulihat dian duduk bersandar pada tante wardani, sesekali kami melempar senyum ketika aku dan koplak mengumpulkan para anak buah ayah dalam satu tempat. Nenek dan tanteku juga duduk bersebelahan dengan tante wardani dan dian. Tampak ayah serta om nico tak bisa berdiri dan hanya bisa merintih kesakitan dengan tubuh hancurnya itu.

“Aku bayar berapapun, lepaskan aku…” ucap bandar 2

“iya, kalian minta berapapun aku pasti..” ucap bandar 3 yang terhenti

Dhuar… dhuar….

“Arghh…..” teriak dua bandar

“dasar bajingan! tuh makan uang kalian, kalau akyu sih ndak mau uang, mau kontol saja deh…” ucap dira sambil berjalan melenggak lenggok bak seorang pragawati mendekati dian

“ssst… mbak… mbak… nanti dira diajarin ya biar susunya tambah gedhe hi hi hi…” ucap dira pelan tapi terdengar oleh kami

“Dasar koplak!” ucap koplak

“lho sudah gedhe lho mbak masa mau lebih gedhe lagi…” ucap nenek ifah

“iiih nenek gitu deh, kan dira pengen lebih seksi lagi…” ucap dira menyahut

“yaelah nenek jangan percaya tuh sama mbaknya, itu mah luarnya aja yang mbak, dalamnya mas ha ha ha..” ucap dewo

“iiih dewo nakal deh, nanti dira sedot baru tahu rasa…” ucap dira menimpali dewo

“iya ngeri banget…” terdengar suara lirih dari gerombolan anak buah ayah

“WOI BILANG APA KAMU! MAU MATI KAMU!” ucap dira dengan suara cowoknya

Kami semua tertawa dan nenek beserta tanteku juga tersadar kalau dira bukanlah cewek. Satu persatu koplak duduk dan melempar sebungkus rokok. Ketika bungkus rokok itu dilempar kearahku, kulihat dian sejenak. Dia mengangguk dengan senyumannya, aku tersenyum dan kusulut sebatang dunhill mild.

“Okay semuanya… dengarkan…” ucap anton lantang

Kami semua menoleh ke arah anton…

“Kalian koplak, pergilah, kembali berkumpul 2-3 hari lagi. Jika kalian berada didalam rumah, lakukan aktifitas seperti biasanya. Aku tidak ingin kalian diinterogasi berlebihan, dan kalian semua beristirahatlah selama 2-3 hari ini. biar aku yang menangani mereka semua…. okay bisa?” ucap anton

“ya, tapi jangan katakan kalau kami yang berada disini” ucap tugiyo

“ya jelaslah tidak, bisa-bisa kalian malah di tahan…” ucap anton

“yeee takut nih takut habis bunuh orang ya he he he” ejek udin

“gundulmu kamu saja sudah bunuh banyak…” ucap tugiyo

“kan terpaksa ha ha ha” ucap udin

“sudah… sudah… sebentar lagi mereka datang, kalian pergilah sampai aku mengabari kalian semua..” ucap anton

“tapi nton… eeee…” ucapku

“sudah, tenang saja dian akan baik-baik saja…” ucap anton

“baiklah terima kasih…”ucapku

Sayup-sayup terdengar suara sirine, anton kemudian menyuruh kami segera pergi. Aku dekati dian…

“Mas pergi dulu, 2-3 hari lagi mas temui ade…” ucapku

“he’em hati-hati, jangan macem-macem…” ucapnya, aku mengangguk

“tante… tolong jagain dian ya…” ucapku kepada tante wardani

“iya, ar… pasti…” ucapnya

“nenek ifah, nenek laila, mbak alya dan mbak alsa… arya pergi dulu, 2-3 hari lagi kita akan bertemu. Anton akan mengurus semuanya”ucapku

“iya ar, kamu hati-hati ya…” ucap nenek laila

“jaga diri kamu…” ucap nenek ifah

“terima kasih keponakanku yang cengeng… cup…” ucap mbak alya dan mbak alsa sambil mengecup pipiku

Sekali lagi aku dekati dian dan kukecup bibirnya, dian tersenyum dan aku kemudian berlari keluar gedung bersama-sama dengan koplak. Berlari menyusuri kebun yang rimbun hingga akhirnya menemukan motor-motor kami sendiri-sendiri. aku dan wongso, aris dan dewo sedangkan yang lainnya diparkir ditempat yang berbeda. Aris dan Dewo melaju terlebih dahulu diikuti aku dan wongso. Setelah aris dan dewo menghilang dari pandangan kami, tiba-tiba sebuah mobil sedan hitam melaju disamping kami lalu mendahului kami. mobil itu tiba-tiba berhenti didepan kami, aku dan wongso tampak terkejut. Kami pun bersiap-siap jika saja ada sebuah hambatan lagi. Ketika pintu mobil itu terbuka…

“Arya, ayo pulang…” ucap wanita itu, Ibu

“eh…Ibu…” aku terkejut ketika melihat ibu

“huft… ternyata tante to… owalah tak kira siapa, tapi bukannya tante…” ucap wongso

“sudah, nanti kamu dengar cerita dari arya saja ya, arya ayo masuk…” ucap ibu

“wong, aku bareng sama ibu ya…” ucapku

“yoi bro, malah enak kalau gini, aku bisa langsung ke rumah menemui bidadariku…” ucap wongso

Aku dan wongso akhirnya berpisah, wongso langsung mendahului kami ketika aku masuk ke dalam mobil.

“kenapa ibu bisa sampai disini, bukannya ibu mmmm…” ucapku tersumbat oleh bibir indahnya

“sayang… ibu kangen, sekarang kamu ikut ibu sayang ?” ucap ibu

“eh… bu tapi dian…” ucapku

“dian akan baik-baik saja percaya sama ibu, Tante asih juga ikut dalam datang ke gedung saat ini, jadi kamu tenang saja sayang, okay?” ucap ibu, sambil mengalihkan pandangannya kedepan

“ibu ingin kita berpisah… dan menjadi seorang ibu dan anak lagi… dan ini yang terakhir sebelum kamu bersama dian…” ucap ibu, kupandangi wajah ibu dari samping. Kudekatkan wajahku ke wajah ibu..

“cup… “

“jika memang begitu seharusnya…” ucapku, ibu memandangku dan kami kemudian saling melumat bibir kami

Sebuah rombongan mobil kepolisian dan juga mobil intelejen Negara beserta 3 mobil ambulance datang ke gedung. Bersamaan dengan kedatangan mereka, koplak telah menghilang. Disana hanya ada anton, anak buah mahesa dan nico serta dua orang bandar. Wardani, dian (Arda), dan juga keluarga arya juga berada disitu. Ketika semua datang masuk, serbuan polisi dan IN tampak tak berarti apa-apa karena mereka hanya menemukan anton yang duduk dengan sebatang dunhill mild di tangannya juga senapan laras panjang di pangkuannya.

“Anton, apa kamu yang?” ucap seorang lelaki yang tidak lain adalah komandan anton

“buka ndan, yang melakukannya adalah orang-orang gila” ucap anton dengan senyuman

Tanpa memperpanjang pembicaraan, IN kemudian membantu kepolisian untuk mengevakuasi para tersangka. Namun tiba-tiba saja dua orang polisi yang merupakan pimpinan kepolisian yandatang ke tempat itu langsung ditubruk dan di borgol oleh anak buahnya sendiri.

“Apa-apaan kalian ini?” ucap pimpinan 1

“Maaf pak, saya tidak bisa membiarkan anda menolong mereka, anda salah satu dari mereka” ucap anak buahnya

“kalian tidak punya bukti untuk itu semua” ucap pimpinan2

Kemudian seorang IN memperlihatkan rekaman video dan suara dihadapan dua pimpinan itu. kedua pimpinan kepolisian tertunduk dan tak bisa berkutik lagi.

“terima kasih untuk kerjanya IN, setelah ini pasti mereka akan masuk penjara dan menjadi orang biasa kembali” ucap seorang yang menangkap pimpinan 1

“sama-sama” ucap anggota IN

“masukan mereka kedalam mobil tahanan semua…” ucap seorang yang menangkap pimpinan 1

Mereka berdua kemudian berjalan menghampiri anton. Ternyata mereka berdua adalah anggota kepolisian yang diberi tugas untuk mengawasi pergerakan kedua pimpinan kepolisian tersebut. Mereka ditugaskan oleh kepolisian pusat setelah kepolisian pusat mendapat laporan dari IN. Setelah para tersangka dievakuasi, begitu pula dengan Mahesa dan Nico yang ditandu masuk ke dalam ambulan. tampak asih berjalan mengahampiri dian. ifah, laila beserta anaknya di evakuasi oleh perawat lain. Walau berpapasan dengan asih, asih masih tidak sadar kalau itu adalah keluarganya, wajar karena asih tahu dari diah kalau dian ada didalam gedung itu. sehingga asih hanya fokus kepada dian.

“kamu ndak papa yan?” ucap asih

“ndak apa tan…” ucap dian

“apakah anak saya bisa sembuh lagi mbak?” ucap wardani kepada asih

“eh, anda ibu dian?” ucap asih

“iya, ini anak saya Warda nicolaswati…” ucap wardani

“mama… mulai sekaranng dan seterusnya namaku Dian, Dian Rahmawati..” ucap dian kepada Ibunya

“eh, iya… Dian Rahmawati Sukoco…” ucap wardani dengan senyuman, dian tampak terkejut mendengar nama itu

“terserah mama, yang penting mama harus bawa papa ke dian, biar dian tahu papa dian” ucap dian dengan senyuman karena mengetahui nama dibelakangnya. Jelas itu adalah nama seorang laki-laki yang di cintai oleh ibunya

Asih tampak berada diantara percakapan mereka tapi asih tahu dengan jelas jika yang dibicarakan oleh dua perempuan dihadapannya mengenai keluarga dan cinta. Selepas percakapan, kemudian dian dibawa asih beserta wardani menuju ke ambulan. Dian ditandu dan dimasukan ke dalam ambulan beserta wardani, asih masih berada diluar. Keramaian dan suara sirine polisi menghiasi malam ini. Asih bersyukur karena dian baik-baik saja. Asih berdiri masih berada di lokasi melihat ambulan yang membaawa dian pergi, ketika melihat kesekelilingnya asih tampak terkejut.

“TANTE!…” teriak asih ke laila dan ifah. Laila dan ifah memandang asih, tampak asing bagi mereka berdua. Asih lalu menghampiri laila dan ifah, mereka berdua masih sedikit bingung dengan kehadiran asih yang datang menghampiri mereka.

“tante laila, tante ifah? Ini asih… keponakan om tian” ucap asih dengan mata berkaca-kaca, tiba-tiba saja ingatan mereka berdua, laila dan ifah, kembali ke masa dimana suami mereka masih hidup

“Asiiiiiiih…” teriak mereka berdua, laila dan ifah, yang langsung memeluk asih

“tante bersykur masih bisa lihat kamu lagi…” ucap laila yang memeluk asih dengan sangat erat, diikuti ifah yang memeluk asih

“tante kemana saja?” ucap asih mencoba mencari tahu tentang tantenya yang tiba-tiba saja berada di tempat ini

“panjang sih, oh iya ini alsa dan alya… tapi lebih cocok jadi keponakan kamu” ucap ifah

“eh… tante asih…” ucap alsa sedikit ragu

“eh, manggilnya mbak kan kalian anak dari om-ku” ucap asih tersenyum dengan air mata mengalir dipipinya

“he’em mbak…” ucap alya

Mereka berpelukan , saling melepas rindu satu sama lain. Tawa riang mereka berdua senantiasa menghiasi bibir mereka. laila dan ifah tampak begitu gembira bertemu dengan keluarganya lagi setelah sekian lama terpenjara didalam sebuah rumah bersama anak-anaknya. Masih beruntung kedua anaknya keluar untuk sekolah dan kuliah. Namun tetap saja alya dan alsa ketika sekolah hingga kuliah selalu mendapatkan penjagaan ketat. Alsa dan alya sengaja dikuliahkan di luar daerah agar tidak bertemu dengan keluarga dari pak warno kakek arya.

“nanti tante ceritakan sih, tadi itu ar…” ucap ifah

“sssst… asih sudah tahu, jangan ngomong disini hmmm…” ucap asih

“jadi mbak sudah tahu ya?” ucap alya

“jelas, 12 anak laki-laki, tapi yang satu tidak jelas itu laki apa cewek hi hi hi” ucap asih, mereka berempat tampak bingung karena asih mengetahui semuanya

“lho kok bisa tahu?” ucap laila

“sudah nanti asih ceritakan, asih akan hubungi om warno dan tante ayu…” ucap asih, mereka sedikit terhenyak ketika mendengar nama yang disebutkan asih

“eh bagaimana kabar mereka sih?” ucap laila dengan sedikit sedih

“baik kok, nanti asih ceritakan semua… oh ya ayah dan ibu juga bareng dengan mereka kok” ucap asih

“Mas wardi dan mbak Umi?” ucap ifah

“he’em pokoknya nanti asih ceritakan semua dan asih mau ngabari ke mereka kalau tante ifah dan tante laila sama alsa dan alya sudah kembali , pasti mereka senang…” ucap asih

“tapi sih, om kamu sudah tiada. Kami bukan…” ucap laila terpotong

“masih… bukan berarti om tiada, tante bukan keluarga kami lagi, tante dan adik-adikku ini masih, masih keluarga sampai kapanpun…” ucap asih

Air mata mengalir di pipi ifah dan laila, begitu pula alsa dan alya tak mampu menahan haru lagi. Sekali lagi mereka menagis untuk kedua kalinya, menangis bersama karena kebahagiaan yang sempat tertunda bertahun-tahun lamanya. Dalam tangisnya ifah dan laila teringat akan suaminya. Seandainya saja tian masih berada disini mungkin saja mereka akan merasakan kelengkapan dalam kebahagiaannya. Berlima mereka kemudian memasuki sebuah ambulan menuju ke rumah sakit daerah.

Bersambung

Hallo Bosku, Disini Admin KisahMalah
Agar Admin Semakin Semangat Update Cerita Cerita Seru Seterusnya, Bantu Klik Iklan yang Ngambang ya.
Atau Gambar Dibawah INI

Atau Bagi Kamu yang suka bermain game Poker Online atau Gambling Online lainnya, bisa di coba daftarkan ya. Banyak Bonus dan Hadiahnya Loh.
Untuk yang Kesulitan Daftar bisa Hub Admin di WA untuk di bantu Daftar.
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂

Daftar Part

By Kisah Malam

Kisah Malam adalah sebuah Website yang berisikan Novel Dewasa, Novel Sex, Cerita Sex, Cerita First Time, Cerita Bersambung, Cerina Menarik Lainnya. Dukung Terus KisahMalam.Com Dengan Cara Bookmarks, Dan Nanti Kan Konten Terupdate dari KisahMalam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *