Cerita Lama Sungai Hitam Part 6
Hariku terasa sepi. Yang aku lakukan kebanyakan di kamar, hanya menciumi pakaian pemberian Karen. Aku kangen sekali wangi tubuhnya. Kehangatan ciumannya. Kecantikan wajahnya.
RABU, 20 MEI 1998 PUKUL 21:01
Telepon rumah berbunyi, kebetulan aku yang angkat.
“Halo Albert sayang,” suara yang sangat aku rindukan.
“Halo sayang. I miss you so much,” aku gembira sekali mendengar suaranya.
“Gua sudah sampai kemaren. Gua beres-beres dulu tempat gua dan Keisya tinggal. Jadi baru sekarang gua sempet telpon loe. Gua kangen banget ama loe,” sambungnya gembira.
“Gua ga bisa telpon lama-lama, entar papi ngamuk lagi kalo biaya telepon mahal,” Karen tertawa.
“It’s good to hear your voice, bert. I love you so much. Entar kita chat lewat yahoo yah. Bye sayang,” Karen mengakhiri percakapan.
Singkat tapi sudah membuat hariku lebih bersemangat. Aku tidur sambil memeluk pakaian Karen malam itu.
Kini kami hanya bertiga duduk di deretan belakang. Aku sengaja memilih kursi yang sebelahnya kosong. Aku sering menatap kursi itu seakan-akan Karen yang duduk disitu. Kami bertiga merasa kehilangan Karen, tapi jelas aku lah yang paling merasakan kehilangan. Joko dan Ira sering menghiburku.
Sampai suatu ketika setelah kira-kira hampir seminggu sesudah Karen ke Amerika.
“Eh loe perhatian ga, man. Banyak teman-teman kita yang ga kelihatan lagi,” Joko berkata padaku.
“Siapa aja yang emang ga ada?” tanyaku. Terus terang aku sudah tidak bersemangat lagi kalo ke kampus.
“Michelle ga ada. Itu sih yang gua tahu,” jawab Ira.
Kami mencoba mengecek siapa lagi yang kira-kira tidak ada di kampus.
“Michael juga ga pernah keliatan,” sambung Ira.
“Bagus sih kalo keparat itu ga ada,” begitu kataku sambil tertawa.
“Ah loe. Loe kan uda dapat si Karen. Loe uda menang dari Michael,” ujar Ira.
Mendengar nama Karen disebut, membuat aku termenung.
“Sorry bert, gua ga sengaja,” Ira minta maaf.
“Ga apa-apa,” kataku. Karen jarang telpon. Kalo aku yang telpon kasian pamanku entar bayar tagihan teleponnya. Kami biasanya memang chat di yahoo. Dan setelah beberapa lama, kami putuskan untuk setiap Minggu kami chat di yahoo.
MINGGU, 31 MEI 1998 PUKUL 9:15
Pagi-pagi aku sudah nongkrong di warnet. Aku sudah janjian dengan Karen untuk chat.
Karen : bert.
Albert : Halo sayang, gua hadir hehehe.
Albert : Gimana kuliah loe?
Karen : ya lumayanlah. Gua kuliah lagi di tempat yang dulu, jadi banyak yang harus gua kejar nih. Jadi agak sibuk, plus gua harus bolak balik nganterin Keisya, dia kan belum hapal jalan-jalan di LA.
Albert : eh ada salam dari Joko dan Ira.
Karen : wah gua kangen banget ama kalian.
Albert : Jadi kangen ama gua dan kangen ama Joko dan Ira sama ya?
Karen : Yee, gitu aja ngambek. Ya ga lah, sudah pasti gua lebih kangen ama sayangku.
Karen : apalagi sama juniormu, sayang.
Albert : gua juga kangen ama gunung kembar loe. Yeee
Karen : *blushing
(detil lainnya aku lewat aja)
Albert : Karen, banyak temen kita yang ke luar negeri juga loh kayak loe.
Karen : Oh ya. Siapa aja?
Albert : salah satunya si Michael.
Karen : oh. Loe jangan marah ya. Sebenarnya gua mau kasi tau dari kemaren-kemaren, hanya takut loe marah. Michael satu kampus sama gua disini.
(guntur menggelegar di telingaku dan tidak ada yang bisa kulempar pada Michael kali ini)
Aku lupa detil chat berikutnya. Dadaku terasa sesak lagi. Dasar si keparat memang. Gampang buat si Michael cari info tentang Karen, kan papinya temen dekat papi Karen. Tiba-tiba terbersit dalam benakku. Aku harus ngumpulin duit ah, aku mau maen ke Amerika, bikin surprise buat Karen. Semangatku timbul lagi. Aku bertekad mau kesana. Wait for me, Karen.
MINGGU, 21 JUNI 1998 PUKUL 09:10
Waktu terasa cepat. Sekarang sudah waktunya kami chat lagi. Rasa kangenku tetap sama, hanya kini aku lebih bersemangat karena aku punya tekad mau ke Amerika.
Albert : Halo sayang.
Baru aku perhatikan, status Karen lagi tidak online. Hampir satu jam, statusnya masih tidak online. Satu jam kemudian lagi, Karen masih tidak online. Aku kecewa hari itu. Untuk mengobati rasa kecewaku, pulang dari warnet aku sengaja melewati rumah Karen. Melihat rumah Karen dari luar, membuat aku mengenang masa-masa saat kami bersama. Aku tersenyum. Wait for me, Karen. Aku pasti ke Amerika. Semangatku bangkit kembali. Kenapa aku tidak telepon dia aja yah. Aku mencari-cari Wartel yang dekat situ. Kupencet nomor telepon yang diberikan Karen. Bunyi nada sambung tapi tidak ada yang angkat. Aku coba beberapa kali, hasilnya sama. Besoknya aku ke warnet setiap hari dan status Karen masih tidak online dan aku coba telepon pun, sama tidak ada yang mengangkat disana. Akhirnya aku memberanikan diri, untuk menelpon ke rumah Karen. Bi Surti yang angkat. Ternyata orang tuanya lagi ke Amerika, Karen kena sakit tipes. Kecapean katanya.
Aku jadi sangat khawatir. Rutinitasku setiap hari ke warnet dan telepon ke Amerika. Kira-kira hampir dua minggu kemudian, teleponku diangkat.
“Halo,” suara laki-laki yang mengangkat.
Aku seperti kenal suaranya.
“Ini papinya Karen?” tanyaku.
“Bukan ini temannya, Michael. Ini siapa yah?” tanyanya.
Langsung aku tutup teleponnya.
SELASA 23 JUNI 1998 PUKUL 21:02
Karen menelponku.
“Maaf sayang, kemaren gua sakit tipes. Gua harus istirahat total. Baru sekarang gua bisa telpon loe. Maaf yah,” katanya
“Seneng sekali bisa denger suara loe, Karen. Gua khawatir banget,” Aku menceritakan semuanya bagaimana aku telpon ke rumahnya dan lain-lain.
“Waduh sori banget yah sudah bikin loe khawatir, sayang,” katanya sambil tertawa.
“Tapi denger loe ketawa, khawatir gua jadi hilang,” ujarku kemudian.
Lalu aku mendengar suara laki-laki disana.
“Karen, loe makan dulu nih. Harus jaga kesehatan,” terdengar laki-laki itu berkata.
“Papi loe masih di Amrik, Karen?” tanyaku.
“Eh ga, ortu gua uda pulang. Itu…itu..si Michael,” jawab Karen pelan.
“Heh!” aku kaget. Rasa cemburu langsung menyelimutiku.
“Ayo Karen. Makan dulu!” suara Michael terdengar lagi.
“Nanti gua sambung ya, Albert sayang. I love you,” Karen menutup telepon sebelum aku sempat mengucapkan I love you too.
Malam itu aku tidak bisa tidur. Terpikir dan terbayang macam-macam di benakku. Sampai akhirnya aku tertidur pun, aku bermimpi aneh, tentang Karen dan Michael.
MINGGU, 28 JUNI 1998 PUKUL 09:10
Seperti biasa aku ke warnet.
Albert : halo sayang
Karen : halo bert.
(tumben ga pake kata sayang)
Albert : gimana uda baikan?
Karen : uda bert. Gua uda mulai kuliah lagi. Sibuk banget nih, banyak ketinggalan. Untung Michael bantuin gua.
(aku meneguk ludah)
Albert : sering ketemu Michael yah sekarang?
Karen : iya, untung ada dia jadi gua terbantu banget.
(Dasar keparat)
Albert : oh gitu yah, berarti gua harus terima kasih ke Michael nih
Karen : maksud loe?
Albert : ga apa-apa. Ga ada maksud apa-apa.
(dasar brengsek)
(detilnya aku lewat)
Albert : ya uda sayang. I love you
(biasanya Karen yang bilang duluan)
Karen : I love you too, bert
(ga pake kata sayang lagi)
Abis pulang dari warnet, aku cari tour and travel terdekat. Aku tanya-tanya soal ke Amerika. Aku tertegun ternyata tiketnya mahal banget dan aku harus ada visa. Satu-satunya visa yang mungkin adalah visa turis. Yang mana aku bisa dapatkan kalo aku ikut paket tur yang ada di sana. Biayanya jatuhnya lebih mahal lagi. Setelah aku hitung-hitung, dengan penghasilanku sekarang. Minimal 5 bulan lagi, aku baru bisa kesana. Eh 6 bulan karena bulan Juni anak sekolah libur jadi aku tidak dapat penghasilan.
MINGGU, 5 JULI 1998 PUKUL 09:10
Albert : halo sayang
Status Karen tidak online. Hampir setengah jam kemudian, Karen baru online.
Karen : halo bert.
Albert : I miss you so much,sayang.
Karen : gua juga.
(tidak pake sayang lagi)
Albert : Loe ada rencana pulang ke Indo?
Karen : kayaknya tidak dalam waktu dekat, bert. Papi bilang masih lebih aman di Amrik.
Albert : Oh gitu yah.
(aku semakin bertekad harus ke Amerika)
Kami ngobrol macam-macam. Kira-kira satu jam kemudian.
Karen : sorry bert, gua mau pergi dulu ya.
Albert : ok sayang. Hati-hati yah. I love you.
(status Karen langsung tidak online lagi)
MINGGU, 12 JULI 1998 PUKUL 09:10
Begitu aku buka yahoo messenger. Langsung ada chat dari Karen, tiga hari yang lalu tanggalnya.
Karen : baca email dari gua bert.
Status Karen tidak online.
Aku buka emailku. Oh iya ada email dari Karen. Aku klik.
Dear Albert,
Kuliah gua sibuk banget nih. Hampir tiap hari ada tugas, ditambah gua harus ambil mata kuliah di semester-semester sebelumnya. Harus fokus nih biar kuliah gua cepet kelar. Mungkin ada baiknya juga kalo loe juga fokus kuliah biar cepat kelar, jangan jadi mahasiswa abadi hehehe.
Bagaimana biar kita sama-sama fokus, kita break dulu aja yah. Biar kita masing-masing bisa bener-bener konsentrasi sama kuliah kita.
Kalo memang jodoh, ke depannya kita pasti bisa ketemu lagi. Bye bert.
Gua akan selalu mengingat loe.
Isi emailnya singkat tapi menyakitkan. Dadaku kembali seperti dilindas bulldozer. Aku ga terima. Pulang dari warnet, aku mampir ke wartel. Yang ngangkat Keisya.
“Oh ko, cici lagi pergi,” jawabnya.
“Pergi kemana? Sama siapa?” tanyaku.
Keisya diam sebentar sebelum menjawab
“Bikin tugas bareng Ko Michael,” jawabnya kemudian.
Sesudah itu beberapa kali, aku menelpon tapi Keisya yang selalu menerima teleponku. Dan jawabannya selalu sama. Karen lagi pergi dengan Michael. Hari Minggu, aku standby di warnet dan Karen tidak online.
Hatiku gundah. Keputusan sepihak. Not fair. Sudah hampir dua minggu sejak kubaca email dari Karen. Semangatku drop. Joko dan Ira pun tidak bisa menghiburku. Aku seperti hilang arah. Kucoba telpon, tetap Keisya yang angkat dan jawabannya selalu sama. Dua minggu ini pun, aku selalu ke warnet. Karen tidak pernah online lagi. Bahkan tidak ada email dari dia. Kembali hantu masa laluku muncul, agak sulit kali ini aku menguburnya kembali karena kondisiku lagi benar-benar terpuruk. Pakaian Karen pun tidak bisa membantuku, malah memperburuk. Lewat depan rumahnya pun sama saja. Malah menambah sesak di dada.
Keterpurukanku kali ini lebih parah dari yang dulu. Aku sangat mencintai Karen. Dia lah sumber semangatku. Tanpa dia, jelas aku kehilangan daya hidup. Hal ini berlangsung berhari-hari. Joko terus menyemangatiku.
“Uda bro. Lupakan saja. Yang penting loe fokus ke depan. Loe masih ada gua dan Ira yang selalu support loe. Kita kan tidak tahu apa yang bakal terjadi ke depan,” Joko begitu tulus menyemangatiku.
“Iya bert. Gua dan Joko selalu support loe. Kita ga mau loe kayak gini terus,” Ira menambahi.
Aku tidak menanggapi mereka. Yang terbayang di kepalaku adalah Karen dengan senyum manjanya. Menari-nari di depanku.
SENIN, 31 AGUSTUS 1998
Hari ini ulang tahunku yang ke-21. Kata orang untuk seorang laki-laki, inilah umur sebuah kedewasaan. Aku melihat foto orang tuaku yang tadinya kusimpan baik-baik karena aku tidak ingin mengingat masa laluku yang kelam. Tadi Joko dan Ira sudah mampir, ngasi kado sepasang sepatu sport. Aku sangat berterima kasih sama mereka karena mereka terus mendukungku. Menghiburku. Walaupun tidak sepenuhnya berhasil tapi aku berterima kasih pada mereka.
“Mami, aku janji akan jadi orang,” kupandangi wajah ibuku.
“Albert akan mulai melangkah maju lagi setelah selama ini terpuruk,” sambungku lagi dengan mata berkaca-kaca. Aku sentuh jariku di sekitar wajah ibuku. Hatiku sudah siap untuk merangkak lagi naik ke atas.
Aku simpan foto orang tuaku di tempat sebelumnya. Aku ambil kaos putih dan rok mini Karen dan aku bungkus dengan koran dan aku simpan ditempat yang sama dengan foto orang tuaku.
Sesuai emailmu Karen, aku akan menurutimu. Aku akan fokus kuliah dan aku akan lulus secepatnya. Tapi aku minta maaf, untuk melakukan semua itu, aku harus belajar melupakanmu. Tidak gampang, tapi untungnya aku mempunyai sahabat karib Joko dan Ira yang selalu menemaniku. Aku mulai menata hidupku lagi. Aku kuliah dengan benar. Benar-benar fokus. Ternyata nilaiku memang bisa menjadi lebih baik setelah aku benar-benar fokus. Kesedihanku ternyata bisa menjadi motivasi yang sangat luar biasa. Ironisnya aku sekarang berterima kasih pada email Karen.
SEPTEMBER 1999
Setahun sudah berlalu. Aku, Joko dan Ira lulus pada waktunya. Nilaiku pun memuaskan. Aku memang ahli dalam memendam perasaaanku karena sejak kecil aku sudah terlatih untuk itu. Jadi sekarang Karen sudah menjadi masa laluku. Aku selalu bisa memendam perasaanku pada Karen apabila Karen muncul di pikiranku. Dan lama kelamaan, kurasakan perasaanku sudah hambar pada Karen. Aku berhasil melakukannya. Kukubur kenangan Karen bersama dengan kenangan orang tuaku.
JUMAT, 21 JANUARI 2000 PUKUL 16:17
Tidak terasa uda hampir 3 bulan aku kerja di perusahaan tekstil. Namun selama 3 bulan ini, aku mempelajari banyak hal di pabrik. Suatu saat aku harus punya pabrik tekstil. Minimal targetku, bulan depan aku harus punya toko kain. Ngontrak kios dulu juga ga apa-apa. Tekadku masih sama yaitu ingin jadi orang kaya. Hari ini aku janji ketemu Joko dan Ira di kampus. Buat nostalgia. Aku sudah duluan sampe di kampus. Belum keliatan batang hidungnya Joko dan Ira. Aku lihat jam Casioku. Iya, ini jam dari Karen. Aku tidak tega untuk menggantikannya dengan yang baru. Janjinya ketemu jam empat lebih lima belas tapi kok mereka belum datang. Aku telpon pakai telepon genggamku. Iya, aku punya handphone sekarang.
“Ko, loe dimana?” tanyaku.
“Gua lagi jemput Ira. Hujan deras bro disini,” jawabnya.
“Di sini ga ujan kok,” sahutku. Namun tidak lama kemudian tiba-tiba hujan mengguyur kampus.
“Entar begitu reda, kita kesana, bro,” ujar Joko.
Aku lihat hujan sangat deras. Ya mending aku jalan-jalan deh keliling kampus, sambil menikmati hujan. Berbagai kenangan masa kuliah muncul lagi ketika aku melihat-lihat bangunan kampus yang belum banyak berubah. Kini aku melewati aula tempat aku pertama kali ngobrol dengan Karen. Wait, forget her. Langsung kututup dalam-dalam memori itu.
Ternyata ada seorang cewe yang lagi duduk di depan aula. Pakai kaos putih dan rok mini warna hitam. Imut juga pikirku begitu terlihat wajahnya. Tunggu dulu, kok sepertinya aku kenal cewe ini.
“Mary?” sapaku.
“Eh ko,” dia kaget melihatku.
“Kamu kuliah di sini toh,” tanyaku sambil duduk di sampingnya.
“Koko masih ingat sama aku?” tanyanya sambil tersenyum. Senyumnya juga memang imut.
“Ingatlah,” aku juga inget payudaranya yang imut.
Wajah Mary berseri-seri bertemu aku lagi. Akhirnya Joko dan Ira ga jadi ke kampus. Tapi ga masalah buatku. Aku ada teman ngobrol si Mary.
Sebelum Mary dijemput, aku minta nomor teleponnya, karena aku lupa nomornya aku catat dimana dulu. Tapi Mary malah memberikan nomor handphonenya. Kusimpan nomor Mary di handphoneku. Dan dia pun menyimpan nomor handphoneku di hp-nya.
Bersambung
Pembaca setia Kisah Malam, Terima Kasih sudah membaca cerita kita dan sabar menunggu updatenya setiap hari. Maafkan admin yang kadang telat Update (Admin juga manusia :D)
BTW yang mau jadi member VIP kisah malam dan dapat cerita full langsung sampai Tamat.
Info Lebih Lanjut Hubungin di Kontak
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂