Cerita Lama Sungai Hitam Part 5
RABU 18 FEBRUARI 1998, PUKUL 14:45
Hari ini aku antar Karen pulang dari kampus. Karen sudah nelpon aku semalam kalo hari ini dia mau ikut aku pulang.
“Duduk dulu ya bert, gua ganti baju dulu,” Karen ninggalin aku ke kamarnya.
Aku selalu terkagum-kagum dengan rumah Karen. Aku harus punya rumah sebesar ini suatu saat. Tidak lama terdengar teriakan Karen.
“Bert, sini,” teriaknya.
Aku mendatangi kamarnya. Kubuka pintunya yang tertutup. Lalu ketika aku selesai menutup pintu. Karen langsung mendorongku ke tembok. Langsung meremas selangkanganku.
“It’s payback time,” ujarnya lirih. Yang bikin aku terkesiap. Karen sudah topless dan hanya mengenakan celana dalam hitamnya. Aku tidak sempat berpikir panjang karena aku menikmati remasan Karen di selangkanganku. Dan mulutku pun segera diserang oleh Karen dengan pagutan lidahnya. Jelas penisku langsung tegang. Apalagi payudara Karen menekan dadaku. Entah sejak kapan kemejaku sudah terbuka semua kancingnya. Tangan Karen yang satu lagi mengelus putingku. Putingku yang sensitif langsung keras, sekeras penisku. Entah Karen kok bisa tahu kelemahanku. Mulutnya kini beralih ke putingku. Dia menjilatinya, memainkannya dengan bibirnya. Membuat aku tambah kelojotan. Kini tangan Karen menyusup masuk ke dalam celana panjangku. Meremas penisku, dan mengocoknya. Mengetahui aku terangsang hebat. Karen mulai menghisap putingku. Remasan di penisku dan kocokannya tambah kencang. Buset. Tambah sempit celanaku. Mungkin karena ini pengalaman pertama kali, penisku disentuh cewe atau mungkin karena birahiku yang tertahan sejak waktu itu. Aku kerangsang banget. Tiba-tiba aku merasa ada tekanan di penisku dan spermaku keluar. Membasahi tangan Karen pastinya.
Karen tersenyum menang. Aku malu. Karen mengeluarkan tangannya yang terkena semprotan spermaku. Dia tersenyum lebar. Aku tambah malu.
“Eh Karen, aku pinjam kamar mandimu ya,” ijinku sambil mengambil beberapa lembar tissue. Untungnya kamar Karen ada kamar mandinya. Jadi aku tidak perlu takut ketemu Bi Surti diluar dengan celanaku yang basah karena rembesan spermaku. Aku coba membersihkan spermaku di kamar mandi namun tetap saja celana panjangku yang berwarna abu-abu masih terlihat basah. Yah mau gimana lagi.
Aku keluar kamar mandi. Kulihat Karen kini lagi bersandar di sandaran ranjang hanya dengan masih mengenakan celana dalam hitamnya. Tangannya bersilang di dada, tapi masih tidak bisa menutupi sebagian payudaranya. Penisku bereaksi lagi. Karen tersenyum melihat celanaku masih terlihat basah bekas sperma. Dia tersenyum manja. Betapa cantiknya Karen.
“Sini, duduk disebelah gua,” ajak Karen. Aku duduk di sebelahnya sambil berusaha menutupi bagian celanaku yang basah.
“Enak sayang?” tanyanya sambil menatapku. Aku bingung menjawabnya plus malu.
“Hmm gua paling suka liat ekspresi loe kayak gitu,” sambil dia memegang tanganku dan mengarahkan ke payudaranya.
“Remas lagi dong kayak kemaren, bert,” pintanya manja.
Birahiku yang sudah bangkit lagi, kini mulai meremas payudaranya lagi.
“Isap dong, sayang,” di sela-sela desahannya. Aku mengikuti perintah tuan putri. Aku hisap seperti tadi dia menghisap putingku. It’s payback time for me, pikirku.
Kemudian Karen mengarahkan satu lagi tanganku yang nganggur memegang selangkangannya diluar celana dalamnya. Kurasakan basah selangkangannya. Dia sudah terangsang.
“Gesek-gesek jari loe disana, bert,” pintanya lagi sambil mengerang agak keras. Sambil menghisap putingnya, aku gesek-gesek jariku di selangkangan Karen. Karen sering menggelinjang menikmati gesekanku yang semakin cepat,aku ingin membuat Karen orgasme lagi. Jilatan dan isapanku di pentil susunya semakin ganas. Sampai kemudian paha Karen menjepit jari-jariku dan tubuhnya menegang dan Karen pun orgasme dengan menyebut namaku.
“Oh bert, gua keluar,” desahnya.
Ya begitulah kami melakukan hal ini setiap ada kesempatan, tidak pernah lebih. Aku belum pernah melihat vaginanya seperti apa dan Karen pun belum pernah melihat langsung penisku seperti apa. Untuk mencegah hal-hal yang berbahaya kata Karen waktu itu. Aku sih nurut aja. Toh yang selama ini, aku hanya meraih kenikmatan dengan membayangkan saja. Kini aku sudah naik level dalam mencapai kenikmatan. Aku pun tambah sayang Karen. Selalu terbayang wajahnya setiap saat. Kami pun tambah dekat. Dan seperti layaknya orang yang berpacaran. Ya kami pergi nonton atau jalan-jalan di mall, selain melakukan petting (baru kemudian aku tahu istilah ini).
Tanpa terasa kami sudah pacaran beberapa bulan.
RABU 13 MEI 1998 PUKUL 13:10
Tiba-tiba kuliah kami dibatalkan. Dengar-dengar ada kerusuhan di Jakarta. Kota kami sih tidak terjadi apa-apa. Supir Karen sudah menunggu, dia langsung pulang ke rumah.
PUKUL 14:25
Karen menelponku.
“Bert, loe nonton tivi ga?” tanyanya.
“Ga, Karen. Ada apa?” aku jarang nonton tivi.
“Nonton deh, entar gua telpon loe lagi yah,” Karen langsung menutup telponnya.
Bibiku lagi nonton tivi. Wajahnya tampak cemas.
“Bert, di Jakarta kerusuhannya hebat,” katanya. “Kamu jangan keluar rumah dulu ya beberapa hari ini. Jangan kuliah dulu.”
PUKUL 15:10
Aku telpon Karen.
“Ngeri ya bert,” katanya dengan cemas.
“Iya, Karen. Untung disini ga terjadi apa-apa. Mudah-mudahan,” sambungku. Kami menelpon selama beberapa menit.
“Gua uda kangen nih ama loe, Karen,” aku mengakhiri percakapan.
“Gua juga kangen, sayang,” balasnya dari sana.
Beberapa hari kedepan kami hanya berhubungan lewat telepon. Kangenku semakin menjadi-jadi.
MINGGU, 17 MEI 1998 PUKUL 9:14
Tiba-tiba Karen menelponku. Suaranya seperti sedang menangis.
“Bert…,” suaranya terhenti.
“Kenapa, Karen?” tanyaku khawatir.
Karen tidak melanjutkan omongannya hanya terdengar isak tangisnya.
“Karen, kenapa?” aku terdengar sangat khawatir. Karen tidak menjawab, hanya isak tangisnya yang terdengar. Tidak lama telepon ditutup.
Aku langsung ambil jaketku dan mengendarai motorku menuju rumahnya. Mungkin inilah kecepatan tertinggi selama ini aku mengendarai sepeda motorku. Rasa cemasku yang menstimulasinya. Pikiranku sudah melantur kemana-mana.
Sesampai di rumah Karen. Rumahnya terlihat adem ayem. Tidak terjadi apa-apa. Aku sedikit lega. Kubunyikan bel. Bi Surti yang buka.
“Karen ada, bi?” tanyaku.
“Ada den. Di kamarnya,” jawab Bi Surti.
Ketika aku masuk. Jantungku sedikit berdegup. Papi dan maminya Karen ada di ruang tamu. Wajah mereka terlihat cemas.
“Bert, duduk,” kata maminya Karen.
“Iya tante,” jawabku sopan.
“Sebentar ya tante panggilin Karen,” sambil mami dan papinya meninggalkan ruang tamu.
Ga lama kemudian Karen muncul dengan tisu di wajahnya. Jalannya pelan. Perasaanku kembali tidak enak.
Aku langsung berdiri
“Ada apa, Karen?” tanyaku mendekatinya. Karen tidak menjawab, isak tangisnya terdengar lebih keras daripada di telepon tadi.
Kami duduk. Aku tidak mengucapkan apapun, hanya ekspresi mukaku terlihat khawatir dan bingung. Sebenarnya apa yang terjadi.
Kami hening, hanya isak tangis Karen terdengar yang makin lama makin berkurang.
Setelah suasana agak memungkinkan. Aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Ada apa sih, Karen? Kenapa loe nangis?” tanyaku cemas.
Karen seperti mau bicara tapi seperti ada yang menghalangi di tenggorokannya.
“Bert…,” dia belum bisa melanjutkan kalimatnya.
“Ada apa, Karen?” aku tidak sabar.
“Gua…gua… harus pindah ke Amerika,” jawaban Karen seperti suara guntur di telingaku.
“Apa? Kenapa?” tanyaku tidak percaya.
“Papi dan mami gua khawatir situasi di Indo tidak aman. Jadi mereka memutuskan bahwa gua dan Keisya pindah dulu ke Amerika,” sambungnya.
Wajahku mewakili pikiranku yang berperang hebat. Dadaku sesak.
“Gua tadinya ga mau, karena gua ga mau ninggalin loe,” tangisnya terdengar lagi.
“Tapi papi gua maksa, karena gua harus jaga Keisya juga disana,” sambungnya sambil terisak-isak lagi.
Aku bingung harus gimana menjawabnya. Aku terdiam.
Karen langsung menangis lagi di pundakku.
“Kapan loe pergi?” tanyaku akhirnya.
“Besok, bert,” jawabnya lirih hampir berbisik.
“Apa? Besok? Segitu cepatnya?” tampangku sudah tidak karuan.
“Iya semakin cepat semakin baik kata papi,” Karen menjelaskan.
“Berapa lama disana?” setelah aku berhasil menguasai emosiku sedikit.
“Ga tau bert. Gua dan Keisya disuruh kuliah di Amrik,” masih menangis di pundakku.
Kembali guntur seakan-akan berbunyi di telingaku, lebih keras dari sebelumnya. Bayangan dari masa lalu mendadak muncul lagi di benakku. Bayangan mami dan papiku kembali muncul ke permukaan. Aku menutup mukaku dengan tangan kiri karena pundak kananku dipakai sandaran oleh Karen.
Bayangan masa lalu, tolong jangan muncul. Aku berusaha sekuatnya menekan masa laluku. Dadaku bergerak naik turun.
“Bert, loe kenapa?” Karen merasakan dadaku yang bergerak naik turun dengan cepat. Kini Karen tidak bersandar padaku lagi. Matanya merah dan air mata masih membasahi pipinya.
“Bert,” Karen terdengar khawatir.
Aku menggelengkan kepala. Aku masih menutup wajahku. Berusaha menekan bayangan masa laluku dan emosiku saat ini.
Tangan Karen memegang bahuku.
“Bert….” panggilnya.
Aku melepaskan tanganku dari wajahku. Karen melihat mataku sedikit berkaca-kaca, hampir menitikkan air mata.
Karen mengusapnya dengan jemarinya. Aku memeluknya erat-erat. Aku tidak peduli jika ada orang di rumah yang lihat. Karen pun memelukku.
SENIN 18 MEI 1998 PUKUL 08:40
Aku sudah di rumah Karen. Karen dan keluarganya sebentar lagi berangkat Ke Jakarta. Kami banyak diam. Aku membantu membawakan tas-tas Karen ke mobil. Aku sempat melirik pergelangan kakinya yang tergantung gelang emas yang kuberikan.
Karen memegang tanganku, memegang tali jam yang dia berikan padaku. Ketika mereka hendak pergi. Karen memelukku di depan orang tuanya. Seperti mengerti situasi kami, papi, mami dan adik Karen sengaja menunggu di mobil. Aku memeluk Karen erat-erat.
“Bert, I am gonna miss you so much,” bisik Karen.
“Gua juga, Karen. Mudah-mudahan nanti kita cepat ketemu lagi ya,” jawabku hampir berbisik juga.
“jangan lupa, kita bisa chat lewat yahoo dan email-emailan,” lanjut Karen. Karen menciumku di bibir. Aku pun tidak sungkan-sungkan lagi, aku tidak ingin melewatkan momen ini. Selesai berciuman, Karen naik ke mobil. Begitu mobil berangkat, Karen membalikkan badan dan melambaikan tangannya padaku. Aku membalasnya tanpa mengedipkan mata sedikitpun. Ingin kulihat wajahnya selama mungkin, sampai akhirnya mobilnya menjauh dan tidak terlihat.
Ketika aku mau pulang. Bi Surti memberikan aku sesuatu.
“Den Albert, ini ada titipan dari Neng Karen,” katanya sambil memberikan sesuatu yang dibungkus koran.
Aku membukanya. Isinya kaos putih bergambar Leonardo DiCaprio dan rok mini blue jeans. Aku tidak dapat menahan sedihku. Aku menangis setelah sekian lama aku tidak pernah menangis.
Bersambung
Pembaca setia Kisah Malam, Terima Kasih sudah membaca cerita kita dan sabar menunggu updatenya setiap hari. Maafkan admin yang kadang telat Update (Admin juga manusia :D)
BTW yang mau jadi member VIP kisah malam dan dapat cerita full langsung sampai Tamat.
Info Lebih Lanjut Hubungin di Kontak
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂