Cerita Lama Sungai Hitam Part 3

PUKUL 19:43
Aku kebut motorku. Jangan heran karena ini sudah ditakdirkan menjadi salah satu hari sialku. Hujan deras banget. Anginnya juga lumayan kencang. Sekalian aja sama petir dan guntur yang keras. Untung aku tidak sesial itu. Hanya kena cipratan genangan air ke mukaku oleh sebuah mobil yang ngebutnya melebihi aku.

Efek minum coca cola sekali teguk mulai terasa membuat kepalaku pusing. Brain freezenya telat karena efek kegalauanku yang lebih hebat. Sampai rumah, aku buka semua baju basahku. Aku hanya memakai celana pendekku. Langsung berbaring di ranjang. Dadaku masih terasa berat seakan-akan dilindas buldozer.

Dari kecil aku sudah pandai menyimpan perasaan hatiku. Apalagi perasaan sedih. Kali ini pun aku pasti bisa melakukannya. Kuenyahkan bayangan wajah Karen dari pikiranku. Entah kenapa muncul wajah Mary, mantan murid lesku. Terbayang kembali payudara kanannya yang terbuka di depanku. Kali ini aku tidak menghindarinya. Aku remas payudara kanannya dengan tangan kiriku. Kurasakan pentil Mary menegang dalam remasan tanganku. Kaki Mary berjinjit dalam pangkuanku. Menikmati remasanku. Aku menyuruh Mary berlutut di depanku.
“Buka ritsletingku, Mary,” perintahku. Entah kenapa aku berkhayal seperti salah satu film porno yang pernah kutonton. Dalam posisi berlutut di bawah meja tempat kami belajar. Kepala Mary agak tidak bisa bergerak banyak karena terhalang tepi meja. Kulihat mata Mary ketika dia membuka ritsleting celanaku dan mengeluarkan penisku yang sudah tegang.
“Masukin ke mulut kamu, Mary,” perintahku lagi. “Jangan pake tangan kamu!” sambil aku menurunkan tangannya dari pahaku. Ada apa denganku? Mungkin inilah caraku menghilangkan Karen dari otakku.

Mary membuka mulut kecilnya pelan-pelan. Wajahnya terlihat lebih imut dengan kepala penisku dalam mulutnya. Dijepit dengan bibirnya yang tipis.
“Gerakan kepalamu naik turun, jangan sampai lepas kontolku dari mulutmu!” ujarku.
Mary menuruti perintahku. Dia menggerakkan mulutnya naik turun ke bagian batang penisku.
“Kurang dalam,” aku sedikit menggerutu. Aku menekan kepalanya lebih dalam agar penisku masuk semua ke dalam mulutnya. Mary terlihat berusaha memasukkan penisku tapi kesulitan bernapas. Aku tekan lagi kepalanya lebih dalam ke selangkanganku. Beberapa saat baru kulepas peganganku pada kepalanya. Mary terengah-engah melepaskan mulutnya dari penisku. Air ludahnya menetes banyak dari mulutnya. Membuat aku makin terangsang. Kusapukan kepala penisku di bibirnya yang basah dan kupukul-pukul penisku di mulutnya. What? Khayalanku semakin menggila. Batang kemaluanku yang basah oleh air liurnya kuusapkan di kedua pipinya.
“Jilat buah zakarku,” perintahku lagi. “Jangan pake tangan!”

Aku pegang penisku berdiri sehingga Mary bisa mulai menjilati buah zakarku. Kurasakan bibirnya yang hangat mencium dan Mary mulai mengeluarkan lidahnya untuk menjilati bijiku. Rasanya enak banget.
Akhirnya aku tidak tahan. Kocokan tanganku semakin cepat dan akhirnya aku ejakulasi diwajah Mary. Spermaku banyak banget. Nikmat sekali.

MINGGU, 16 NOVEMBER 1997, PUKUL 09:26
Aku terbangun ketika ada ketukan di pintu.
“Bert, ada telepon!” teriak pamanku.
Dengan badan agak pegal-pegal. Gara-gara kehujanan kemaren atau karena coli-ku enak banget. Aku buka pintu. Pamanku ngasi telepon wireless padaku.
“Halo,” suaraku parau sambil aku berbaring di ranjang.
“Bert, baru bangun yah?” suara manja terdengar di seberang sana.
Karen. Aku langsung duduk kaget.
“Eh Karen. Iya nih baru bangun,” pikiranku mulai berkecamuk lagi.
“Kemaren kemana, gua cari-cari loe ga ketemu. Nanya Joko dan Ira, mereka juga ga tau,” sambung suara manja Karen.
“Eh, gua tiba-tiba ga enak badan kemaren. Jadi gua langsung pulang, sori yah ga sempet pamit,” iya aku ga enak badan gara-gara liat kamu dan Michael.
“Oh, sekarang masih ga enak badan?” Karen terdengar agak khawatir.
“Udah ga apa-apa, uda tidur cepet kemaren,” bohongku lagi.
“Eh bert,…,” lanjut Karen. Hening sejenak.
“Kenapa Karen?” tanyaku.
“Eh ga apa-apa. Loe istirahat aja ya biar bener-bener pulih. Bye,” pamitnya.
Aku menyimpan telepon di pinggir ranjang dan aku berbaring lagi.

Keesokan harinya, kami berempat bermain seperti biasa. Duduk kuliah bareng, ke kantin bareng. Namun aku berusaha sedikit menjaga jarak. Hanya aku agak heran, aku tidak pernah melihat Michael berduaan dengan Karen. Apa mereka sering bertemu diluar jam kampus? Bahkan kalo aku perhatikan, ketika kami bersama, aku tidak pernah berpas-pasan dengan Michael di kampus. Aku mau nanya hal ini ke Karen, tapi aku takut jawabannya malah membuat sakit hati. Jadi selalu aku urungkan niatku untuk menanyakannya. Dan minggu-minggu berikutnya, kami semua sibuk dengan tugas-tugas menjelang UAS. Kemudian menyusul UAS.

JUMAT, 19 DESEMBER 1997 PUKUL 14:35
Wah akhirnya UAS selesai. Gila, pusing kepalaku akhirnya berakhir. Kami berempat lagi duduk di kantin.
“Eh besok kita nonton yuk. Tuh ada film Titanic lagi maen,” usul Ira.
“Yuk, gua pengen nonton banget. Kemaren UAS ga sempet nonton,” Karen menimpali.
“Film apaan tuh Titanic?” tanyaku.
“Film kapal tenggelam,” jawab Ira.
“Ngapain nonton kapal tenggelam?” gurauku. “Kalo nonton loe tenggelam lebih seru kayaknya,” sambungku.
Ira melotot ke arahku. Joko dan Karen tertawa.
“Nonton yuk,” Karen menarik-narik lengan bajuku. “Yang maen idola gua lho, Leonardo DiCaprio.”
“Nonton bareng yuk,” Karen pasang tampang wajah memelas.
Joko ngasi kode. Nontonlah bareng.
“Oke deh, gua ikut,” jawabku akhirnya.
Karen keliatan gembira banget. Seneng liat dia berbahagia seperti itu. Sedetik kemudian aku menghela napas. Ingat lagi rasa penasaranku tentang dia dan Michael.

SABTU, 20 DESEMBER 1997 PUKUL 14:10
Kami semua sudah kumpul di bioskop. Sudah beli tiket di jejeran paling belakang. Film maen jam setengah 3. Aku jarang banget nonton. Kayaknya film terakhir yang aku tonton itu tuh film tentang dinosaurus. Uda lama banget. Sebelum masuk kami beli dulu popcorn dan minuman di kantin bioskop.

Tiket kami serahkan di mbak karyawan 21. Yang aku sempat lirik sekilas karena dia pake rok panjang dengan belahan sampai di atas lutut. Selain rok mini, itu pakaian cewe favoritku kedua. Karen sendiri, tumben hari ini pakai kaos putih kutung yang dibalut dengan baju terusan rok blue jeans. Tetap cantiklah. Beberapa kali aku meliriknya. Dan beberapa kali juga pandangan kami bertemu. Sebisa mungkin aku tekan perasaan di dadaku. Mengingat kejadian di pesta.

Entah gimana cara ngaturnya. Jadi urutan kami duduk, Joko, Ira, Karen dan aku. Mungkin karena kami cowo, kami jadi bodyguard yang melindungi mereka. Mengapit para cewe di tengah. Betapa jantannya kami berdua. Filmnya sih drama. Beda jauh ama film terakhir yang kutonton. Penuh dengan jeritan dan ketegangan. Yang bikin aku tetap betah adalah seringkali aku melirik Karen. Namun Karen tetap fokus ke layar, memelototi idolanya. Namun kadang lengannya yang terbuka sering bersentuhan dengan lenganku yang hanya memakai kaos pendek. Terasa halus kulitnya dan gesekan-gesekan lengan kami, membuat aku sedikit bereaksi. Sedikit.

Sebenarnya filmnya di awal cukup boring, yang membuat aku betah selain bersentuhan dengan lengan Karen adalah ketika Rose pakai baju yang belahan dadanya keliatan. Bikin segar juga. Tapi kemudian film setelah adegan Leo pakai tuxedo. Well, ada adegan yang cukup membuat keringatan, meskipun AC dalam bioskop cukup dingin. Yup ada adegan melukis. Melukis si Rose. Only wearing this katanya dan kata-katanya membuat Jack menelan ludah. Begitu juga aku. Karen pun terlihat malu ketika adegan itu berlangsung. Tapi lengannya semakin menempel di lenganku. Sekali lagi ternyata adegan berikutnya tidak membuat bosan.

Setelah aku “terbangun” dengan adegan melukis itu, kini film penuh dengan teriakan juga, karena kapal mulai tenggelam. Lumayan tegang. Apalagi entah sejak kapan, jari jemari Karen menyentuh jari-jariku di lengan kursi. Si burung berdiri nih entah kenapa. Kadang jari-jemari Karen sedikit menekan jari jemariku ketika adegan di layar agak sedikit “seram” karena para penumpang yang kalang kabut ketika kapal berangsur-angsur tenggelam.

Usai film, Karen dan Ira sibuk memuji-muji Jack yang romantis lah, yang rela berkorban demi cinta lah. Sedangkan aku dan Joko memuji betapa montoknya tubuh Rose. Ketika kami ditanya adegan apa yang paling menarik. Tentu saja kami jawab adegan melukis. Ira dan Karen mencibirkan bibir mendengar jawaban kami.

Ternyata Ira pulang dibonceng Joko. Sedangkan Karen katanya nunggu dijemput supirnya.
“Kalian pulang dulu aja,” kataku. “Gua yang tungguin Karen dijemput supirnya.”
Setelah ditinggal Joko dan Ira, kami duduk di depan gedung bioskop. Dimana kami bisa melihat Ira dibonceng Joko meninggalkan area parkir. Kami terdiam beberapa saat setelah itu.
“Loe suka banget ya film tadi?” aku membuka pembicaraan.
“Iya suka banget, pengen nonton lagi kalo sempat. Romantis banget filmnya,” jawab Karen bergairah.
“Loe suka ga?” tanyanya balik.
“Ehh…ya lumayanlah,” jawabku sambil teringat lagi montoknya tubuh Rose, belahannya dan toketnya yang bulet pas dilukis. Disensor sih tapi khayalanku melambung jauh.

Aku melirik Karen, dia lagi bertopang dagu. Aku memandangnya dengan penuh arti. Kuperhatikan gerak matanya, bibirnya. Pikiranku berkecamuk lagi. Tanpa aku sadari Karen pun sekarang lagi menatapku. Kami saling berpandangan beberapa detik. Saling beradu mata. Tapi aku yang kalah. Aku kemudian menundukkan kepala.
“Bert, gua pulang bareng loe yah?” kata Karen kemudian.
“Lho emang supir loe ga jemput?” ujarku kaget.
“Emang ga jemput, gua uda rencana pengen pulang ama loe,” sambung Karen.
“Hah?” aku spontan mengeluarkan kata itu.

Perasaanku campur aduk.
“Mau kan loe anter gua pulang?” pintanya sambil pandangan kami bertatapan lagi.
“Eh, gua sih mau aja tapi entar kalo ketauan Michael, gimana?” refleks aku menyebutkan nama si keparat itu.
“Apa hubungannya ama Michael?” tanya Karen heran.
“Lho bukannya loe jadian ama Michael?” aku akhirnya menanyakan pertanyaan yang kutakuti akan jawabannya selama ini.
“Hah! Kapan gua jadian ama Michael?” ujarnya sambil tertawa.
“Lho bukannya pas di pesta ultah itu, kalian jadian?” aku bertanya heran tapi ada secercah harapan dalam hatiku.
“Kok loe bisa berpikiran kayak gitu?” Karen tersenyum lagi.
“Kan si MC bilang dia calon kakak ipar dan kalian berdansa berdua,” kataku sambil memperhatikan mimik Karen.
“Ya ampun. Kan gua uda bilang papinya Michael teman papi gua. Jadi papi gua minta tolong Michael buat jadi teman dansa gua,” Karen tertawa renyah.
“Emang sih waktu itu Michael nembak gua,” sambungnya.
Aku terperanjat. Karen melihat ekspresi wajahku.
“Eh jangan-jangan waktu pesta itu, loe pulang lebih cepat karena loe cemburu yah ama Michael?” Karen tersenyum sambil menunjuk ke wajahku. Mengolok-olokku.
“Idih, siapa yang cemburu?” kilahku.
“Ayo ngaku aja,” Karen dorong-dorong lenganku. “Gua ga akan marah kok kalo loe cemburu,” senyumnya penuh arti.
“Yeee, siapa yang cemburu?” kilahku lagi.
“Ya uda kalo gitu gua minta jemput Michael aja deh,” Karen berdiri, menepuk-nepuk pakaian di pantatnya.
“Eh jangan. Gua yang antar loe pulang kok,” jawabku cepat.

Karen senyum-senyum aja mendengar jawabanku. Sambil ke tempat parkir. Lengan Karen menempel di lenganku. Ingin aku pegang tangannya. Tapi aku ga berani.
Sampai di pelataran parkir. Kuserahkan jaketku ke Karen.
Karen tertawa.
“Ga usah bert, gua bawa sendiri,” sambil dia mengeluarkan jaket dari tasnya.
Wah. Berarti memang Karen berniat pulang denganku. Aku bahagia sekali saat itu. Dan aku merasa beruntung karena aku selalu bawa dua helm.

Di sepanjang jalan menuju rumah Karen. Badan Karen lebih menempel pada punggungku dibandingkan saat terakhir kubonceng. Kadang dagunya menempel di bahuku ketika kami sedang ngobrol. Dan hembusan nafasnya kadang menyentuh telingaku. Membuatku merinding beberapa kali dan tentu saja penisku ikut bereaksi.

Ketika sudah dekat rumahnya.
“Loe harus masuk ke rumah yah bert,” undangnya. Aku mengangguk. Dadaku berdebar-debar.
Melihat ruang tamunya aja. Gede banget. Selain rasa minder, dalam hati aku bertekad harus punya rumah sebesar ini. Dan Karen menemaniku di rumah itu sebagai istriku. Pengennya.
Aku duduk di sofa yang empuk. Karen minta pembantunya, Bi Surti untuk siapin minuman untukku.

Aku masih mengagumi interior rumah Karen ketika Karen duduk di sampingku.
Aku sebenarnya gugup tapi aku tidak punya tenaga untuk beringsut dari dudukku.
“Orang tua loe kemana?” tanyaku.
“Lagi pergi ke Jakarta bareng Keisya,” jawab Karen.
Kalian pasti teringat akan kejadian dengan Mary. Alasan klise untuk terjadi sesuatu kan. Tapi kali ini kalian sepenuhnya salah.

Kami ngobrol tentang film Titanic sampai tentang UAS kemaren. Sampai akhirnya aku memberanikan diri bertanya,”Loe terima waktu ditembak Michael?”
Karen menatapku,”Hmm, loe pengen gua terima atau ga?” dia balik bertanya.
“Ya gua ga tau, kan loe yang ditembak Michael,” sahutku.
“Ya gua serba susah sih, bert. Papinya kan temen baik papi gua,” matanya berputar-putar.
“Lagian Michael kan ganteng sebenarnya,” sambungnya.

Perasaanku mulai tidak enak.
“Ya jadinya gua terima aja,” Karen tertawa.
Jantungku terasa ditusuk pisau. Pisau kurang tepat. Ditusuk ratusan tombak. Wajahku langsung berubah. Bahuku langsung lemas.
Karen memperhatikanku. Lalu dia tertawa.
“Hahaha. Katanya ga cemburu,” tawanya renyah sekali.
“Eh gua nanya serius ini, Karen,” aku agak sedikit ngambek.
“Loe juga ganteng kok bert kalo lagi ngambek,” Karen mencolek pipiku.

Nih orang, ditanya serius malah colek-colek pipi. Aku membelalakan mata.
“Nah kalo gitu, jadi jelek,” tawanya lagi.
Ekspresi wajahku sudah tidak karuan.
“Gua pulang aja deh,” aku berdiri.
“Gitu aja ngambek,” dia tertawa lagi sembari dia menarik tanganku supaya aku duduk.
“Abis loe becanda melulu padahal kan gua nanyanya serius,” aku masih cemberut.
“Okey deh. Gua tolak lah,” jawabnya.
“Kenapa?” tanyaku balik.

Karen tersenyum dan menatapku.
“Karena gua sudah bersuami aslinya, bert,” tatapnya serius.
“Suamiku lagi di Amerika,” Karen melanjutkan dengan tampang serius.
“Hah!” suaraku mungkin terdengar sangat keras. Kini aku tidak bisa merasakan kaki dan tanganku. Terasa kesemutan semua. Mending dia jadian ama Michael deh kalo gini.
“Ih gua seneng banget deh, liat ekspresi loe kayak gini,” tiba-tiba Karen mencium pipi kiriku.
Aku lebih kaget lagi sekarang. Memegang pipiku yang tadi dicium Karen.
“Loe kan…,” kata-kataku terputus.

Karen nyengir lebar
“Gila lah masa gua uda punya suami. Gua pengen aja liat ekspresi muka loe kayak gitu. Gemesin,” katanya sambil tertawa.
Aku dikadalin dua kali oleh Karen.
“Jadi…” aku ingin memastikan.
“Gua masih single lah bert. Belum bersuami. Gua lagi nunggu someone,” jawabnya berteka-teki lagi.

Aku meneguk ludah. Membulatkan tekad dan berusaha mengeluarkan suara agar tidak terdengar serak.
“Someone itu… gua?” tanyaku pelan-pelan.
“Boleh ga kalo someone-nya itu…loe?” dia bertanya balik.
Aku menghela napas lega. Tanpa aku sadari aku menggenggam tangannya. Erat-erat.
Karen tersenyum. Membalas genggaman tanganku.
Lega banget rasanya. Plong. Hari terbahagia dalam hidupku.
Karen tertawa melihatku dan mendorong badanku dengan badannya. Kami tertawa bersama.
Setelah itu kami duduk semakin dekat. Kami ngobrol dengan lebih bebas sekarang. Sebelum aku pulang karena sudah malam, ga enak ama Bi Surti. Karen mencium pipi kiriku lagi.

Bersambung

Pembaca setia Kisah Malam, Terima Kasih sudah membaca cerita kita dan sabar menunggu updatenya setiap hari. Maafkan admin yang kadang telat Update (Admin juga manusia :D)
BTW yang mau jadi member VIP kisah malam dan dapat cerita full langsung sampai Tamat.
Info Lebih Lanjut Hubungin di Kontak
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂

Daftar Part

By Kisah Malam

Kisah Malam adalah sebuah Website yang berisikan Novel Dewasa, Novel Sex, Cerita Sex, Cerita First Time, Cerita Bersambung, Cerina Menarik Lainnya. Dukung Terus KisahMalam.Com Dengan Cara Bookmarks, Dan Nanti Kan Konten Terupdate dari KisahMalam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *