Cerita Lama Sungai Hitam Part 20
Setelah membaca surat Karen. Aku mulai berbenah hidupku. Ya, I promise you, Karen. I will go on with my life. A new life. Jelas tidak gampang. Kesepian sering melanda hari-hariku. Namun aku menyibukkan diri di pabrik. Aku berdiskusi dengan Ikbal. Aku akan standby di pabrik dari Senin sampai Kamis. Jumat sampai Minggu aku akan off dari pabrik. Tapi aku tidak bilang alasannya ke Ikbal. Aku ingin memanfaatkan waktu tiga hari itu untuk mencari Aisya.
Seperti yang aku bilang, aku ternyata tidak tahu banyak tentang Aisya. Hal yang sangat aku sesali. Tapi yang aku sangat tahu, logat Aisya itu logat Sunda. Jadi aku berharap dia akan berada di sekitar Jawa Barat saja. Jadi aku memutuskan aku akan menyusuri daerah Bandung dan sekitarnya lalu pinggiran Bandung dan kemudian ke kota-kota lain disekitar Bandung dan semakin melebar.
Berbekal beberapa foto selfie kami berdua, aku mulai menelusuri jejak Aisya. Ternyata sulit sekali mencari orang. Area begitu luas, ibarat mencari jarum di tumpukan jerami mungkin lebih mudah menurutku. Apalagi kalo jeraminya hanya segerobak. Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan. Hampir satu tahun setengah aku mencarinya dan tetap tidak ketemu. Ada saat-saat aku mau menyerah, tapi aku teringat surat Karen dan janjiku padanya, aku tetap mencari.
Untuk mengisi hari-hariku ketika aku di Bandung, pada malam hari biasanya aku nongkrong di bar Rio. Seringkali Budi menemaniku, dan aku menceritakan perihal mencari Aisya padanya. Sampai suatu hari, Budi memperkenalkanku pada seseorang. Yang ternyata emang kerjaan orang itu mencari orang yang hilang. Jadi aku minta bantuannya, aku berikan beberapa foto padanya. Lumayan pikirku, setelah satu setengah tahun ini, ada bantuan untuk mencari Aisya. Jadi aku tetap mencari dan temannya Budi pun bisa ikut mencari. Namun sekali aku bilang, mungkin mencari jarum ditumpukan jerami lebih gampang daripada mencari orang hilang. Dalam waktu setengah tahun kemudian pun belum ada tanda-tanda jejak Aisya.
Oh mungkin aku belum cerita, peralatan aneh-aneh yang dulu kusimpan di basemen, aku sudah masukan ke dalam peti dan aku buang ke dasar sungai hitam. Aku tidak mau melakukan itu lagi dengan Aisya. Aku hanya ingin menjalin hubungan dengan Aisya seperti apa yang Karen dan aku jalankan. Mungkin itu hanya sekedar phase dalam hidupku atau mungkin itu jalan aku bertemu dengan Aisya.
Setelah dua tahun berlalu sejak kematian Karen. Hari Selasa tepatnya, ketika aku di pabrik. Aku mendapat WA dari temannya Budi. Dia bilang Aisya ada di daerah Banjarsari arah menuju Pantai Pangandaran. Dia memberitahu lokasi tepatnya Aisya berada.
Aku segera berkemas. Aku tukeran mobil dengan Ikbal. Aku tidak mau Aisya melihat mobilku karena dia hapal dengan mobilku. Nanti jangan-jangan begitu melihat kedatangan mobilku, dia sudah kabur lagi. Aku tidak mau mengejutkannya. Siapa tahu dia memang tidak ingin bertemu denganku.
Sepanjang jalan menuju Banjarsari, aku berdoa bahwa informasi yang didapatkan teman Budi memang benar itu Aisya. Pantas saja aku tidak menemukan Aisya, karena pencarianku baru sampai Ciamis belum sampai ke arah Pangandaran. Entah kenapa hatiku berdebar-debar sepanjang perjalanan. Terkenang kembali awal bertemu Aisya. Sifat malu-malu dan aura sensualnya malah membuat aku tambah berdebar-debar.
Aku sampai disana kira-kira jam 3 sore, butuh waktu kira-kira 5 jam untuk sampai Banjarsari dari Bandung. Berdasarkan info dari teman Budi daerahnya deket sebuah mall, masuk ke dalam dan cari warung makan kecil. Iya Aisya sekarang buka warung makan, katanya. Aku bertanya-tanya darimana dia dapat modal untuk usaha itu. Mungkin dia menjual perhiasan yang aku berikan padanya?
Akhirnya ketemu warung makan yang dimaksud. Aku menghentikan mobilku tidak di depan warung makan tapi beberapa meter dari situ. Aku ingin memastikan dulu apakah benar itu Aisya. Dan karena aku tidak memakai mobilku, tentu saja Aisya tidak akan curiga. Aku memperhatikan warung makan itu, cukup besar tempatnya. Terletak di bagian depan, tapi tampaknya bagian belakang warung adalah rumah tinggal Aisya. Aku melihat seorang wanita rambut panjang. Ya benar itu Aisya. Jantungku semakin berdegup kencang. Akhirnya ketemu. Hanya ada satu orang yang lagi makan saat itu. Selain yang lagi makan, ada seorang pria dan seorang wanita selain Aisya yang ada di bagian dalam etalase kaca. Seorang pria hmmm aku mulai ragu. Tapi tanggunglah, aku sudah sampai disini. Apapun yang terjadi selama dua tahun ini, aku harus ketemu dengan Aisya.
Sambil menunggu tamu yang lagi makan pergi, aku merogoh kantong celanaku. Aku keluarkan kotak cincin yang sudah aku beli satu tahun yang lalu. Seperti janjiku pada Karen, aku akan melamar Aisya begitu aku bertemu dengan Aisya. Detak jantungku tambah tak karuan ketika tamu yang lagi makan sudah pergi. Aku turun dari mobil, pelan-pelan menyeberangi jalan menuju warung makan.
Begitu aku masuk, Aisya langsung melihatku dan dia terkejut melihatku.
“Mas, kok bisa ada disini?” tanyanya mendekatiku. Wajah manisnya tersenyum. Aura sensualnya masih melekat pada dirinya. Rasa rinduku padanya selama dua tahun ini terbayar begitu aku memandangnya.
Aku tersenyum
“Akhirnya Aisya aku ketemu denganmu,” ingin aku memeluknya tapi aku melihat pria kurus itu menatapku dengan pandangan aneh. Tidak jadi aku memeluknya.
Aisya pun seperti agak malu-malu gitu untuk memelukku. Ada firasat kurang enak muncul dalam hatiku.
“Mas masuk ke dalam yuk, kita ngobrol di ruang tamu,” ajak Aisya.
Aku berjalan mengikuti Aisya dengan diikuti pandangan dari pria itu dan wanita yang agak pendek yang berdiri di sampingnya.
“Mas Karyo, aku ke dalam dulu yah,” ujar Aisya pada pria itu. Pria itu mengangguk tapi tanpa mengalihkan pandangan padaku. Aku balas pandangannya dengan senyuman kikuk.
Sungguh aku ingin memeluk Aisya, tapi pandangan tadi membuat aku tidak berani sampai akhirnya aku duduk di ruang tamu Aisya. Sederhana tapi rapi. Furniture di dalamnya pun sederhana. Kami duduk saling berseberangan. Padahal aku ingin duduk di dekat Aisya.
“Bagaimana dengan Mbak Karen?” itu kata pertama yang Aisya ucapkan kemudian.
Aku menceritakan tentang Karen. Wajah Aisya terlihat ikut prihatin. Dia kemudian duduk mendekatiku dan memegang tanganku ikut bersimpati. Aroma tubuhnya masih sama seperti dulu. Membuat hasratku untuk memeluknya kembali muncul. Aku menyentuh kotak cincin di kantongku dari luar celana. Ketika aku hendak mengucapkan sesuatu, tiba-tiba terdengar suara tangis dari dalam kamar.
“Mas, bentar ya. Anakku bangun,” Aisya segera masuk ke dalam.
Apa? Anak. Kepalaku terasa pusing tiba-tiba. Anak Aisya. Sialan, teman Budi tidak cerita apa-apa tentang anak Aisya. Pantas saja si Karyo itu menatapku dengan pandangan aneh. Detak jantungku tambah tidak karuan.
Tangisan anak itu berhenti. Dan tak lama kemudian Aisya muncul sambil menggendong anaknya yang tertidur lagi.
“Siapa namanya?” suaraku tercekat di tenggorokan. Dan pertanyaan basa basi yang sering muncul itu keluar.
Aisya menatapku.
“Namanya Rio, mas,” jawabnya tersenyum.
“Kenapa dikasi nama Rio?” tanyaku asal-asalan karena aku lagi menekan perasaan hatiku. Yang seperti biasa lagi digilas buldozer.
“Karena aku ketemu dengan ayahnya di bar Rio,” ujar Aisya.
Memori otakku langsung bekerja. Aku sering ke bar Rio tapi aku tidak pernah melihat sosok si Karyo jahanam itu, apakah dia kerja di bagian dapur?
Aisya kini duduk di sampingku. Aku perhatikan wajah si anak, lucu. Untung mirip Aisya daripada si Karyo itu.
“Kok aku belum pernah liat si Karyo di bar Rio,” ucapku kemudian. Hatiku panas, cemburu membakar dadaku.
“Bukan Mas Karyo kok ayahnya, mas. Dia itu sepupu aku” Aisya tertawa kecil.
“Terus siapa ayahnya?” tanganku ikut gemetar. “Si Budi?”
Tawa Aisya lebih keras.
“Bukan Mas. Tapi aku yakin mas hapal sama wajah ayahnya kok,” tawa Aisya malah membuat aku makin kalut.
“Masa sih?” otakku mengingat satu-satu siapa karyawan pria yang bekerja di bar Rio.
“Iya. Mas pasti melihatnya tiap hari kok,” lanjut Aisya menahan tawanya.
“Tiap hari?” aku sudah tidak bisa berpikir jernih.
“Iya tiap hari, mas. Ketika mas lagi bercermin di kaca,” tawa Aisya meledak.
Benar-benar aku lagi kalut, tidak bisa langsung mencerna perkataan Aisya sampai akhirnya.
“Aku ayahnya, maksud kamu?” aku memandang Aisya dengan pandangan nanar.
“Iya mas, kamu papanya Rio,” Aisya menatapku. “Ini anakmu, mas.”
Sesuatu perasaan baru merasuk tubuhku.
Aku punya anak. Teringat terakhir kali sebelum Aisya pergi, aku bercinta dengannya. Aku menatap bergantian Aisya dan Rio.
Mata Rio terbuka, menatapku.
“Rio, nih papamu datang. Mau ketemu kamu,” kata Aisya penuh cinta pada anaknya.
“Aisya,” aku berkaca-kaca.
Karen, aku sudah menepati janjiku. Bukan saja aku ketemu Aisya tapi aku juga punya anak.
Aku peluk Aisya dan mencium bibirnya. Aisya pun membalas ciumanku dengan dalam,melepas kangen yang sudah dipendam lama. Lembutnya bibir Aisya dan kehangatannya merasuki hatiku. Aku memeluk Aisya lebih erat.
“Eh mas, hati-hati entar Rio kejepit,” tawa Aisya manis. Aku pun tertawa
“Iya maafin papa ya, Rio,” aku mengelus pipi Rio yang lagi menatapku.
“Mulai sekarang Rio dan mama tinggal sama papa yah,” aku menatap Aisya penuh cinta dan mengecup keningnya. Dengan senyum bahagia, Aisya menggenggam tanganku.
THE END
Pembaca setia Kisah Malam, Terima Kasih sudah membaca cerita kita dan sabar menunggu updatenya setiap hari. Maafkan admin yang kadang telat Update (Admin juga manusia :D)
BTW yang mau jadi member VIP kisah malam dan dapat cerita full langsung sampai Tamat.
Info Lebih Lanjut Hubungin di Kontak
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂