Cerita Lama Sungai Hitam Part 17
Aku mengemudikan mobil dengan kecepatan lambat. Dengan tujuan aku lebih punya banyak waktu untuk memikirkan tindakan apa yang akan aku ambil apabila kami sudah sampai di rumah. Untungnya aku bisa menyembunyikan kecemasanku, sehingga Karen tidak bertanya yang aneh-aneh. Aku harus bagaimana? Jelas statusku dengan Karen masih suami istri, tapi Aisya sudah cukup lama tinggal di rumahku. Dan kami sudah berhubungan suami istri, meskipun memang kami belum menikah. Sejujurnya baik aku dan Aisya belum pernah membicarakan tentang nikah atau bahkan apakah kami itu berpacaran atau hubungan apapun. Terbayang wajah Aisya yang manis, sensual. Bagaimana reaksinya bila aku membawa Karen, istriku ke rumah.
Untunglah aku dan Karen tidak berbicara apapun dalam mobil. Menolong otakku fokus untuk memikirkan solusi dari kejadian ini. Tapi apapun yang kupikirkan tampaknya tidak memberikan jalan yang terbaik. Teringat ketika aku waktu itu memutuskan Mary, berat rasanya tapi kok tampaknya hal itu tidak seberat sekarang.
Lalu aku memandang Karen, wajahnya terlihat letih meskipun ada gurat-gurat senang terlihat. Mungkin dia senang karena akan kembali ke rumah yang sudah dia tinggalkan sepuluh tahun lalu. Ya, aku tidak tahu apakah Karen akan berhasil mengobati penyakitnya. Bayangan Karen tidak sembuh dari penyakitnya kembali menghantuiku. Membuat sekujur tubuhku dingin. Harus kuakui dia adalah cinta pertamaku yang membuat hidupku naik turun selama ini. Jelas melihat kondisinya sekarang membuat cinta yang sudah kupendam dalam-dalam, menguak kembali ke permukaan. Tapi kini ada Aisya dalam hidupku. Apakah aku mencintai Aisya sedalam aku mencintai Karen?
Ketika mobil sudah mendekati rumahku.
“Bert, rumah kita masih seperti dulu kan?” tanya Karen.
“Eh…,” aku terdiam sebentar. “Masih, Karen.”
Jantungku berdebar-debar cepat begitu mobil masuk pekarangan rumahku. Aku membuka pintu mobil dan berlari ke arah pintu Karen berada. Kubuka pintunya dan kupapah tangannya untuk berjalan pelan. Untung mami dan Keisya tidak ikut, kalo ikut aku tambah bingung harus bagaimana. Pintu rumah semakin dekat dan semakin dekat. Tiba-tiba Aisya membuka pintu dan nongol di depan. Mungkin dia mendengar suara mesin mobilku. Matanya terhenti memandang Karen dan Karen pun memandang Aisya dengan bingung.
“Aisya, ini istriku Karen,” campur aduk perasaanku berkata demikian.
Karen mengulurkan tangan. Aisya otomatis mengulurkan tangan. Entah apa yang ada di pikiran Aisya dan Karen.
“Karen, Aisya ini …,” aku sulit meneruskan kalimatku.
Tiba-tiba Aisya berkata,
“Aku Aisya, aku yang bantu-bantu Mas Albert di rumah,” sambil tersenyum manis kepada Karen. Karen pun terlihat tersenyum. Mereka berjabat tangan.
Aku merasa lega dan aku berterima kasih sekali pada Aisya. Aisya membantu memapah Karen masuk ke dalam rumah. Aku menatap Aisya dari belakang Karen. Aisya menatapku, menenangkan aku.
Sebenarnya aku bingung mau membawa Karen ke kamar yang mana. Dan sekali lagi Aisya menolongku, dia yang memimpin langkah kami menuju kamar aku dan Karen waktu dulu kami masih bersama.
Karen terlihat sangat lemah. Tak lama kemudian Karen tertidur.
Ini kesempatanku untuk berterima kasih pada Aisya. Ketika kami di ruang tamu. Aku memeluk Aisya erat-erat
“Terima kasih sayang. Aku bingung harus bagaimana ketika Karen ingin pulang ke sini,” aku merasakan pelukan Aisya tidak kalah eratnya.
“Kasian Mbak Karen, Mas. Kalo perlu apa-apa kamu bilang aja sama aku. Aku akan berusaha membantu semampu aku,” tatapnya padaku ketika kami selesai berpelukan.
Aku baru tahu ada wanita seperti ini, begitu baik hatinya. Aku hampir meneteskan air mata. Aku sangat terharu dengan Aisya.
“Kamu tidak cemburu, Aisya?” tanyaku.
Aisya tidak langsung menjawab
“Yang penting Mbak Karen nyaman dulu mas. Jangan sampai dia berpikiran yang negatif sehingga penyakitnya jadi memburuk,” itulah jawaban Aisya. Aku pun tidak memaksakan lagi pertanyaanku.
Hari itu aku sibuk telepon sana sini mencari seseorang yang biasa bekerja merawat orang sakit. Akhirnya ketemu seorang mantan suster yang memang kerjaannya sekarang mengurusi orang sakit. Dan beliau besok sudah bisa langsung bekerja.
Pertama kali aku memberitahukan hal ini pada Aisya. Sebenarnya Aisya bilang tidak perlu karena dia bisa membantu menjaga Karen. Tapi aku bilang, ga apa-apalah. Aku yang merasa tidak enak apabila Aisya yang merawat Karen. Tapi mungkin Aisya bisa bantu memantau aja, siapa tau si suster itu perlu bantuan.
Nah sekarang aku bingung, dimana Aisya tidur malam ini, karena biasanya dia tidur di kamar yang ditempati Karen sekarang. Tapi ketika kutanya
“Kamu tidur dimana jadinya, sayang?”
“Gampang mas. Aku uda beresin ranjang di kamar tamu,” jawabnya sambil tersenyum.
Ternyata bukan itu yang jadi pertanyaan penting. Dimana aku tidur? Itulah sebenarnya pertanyaan yang tepat. Yang pasti aku tidak bisa tidur bersama Aisya karena dia mengaku dia bukan siapa-siapa aku. Tapi kalo aku tidur bersama Karen, bagaimana perasaan Aisya?
Sekali lagi ternyata bukan aku yang memegang kendali ketika aku sedang galau. Aisya yang memegang kendali. Seakan-akan dia bisa membaca isi kepalaku.
“Mas tidur aja bareng Mbak Karen. Aku ga apa-apa kok,” senyum manis kembali menghiasi wajahnya. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa mencium kening Aisya. Aisya melingkarkan kedua tangannya di pinggangku dan menyandarkan kepalanya pada dadaku.
Cukup lama Karen tertidur. Dia terbangun dan mendapati aku sedang duduk di pinggiran ranjang. Karen tersenyum.
“Bert, uda lama gua ga terbangun dengan loe ada di sisi gua,” dia memegang tanganku.
Terus terang, aku juga sudah lama tidak mengalami hal seperti ini. Terkenang kembali masa-masa saat kami masih bersama. Begitu bahagia. Teringat kembali wajah cantik Karen dan senyumnya yang indah. Tubuhnya yang begitu lincah tapi kini begitu lemah. Aku masih berharap Karen bisa sembuh seperti dulu. Tanpa aku sadari aku mendekat dan mencium dahinya. Dahi yang sudah lama tidak kucium. Karen memelukku erat begitu aku habis mencium keningnya. Karen mencium bibirku. Bibir yang sudah lama tidak kurasakan. Aku begitu rindu pada bibir ini. Aku membalasnya. Kurasakan kehangatan yang sudah lama tidak muncul.
Selesai kami berciuman, aku menceritakan bahwa besok akan ada yang membantu merawat Karen. Karen malah bilang maaf ya sudah merepotkan aku. Harusnya dari dulu kamu ga usa takut untuk merepotkan aku, batinku. Jadi kamu tidak perlu meninggalkan aku selama sepuluh tahun. Bayangkan berapa banyak yang bisa kita lakukan bersama-sama selama 10 tahun. Kamu selalu memutuskan apapun sendiri tanpa membagi denganku, meskipun memang tujuan kamu mulia. Batinku berontak tapi aku cepat-cepat menguburnya. Aku tidak boleh emosi dalam keadaan seperti ini. Demi Karen.
Malam itu aku tidak bisa tidur nyenyak. Nyamannya ranjang tidak bisa membantu. Aku kepikiran penyakit Karen dan karena aku berada di rumah, aku memikirkan bagaimana perasaan Aisya yang lagi tidur sendirian di kamar. Aku ingin memeriksanya, aku beranjak bangun ketika terdengar Karen mengigau.
“Bert, maafin gua bert. Gua ga berniat ninggalin loe, semata-mata gua lakukan ini karena demi kebaikan loe,” racaunya dalam tidur.
Aku tidak jadi berdiri dan kembali berbaring di samping Karen dan memeluknya untuk menenangkannya. Dan memang tidak terdengar lagi Karen mengigau setelah aku peluk sampai akhirnya aku pun tertidur.
Aku terbangun keesokan harinya ketika Aisya membangunkan aku dengan tanganku masih memeluk Karen. Aku langsung melepaskan pelukanku. Entah apa yang ada di pikiran Aisya.
“Mas, susternya uda datang,” katanya.
Aku berdiri dan berjalan ke ruang tamu bersama Aisya.
“Kamu bisa tidur nyenyak semalam, Aisya?” tanyaku ketika sudah berada di luar kamar.
“Nyenyak, mas,” jawab Aisya riang.
Aku menganggukkan kepala mendengarnya. Lega.
Bu Ida, sang suster sudah menunggu di ruang tamu. Terlihat dari perawakannya dan tutur katanya, beliau sudah berpengalaman, aku sedikit lega. Apalagi ketika dokter Karen yang sudah berjanji akan sering mengontrol ke rumah datang. Ternyata Bu Ida sangat mengerti tentang medis. Dia mengerti segala perkataan dokter. Aisya pun ikut masuk ke dalam kamar ketika kami berbincang-bincang. Aisya ikut mendengarkan.
Karen terlihat sedikit lebih segar. Dia terlihat senang kembali ke rumah. Siangnya mami dan Keisya datang berkunjung. Mereka pun bingung ketika melihat Aisya dan kembali Aisya menerangkan pada mereka siapa dirinya.
Hari ketiga di rumah, Karen terlihat semakin segar. Dan selama ini aku menemaninya tidur. Malah Aisya yang terlihat agak pucat. Untung Bu Ida sebelum dia pulang, dia memberi obat buat Aisya biar tidak pucat lagi. Tidak lama kemudian Aisya pun kembali ke kamarnya setelah makan obat pemberian Bu Ida.
Aku mengetuk pintu kamarnya. Aneh kenapa aku pake mengetuk segala bukannya langsung masuk.
Aisya terlihat senang aku mendatanginya.
“Kamu ga apa-apa Aisya?” tanyaku khawatir.
“Ga apa-apa mas. Aku agak capek aja, mungkin aku khawatir dan merasa kasian dengan Mbak Karen,” jawabnya. Aku memegang tangannya. Aku pegang erat-erat. Kuelus pipinya. Aku mengecup bibirnya. Aisya pun membalas ciumanku dengan mesra. Tidak terlihat seperti hubungan Master dan Slave. Kami berciuman seakan-akan melepas rindu kami. Ketika aku hendak membuka daster Aisya. Aisya mencegahku.
“Jangan Mas, nanti Mbak Karen tau,” ujarnya terlihat dia berusaha menahan nafsunya.
“Mending Mas temenin Mbak Karen aja,” lanjutnya. Aku pun tidak memaksanya. Aku berterima kasih sekali dia sudah sangat pengertian padaku sejauh ini.
Ketika kembali ke kamar, Karen lagi nonton tivi.
“Bert, loe punya film Titanic kan? Kita nonton bareng yuk,” ajaknya.
Ya, film yang aku punya selama ini cuma satu judul. Titanic. Dari format VCD dan ketika ada DVD aku membelinya dan ketika jamannya Bluray, aku pun membelinya. Satu-satunya film yang akan selalu jadi kenangan aku akan Karen. Tapi versi bluray nya aku belum nonton karena semenjak Karen meninggalkanku, aku tidak berniat mengingatnya dengan menonton film Titanic.
Setelah aku memasukkan kepingan bluray, aku duduk bersandar di ranjang di samping Karen. Karen bersandar di bahuku.
Adegan demi adegan berlangsung, dulu adegan melukis dan di dalam mobil membuat aku kegerahan, kini terasa biasa saja. Karena mungkin pikiranku sedang tidak disini. Film berakhir pun aku tidak menyadarinya sampai Karen memencet remote player dan mengklik lagu My Heart will go on yang dinyanyikan Celine Dion.
Karen menatapku. Mengelus pipiku.
“Bert, loe inget ketika kita pertama kali ketemu?” tatapannya sangat mesra.
“Gimana gua lupa,” aku tertawa mengingatnya. Karen pun tertawa.
Lalu kami ngobrol bernostalgia. Dan aku ngaku ketika duduk berdekatan waktu kuliah, aku sempat mau coli liat bodinya dia pake rok mini. Karen tertawa sambil memukul lenganku. Kami banyak tertawa mengenang masa dulu. Tapi seperti terikrar dalam benak kami, kami tidak menyinggung-nyinggung masalah Karen meninggalkan aku selama sepuluh tahun.
Akhirnya setelah bernostalgia, Karen tertidur. Aku memandang wajahnya. Tetap cantik seperti dulu. Aku mengelus pipinya dan rambutnya. Badannya memang lebih kurus, tapi dia tetap Karen yang sangat kucintai. Kini aku mengenang sendirian tentang masa lalu. Saat kami bersama-sama. Hatiku terasa hangat. Aku memutar lagi fim Titanic dan kini aku lebih fokus. Setiap adegan mengingatkan aku ketika waktu itu kami nonton bersama di bioskop. Kenangan yang begitu indah. Ketika film selesai, aku mencium kening Karen sambil mengucap lirih.
“I love you, Karen.”
Hampir seminggu ini, aku hanya menemani Karen. Pekerjaan pabrikku, aku tumpahkan pada Ikbal. Jelas Ikbal sudah sangat mahir, aku jadinya tidak khawatir. Aisya pun sudah membaik, wajahnya tidak terlihat pucat. Kemaren ada kejadian yang mengkhawatirkan, Karen merintih kesakitan pada perutnya. Untung masih ada Bu Ida di rumah, dokter pun langsung dipanggil. Setelah diberi obat, Karen pun sedikit tenang. Malam itu aku menemaninya terus menerus tanpa keluar kamar.
Suatu malam, setelah Karen tidur. Aku menghampiri kamar Aisya. Sekali lagi kuketuk pintunya walaupun sebenarnya aku tidak perlu melakukannya.
Aisya belum tidur ternyata. Kulihat matanya sedikit merah. Aku langsung khawatir.
“Kenapa Aisya?” tanyaku sambil duduk dipinggir ranjangnya.
“Ga apa-apa Mas. Aku cemas dengan Mbak Karen,” begitu jawabnya.
Aku memeluknya. Aisya bersandar pada bahuku. Jari-jarinya mengelus dadaku. Lalu Aisya mulai mencium leherku. Hangatnya bibir Aisya menelusuri leherku. Kemudian tangan Aisya menyusup ke dalam kaosku. Memainkan putingku. Aisya tahu kelemahanku.
“Mas, mau ga temenin aku malam ini?” ucapnya lirih.
Aku merebahkan dirinya di ranjang yang cukup lebar di kamar tamu itu. Kini tangan Aisya masuk ke dalam celana pendekku. Mengelus batang penisku. Wajah Aisya terlihat begitu sensual dalam keremangan kamar. Aku memagut bibirnya, Aisya pun memainkan lidahnya berpadu dengan lidahku. Libidoku naik. Kubuka baju tidur Aisya, kali ini Aisya tidak menolaknya. Tubuhnya yang sintal dengan payudaranya yang menantang, menantang untuk aku remas. Kini kami sudah saling telanjang bulat. Aisya mendesah pelan ketika aku menyedot putingnya yang sudah tegang. Aisya memegang rambutku menahan rangsanganku pada payudara dan putingnya.
“Mas, bercinta denganku malam ini yah,” bisik Aisya pada telingaku. Aku mengiyakan pelan. Kuelus pahanya yang mulus dan tangan Aisya pun tidak kalah sengitnya, meremas dan mengocok penisku sehingga penisku benar-benar tegang. Walaupun tanpa memakai alat seperti yang biasa kami gunakan, kami bercinta seakan-akan sudah lama sekali kami tidak berhubungan. Tubuh kami berpadu saling merangsang dalam keremangan kamar. Keringat kami sudah membasahi tubuh telanjang kami. Aku belum pernah melihat Aisya seperti ini. Wajah sensualnya benar-benar terpancar dan gerak tubuhnya terasa sangat menginginkan bercinta denganku. Mulut Aisya tidak berhenti mengecup bagian mukaku ketika aku memasukkan penisku ke dalam vaginanya. Kedua kaki Aisya mengapit pinggangku. Seakan-akan tidak ingin melepaskankku. Jelas aku terbakar birahi karena sudah sekian lama aku tidak bersetubuh dengan Aisya. Pompaan penisku pada vaginanya naik turun secara teratur. Sekali-kali aku menatap matanya ketika menghujamkan penisku dalam-dalam pada selangkangannya. Aisya pun menatapku mesra dengan pandangan sayu, menikmati setiap genjotan penisku.
“Mas keluarin spermamu dalam vaginaku, Mas…aah..aahh,” Aisya merintih pelan meskipun nafasnya memburu cepat.
“Aisya, aku mau keluar…,” nafasku pun memburu cepat, begitu juga dengan genjotanku.
“Iya Mas, aku juga mau keluar,” Aisya mencium bibirku dalam-dalam. Ketika kami akhirnya sama-sama memuncratkan cairan kami. Aku terbaring lemas menindih tubuh Aisya yang berkeringat.
“Mas, makasih,” Aisya mencium bibirku dengan mesra lagi. Aku pun balas menciumnya.
Aisya menatapku dalam-dalam cukup lama, sampai akhirnya dia berkata
“Mas, kembali lagi deh ke kamar , nemenin Mbak Karen, nanti dia curiga lagi kalo kamu lama-lama di sini,” katanya sambil menciumku lagi sebelum aku memakai bajuku dan kembali ke kamar dan tertidur di samping Karen.
Aku tidak pernah menyadari bahwa hari itu terakhir aku ketemu Aisya. Karena keesokan harinya, aku tidak menemukan Aisya, hanya ada surat yang dia tinggalkan di ranjang di kamarnya.
Bersambung
Pembaca setia Kisah Malam, Terima Kasih sudah membaca cerita kita dan sabar menunggu updatenya setiap hari. Maafkan admin yang kadang telat Update (Admin juga manusia :D)
BTW yang mau jadi member VIP kisah malam dan dapat cerita full langsung sampai Tamat.
Info Lebih Lanjut Hubungin di Kontak
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂