Cerita Lama Sungai Hitam Part 16
Aku segera mengebutkan mobilku ke rumah sakit. Begitu mobilku terparkir, aku langsung berlari menuju kamar dimana Karen diopname. Ada Keisya dan mami disana. Wajahku terlihat tegang dengan nafas ngos-ngosan. Untung aku rajin berolahraga. Aku dengan cepat berhasil mengatur nafasku.
“Kenapa tiba-tiba Karen masuk rumah sakit?” tanyaku pada Keisya.
“Ya, cici semenjak papi dikubur, males makan. Paling sehari sekali. Hampir nangis terus tiap hari,” jelas Keisya. “Makanya badannya lemes banget, sampe akhirnya waktu cici menjerit, bilang perutnya sakit. Lalu pingsan. Buru-buru aja Keisya ama mami bawa ke rumah sakit.”
Keisya dan mami lagi nunggu berita dari dokter dan hasil cek laboratorium. Wajah Karen terlihat lebih kurus dari minggu kemaren. Matanya terpejam. Ada alat bantu pernafasan terpasang di lubang hidungnya.
Menunggu hasil laboratorium sangat tidak mengenakkan. Waktu terasa lambat berjalan. Aku duduk di kursi di samping ranjang Karen. Isak tangis mami dan Keisya kadang terdengar olehku. Tanpa aku sadari aku menggenggam tangan Karen. Sambil berdoa agar tidak terjadi hal-hal yang buruk.
Waktu yang menentukan tiba, seorang dokter pria, sudah berumur masuk. Membawa hasil laboratorium di tangannya. Menanyakan siapa aku, Keisya dan mami.
“Gimana dok?” tanyaku tidak sabar. Setelah menjelaskan bahwa aku adalah suaminya Karen.
“Silakan duduk dulu, pak,” katanya tenang. Hatiku langsung dingin. Tapi melihat tatapan dokter yang ramah. Aku merasa sedikit tenang. Sedikit.
Setelah aku duduk. Dokter mulai menjelaskan hasil laboratorium. Seperti ada halilintar di langit terang ketika aku mendengar penjelasannya. Ada tumor di ususnya Karen. Sudah lama ada. Mungkin kira-kira 10 tahun. Sekarang sudah mencapai stadium yang parah. Isak tangis mami dan Keisya semakin keras. Aku merasakan seluruh tubuhku dingin. Dingin sekali. Tumor. Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Sudah 10 tahun. Langsung terbersit dalam pikiranku ketika Karen tiba-tiba meninggalkan aku sepuluh tahun yang lalu. Hilang sudah kebencianku pada Karen seketika. Yang ada hanyalah, rasa khawatir yang berkecamuk dalam hatiku. Sekujur tubuhku masih terasa dingin.
“Dok, apakah benar hasil lab-nya seperti itu. Apa mungkin ada kesalahan?” itulah kalimat pertamaku kemudian.
Dokter memegang bahuku, memberi kata-kata semangat. Tidak ada efek bagiku.
“Apa dia bisa sembuh, dok?” tanyaku lagi.
“Sebaiknya bapak mulai sekarang sebanyak mungkin menghabiskan waktu dengan ibu,” jelasnya sabar.
“Sampai kapan, dok?” air mataku mulai mengalir.
“Semua tergantung dari ketahanan tubuh istri anda,” jawabnya.
Kata-kata sang dokter tidak kuperhatikan lagi. Aku mendekati Karen. Kuusap rambutnya dengan penuh kasih sayang. Air mataku mengalir semakin banyak. Mami pun mengusap pipi Karen.
Menunggu Karen siuman, waktu terasa lebih lambat lagi. Mami dan Keisya pun tidak tahu bagaimana caranya menghiburku. Mereka hanya sering memegang bahuku. Mami beberapa kali memelukku dan mencium pipiku. Terasa basah pipi mami di pipiku.
Aku tertidur. Aku terbangun ketika tanganku yang menggenggam tangan Karen terasa bergerak. Karen siuman. Aku langsung bangkit berdiri. Aku sendirian di kamar. Mami dan Keisya aku paksa untuk cari makan dulu.
“Hai sayang,” ucapku lirih sambil tersenyum. Karen sedikit merasa aneh sebelum dia menyadari dia ada di rumah sakit. Aku mengelus rambutnya lembut. Tangan Karen yang tidak dipasang infus, memegang perutnya. Aku melihat Karen sedikit mengeryit menahan sakit.
“Bert, apa kata dokter?” tanyanya lirih.
“Ga ada apa-apa. Sebentar lagi juga loe sembuh dan boleh pulang,” jawabku sambil tersenyum.
“Ga usah bohong,” tandas Karen masih dengan suara lirih.
“Gua ga bohong,” aku tertawa kecil. Padahal hatiku perih.
Karen memejamkan mata. Lalu ketika matanya membuka kembali.
“Berapa lama waktu yang gua punya?” tanyanya dengan suara yang sedikit keras.
“Loe ngomong apaan sih, dokter bilang bukan penyakit parah. Bentar lagi juga loe sembuh,” jelasku dengan menguatkan hati.
“Bert, gua tau gua ada tumor di usus gua,” Karen tersenyum lemah padaku.
Aku menggelengkan kepala.
“Jadi ini sebabnya loe ninggalin gua untuk yang kedua kalinya. Karena loe tau loe ada tumor?” aku menatapnya tajam.
Karen seperti berpikir sebelum menganggukan kepalanya.
“Kenapa loe ga bilang ke gua,” ujarku dengan suara tertekan.
Karen diam.
“Kapan loe tau loe ada tumor?” tanyaku.
“Waktu gua ke Singapore dulu,” jawabnya. Karen memintaku untuk meninggikan sandaran ranjang. Lalu Karen bercerita setelah tahu ada tumor di ususnya. Dia memutuskan untuk meninggalkanku dengan tujuan agar aku bisa belajar hidup tanpa dia dan mencari pengganti dirinya. Gadis bodoh, batinku. Kedua kalinya kau meninggalkan aku dengan alasan untuk kebaikanku.
“Gua kan suami loe. Loe bisa cerita ke gua dan kita cari solusinya sama-sama,” aku sedikit marah.
“Gua ga mau loe ga fokus sama pabrik loe, bert. Itu kan cita-cita loe. Lagian gua tau loe pengen punya anak. Sedangkan dengan kondisi gua, gua takut tidak bisa melahirkan buat loe. Gua pikir mending loe cari istri yang lain. Makanya gua menghilang,” jelasnya dengan mata berkaca-kaca.
“Loe yang lebih penting dari segalanya, Karen. Dibandingkan pabrik atau punya anak. Gua itu sangat mencintai loe,” aku sedikit berteriak. Mencintainya? Apakah sekarang pun masih? Terbayang wajah Aisya.
Karen terdiam.
“Bert, gua mau pulang, ga mau dirumah sakit,” ucapnya.
“Kondisi loe lagi kayak gini, masa mau pulang?” aku menatapnya heran.
“Gua sudah hidup dengan tumor ini selama 10 tahun. Gua terapi kemana-mana di Amrik. Jaga pola makan gua. Sekarang begitu keadaan gua lagi depresi karena kematian papi. Gua langsung drop. Jadi percuma gua di rumah sakit juga. Mending gua pulang aja,” jelasnya sambil meringis memegang perutnya.
“Gua tidak ingin menghabiskan sisa hidup gua di rumah sakit,” lanjutnya.
Aku menggenggam tangannya erat.
“Kalo emang ini keputusan loe, gua urus dulu administrasinya,” aku meninggalkan Karen untuk mengurus segalanya dengan pihak rumah sakit. Semua beres setelah dokter pun mengijinkan Karen pulang.
Begitu Karen sudah duduk di dalam mobil. Aku menstarter mobilku.
“Mari kita pulang,” aku berucap sambil tersenyum. Karen pun ikut tersenyum. Terlihat bahagia mengetahui dia akan meninggalkan rumah sakit.
“Ayo kita pulang. Gua pengen pulang ke rumah kita, bert,” ujarnya.
Aku terhenyak. Aku tidak menyadari maksud Karen pulang adalah pulang ke rumah kami. Bagaimana dengan Aisya?
Bersambung
Pembaca setia Kisah Malam, Terima Kasih sudah membaca cerita kita dan sabar menunggu updatenya setiap hari. Maafkan admin yang kadang telat Update (Admin juga manusia :D)
BTW yang mau jadi member VIP kisah malam dan dapat cerita full langsung sampai Tamat.
Info Lebih Lanjut Hubungin di Kontak
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂