Cerita Lama Sungai Hitam Part 15
Ada gunanya juga merokok. Pas aku merokok, beberapa sanak saudara datang ke rumah duka. Karen sibuk berbincang-bincang dengan mereka, sehingga aku tidak perlu merasa canggung untuk berdua dengan Karen. Seperti sudah ada ultimatum, bahwa saudara-saudara Karen tidak ada yang menanyakan tentang keadaan pernikahan kami. Mereka bersikap seakan-akan bahwa situasi kami baik-baik saja.
Seharian aku di rumah duka, beberapa kali Aisya menelponku. Aku tidak bisa bicara banyak. Aku hanya benar-benar minta maaf padanya, tidak bisa menjelaskan situasinya di telepon. Aku sedikit tenang karena nada suara Aisya tetap lembut, tidak terdengar marah.
Malamnya, meskipun terlihat sangat lelah, Karen tidak tidur. Sibuk dikerumuni oleh saudaranya. Mungkn dia juga menghindar untuk berduaan denganku. Aku pun sama. Aku tidak suka kecanggungan yang terjadi antara kami. Meskipun bisa dibilang ini semuanya terjadi bukan karena kesalahanku. Tapi tetap saja, aku bingung harus mengeluarkan kata-kata apa kalo berada dekat Karen. Tapi sekitar jam 10 malam, aku melihat badan Karen sangat terlihat lelah. Dia belum makan seharian. Aku tidak tega, takut kenapa-kenapa sama dia.
“Karen, ayo kita pergi makan dulu,” ucapku lirih dekat telinganya. Harum tubuhnya yang masih sama seperti dulu terendus hidungku.
“Ga Bert, gua ga lapar,” tolaknya dengan suara pelan.
“Loe harus makan, Keisya dan Mami uda makan, hanya loe yang belum makan,” desakku.
“Aku antar cari makanan,” aku sedikit menarik tangannya. Aku sebenarnya juga belum makan, tapi Karen yang lebih aku khawatirkan. Dia lagi dalam keadaan terguncang dan sedih, perlu mengisi tenaga untuk tubuhnya.
Melihat desakanku dan tatapanku yang mengatakan bahwa dia harus makan, Karen mengalah. Dengan tanganku memegang lengannya, aku ajak dia ke mobilku.
“Mau makan dimana?” tanyaku ketika mobil sudah keluar dari rumah duka.
“Loe belum pernah begitu ke gua, bert. Pandanganmu seakan-akan tidak bisa ditentang,” malah Karen berkata demikian.
“hahaha…” aku tertawa. “Masa sih?”
“Iya,” dia tersenyum. Kecanggungan kami ternyata tidak begitu kentara.
“Mau makan apa?” tanyaku lagi.
“Makan bubur aja di Kasmin, bert. Masih ada ada kan?” jawabnya.
“Masih ada kok.” Jawabku. Aku mengarahkan mobilku ke sana.
Jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah duka. Hanya memutar jalannya karena jalannya satu jalur menuju kesana.
Ternyata Karen makan cukup lahap, buburnya cepat sekali dihabiskannya. Baguslah pikirku.
“Uda kenyang?” tanyaku.
Karen mengangguk sambil tersenyum. Kami kembali lagi ke rumah duka. Begitu aku selesai memencet remote mobil. Menguncinya. Karen memelukku erat. Dia menangis di dadaku.
“Bert, gua kehilangan papi banget,” isaknya keras. Refleks, aku merangkul punggungnya. Membiarkan dia menangis di dadaku. Sambil aku mengelus-elus punggungnya. Gua juga kehilangan papi banget, batinku.
Hari berikutnya, kami semakin sibuk dengan banyaknya tamu yang melayat. Joko dan Ira datang. Tapi kami tidak bisa ngobrol banyak. Setelah Ira melepas kangen karena setelah sekian lama tidak ketemu Karen. Aku dan Karen sibuk kembali dengan tamu lain yang datang. Engku dan Engkim ku pun datang. Begitu juga dengan teman-teman kuliah kami. Nah saat beberapa teman kampus kami datang, ada beberapa insiden tidak enak karena sebagian besar mereka tidak tahu aku dan Karen sudah berpisah lama. Kecanggungan beberapa kali terjadi. Namun karena kesibukan kami dengan tamu yang datang membludak. Kecanggungan-kecanggungan itu terlupakan.
Keesokan harinya, Rabu pagi, kami merencanakan memakamkan papi di kuburan keluarga. Inilah puncak tangis yang terjadi. Karen, mami dan Keisya menangis terisak-isak ketika peti mati papi diturunkan ke dalam tanah yang sudah digali. Bayangan kematian mamiku terbayang. Namun tidak lama karena aku segera merangkul pundak Karen, takut dia pingsan. Untung tidak terjadi. Sedangkan aku masih bisa menahan air mataku saat mengenang semua kejadian aku bersama papi. Selamat jalan papi, jasamu akan selalu kuingat.
Malam itu aku sudah kembali ke rumah. Aku kangen Aisya tapi aku berutang sebuah penjelasan padanya. Sambil berbaring di ranjang, Aisya mengenakan daster tipis yang menonjolkan kemontokan payudaranya. Aku menjelaskan segalanya pada Aisya. Awalnya Aisya tampak kaget karena ternyata aku sudah beristri dan statusku pun sekarang masih menjadi suami orang. Tapi kemudian dia prihatin mendengar penjelasanku. Kesedihanku. Aisya mendekatkan badannya padaku. Mencium pipiku lalu leherku. Karena kangen beberapa hari tidak menyentuh Aisya, aku pun langsung memeluknya erat, melepaskan dasternya. Kucium payudaranya yang kenyal, Aisya menggelinjang. Birahi kami terbakar cepat karena sudah beberapa hari ini kami tidak saling bertemu. Langsung saja penisku, kutancapkan ke dalam vaginanya. Aku memompa vagina Aisya, Aisya mengikuti irama naik turunku. Kami berciuman liar, saling berpagutan lidah. Ketika klimaks, spermaku yang banyak tertumpah dalam lubang kemaluannya. Sebelum tidur, seperti biasa Aisya minum pil pencegah kehamilan. Dengan tubuh telanjang bulat, Aisya tidur di sampingku. Kuamati wajahnya yang manis, sensual sekali. Aku mengelus pipinya yang halus. Aku sama sekali tidak ingat dengan Karen.
Hampir seminggu, aku dan Aisya menjalani kehidupan kami yang selalu bergairah. Ketika aku di kantor, aku mendapat telepon dari Keisya di hpku.
“Ko, cici masuk rumah sakit,” suara cemas Keisya terdengar.
Bersambung
Pembaca setia Kisah Malam, Terima Kasih sudah membaca cerita kita dan sabar menunggu updatenya setiap hari. Maafkan admin yang kadang telat Update (Admin juga manusia :D)
BTW yang mau jadi member VIP kisah malam dan dapat cerita full langsung sampai Tamat.
Info Lebih Lanjut Hubungin di Kontak
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂