Cerita Lama Sungai Hitam Part 14

Aku tidak bisa menebak suara siapa di seberang sana. Karena suaranya parau dan mungkin koneksi telepon wirelessku kurang bagus.
“Ini siapa?” tanyaku lebih lanjut.
“Ini gua bert. Papi meninggal tadi sore,” ternyata itu suara Karen.
Perlu beberapa saat untuk meredam kekagetanku. Suara yang sudah lama tidak kudengar. Aku menanyakan situasinya. Karen memberitahuku dimana rumah dukanya.
“Nanti gua ke sana,” sambungan telepon selesai.

Aku menghidupkan sebatang rokok lagi. Aku bingung. Pertama sudah lama aku tidak mendengar suara Karen. Kedua, papi meninggal. Orang yang sangat baik padaku. Karena dia lah, aku bisa menjadi seperti sekarang ini. Punya pabrik. Jadi orang kaya. Dan dia lah yang berkali-kali meminta maaf padaku karena Karen. Sudah lama aku tidak pernah bertemu dengannya. Ada perasaan menyesal karena itu. Tapi kalo aku mengunjunginya, otomatis aku akan teringat pada Karen. Itu yang ingin aku hindari.

Sambil menghisap rokok, aku menatap Aisya yang sedang tertidur. Wajah sensualnya terlihat cantik. Aku mengusap pipinya yang lembut. Aku sedang mempersiapkan pertahanan hatiku apabila nanti aku ketemu Karen lagi di rumah duka. Aku harus datang kesana karena aku berutang budi dan statusku sebenarnya masih menantunya. Tapi lebih kepada hutang budi sih. Satu batang rokok lagi kunyalakan. Sambil aku mempersiapkan hatiku menjadi lebih siap lagi. Benar-benar perjuangan. Sebelum aku pergi, aku mengecup pipi Aisya setelah aku menulis pesan kecil untuknya yang memberitahu kemana aku pergi.

Sepanjang jalan entah berapa batang rokok lagi yang kuhisap. Perasaan hatiku naik turun. Antara benci, gundah dan bingung. Setiba di tempat parkir, akhirnya kuputuskan aku akan bermain “keras” aku akan mendinginkan hatiku. Seperti layaknya tembok batu, menekan emosiku dalam-dalam ketika aku berjumpa dengan Karen.

Saat penentuan tiba. Di ruangan tempat jenazah papi, hanya ada Karen, Keisya dan mami dan beberapa saudara papinya. Seperti diberi aba-aba, begitu aku tiba, mereka semua menatapku. Membuat tembok hatiku sedikit bergetar tapi masih tetap kokoh. Setelah aku memandangi mereka semua, pandanganku berhenti pada Karen. Terlihat kurus. Wajah cantiknya ada sedikit kerutan di sekitar matanya yang sembab merah. Aku bingung harus bagaimana. Aku merasa tindakan yang paling tepat adalah memeluk mami terlebih dahulu.
“Albert turut berduka mi,” aku memeluknya erat.
Mami mengusap pipiku. Air mata mengalir dari pipinya. Lalu giliran Keisya yang memelukku. Aku mengucapkan turut berduka cita padanya juga. Lalu aku harus memeluk Karen jugakah?
Aku bimbang. Tapi Karen langsung memelukku dan menangis dalam pelukanku. Tanpa sadar aku mengusap rambutnya yang pendek seperti waktu kuliah dulu. Pelukan Karen sangat erat.
Setelah puas menangis. Karen mengajak aku duduk. Kami saling berhadapan. Beberapa kali pandangan kami bertemu. Beberapa kali juga kami saling mengalihkan pandangan. Aku diam. Karen mengusap air matanya. Aku bingung harus ngomong apa. Karen seperti ingin mengucapkan sesuatu tapi dia takut salah ngomong.
“Loe uda makan?” kataku akhirnya.
“Belum bert, gua ga selera makan,” jawabnya. Hening beberapa saat. Aku sibuk mencari bahan pembicaraan. Sulit karena jantungku berdetak cepat. Tembok hatiku masih bertahan. Ingat aku sudah terlatih mengendalikan diriku apabila sedang dalam situasi tidak karuan seperti ini.
“Kapan loe ke Indo?” tanyaku lagi.
“Kemaren begitu mendengar papi masuk rumah sakit,” jawabnya pelan.
“Kok loe bisa tau?” tanyaku kemudian. Kan loe menghilang, ini hanya kuucapkan dalam hati.
“Gua baca email Keisya,” jelasnya. Oh jadi loe rajin baca email dari Keisya. Loe baca email gua ga, masih dalam hati.
“Bagaimana kabar loe, bert?” dia menatapku. Aku menatapnya balik. Tembok hatiku sedikit retak.
“Gua baek-baek aja,” jawabku. Gua baek-baek aja walaupun tanpa loe, tetap dalam hati. Tapi aku kurang yakin sekarang setelah ketemu Karen lagi. Dan aku tidak menanyakan balik bagaimana kabarnya.
“Sori, gua ga tau kalo papi sakit. Gua uda lama tidak ketemu papi,” ujarku kemudian. Karena gua tidak mau inget-inget loe lagi, batinku.
Karen mengangguk. Beneran dia keliatan kurus. Wajah cantiknya terlihat tidak begitu bercahaya seperti dulu aku melihatnya. Mungkin karena aku sudah bisa melupakannya? Aisya muncul dalam benakku.

“Papi sudah sakit jantung sejak lama, kata mami,” terlihat wajah Karen penuh penyesalan.
Loe sih menghilang tanpa jejak, kembali hatiku melanjutkan pembicaraan.
“Bagaimana kabar loe?” Karen mengulangi pertanyaannya. Entah karena dia bingung atau tidak memperhatikan jawabanku tadi karena sedang sedih atau ada maksud lain.
“Gua ya begini-begini aja,” jawabku sedikit memperbaiki tembok hatiku yang sedikit retak tadi.
“Loe sendiri?” akhirnya aku tidak enak untuk tidak menanyakan hal ini.
“Gua…gua ya begini-begini juga,” jawabnya berusaha tersenyum. Walau senyumnya dalam keadaan sedih, tapi aku sudah lama tidak melihat senyum itu. Tembok hatiku retak lagi di beberapa tempat.

Waktu terasa sangat lama berjalan. Kami berdua seperti punya pintu yang tertutup, tidak membicarakan tentang kepergian Karen waktu itu. Aku gengsi sedangkan Karen jelas tidak ingin mendiskusikan hal itu. Keheningan kami terjeda oleh bunyinya handphoneku. Aisya menelpon.
“Aku lagi di rumah duka,” jawabku.
“Siapa yang meninggal?” tanya Aisya.
“Nanti aku jelasin,” sahutku. “Hati-hati ya di rumah.”
“Iya mas, mas juga hati-hati,” Aku menutup telepon.
“Siapa itu?” tanya Karen.
“Bukan siapa-siapa,” jawabku spontan. Entah kenapa jawabanku seperti itu.
“Bagaimana kabar loe sekarang?” tanya Karen lagi. What? The same question again. Sampai akhirnya aku menyadari mungkin dia ingin mengetahui kehidupan asmaraku setelah dia pergi. Hanya dia gengsi untuk bertanya langsung.
“Gua ada ketemu seseorang sekarang,” jawabku. Tembok hatiku berdiri kokoh sekarang. Aisya terbayang sangat cantik dalam otakku.
“Oh, bagus,” wajah Karen tanpa ekspresi.
Tembok hatiku bertahan sampai aku memperhatikan kalung di leher Karen dan gelang kaki di pergelangan kakinya. Tembok hatiku runtuh seketika. Dia masih memakainya. Tanpa sadar, aku pegang jam tangan yang aku pakai. Aku pun masih memakai jam tangan pemberian Karen.
Karen melihat aku memegang jam tanganku. Dia tiba-tiba kembali menangis.
“Bert, gua bener-bener minta maaf,” disela-sela tangisannya. Aku bingung meresponsnya. Aku melihat Keisya sedang melihat pada kami berdua. Situasi yang sedang kuhadapi terasa berat sekali.
“Sebentar, Karen,” aku harus keluar, aku ingin merokok tiba-tiba. Lalu aku keluar ruangan, membiarkan Karen menangis sendiri.

Situasi ini membuat apa yang kupendam dalam-dalam kembali muncul. Kenangan masa lalu dengan orang tuaku, ketika Karen meninggalkan aku pertama kali, lalu yang kedua kali. Semua bercampur jadi satu, menghimpit dadaku.

Bersambung

Pembaca setia Kisah Malam, Terima Kasih sudah membaca cerita kita dan sabar menunggu updatenya setiap hari. Maafkan admin yang kadang telat Update (Admin juga manusia :D)
BTW yang mau jadi member VIP kisah malam dan dapat cerita full langsung sampai Tamat.
Info Lebih Lanjut Hubungin di Kontak
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂

Daftar Part

By Kisah Malam

Kisah Malam adalah sebuah Website yang berisikan Novel Dewasa, Novel Sex, Cerita Sex, Cerita First Time, Cerita Bersambung, Cerina Menarik Lainnya. Dukung Terus KisahMalam.Com Dengan Cara Bookmarks, Dan Nanti Kan Konten Terupdate dari KisahMalam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *