Cerita Lama Sungai Hitam Part 10
Akhirnya kebersamaanku dengan Karen menuju tahap yang baru. Karen tunanganku sekarang. Hari-hari kami lalui bersama-sama, karena Karen sering sekali bersama denganku membantu di counter kainku. Yang mana mungkin karena faktor Karen ada disana, pelangganku semakin banyak. Seperti kubilang, dia wanita yang sangat cantik. Apalagi kalo Karen sudah pake rok mini. Aku yakin semua pria pun akan tergoda. Banyak yang bilang kami pasangan yang serasi.
Kami belum membicarakan kapan kami akan menikah. Karena secara pribadi, jelas aku lagi menabung uang untuk itu. Dan cita-citaku masih sama, ingin jadi orang kaya. Aku tidak mau hidupku pas-pasan. Dan aku baru tahu kalo Karen dengan papinya itu sangat dekat. Karena suatu hari di bulan Maret, ketika aku ngapel ke rumah Karen, papinya tiba-tiba ngajak aku bicara.
“Bert, kata Karen kamu mau punya pabrik yah?” tanya papinya Karen.
Memang aku seringkali bicara pada Karen kalo aku pengen punya pabrik tekstil.
“Iya om,” aku menjawab yakin.
“Lha kok masih panggil om? Emang kamu belum resmi melamar Karen karena keluarga kamu belum datang ke sini. Tapi papi denger kamu sudah melamar Karen secara pribadi, jadi panggil papi aja sekarang,” ujarnya ramah. Karen senyum-senyum malu di sebelah papinya.
Aku tidak kalah malunya, ternyata papinya Karen tahu tentang hal ini. Berarti memang Karen selalu bicara apapun dengan papinya.
“Baiklah, pih,” aku menyapanya begitu sambil tersenyum.
Papi Karen terlihat senang , dipanggil papi olehku.
“Begini, papi terus terang aja ama kamu, bert. Kamu cari aja pabrik tekstil mana yang kira-kira mau dijual sama pemiliknya. Soal harganya, nanti kamu kasi tau papi. Nanti kita nego gimana caranya,” sambung papi Karen kemudian.
“Wah om, eh pih. Saya ga enak kalo harus pake uang papi,” aku sungguh merasa tidak enak.
“Ya, awalnya pake uang papi, tapi kamu nanti bisa nyicil bayarnya tiap bulan sampe lunas,” jelas papinya Karen. “Daripada kamu pinjem ke bank pake bunga, mending pake uang papi aja, papi ada uang nganggur kok.”
Karen yang duduk disamping papinya, mengganggukan kepala, seakan menyuruh aku setuju pada usul papinya. Aku melihat isyarat Karen. Tapi ada rasa sedikit gengsi dalam hatiku.
“Bukannya papi ngasi uang lho, tapi papi pinjemin uang dulu. Inget kamu tetap harus bayar ke papi sampe lunas kalo ga Karen papi sita lagi,” sambung papinya sambil tersenyum. Karen nyubit lengan papinya. Aku pun tertawa.
“oke, bert?” tanya papinya lagi.
“Oke pih, mulai besok saya akan cari-cari info,” jawabku. Papinya Karen ngangguk-ngangguk senang. Karen pun tersenyum lebar menatapku. Mulai sejak itu aku mulai cari-cari info tentang pabrik yang dijual. Tidak gampang nyarinya.
MARET 2001
Akhirnya aku ketemu seseorang yang mau menjual pabriknya. Namanya Budi Kusuma. Aku janji ketemu dia di pabriknya. Aku pergi bersama Karen kesana untuk melihat kondisi pabrik dan nego harganya.
Setelah kami datang, kami saling berkenalan. Terlihat Budi mengagumi kecantikan Karen.
“Pak Budi…,” kataku.
“ah jangan panggil pak, saya yakin kita seumur. Panggil Budi aja. Ayo kita keliling dulu liat pabriknya,” ajaknya pada kami berdua.
Pabriknya cukup besar. Mesin dan para karyawannya masih bekerja. Jadi kalo aku beli, aku beli pabrik beserta isi dan karyawannya juga.
“Kenapa dijual, Bud?” tanyaku.
“Sebenarnya ini punya papa saya. Papa saya baru meninggal sebulan yang lalu,” jelasnya.
“Oh sorry,” kata aku dan Karen bersamaan. Budi tersenyum mendengar simpati kami.
“Sedangkan saya ga bakat ngurus pabrik,” jawabnya sambil tertawa. “Saya punya usaha lain yang lebih cocok untuk saya, jadi saya pikir daripada sayang ga keurus. Mending saya jual aja pabrik beserta isinya.”
Karen terlihat senang dengan pabrik ini, begitu juga aku.
“Memang usaha apa, Bud?” tanya Karen.
“Oh saya punya bar masih kecil-kecilan, saya pikir uang dari jual pabrik ini, saya mau pake buat ngegedein bar saya,” ujarnya. “Saya lebih seneng ngurusin bar.”
“Oh apa nama barnya? Siapa tau kapan-kapan kita bisa maen kesana,” tanyaku.
“Nama barnya RIO,” Budi ngasi kartu namanya ke kami.
Selanjutnya kami deal harga, aku telepon papinya Karen dan beliau setuju tanpa perlu melihat pabriknya seperti apa, karena dia percaya pada aku dan Karen. Seminggu kemudian resmilah pabrik itu menjadi milikku. Belum sepenuhnya milikku karena aku masih harus nyicil ke papinya Karen. Tapi paling tidak, cita-citaku sudah setengah tercapai.
Aku jual counter kainku, dan aku tarik Ikbal jadi tangan kananku di pabrik, selain Karen tentunya. Tidak gampang menjalankan pabrik, untungnya pabrik ini bisa dibilang hanya dipindah tangan kan saja. Sedangkan operasi pabrik sudah berjalan dari dulu, jadi aku tidak mulai dari nol. Benar-benar menyita waktuku. Tapi aku senang melakukannya. Dan Karen benar-benar disampingku, selalu mendukungku. Tidak terasa waktu mendekati penghujung tahun 2001. Aku bilang pada paman dan bibiku, bahwa aku ingin melamar Karen. Mereka setuju. Dan pas satu tahun setelah aku melamar Karen, aku benar-benar melamar Karen pada keluarganya. Dan memutuskan tanggal 31 AGUSTUS 2002, pas hari ulang tahunku, kami akan menikah.
Aku sangat berterima kasih pada papinya Karen yang benar-benar sudah sangat membantu mewujudkan mimpiku. Pabrik sudah berhasil kukuasai dan kutingkatkan omzet penjualannya. Aku berhasil menyicil sebuah rumah kecil buat tempat kami tinggal nanti. Aku pikir rumah kecil dululah, nanti kalo uda punya uang lebih lagi, aku pengen beli rumah yang besar seperti yang aku idam-idamkan.
Aku ingin mengundang Budi, jadi aku dan Karen sengaja datang ke bar nya Budi. Aku baru kali ini pergi ke bar. Ternyata Bar RIO milik Budi cukup besar dan banyak pelanggannya. Waitresnya pun memakai seragam yang sama, Kemeja putih ketat dan rok hitam yang pasti di atas lutut. Ada yang mini, ada juga yang benar-benar di atas lutut sedikit. Budi bilang kalo kami dapet harga special dari dia. Aku dan Karen senang-senang aja. Dan akhirnya bisa dibilang kami sering mampir ke bar ini. Jadi bar favorit kami. Sebenarnya bisa dibilang bukan favorit sih, karena inilah bar satu-satunya yang pernah aku kunjungi.
SABTU, 31 AGUSTUS 2002
Resepsi pernikahan kami berlangsung lancar. Karen dengan gaun pengantinnya terlihat sangat cantik. Aku benar-benar bahagia bisa menikah dengannya. Senyum bahagia pun terpancar dari wajah Karen. Joko dan Ira datang dengan Joyra yang terlihat lucu banget. Michael dan Mary jelas tidak diundang.
“Cepetan nyusul punya anak,” Joko memelukku.
“Siap bro,” aku memeluknya erat, walau kami jarang ketemu, tapi aku dan Joko memang sahabat dekat, jadi kami tetap merasa akrab. Ira terlihat lebih gendut setelah punya anak, dia menangis senang ketika memeluk Karen. Karen pun ikut terharu. Aku pun jadi ikut terharu melihatnya. Wanita idamanku kini sudah resmi menjadi istriku. Joyra pun tidak mau kalah, dia ikut menangis karena pengen minum susu.
Seharusnya sebagai pengantin baru kami menghabiskan malam pertama dengan bercinta, tapi karena capek sekali. Seharian foto wedding di studio dan outdoor. Malam itu di hotel, kami tertidur lelap. Namun paginya, aku terbangun dengan Karen sedang mengusap-ngusap penisku.
“Bert, ayo kita bercinta,” ciumnya pada leherku. Aku memeluk tubuh Karen dan mulai mencium bibirnya. Inilah malam yang kutunggu-tunggu dari dulu. Karen sudah menjadi milikku. Lidahku menyapu lidahnya. Ujung-ujung lidah kami saling bersentuhan. Karen membuka pakaianku. Aku pun langsung membuka pakaian Karen. Dinginnya AC hotel tidak memberikan efek dingin pada tubuh telanjang kami. Aku mulai merangsang Karen dengan meremas payudaranya. Langsung saja kujilati putingnya yang sudah tegang. Ciumanku turun ke pusar nya. Kumainkan lidahku disana. Karen tertawa kegelian. Mendesah kegelian tepatnya. Tanpa basa basi langsung kuserang vaginanya. Kubikin basah dengan bibir dan lidahku. Desahan Karen semakin intens. Apalagi ketika itilnya kumainkan. Aku melakukannya sambil mengelus paha mulusnya.
“Bert masukin kontol loe,” ditengah-tengah rintihan Karen. “Pelan-pelan yah, gua takut sakit.”
Kaki Karen sudah mengangkang lebar. Pelan-pelan aku masukkan kepala penisku, membuka bibir klitorisnya pelan-pelan. Kembali terasa penisku seperti tersetrum enak. Karen pun mengcengkeram erat pinggir bantal ketika pelan-pelan aku masukan penisku lebih dalam. Setengah dari batang kemaluanku sudah masuk ke vaginanya yang basah tapi sempit.
“Terus, bert,” pinta Karen. Aku merasakan penisku dijepit keras oleh otot vagina Karen. Agak sulit masuk lebih dalam. Aku takut Karen merasa sakit. Aku menahan tubuhku dengan kedua tangan disamping tubuh Karen. Aku tekan masuk lagi penisku. Uggh enak banget. Penisku terasa tertekan enak oleh vagina Karen. Melihat Karen tidak terlihat kesakitan malah pinggulnya digerakan seperti meminta agar penisku masuk lebih dalam. Setelah hampir masuk semuanya, akhirnya kurasakan penisku tidak bisa masuk lagi karena menyentuh ujung rahim Karen. Ternyata penisku cukup gede untuk vagina Karen. Aku cukup bangga dalam hati.
“Gerakin Bert, sakitnya uda mulai hilang,” kembali pinta Karen.
Aku mulai gerakin penisku naik turun dalam lubang kemaluan Karen. Enak banget. Awalnya memang agak sulit tapi lama-lama terasa licin sehingga penisku terasa mulus gerakan naik turunnya.
“Bert, keluarin sperma loe nya di luar ya,” kembali Karen berucap. Aku mengiyakannya. Gerakan naik turunku semakin cepat. Tangan Karen berada di pantatku. Kadang meremas, kadang menekan ke arah selangkangannya. Tidak lama kemudian Karen menggelinjang dan menyebutkan namaku. Karen klimaks. Wajah cantiknya terlihat sangat merangsangku ketika dia orgasme. Membuat aku mempercepat gerakanku dan akhirnya aku mengeluarkan penisku dari vaginanya. Dan menyemprotkan spermaku di perutnya. Banyak sekali air maniku yang keluar membasahi perut Karen yang langsing. Aku membaringkan tubuhku disamping tubuh Karen yang bugil berkeringat. Karen menciumku. Itulah pengalaman kami bercinta pertama kali. Rasanya berbeda dari selama ini. Terasa lebih menguras tenaga. Tidak lama kemudian kami pun bercinta lagi ketika Karen memintaku untuk ML lagi. Tapi kini Karen posisinya di atas, duduk di atas selangkanganku. Sampai akhirnya batas waktu breakfast hotel sudah lewat sehingga kami harus pesan room service.
Seminggu kemudian, kami berbulan madu ke Bali. Disini kami lebih sering lagi bercinta karena memang suasananya enak banget untuk bermesraan.
KAMIS, 17 JULI 2003
Tidak terasa hampir setahun kami menikah. Rumah tangga kami adem ayem, kami hampir tidak pernah bertengkar, paling kami ribut tentang mau makan dimana atau mau pergi piknik kemana. Kami hampir tidak pernah membicarakan tentang punya anak. Aku pun tidak pernah membuka pembicaraan tentang hal ini pada Karen.
Sampai ketika Joko mengabarkan padaku bahwa Ira sudah melahirkan anak kedua, anak laki-laki. Namanya untung bukan Koi tapi Hepi biar selaras dengan Joyra (Joy artinya kan kegembiraan)
Ira yang bertanya pada kami
“Kapan dong mau punya momongan?” tanyanya. Aku menatap Karen dan Karen pun menatapku.
“Belumlah, lagi pengen seneng-seneng berdua dulu,” begitu jawab Karen. Aku hanya senyum-senyum aja menanggapinya.
Namun kemudian di mobil, Karen membahas tentang hal ini.
“Loe pengen punya anak, bert?” tanyanya sambil menggenggam tangan kiriku.
“Mau aja, kalo loe juga mau,” jawabku sambil sekilas menatapnya lalu kembali menatap jalan.
“Gua sih lagi pengen berdua ama loe, ga apa-apa kan?” sambung Karen.
“Gimana loe aja sayang. Keinginan loe adalah keinginan gua,” jawabku sambil mencium pipinya ketika pas berhenti di lampu merah. Karen tersenyum. Itu memang adalah kata hatiku. Apapun yang Karen inginkan akan aku turuti.
DESEMBER 2003
Di akhir tahun ini, aku berhasil membeli bangunan di samping pabrikku sehingga pabrikku semakin besar. Aku semakin sibuk. Kami hampir dibilang tidak pernah berpisah, selalu kemana-mana bersama sampai akhirnya di awal Januari 2004, Karen bicara padaku
“Bert, gua mau ke Singapore seminggu. Mau ketemu temen gua,” katanya.
“Ada urusan apa?” tanyaku yang berbaring di sampingnya. Kami habis bercinta. Dan aku memang bisa mengontrol nafsuku. Aku tidak pernah pakai kondom dan aku selalu mengeluarkan spermaku di luar atau kadang di dalam mulut Karen.
“Dia nawarin satu order,” jawabnya. “Aku pengen dapet duit sendiri juga. Loe mau ikut?” tanyanya.
Aku lagi sibuk-sibuknya ngurusin pabrik karena ada order baru dari luar negeri yang baru masuk. Karen tau tentang hal itu.
“Tapi ga usah deh, loe kan lagi diperlukan di pabrik. Jangan khawatir, gua ga akan selingkuh,” candanya nakal. Sambil memelukku dan mulai merangsangku lagi. Kami pun bercinta lagi.
Baru kali ini aku ditinggal lama oleh Karen. Rasanya kangen banget. Hampir tiap hari aku menelponnya. Mungkin karena aku begitu sibuk tidak terasa seminggu sudah lewat dan Karen sudah muncul di pabrikku. Aku langsung memeluknya. Dan kami berciuman lama di kantorku. Pulangnya kami langsung bercinta lagi. Begitulah kehidupan pernikahan kami, jelas aku sangat bahagia. Apalagi pabrikku berkembang pesat. Lalu aku bilang pada Karen mau beli rumah yang lebih besar, Ikbal bilang ada rumah besar yang mau dijual, yang punyanya keturunan bangsawan yang jatuh bangkrut. Begitu melihatnya, aku dan Karen langsung sreg dan kami pun pindah ke rumah baru itu. Rumahnya benar-benar besar, walaupun bangunannya kuno tapi halamannya begitu luas. Karena Ikbal sudah lama ikut denganku, dan dia mau segera menikah. Atas persetujuan Karen, rumah lama kami, kami hibahkan kepada Ikbal. Anggap aja sebagai bonus, kata kami padanya. Tentu saja Ikbal senang banget.
Seperti yang aku bilang, bisa dibilang aku sudah sukses sekarang. Dan aku pun tidak pernah lupa pada Joko, sahabat karibku. Ketika suatu hari dia berkunjung ke pabrik, tanpa basa basi dia bilang butuh dana buat beli sebuah ruko, dia mau buka usaha kelontong. Dia bilang anaknya uda dua, harus mikirin masa depan. Tanpa ragu-ragu, aku pun langsung memberikan uang yang dia minta. Satu lagi, aku lupa menyebutkan, cicilan pada papinya Karen sudah lunas, jadi pemasukanku benar-benar bersih sekarang, semuanya masuk ke rekeningku. Dan aku senang sekali bisa membantu sahabatku, Joko.
Aku sudah makmur. Karen sudah jadi istriku. Tapi ternyata kebahagiaanku ada akhirnya. Ketika di akhir tahun 2005, Karen tiba-tiba bilang padaku, dia ingin meneruskan S2 di Amerika. Aku kaget dengan keputusan tiba-tibanya.
“Ya itu memang sudah cita-cita gua dari dulu, bert,” begitu alasannya.
“Bagaimana dengan gua?” aku bingung.
“Ya loe kan bisa berkunjung ke Amerika kalo loe lagi ga sibuk. Tapi ini harus gua jalankan bert. Cita-cita loe kan sudah tercapai. Gua mohon, ijinkan gua juga mencapai cita-cita gua,” mohonnya.
“Kan bisa kuliah di Bandung,” ujarku masih dengan pikiran kalut. Karen menjelaskan alasan-alasannya kenapa dia mau melanjutkan kuliahnya di Amerika, yang terus terang aku tidak mendengarkan dengan jelas apa alasannya.
JANUARI 2006
Akhirnya aku mengantarkan Karen ke Amerika, baru kali ini aku ke Amerika. Cita-citaku dulu yang ingin ke Amerika baru terwujud sekarang. Rumah Karen yang dulu akhirnya bisa kulihat dan kulihat secara langsung boneka Teddy Bearnya.
“Mirip loe ya?” gurau Karen. Aku yang sebenarnya merasa sedih, ikut tertawa juga.
“Loe janji yah jangan selingkuh,” ancamku sambil menciumnya.
“Keisya bentar lagi nikah ama bule Amrik. Jadi nanti gua tinggal sendiri disini,” ujar Karen. Aku seminggu di Amrik. Sampai akhirnya aku harus pulang kembali ke Indo. Dengan berat hati, aku tinggalkan Karen. Entah kenapa teringat kembali waktu dulu Karen meninggalkan Indo. Terasa dadaku kembali terhimpit buldozer. Tapi yah mau gimana lagi, seperti yang aku bilang, keinginan Karen, aku akan selalu berusaha menurutinya. Meskipun keinginan yang ini paling berat buatku. Tapi Karen bilang ga lamalah, paling juga dua tahun.
Kenyataannya berat banget. Bahkan sebulan kemudian, aku pergi lagi ke Amrik. Selama satu minggu. Dan kuhabiskan waktuku bercinta dengan Karen. Hampir selama enam bulan, tiap bulan pasti aku pergi ke Amrik mengunjungi Karen. Termasuk pernikahan Keisya. Terus terang Ikbal agak kewalahan mengurusi pabrik. Keadaan pabrikku sedikit berantakan karena sering kutinggalkan. Karen memahami hal ini karena aku cerita padanya.
“Bert, jangan sampai gara-gara gua, pabrik yang sudah loe bangun susah-susah jadi berantakan,” begitu katanya.
“Tapi gua kangen terus ama loe,” jawabku.
“Gua juga kangen, tapi jangan sampai gara-gara cita-cita gua. Hasil nyata cita-cita loe malah jadi berantakan, gua ga mau itu terjadi. Gua akan baik-baik saja kok disini. Percaya deh ama gua,” Karen mencium bibirku dengan lembut.
“Baiklah tapi tiap tahun baru, gua bakal ke sini yah. Loe ga boleh nolak kedatangan gua,” putusku.
Karen tersenyum. Memelukku.
DESEMBER 2007
Ketika aku tiba di Amerika. Kudapati rumah Karen kosong. Boneka Teddy Bearnya pun tidak ada. Kutelpon hp Karen, tidak ada nada sambung. Aku telepon Keisya yang segera datang ke rumah Karen.
Begitu tiba
“Cici kemana yah?” tanyanya khawatir. “Dia ga bilang sama aku.”
“Yang bener, Keisya? Mungkin dia lagi pergi ke suatu tempat ga?” aku jadi ikut khawatir.
Aku mencoba menelpon Karen lagi. Tetap tidak ada nada sambung. Aku buka laptopku. Kubuka emailku siapa tau, Karen ada mengirim email. Tidak ada email terbaru dari Karen. Aku jadi tambah khawatir.
“Keisya, tolong antar koko ke tempat kuliahnya,” pintaku.
Begitu sampai di bagian administrasi. Keisya yang bicara, karena dia lebih fasih bahasa Inggris. Wajahnya terlihat cemas ketika sedang berbicara dengan pihak administrasi.
“Ko, katanya cici uda lama ga kuliah disini,” wajahnya terlihat khawatir sekali.
Aku jelas-jelas kaget.
“Kapan dia terakhir kuliah?” tanyaku.
“Kira-kira tiga bulan yang lalu,” jawab Keisya. Akhirnya Keisya nanya lagi, mungkin ada yang tahu kemana Karen pergi. Tidak ada yang tahu.
Kembali ke rumah Karen, aku terduduk lemas. Aku coba lagi menelponnya. Tetap tidak ada nada sambung. Aku benar-benar kalut. Keisya mencoba menelpon beberapa teman Karen yang dia kenal. Tidak ada yang tahu kabar beritanya.
“Coba aku buka emailku ya ko. Aku sudah lama tidak buka email sih. Siapa tau cici ada ngirim email ke aku,” Keisya buka emailnya pake sambungan telepon di rumah itu.
“Ko, ada email dari cici. Dua bulan yang lalu,” teriak Keisya.
Aku segera menghampirinya. Dan isi email Karen kembali membuka luka lamaku.
Keisya, tolong bilang ama Albert. Tolong jangan cari gua. Anggap saja gua bukan istrinya lagi. Gua mohon agar dia cari saja pengganti gua. Tolong bilang ama papi dan mami, jangan khawatir soal cici. Cici bisa jaga diri sendiri. Sekali lagi, tolong jangan cari cici. Cici selalu sayang sama kalian semua. Kalian selalu di hati cici.
Bagai petir di siang bolong. Aku membacanya berulang-ulang, meyakinkan diriku sendiri. Dan isi emailnya tetap sama. Kepalaku berputar-putar. Tanpa aku sadari aku pingsan.
Hampir sebulan aku di Amerika. Mencari Karen kemana-mana ditemani Keisya. Tetap tidak ketemu. Amerika begitu besar, kemana aku harus mencarinya. Pabrikku jelas terlantar. Ikbal beberapa kali menelponku. Tidak kuangkat. Papi dan Mami Karen pun menyusul ke Amerika. Karena mereka sudah tua, mereka kuanjurkan untuk tinggal aja di rumah, biar aku dan Keisya yang mencarinya.
Keisya ada membalas email Karen, menceritakan betapa khawatirnya kami semua padanya. Lalu Karen membalas, bahwa dia baik-baik saja. Ga usah dipikirin. Dan dia bilang agar kami semua pulang aja ke Indo. Ga usah cari dia.
Jawaban apa itu. Benar-benar egois sekali. Apa sih yang dia pikirkan. Setelah sekian lama, itulah yang muncul dalam otakku. Apa dia tidak memikirkan aku sama sekali. Paling tidak bila tidak memikirkan aku, pikirkan orang tuanya, juga Keisya. Aku masih tidak mau pulang ke Indo.
Sampai akhirnya papi Karen yang bilang padaku.
“Papi minta maaf sekali, bert atas apa yang terjadi pada Karen,” katanya.”Kamu ga usah cari dia lagi deh. Dia memang keras kepala. Sekali lagi papi minta maaf atas nama Karen,” lanjutnya. “Mending kamu pulang aja ke Indo, jangan sampai hidup kamu kacau gara-gara Karen, anak papi.” Wajahnya terlihat prihatin.
“Kalau ada info, papi pasti segera kasi tau kamu,” papi memelukku. Dia sangat perhatian padaku. Dia sudah menganggap aku anaknya, karena kebetulan dia tidak ada anak laki-laki.
“Kamu pulang aja ngurus pabrik kamu. Papi juga tidak akan menyalahkan kamu apabila kamu kawin lagi,” ucapannya benar-benar tulus.
Dengan terpaksa aku kembali ke Indo. Hatiku benar-benar hancur. Untuk mengatasi kesedihanku, aku benar-benar menyibukkan diri di pabrik, bahkan aku hampir tidak pernah pulang ke rumah. Aku menginap di pabrik, karena rumah akan selalu mengingatkanku pada Karen.
Joko dan Ira pun sering mengunjungiku. Aku pernah bilang pada Ira.
“Ra, Karen ga kontak loe kan seperti yang kejadian yang dulu. Loe jangan boong ama gua,” tandasku.
Ira pun bilang dia tidak mendapat kabar dari Karen.
“Gua ga boong, bert.” Aku mempercayainya. Apalagi setelah Joko meyakinkanku bahwa Ira memang tidak mendapat berita apapun dari Karen.
Hampir setahun berlalu. Aku seringkali mengecek emailku dan aku mengirim banyak email pada Karen, tapi tidak pernah dibalasnya. Ribuan kali aku menelponnya, tetap tidak ada nada sambung.
Dalam kesendirianku, aku sering mengunjungi Bar Rio dan Budi pun akhirnya menjadi salah satu teman dekatku. Dia sering mengobrol denganku ketika aku ke bar. Aku tahu maksud baiknya, dia ingin menemaniku ngobrol setelah tau Karen meninggalkanku. Ya akhirnya aku sampai pada kesimpulan bahwa Karen meninggalkanku.
Entah apa alasannya kali ini. Sampai pada tahap bahwa aku tidak peduli pada alasan Karen meninggalkanku. Namun hebatnya aku, aku tidak pernah sampai mabuk ketika aku minum-minum di bar Rio.
Seperti aku bilang, aku sudah terlatih untuk mengubur kenangan-kenangan buruk dalam hidupku. Walaupun kuakui kenangan buruk akan Karen paling sulit tapi akhirnya aku berhasil melakukannya. Aku harus berterima kasih pada orang-orang yang begitu telaten “menemaniku” seperti Joko dan Ira. Juga Budi. Sebenarnya aku sering berkunjung ke Papi dan Mami Karen sampai akhirnya aku putuskan untuk berhenti mengunjungi mereka karena akan sulit bagiku untuk melupakan Karen. Papi dan Mami Karen maklum sekali pada keputusanku. Begitupun rutinitasku menelpon Keisya tiap bulan akhirnya kuhentikan karena akan sulit bagiku untuk melupakan Karen.
SABTU, 10 JANUARI 2009 PUKUL 19:30
Seperti aku bilang, sudah menjadi rutinitasku mengunjungi Bar Rio milik Budi. Kali ini, Budi kebetulan bisa menemaniku. Dia sering menceritakan beberapa pelanggannya padaku. Ada pria tua yang sering datang bersama selingkuhannya yang masih muda, cantik. Juga ada beberapa pasangan gay. Macam-macam jenis orang yang mendatangi barnya. Lalu kemudian ada satu pasangan yang menarik perhatianku. Sudah sebulan ini mereka sering mengunjungi bar Rio. Seorang pria, mungkin setahun atau dua tahun lebih tua dariku. Dia selalu memakai jas hitam dengan dasi hitam dan celana hitam, kadang dia memakai kacamata hitam ketika berada dalam bar. Yang selalu mendampinginya adalah seorang wanita cantik berambut panjang. Selalu memakai pakaian seksi yang menonjolkan keseksian tubuhnya. Yang aku perhatikan adalah wanita ini selalu memakai gelang di lehernya yang kemudian aku tahu itu namanya choker. Anehnya wanita ini selalu memandang ke bawah ketika berada dalam bar. Tidak pernah mengalihkan pandangannya ke arah lain. Namun sikap yang diperlihatkan oleh wanita itu sangat menarik minatku.
“Bud, kalo mereka itu siapa?” tanyaku sambil menunjuk ke arah mereka.
“Oh mereka itu pelanggan baru. Kalo gua perhatiin, cewenya itu kayak patuh banget sama cowo itu. Gua dapet kabar dari pelanggan lain. Mereka itu seperti pasangan yang agak aneh. Apa yah namanya?” Budi berusaha mengingat-ingat.
“Gua ingat, istilahnya BDSM gitu kalo ga salah,” lanjutnya.
Malam itu aku mencari di internet tentang BDSM. Sangat menarik ternyata, aku baru tahu tentang hal seperti ini. Banyak foto-foto yang ditampilkan di semua website tentang BDSM. Bahkan mereka tidak hanya memakai choker di leher tapi bahkan seperti kalung anjing di leher mereka. Aku terangsang melihatnya dan setelah sekian lama, aku akhirnya bermasturbasi melihat foto-foto tentang BDSM di internet.
Besok-besoknya aku malah mengdownload beberapa film tentang BDSM dan hebatnya aku tambah tertarik karena benar-benar sensasi baru untukku dan benar-benar membuatku terangsang sekali melihatnya. Aku bermasturbasi lagi setiap malam menonton cuplikan-cuplikan film yang berbau BDSM.
SABTU, 17 JANUARI 2009 PUKUL 19:30
Aku membelikan minuman untuk pasangan BDSM itu. Lewat Budi, akhirnya aku bisa ngobrol dengan mereka. Selama aku ngobrol, sang wanita selalu menatap ke bawah, tidak pernah menatapku. Bahkan dia hanya minum apabila disuruh minum oleh pria itu. Yang wanita itu lakukan benar-benar merangsangku. Malam itu aku bermasturbasi membayangkan wanita itu menjadi budakku. Aku majikannya.
SABTU 24 JANUARI 2009 PUKUL 19:30
Kembali aku membelikan mereka minuman dan pria itu mengundangku ke meja mereka. Kini percakapan kami lebih akrab. Tanpa malu-malu dia menceritakan petualangannya dengan sang wanita. Ceritanya benar-benar menimbulkan suatu sensasi baru dalam diriku. Setiap malam, aku rajin menjelajahi internet mencari-cari tentang BDSM.
SABTU 31 JANUARI 2009 PUKUL 19:30
Kutunggu pasangan itu muncul tapi mereka tidak muncul bahkan minggu-minggu berikutnya mereka tidak muncul lagi. Dan aku semakin mendalami tentang BDSM lewat internet. Bahkan aku ikut forum khusus tentang BDSM. Semakin aku pelajari, semakin aku tertarik. Sudah kulupakan Karen. Aku kembali ke rumahku dekat Sungai Hitam untuk pertama kali setelah sekian lama tidak kuinjaki. Benar-benar berdebu.
Namun aku memang dulu menutup semua perabotanku dengan plastik jadi tidak sulit membersihkannya. Aku memanggil tukang untuk membuat sebuah basement dibawah. Aku benar-benar bergairah dengan hobiku yang baru. Walaupun aku belum berani melakukannya dengan seorang wanita, paling tidak aku sudah menemukan atau paling tidak sedikit menyadari bahwa ini mungkin gaya hidupku yang baru. Hitung-hitung sebuah pembuka dalam bab baru kehidupanku setelah sepeninggalan Karen.
Bersambung
Pembaca setia Kisah Malam, Terima Kasih sudah membaca cerita kita dan sabar menunggu updatenya setiap hari. Maafkan admin yang kadang telat Update (Admin juga manusia :D)
BTW yang mau jadi member VIP kisah malam dan dapat cerita full langsung sampai Tamat.
Info Lebih Lanjut Hubungin di Kontak
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂