Nirwana Part 61
You Belong to me
Tak ada yang lebih ceria dari malam itu, di mana tawa dan kebahagiaan berkumpul jadi satu. Barusan sekali Pak De sampai di Villa, dan segera disambut Kadek dan beberapa warga Desa yang menyempatkan diri mampir sepulang Sangkep[SUP](1) [/SUP]di Bale Banjar[SUP](2).[/SUP]
Acara ngobrol-ngobrol santai, mendadak berubah menjadi pesta BBQ dadakan saat beberapa warga mulai datang menyumbang kelapa muda, dan sate lilit [SUP](3)[/SUP] mentah, menemani ayam betutu dan sambal Bali yang disajikan di atas meja, mengepul hangat dan menggoda selera.
Aroma sate lilit yang sedang dipanggang memenuhi udara, mengepul bersama asap panggangan sate ke seantero halaman Villa. Sang Maestro tertawa jumawa seperti biasa, dikelilingi warga yang bertanya keadaan di Prancis dan pameran yang sukses besar itu.
Malam ini Pak De nampak sehat, meski sempat terbatuk beberapa kali. Di sampingnya Lucille berdiri tak beranjak, tangannya menempel erat di punggung Pak De. Tak ada yang tahu, bahwa diam-diam Lucille mengalirkan energi Reiki ke tubuh Sang Maestro, hingga lelaki itu sanggup berdiri dan tertawa terbahak-bahak seperti biasa.
Semua orang di tempat itu hanya tahu, bahwa Lucille belum pernah berdandan secantik malam ini. Wanita yang biasanya bergaya ala Gypsi, kali ini mengenakan gaun panjang backless warna krem, berpadu serasi dengan Indira yang berdandan tak kalah cantiknya baki Ratu Peri dan Putri Bidadari.
“Tabik… tabik… nyelang margi…”(4) Kadek bergerak terburu, membantu membawakan bergelas-gelas es kelapa dari dapur. Pemuda itu meruntuk kesal pada Ava yang malah ngobrol-ngobrol santai dengan Sheena sambil mengipas-ngipas sate lilit.
Dari kejauhan, Sheena sibuk memperhatikan Lucille dan Indira yang asyik bercanda di
tengah taman tropis dan leretan bunga.
“Ava…”
“Apa?” Ava menyahut tanpa menoleh, sibuk membolak-balik daging yang setengah gosong.
“Indira cantik ya… tante Lucille juga…”
Ava memasang tampang palm face, “Ternyata…”
“A-apa.”
“O.L.T.”
“Apaan tuh?”
“Obvious Lesbian Trait.”
“Kampreeeet! Hahaha!” Sheena segera menonjok Ava, namun kesakitan sendiri, karena luka-lukanya belum pulih benar.
“Eh, orang sakit nggak usah merekak[SUP](5)[/SUP], haha…”
Kadek yang kebetulan lewat, mencomot sate lilit yang sedang dipanggang Ava. “Mantap, sudah bisa Bahasa Bali, sudah siap jadi Orang Bali, nih!” Kadek manggut-manggut bangga, menepuk pundak Ava yang masih terbalut busana khas Bali, sepulang sangkep sore tadi.
Mendadak, tawa Ava menguap begitu saja.
Sheena dan Kadek menghela nafas, mengerti ke mana pembicaraan ini akan menuju.
“Jangan gitu dong, kasihan Indira… kasihan Pak De… Indira sudah nggak punya ibu, nggak punya kakak, ditinggalin sama Dewa…” ucap Sheena.
Ava tak mejawab, melihat Indira, Lucille, dan Pak De yang tertawa bahagia di ujung sana.
“Indira kurang apalagi, coba? Cantik iya, dan kalau kamu nikah sama Indira, kamu bakal jadi pewaris galerinya Pak De!” Kadek berkata, menambahkan.
“Kenapa, Va? Kamu takut masuk neraka?” pancing Sheena tajam.
Agak lama Ava terdiam, sebelum akhirnya berkata, “Na, kadang aku pikir, apa sih kebahagiaan itu? Apa sih happy ending itu? Aku pikir sebuah dongeng nggak harus berakhir dengan Puteri atau Pangeran… cuma buat bisa mencapai akhir bahagia…”
“Udah deh nggak usah banyak retorika. Happy ending cuma buat banci,” desis Sheena sinis. “Nggak ada satu titik pun di mana manusia bisa bilang ‘gue nemuin happpy ending gue’. Orang Islam bilang happy ending mereka adalah ketika memasuki pintu surga. Tapi kamu harus inget Va, manusia sudah pernah diberi surga, namun lebih memilih pohon pengetahuan dan terusir dari Paradiso. Biar dikasih happy ending kaya gimana juga manusia nggak bakal pernah puas… and here we are... killing each other…”
Ava menghela nafas berat, saat Indira melambai dan tersenyum ke arahnya. Cepat-cepat pemuda itu balas tersenyum, menyambut Indira yang menghambur ke arahnya.
“Kadek.. Kak Na… pinjam Ava-nya, yaa….” Indira berseru riang, sambil menggandeng Ava, memperkenalkannya pada para tamu.
You belong to me.
You Belong to Me
“See the pyramids around the Nile
Watch the sun rise
From the tropic isle
Just remember darling
All the while
You belong to me…”
Lagu mengalun lamat-lamat dari Gramaphone dan piringan hitam yang berputar malas. Sudah hampir jam sebelas, ketika piring-piring dan gelas mulai dibereskan dan beberapa tamu terakhir mengucap pamit pulang.
Lampu taman mulai diredupkan, menyisakan aroma pesta yang masih tercium sayup-sayup. Indira sedang berganti baju, sementara Ava, Kadek, Sheena dan beberapa pemuda desa masih sibuk membereskan sisa pesta.
Pak De berada di kamar kerjanya, memandangi ruangan yang hanya diterangi sebuah lampu baca di atas meja. Maestro itu menghela nafas sambil berdehem sesekali. Tangannya sibuk mengetuk-ngetuk kotak kecil warna merah, sambil dimain-mainkan, diputar-putar seperti orang kerjaan.
Lelaki tua itu kadang tersenyum, kadang menarik nafas panjang, sebelum tersenyum lagi dengan pandangan yang melayang-layang di antara foto-foto tua, fotonya dengan Lucille dan Julia.
Pintu diketuk, “Kak.”
Cepat-cepat disimpannya kotak itu dalam laci kayu, sebelum memasang senyum kaku, salah tingkah melihat Lucille yang melangkah memasuki ruang yang dipenuhi patung, pernak-pernik, dan barang-barang antik.
“Gek?[SUP](6)[/SUP]” Pak De berucap pendek.
“Kak… gimana… batuknya masih kumat lagi?” Lucille bertanya, sedikit ragu.
Pak De tersenyum kecil, “Sedikit, tapi-”
“Besok kita ke Dokter, ya…” Lucille berkata, mengusap dada Pak De, mencoba merasakan apakah ada yang salah dengan tubuh lelaki tua itu.
Lucille menempelkan tangannya di dada Pak De, dan seketika itu juga lelaki tua itu merasakan hangat yang berputar-putar memenuhi paru-parunya. Energi kosmos berputar, bergetar hebat, merevitalisasi setiap sel-sel yang rusak. Hingga akhirnya Pak De bernafas pelan, perlahan.
Pak De tak bersuara, namun Lucille bisa merasakan jantung laki-laki itu yang berdetak cepat, dan semakin cepat. Saat Lucille menunduk, segera mendapati sepasang mata yang menatapnya tulus. Pak De menggenggam telapak tangan Lucille, erat.
“Makasih…” bisik Pak De di telinga Lucille.
“Eng… um… enggak apa-apa.” Lucille menukas cepat, gelagapan dengan wajah tersipu.
Lagu mengalun lamat-lamat, pelan, mengiringi sepasang wajah yang saling mendekat.
In old Algiers
Send me photographs and souvenirs
Just remember
When a dream appears
You belong to me..”
Ciuman itu mendarat di dalam gelap, setengah di pipi, setengahnya lagi di bibir. Lucille menarik wajahnya, cepat beringsut dengan wajah bersemu merah, “Kak… ini… salah…” ucapnya pelan, buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain. “S-saya…” Lucille hendak berbalik, namun sepasang lengan yang melingkar di perutnya menahan langkahnya untuk pergi lebih jauh lagi.
“Gek…” bisik Pak De lembut, hingga lucille merasakan nafas yang memburu, hangat berhembus di tengkuknya yang mulus dan dipenuhi bulu halus.
“I-iya…” Lucille tergagap-gagap, merasakan bibir lembut yang menempel di kulit lehernya.
Lucille membeku kaku, dengan jelas ia merasakan hangat tubuh Pak De membekapnya, juga jantung lelaki itu yang berdetak memburu. Ia hanya bisa memejam, membiarkan tubuhnya direngkuh dari belakang. Lengan Pak De melingkar erat, satu di atas perut Lucille, satu lagi di atas tulang selangkanya.
“Saya kangen kamu, Gek… sudah lama sekali…”
Maybe you’ll be lonesome too..”
= = = = = = = = = = = = =
“Sudah lama sekali,” tiba-tiba Ava berucap, tanpa ada hujan, tanpa ada angin, tanpa diiringi alunan biola ataupun harpa, yang ada hanya suara gesekan sapu lidi yang sibuk membersihkan remah-remah makanan.
“A-apa, sih!” Sheena protes keras, menonjok Ava, tapi pemuda itu cuma nyengir kecil tak berdosa.
“Dasar ge-er! Aku pikir, aku nggak bakal ketemu kamu lagi, tahu!” Ava menoyor Sheena dengan ujung sapu lidi. “Dasar bocah nekat.”
Sheena nyengir polos, menuang air ke atas bara hingga menimbulkan asap putih yang membumbung ke udara.
Dua orang itu tidak saling bicara, meski masing-masing ingin sekali berkata…
“Saya cuma cuma berharap bisa bertemu, sekali lagi…” Pak De berkata. “Sepanjang perjalanan, saya cuma berharap bisa ketemu kamu dan Indira, sekali lagi.”
Sepasang bayangan itu bergoyang pelan, mengikuti irama lagu. Dua pasang kaki itu melangkah ragu, di atas lantai kayu.
“K-kak Gede ngomong apa, sih…”
Pak De menunduk, menempelkan keningnya di kening Lucille. Tangannya mengusap pelan wajah cantik yang serupa Mendiang Istrinya itu.
“Gek…” bisik Pak De, meraih dagu Lucille.
“Iya, Kak…” Lucille menengadah, hanya untuk mendapati bibirnya dipagut seiring lagu yang mengalun lembut.
In a silver plane
See the jungle
When it’s wet with rain
Just remember till
You’re home again
You belong to me”
Kerinduan yang bertahun-tahun dipendam Lucille, kini seperti air bah yang meruah. Dihisapnya bibir Pak De kuat-kuat, dan dibiarkannya tangan-tangan Pak De menjelajahi setiap lekuk tubuhnya, mengusap-usap punggungnya yang terbuka.
Bibir mereka saling berpagut dan lidah keduanya saling bertaut. Nafas memburu kencang, seiring usapan dan remasan yang saling didaratkan.
Pak De menyingkap gaun Lucille hingga payudaranya yang putih mulus menyembul keluar dan puting warna merah hatinya mengacung tegak. Lucille mendesah pelan, karena Pak De membelai dan mengusap-usap ujung putingnya yang penuh saraf-saraf sensitif.
Lucille mengerang seketika. Otot-ototnya serasa lumpuh, hingga ia terhuyung ke atas meja kerja Pak De. “Kaaaak…” termegap-megap, Lucille menjambak rambut Pak De yang tengah menggigit lehernya.
Pak De mendorong Lucille ke arah meja kerja, meremas payudara Lucille gemas tapi juga penuh kasih, hingga gelagapan Lucille berpegangan pada tepi-tepi meja, menyenggol jatu beberapa barang.
Lampu baca berkelotak membentur lantai. Padam. Ruangan gelap gulita.
Lucille mengerang manja, merasakan bibir hangat yang dipenuhi brewok melumat payudaranya, geli, nikmat sekali. Lucille kembali mendesah, penuh gairah. Wanita itu membantu Pak De menurunkan gaunnya, dan dalam satu gerakan cepat, gaun Lucille sudah melorot, jatuh ke lantai, menampakkan tubuh molek yang berlekuk Indah, yang tinggal ditutupi celana dalam g-string warna hitam.
Cahaya lampu taman mengintip malu-malu dari celah jendela, membentuk garis-garis putih di ruangan yang gelap gulita, menerangi payudaranya membulat indah, bergantung kencang dengan sepasang puting berwarna merah hati di ujung-ujungnya.
“Kak… aaaah…” Lucille pasrah saat payudaranya dilumat habis, dan kewanitaannya diusap-usap dan dibelai sedemikian rupa. Lucille memejam, memasrahkan setiap lekuk dan relung tubuhnya dijelajahi oleh Pak De, musik mengalun lembut mengiringi percumbuan itu.
Maybe you’ll be lonesome too..”
Tahu-tahu Lucille sudah mendapati dirinya dihempas ke sofa panjang di ruangan itu. Celana dalamnya sudah tercampak entah kemana, seperti halnya pakaian Pak De yang sudah berserakan di lantai. Ruangan gelap dan remang-remang, Lucille hanya merasakan ada tubuh berbulu yang mencumbuinya penuh gairah.
Lucille menggigil, tubuhnya bergemetaran saat tungkainya dibuka lebar-lebar. Wanita ini menelan ludah, dan menggigit bibir berkali-kali. Wajahnya yang cantik nampak tersipu, merona merah muda dengan beberapa butir keringat yang membulir menggairahkan.
“Gek, kamu kenapa…?” ucap Pak De lembut, bersimpuh di antara kedua paha Lucillle.
Sepasang mata yang menatapnya itu membuat sekujur tubuhnya seolah lumpuh, dan dirinya seperti kembali menjadi gadis 15 tahun yang menyerahkan kegadisannya pada laki-laki itu, 30 tahun yang lalu.
Lucille tersenyum kecil, menggeleng lemah dengan pipi yang semakin memerah. “Nggak apa-apa…” Lucille berbisik, nyaris tak terdengar. Wanita itu memejam, menghayati pelukan hangat yang membungkus tubuhnya, juga batang tegak yang bergerak pelan di belahan kewanitaannya yang merekah basah, mencari jalan masuk.
Lucille melingkarkan tangannya di leher Pak De, memasrahkan tubuh dan jiwanya pada laki-laki itu.
“Kak, pelan-pelan…” bisik Lucille, sambil menjengit pelan, merasakan batang kejantanan Pak De yang padat dan hangat, membelah masuk, menjelajahi dinding-dinding kewanitaannya, dan… “Ooooh…” tubuh Lucille menggigil nikmat, bersamaan dengan suara lengguhan Pak De yang tercekat, tertahan.
Tubuh Pak De yang gemuk berisi, menghimpit tubuh Lucille yang molek indah, tergolek pasrah di atas Sofa. Dada Pak De yang dipenuhi bulu, menggencet payudara Lucille yang bulat kenyal, menghenyaknya dalam pelukan erat. Sepasang insan paruh baya itu saling dekap di dalam gelap, saling peluk dengan nafas terengah, menikmati sensasi dua tubuh yang berdifusi menjadi satu.
Perlu beberapa saat, sebelum Pak De mulai menggerakkan pinggulnya, naik turun. Sofa tua itu terdengar berderit, seiring ayunan pinggul Pak De yang bertambah cepat.
“Kak… aaah…” bibir Lucille yang basah sedikit membuka saat kejantanan Pak De datang menghentak. Dijambaknya rambut Pak De lembut, sambil mengerang pelan, menikmati kejantanan Pak De yang datang menghajar tanpa ampun.
Pak De menyusul melenguh, menciumi leher Lucille yang basah oleh keringat. Gigitan kecil dan remasan pada payudara Lucille yang diberikan Pak De membuat gelinjangan Lucille semakin menggila dan persetubuhan itu semakin bergairah.
“Kaak… ke atas… dikit… aaah… aaaah… uuuuh…”
“Umh… gini…”
“Hu-uh…” Lucille mengangguk lemah, melingkarkan kaki-kakinya yang indah di pantat Pak De, pinggulnya ikut mengayun, berputar-putar, menyambut kedatangan kejantanan Pak De yang datang menghentak.
Percumbuan semakin liar. Birahi semakin dibakar ditingkahi suara paha yang beradu dan desisan erotis yang terdengar mistis. Dan piringan hitam terus berputar sebagai musik latar yang mengiringi persetubuhan itu.
In a silver plane
See the jungle
When it’s wet with rain
Just remember till
You’re home again
You belong to me…”
Indira hanya mendengarkan suara Gramaphone yang mengalun sayup-sayup dari kamar kerja ayahnya.
Indira tersenyum sambil memeluk boneka beruang raksasanya erat-erat. Untuk pertama kalinya ia merasa lengkap. Beberapa kali ayahnya dekat dengan seseorang, dari kurator Perancis, sampai kolektor eksentris, namun dirinya selalu bersitegang dengan Ayahnya.
Tetapi tidak Lucille, Bidadari itu begitu sempurna sebagai pengganti ibunya.
Indira tertidur sambil tersenyum, bermimpi tentang keluarga baru yang dikirim Tuhan untuknya: Lucille, Ava, dan Sheena.
Percumbuan pasangan paruh baya itu demikian bergairah. Tubuh mereka sudah dimakan usia, tapi birahi yang menggebu di dada keduanya tak pernah tua, muda dan menggelora.
Lucille memejam nikmat, menikmati ciuman Pak De yang mendarat, menciumi wajahnya yang merona. Tubuh lucille yang lentur karena latihan yoga, membuatnya leluasa melekukkan tungkai-tungkainya, menyandarkannya di atas pundak Pak De. Posisi ini membuat ujung kejantanan Pak De menohok tepat pada pusat titik nikmat Lucille.
Wanita bule itu menjerit histeris, menggeleng-geleng heboh. Diremasnya ujung sofa kuat-kuat, karena nikmat yang datang kini beratus kali lipat. Kewanitaannya seperti dikorek-korek, digaruk, semakin liar, dan semakin menggila.
Hingga akhirnya Lucille kehilangan suara. Wanita itu manatap sayu pada Pak De, bibirnya mengangga, kehilangan kata-kata, tapi yang terjadi berikutnya memang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata: Sekujur tubuh Lucille menggigil hebat, otot-ototnya mengejang, hingga tulang punggungnya melengkung nikmat, cepat-cepat ia meraih tengkuk Pak De, memeluknya erat.
Pak De meraih tulang punggung Lucille, merengkuh tubuh wanita itu ke dalam lengkungan tubuhnya yang juga hendak mengejang.
.
Dua insan itu sama-sama mengejang, sambil saling memeluk mendaki puncak yang sama. Pinggul Pak De berkedut-kedut, bergerak liar, menghujam tubuh Lucille yang nampak kesakitan.
“Aaaaaah…” Lucille mengerang hebat, merasakan tubuhnya dipenuhi oleh cairan hangat yang meluber hingga membasahi kulit sofa.
Sampai beberapa kali erangan panjang, hingga akhirnya dua orang itu tergolek terengah dengan wajah memerah dan bersimbah peluh. Suara enggahan nafas terdengar sayup diiringi lagu yang mengalun pelan dari gramaphone. Lucille memejam, tersenyum bahagia, wajahnya yang cantik nampak kian merona, dan Pak De tahu tak ada wajah yang lebih mempesona selain wanita yang baru saja meraih puncak kenikmatannya.
Pak De mengusap wajah Lucille, lembut. Dikecupnya kening Lucille yang basah, hingga wanita itu terkikik manja.
Lama mereka bertatapan, dan Lucille membiarkan Pak De membelai rambutnya, mengusap pipinya. Lucille mendesah, menggelendot manja di dada lelaki itu.
“Gek…”
“Ya?” Lucille tersenyum, melihat Pak De yang mengusap wajahnya, tulus.
“Saya sayang kamu.”
“Saya… juga, Kak…” senyum lebar kian menghiasi bibir Lucille, dan pelukannya di dada Pak De semakin erat.
“Kamu… mau… jadi…” Pak De menelan ludah. “Ibunya Indira…?” Pak De berkata, setengah berbisik.
Lucille terhenyak lama, perlu beberapa detik untuk menyadari dirinya tidak sedang bermimpi.
Lucille tak menjawab, wanita itu kini sibuk mengusapi matanya yang entah kenapa tak berhenti meneteskan air mata.
Malam itu tubuh dan hatinya direngkuh dalam pelukan Pak De yang tak henti membelainya.
Kerinduannya tuntas sudah.
You’re home again
You belong to me…”
Sementara itu di luar sana. Tinggal Sheena dan Ava yang terjaga di antara malam yang semakin kelam.
Ada kerinduan yang sama seperti yang dialami Pak De dan Lucille, namun keduanya hanya bisa menatap dari kejauhan, tanpa boleh mengungkapkan.
Sheena melirik Ava yang asyik memainkan gitar Kadek yang tertinggal, sambil terus sibuk dengan buku Sketsanya.
“Satu bulan kita tetanggaan, tapi jarang banget ngobrol, ya,” ucap Ava tiba-tiba.
Sheena menjawabnya dengan cengiran kecil di atas wajah tomboynya.
“Dan aku baru tahu dari Bob, kalau kamu juga dari Bali.”
“Yep.” Sheena menjawab singkat.
“Bohong, ah! aku nggak pernah lihat kamu ke Pura.”
Sheena nyengir kecut, “I did believe in God,” namun di detik berikutnya Sheena terdiam lama, hingga Ava menyadari ada jeda abnormal dari lawan bicaranya.
“Kenapa?”
“Aku rasanya pernah denger percakapan ini, tapi nggak tahu di mana.”
“Di kehidupan lain, kali?” jawab Ava enteng.
“Aku pikir orang Islam nggak percaya reinkarnasi.
Ava mengangkat bahu. “Kadang aku nggak habis pikir, Tuhan itu satu, tapi kenapa ada banyak agama, membuat manusia berbeda, terpisah-pisah, dan nggak bisa bersatu.”
“Curcol.” Sheena berkomentar singkat, dan segera ditimpuk Ava dengan majalah kord gitar. Sheena menghindar sambil tergelak, sementara Ava memberengut, mendekat ke samping Sheena.
“Hujan.” Ava berkata sambil merunduk, memungut majalahnya.
Sheena tersentak, mendadak pinsil yang dipegangnya jatuh ke tanah, ke dekat Ava. “A-apa…” Sheena beringsut, memungut pensilnya yang terjatuh.
“Dan di Rumah Sakit, aku baru tahu, kalau nama belakangmu artinya ‘Hujan’.” Ava berucap polos saat keduanya berjongkok di lantai tanah.
Sheena menoleh, dan seketika itu juga Sheena terhenyak, mendapati lagi sepasang mata yang menatap teduh, seperti sekumpulan uap air di biru langit yang dulu menaunginya dari panas matahari.
Dalam riuh kesunyian malam, sepasang insan itu saling pandang. Keduanya mencoba mengorek-ngorek ingatan yang tersembunyi di lubuk terdalam Korteks Cerebri.
Ava, kenapa kamu mirip sekali dengannya…